Dalam satu dekade belakangan ini, nurani kita digelisahkan oleh maraknya aksi kekerasan yang terjadi di berbagai lapis dan lini masyarakat. Aksi-aksi vandalisme dan premanisme dengan berbagai macam bentuk dan variannya (nyaris) menjadi fenomena tragis yang gampang kita saksikan di atas panggung sosial negeri ini. Perkara-perkara sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang arif dan dewasa tak jarang dituntaskan di atas ladang kekerasan yang berbuntut darah dan air mata. Dalam keadaan semacam itu, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang dulu dimuliakan dan diagung-agungkan sebagai karakter dan jatidiri bangsa seperti telah memfosil ke dalam ceruk peradaban.
Kekerasan agaknya telah menjadi “budaya baru” di negeri ini. Jalan penyelesaian masalah berbasiskan kejernihan nurani dan kepekaan akal budi telah tertutup oleh barikade keangkuhan dan kemunafikan. Okol lebih dikedepankan ketimbang akal. Tawuran antarkampung berujung maut gampang membara hanya gara-gara senggolan dalam pentas dangdut. Bentrok antara petugas Satpol PP dan warga tak terelakkan hanya lantaran kesalahpahaman. Ormas berbasis primordialisme sempit pun tak jarang ambil peran membuat keributan dan keresahan warga di ranah publik. Belum lagi aksi para preman yang mempertontonkan tindakan fasis dan brutal di tengah-tengah keramaian penduduk. Pembakaran, perusakan, dan penganiayaan pun marak terjadi di berbagai tempat. Budaya kekerasan agaknya benar-benar telah berada pada titik nazir peradaban, sehingga menenggelamkan karakter “genuine” bangsa ini yang telah lama ditahbiskan sebagai bangsa yang cinta damai, santun, ramah, dan berperadaban tinggi.
Yang menyedihkan, budaya kekerasan dinilai juga telah bergeser ke dalam ranah dunia pendidikan kita. Lihat saja perilaku pelajar kita belakangan ini! Tas yang mereka tenteng ke sekolah bukannya sarat dengan buku-buku teks bermutu, tetapi penuh dengan benda tajam. Gunting, obeng, tang, belati, atau benda-benda tumpul lainnya tak jarang memenuhi tas mereka. Bukan untuk praktik keterampilan vokasional, melainkan untuk “memuaskan” naluri dan budaya agresivitas mereka. Persoalan pribadi antarpelajar sering kali membesar menjadi pertaruhan gengsi dan nama baik sekolah, sehingga tawuran massal antarpelajar tak bisa dihindarkan. Mereka tidak lagi mempertontonkan kesantunan dan kearifan dalam melakukan rivalitas di bidang keilmuan dan intelektual, tetapi bersaing memperlihatkan kepiawaian memainkan pentungan dan senjata tajam. Kaum remaja-pelajar kita, khususnya yang hidup di kota-kota besar, tidak lagi akrab dengan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi, tetapi lebih suka menggauli kekerasan, pesta, dan seks bebas.
Marginalisasi Nilai Humaniora
Maraknya perilaku anomali sosial di kalangan kaum remaja-pelajar kita belakangan ini sejatinya tidak lahir begitu saja. Ia lahir di tengah situasi peradaban yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan moral dan budi pekerti. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi barikade yang kokoh untuk membentengi para pelajar dari gerusan aksi kekerasan dan vandalisme dinilai telah mengalami kemandulan. Pendidikan tidak diarahkan untuk “memanusiakan manusia” secara utuh dan paripurna, tetapi lebih diorientasikan untuk mempertahankan jargon dan kepentingan kekuasaan semata. Pendidikan karakter yang notabene bisa dioptimalkan sebagai media yang strategis untuk mengembangkan, menyuburkan, dan mengakarkan nilai-nilai keluhuran budi dan kemanusiaan justru dikebiri dan disingkirkan melalui proses pendidikan yang serba dogmatis, indoktrinatif, dan instruksional. Selama mengikuti proses pendidikan, anak-anak bangsa negeri ini hanya sekadar menjadi objek dan “tong sampah” ilmu pengetahuan yang serba pendiam dan penurut, sehingga kehilangan daya kreatif dan sikap kritis.
Dalam pandangan (almarhum) Rama Mangunwijaya (PascaIndonesia, PascaEinstein, 1999), dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya– apalagi berpikir kritis– adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.
Suasana pembelajaran yang “salah urus” semacam itu, demikian Mangunwijaya, telah membuat cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang. Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal budi tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita.
Aksi-aksi kekerasan makin marak terjadi ketika selubung reformasi terbuka pada tahun 1998. Setiap orang merasa mendapatkan angin segar untuk menuntaskan kebebasan yang selama ini terpasung. Seperti terbebas dari sekapan rezim yang represif dan menekan, warga masyarakat terbuai dalam euforia reformasi yang memungkinkan mereka bebas berbuat dan berkehendak sesuai dengan selera dan kepentingannya. Ruang-ruang publik pun jadi ingar-bingar. Pada titik peristiwa dan momen tertentu, ratusan, bahkan ribuan massa mengusung slogan-slogan demonstratif dan meneriakkan yel-yel tertentu untuk membakar emosi massa.
Sejauh tidak diikuti dengan tindakan anarkhi, brutal, atau destruktif, gerakan demonstrasi secara besar-besaran dan masif sekalipun masih bisa ditolerir dan dimaklumi. Bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum seperti itu tetap perlu dihormati dan dihargai sebagai hak setiap warga negara untuk mengekspresikan aspirasinya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa demonstrasi yang berlangsung pasca-reformasi tak jarang diwarnai dengan perilaku bakar-bakaran, perusakan, vulgar, dan destruktif. Bahkan, fasilitas-fasilitas publik yang telah dibangun dengan susah-payah pun sering jadi sasaran amuk dan amarah. Nilai-nilai kesantunan, keramahan, dan kearifan telah menguap dan berubah menjadi sikap-sikap kanibal yang menodai keluhuran budi manusia sebagai makhluk yang bermartabat.
Dua belas tahun era reformasi bergulir, negeri ini bukannya mendapatkan jalan terang menuju bangsa yang beradab dan berbudaya, melainkan justru makin tersungkur ke dalam kubangan dekadensi moral dan involusi kultural. Bangsa ini menjadi demikian gampang kalap dan rentan terhadap konflik dan kekerasan. Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin budaya kekerasan yang amat tidak menguntungkan bagi kemajuan peradaban bangsa itu makin mengakar dan mengilusumsum ke dalam jiwa dan kepribadian anak-anak bangsa. Dalam konteks demikian, sungguh tepat dan strategis apabila Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mengangkat tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa” dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei yang lalu. Setidaknya, tema ini bisa menjadi “starting point” bagi dunia pendidikan kita untuk membangun peradaban bangsa di tengah kecamuk dan ancaman konflik dan kekerasan yang bisa meledak setiap saat di atas panggung kehidupan sosial masyarakat kita.
Agenda Besar
Meski demikian, tema strategis tersebut hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka jika tidak diimbangi dengan tindakan nyata dan serius untuk mengimplementasikannya dalam ranah pendidikan kita. Pengalaman menunjukkan, gagasan dan konsep pendidikan yang bagus sering terhenti pada aras wacana dan idealisme semata lantaran tidak menyentuh hingga ke tahap implementasi dan aplikasi. Integrasi nilai keimanan dan ketakwaan (Imtak) yang pernah digagas beberapa tahun yang silam, misalnya, cenderung hanya sebatas menjadi kajian dalam forum-forum lomba, diskusi, dan seminar belaka, lantaran tak ada “kemauan politik” semua pihak untuk mewujudkannya secara nyata dalam dunia pendidikan kita. Terkait dengan persoalan tersebut, pendidikan karakter yang digagas oleh pemerintah untuk membangun peradaban bangsa, perlu dijadikan sebagai agenda besar dengan melibatkan segenap pemangku kepentingan pendidikan untuk mengimplementasikannya secara baik dan benar ke dalam dunia pendidikan kita.
Paling tidak, ada tiga hal penting dan urgen untuk diperhatikan agar agenda besar tersebut tidak terjebak menjadi slogan dan retorika belaka. Pertama, memberikan bekal pendidikan karakter kepada seluruh guru lintas-mata pelajaran sebagai bagian yang tak terpisahkan dari profesionalisme guru secara simultan dan berkelanjutan. Dekadensi moral dan merosotnya nilai keluhuran budi di kalangan pelajar kita sudah ibarat tanggul jebol. Penanganannya tak cukup hanya diserahkan kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama saja, tetapi secara kolektif harus melibatkan semua guru lintas-mata pelajaran. Semua guru dari berbagai jenjang satuan pendidikan perlu digembleng secara khusus melalui pelatihan intensif dengan lebih menekankan pada penguasaan substansi materi dan pendekatan-pendekatan inovatif agar penyemaian pendidikan karakter kepada siswa didik tidak kaku, monoton, dogmatis, dan indoktrinatif.
Kedua, jadikan pendidikan karakter sebagai salah satu kegiatan pengembangan diri di sekolah. Aktivitas pengembangan diri yang sudah diterapkan sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan empat tahun yang lalu, terbukti mampu menumbuhkembangkan bakat, minat, dan talenta siswa. Dalam suasana yang menarik, dialogis, interaktif, dan terbuka, siswa didik bisa diajak bercurah pikir, berdebat, dan mendemonstrasikan nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam kegiatan pengembangan diri. Mereka perlu diberikan ruang dan “mimbar bebas” di luar jam pelajaran yang secara khusus didesain untuk menggembleng kepribadian dan jati diri siswa agar benar-benar menjadi sosok yang berkarakter. Hal ini jauh akan lebih efektif ketimbang menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri yang pada kenyataannya justru akan menimbulkan beban, baik buat guru maupun siswa, apalagi kalau disajikan dengan cara-cara yang cenderung menggurui dan dogmatis seperti orang berkhotbah.
Ketiga, menciptakan situasi lingkungan yang kondusif yang memungkinkan pendidikan karakter bisa bersemi dan mengakar dalam dunia pendidikan kita. Situasi kondusif bisa ditumbuhkan jika semua elite bangsa, tokoh-tokoh masyarakat, atau pemuka agama, yang dijadikan sebagai kiblat dan anutan sosial dalam bersikap dan bertingkah laku bisa saling bersinergi dengan memberikan keteladanan nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pemerintah juga perlu segera melakukan “deteksi dan cegah dini” apabila ditemukan bibit-bibit konflik yang bisa mengarah dan memicu terjadinya aksi kekerasan. Media pun dituntut peran sertanya dengan memberikan sajian informasi dan hiburan yang mencerahkan, sehingga mampu memberikan imaji positif ke dalam ruang batin dan memori anak-anak tentang adanya nilai kesantunan, keramahan, kearifan, dan keluhuran budi.
Kita berharap, ada upaya serius untuk membumikan pendidikan karakter agar benar-benar bisa menjadi jalan pencerahan dalam mendesain peradaban yang lebih terhormat, bermartabat, dan berbudaya. Kita sudah amat lama merindukan lahirnya generasi masa depan yang cerdas, santun, bermoral, dan luhur budi. ***
pendidikan memang berarti membangun peradaban, cuma peradaban bagaiamana yang akan kita tuju kalau untuk sekedar menyusun tujuan aja sudah bias
bener sekali, mas pencerah. itulah sebabnya, pandangan2 yang visioner sangat diperlukan utk membangun dunia pendidikan yang mencerahkan agar mampu membuat terobosan baru yang kreatif.
ooo ini toh caranya Bermanfaat Pak bisa aq pake sama ADIKku yg TK dan munkin buat anakku besek wkwkwkw Mikirnya kejauan
loh, kok utk adik dan anak, hehe …. utk mas adib sendiri juga oke, loh!
Konsepnya bagus pak, tapi ada persoalan di tataran implementasi. Saya sedang mencoba melalui kegiatan evaluasi diri harian. Instrumen dan evaluasinya dijabarkan dari SKL yang ada. Harapannya tumbuh kebiasaan2 yang baik. Tugas guru hanya memfasilitasi kegiatan evaluasi diri yang dilakukan siswa dan menjaga agar siswa jujur dalam mengisi instrumen. Memberi penguatan bagi yang hasilnya baik dan memotivasi anak yang evaluasinya belum sesuai harapan. Filosofinya : perilaku yang berulang membentuk kebiasaan, kebiasaan berulang menjadi karakter
setuju banget, pak ut. saya kira bener, pak. negeri kita punya banyak konsep pendidikan yang bagus, tapi problemnya selalu pada tahap implementasi. jangan2 antara teori dan praktik terlalu jauh kesenjangannya, pak.
hello Mas –
memang idealnya, sistem pendidikan kita juga memasukkan nilai nilai pendidikan moral dan sikap.
belum lagi soal efek dari perkembangan teknologi infomasi..
semua ini mambuat para orangtua agar semakin berhati hati..
betul, mas andry, memang idealnya demikian, agar anak2 tak hanya cerdas otaknya, tapi juga cerdas emosi, spiritual, dan sosialnya.
Benar,Pak Sawali kita harus membumikan pendidikan berkarakter sejak dini. Terkadang karakter kekerasan para siswa dan mahasiswa sekarang ini adalah efek samping kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga,karakter sebagian oknum guru dan dosen yang tidak terpuji yang tergambar dalam watak mereka.
Pada dasarnya seluruh elemen masyarkat mulai dari sekarang memberikan contoh yang terbaik bagi generasi penerus bangsa, karena memulai dari diri sendiri akan memberikan efek melebar kepada yang lainnya.
betul sekali, mas marada. keteladanan, dalam ranah apa pun, sangat diperlukan. itulah rumitnya, konon negeri kita sedang mengalami krisis keteladanan nih.
mungkinkah ini semua karena shock culture, semenjak kran demokrasi dibuka selebar2nya, rakyat dipaksa siap atau tidak siap harus menyaring sendiri setiap budaya dan sesuatu yang baru yang dahulu dianggap tabu…… ini adalah masa peralihan… pancaroba….. di negara kita masa pancaroba juga selalu diikuti oleh perubahan cuaca yang sangat ekstrem… dan sayangnya semua mahluk hidup harus tunduk pada hukum alam….. tapi walau kadang perih rasanya ikut bangga melihat dan merasakan masa2 peralihan itu…..sembari berharap semoga ini tak lama dan negara kita bisa segera mencapai titik kesetimbangannya ^_^
hmm … gegar budaya, memang acapkali disebut-sebut ketika orang membicarakan ttg maraknya ulah kekerasan dan agresivitas, mas firdaus. tapi sejak dulu masak bangsa kita harus mengalami masa transisi terus, mas, hehe …. kapan stabilnya? haks.
@Sawali Tuhusetya, mudah2an gak lama lagi ya pak….. dan kita masih sempat merasakan titik kestabilannya :)
amiiin, mudah2an memang program ini bener2 mencerahkan buat siswa didik, mas firdaus.
setuju!! apakah negeri ini akan kembali ke jaman primitif?
walah, ya jangan sampai set-back ke zaman primitif toh, mbak ros. makin repot jadinya.
keren nih postingannya, pendidikan karakter sangat diperlukan, faktor lingkunganpun juga harus mendukung :D
Blog
walah, biasa saja, mas asazi. hmm …. memang faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan pendidika karakter.
mengarahkan pada anak untuk memilih melakukan apa yang dia sukai dan menekuninya…kalau sibuk melakukan kegiatan bermanfaat dan disukainya, sepertinya bakal lupa kalau sorenya ada ekstrkulikuler tawuran :d
wah … ternyata ada toh ekskul tawuran, haks. mas pradna bisa saja nih pakai istilah, hiks.
ya….. setuju banget ma tulisan ini…
*moga aja banyak yang baca tulisan ini….
terima kasih supportd dan apresiasinya, mas garis, hehe ….
Benar pak, kekerasan sepertinya telah menjadi trend untuk menyelesaikan setiap masalah di negeri ini. Padahal, Indonesia adalah bangsa timur yang menjunjung tinggi nilai2 kemanusiaan. Tapi tampaknya hal itu sepertinya sulit berlaku dijaman sekarang ini. Apa yang salah ya? Banyak dari mereka yang memiliki pendidikan yang tinggi ternyata juga terlibat dalam perkara itu. Apakah ini kurang dibarengi dengan pendidikan moral atau agama pada institusi pendidikan kita?
itulah yang konon membikin anak2 masa depan negeri ini sulit disentuh soal moral dan agama, mas ifan, karena mereka ndak bisa melihat tokoh yang layak diteladani.
Waduh.. bagus sekali tulisan pak sawali.. semua yang tertulis diatas semoga tidak hanya menjadi wacana yang mengambang. tetapi dapat diimplementasikan oleh para pemangku pendidikan secara benar.
Terima kasih pak atas pencerahannya.. Kalau diperkenankan, bolehkah tulisan bapak yang bagus ini saya share melalui buletin sekolah kami?
walah, makasih banget apresiasinya, pak fendik. makasih juga kalau mau di-share di buletin sekolah. mangga!
character bulding … bukankah itu yang selalu digembar-gemborkan semenjak zaman soekarno? tapi dasar orang indonesia enggak pada dengerin [-( begini dech hasilnya :-\”
hehe … itu dia, mas gadget. sepertinya negeri ini memang butuh sosok pemimpin dan kaum elite yang bisa dijadikan teladan.
keren niy tulisan,
ane dukung lah,
semoga saja pendidikan kita jauh lebih baik…
amiiin, perlu support dan dukungan dari semua komponen bangsa, mas, agar pendidikan karakter bener2 kuat dan mengakar.
di negeri kita tuh apa-apa pake kekerasan, wakil rakyat aja udah kasih contoh kalo lagi sidang sampai mau tonjok-tonjokan segala…
itu dia, mas, tak heran kalau ada yang bilang banhwa bangsa kita tengah mengalami krisis keteladanan.
jadi tanggung jawab siapa ya Pak pendidikan Karakter itu nantinya ? karakter seperti apa ya Pak yang akan dibentuk ? Saya takut “anak” saya-pun tergerus oleh “ketidak beresan” sosial saat ini.
wah, agaknya semua pihak mesti terlibat, mas yussa. jangan sampai hanya menjadi tanggung jawab dunia pendidikan saja. keluarga, tokoh masyarakat, dan pemerintah perlu bersinergi.
memang hanya bangsa yang memiliki karakter unggul akan mampu memangku dunia………..:-?
setuju, mas nanang. wah, saya suka istilahnya, mas, hehe …. “memangku dunia”!
pak. menurut saya pendidikan karakter tuh wajib hukumnya, bayangkan karakter macam apa generasi indonesia kelak jika tidak diberi pendidikan karakter dini:(
betul sekali, mas ginting. memang idealnya demikian.
Pingback: Tweets that mention Catatan Sawali Tuhusetya -- Topsy.com
harus itu pak…sepertinya kita bangsa ini kehilangan jati diri kita..sehingga sekarang banyak perkelahian elit dan cenderung mudah diadu domba…
setuju, dok. dengan penanaman pendidikan karakter sejak dini, setidaknya anak2 masa depan negeri ini tak akan gampang kena sihir kekerasan.
pembentukkan jati diri sangat diperlukan saat ini…
supaya bangsa kita semakin maju dan anti perpecahan.. :)
setuju, mas eric. semoga ada terobosan baru yang kreatif dan visioner.
sepakat, tapi pada kenyataannya pendidikan karakter memang tidak banyak diterapkan di jenjang pendidikan sejak dini. mulai dari playgroup sampai dengan bangku sekolah menengah lebih banyak mengajarkan bagaimana menjadi “pintar” di mata2 pelajaran dan ujung2nya harus lulus uas. pendidikan karakter, mana??? saya sendiri alumni komunitas code binaan romo mangun jogja. emm, cara romo mengajak belajar memang sangat berbeda.
salut dengan tulisan2 sampean.
salam
oh, ya, hmm …. saya mengagumi visi almarhum dalam soal pendidikan, mas. pandangan2 beliau cukup mencerahkan di tengah ancaman kekerasan yang bisa meledak setiap saat.
Pingback: Windows vs Linux
Bersyukur saya sekolah tidak di kota besar, jadi masih aman aman saja, anak sekolah bawaannya masih buku, bukan senjata.
Sedikit sarang Pak, themenya yang mobil version diganti yang standart saja Pak, soalnya kalau pakek theme iPhone susah dikomentari lewat HP yang bukan iPhone.
hehe … seandainya berada di kota besar pun, saya percaya mas rifky ndak akan ikut2an terpengaruh utk tawuran, hiks.
kalau saja kita mau berfikir kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, dan yang dituntut mau mendengarkan serta bertindak dengan benar, mungkin akan jadi lebih adem
nah, situasi semacam itulah yang sesungguhnya kita inginkan, mas. sayangnya, hal itu bukan perkara yang mudah.
sekarang anak saya diajak berpikir kenapa saja sudah gak mau..karena pendidikan yang di drill itu,,anak males berpikir kreatif
itulah salah satu kelemahan mendasar dunia pendidikan kita, mas boyin. anak2 sepertinya didesain seperti mesin penghafal.
penting sekali untuk Indonesia!!
memang benar, mas. indonesia butuh pendidikan karakter!
waduh … fakir bendtwith buka blognya pak sawali… lama sekali :)
heheheeh
semoga panjenengan sehat-sehat saja Pak :)
wah, mohon maaf, mas heri. padahal sdh banyak fitur yang saya lepas. ternyata masih berat juga, yak!
Opini yang panjang. Baru baca setengah saya..
hehe..
hehe …. mau bikin tulisan pendek kok sering ndak bisa, mas.
masalahnya moral yang makin menurun dan kondisi yang membuat mereka seperti hidup dengan hukum rimba…ini adalah sebuah bentuk kegagalan para pemimpin baik didaerah maupun pusat yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat…
seandainya mereka lebih sering terjun ke lapangan atau terjadi dialog untuk mengetahui keinginan apa yang sebenarnya dimau oleh rakyat jangan ASAL KATANYA pasti hal ini tidak terjadi
saya kira benar, om. kaum elite di negeri ini seringkali kalau sdh berada di puncak kekuasaan seperti berada di puncak menara gading yang ndak pernah mau menginjakkan kakinya ke bumi, haks.
Kalo aku sih mendukung islam, pake kekerasan ngak pake kekerasan. bencilah pada kemusnahan, kehancuran budi, yang menderitakan. Hilang rasa sifat bersaudara kita.
setuju, mas mardi!
kalo sudah membudaya susah merobah nya…
mungkin bisa berubah, mas, meski harus diakui bukan hal yang mudah.
@Sawali Tuhusetya, harus punya kesabaran dan kemauan yang tinggi untuk bisa mewujudkan nya…
setuju, mas doris. sesuatu yang baik memang ndak bisa didapat secara instant. butuh proses dan tahapan.
Benar atau tidak ,kata orang tua saya, zaman dulu masih sekolah ada pendidikan budi pekerti,sedangkan sekarang tidak….apa pendidikan itu barang kali ya,,yang mempengaruhi karakter orang sekarang?
memang benar, mas. tapi saya sendiri cenderung berpendapat, budi pekerti tdk harus menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi include secara lintasmapel!
ya….. setuju banget ma tulisan ini…
*moga aja banyak yang baca tulisan ini….
ok, makasih support dan apresiasinya, mas doris.
setuju sekali pak, apalagi buat sekarang ini
hmm …. agaknya pendidikan karakter akan selalu kontekstual dg kehendak zaman, mas.
kunjungan siang hari… :d:d:d
ok, mas, terima kasih kunjungannya.
mungkin yg kurang adalah pendidikan watak dan dan moral,
dan sebenarnya hal itu ditinjau kembali dari keluarga
keluarga yg kuat menuju bangsa yg kokoh
setuju banget. lingkungan keluarga memang menjadi referensi pertama anak dalam membangun watak dan kepribadian.
Bentrok antara petugas Satpol PP hmpir dipersenjatai. Saya setuju tindakan fasis dan brutal tersebut salah satu pnybabnya adalah pndidikan karakter yang sangat kurang. Lbh baik punya adab dan akhlaq sedikit dri pd bnyak kpandaian tpi sring mnimbilkkan onar.
ya, mas hendra. itulah sebabnya, para pemerhati pendidikan memandang pendidikan karakter menjadi hal yang penting dan urgen utk segera diwujudnyatakan.
mungkin akan sangat sulit untuk menghilangkan budaya kekerasan didalam dunia pendidikan kita ,, semua kembali tergantung ke masing-masing individunya lagi bagaimana penanaman akhlak mereka dan ilmu agamannya masing-masing …
————-
mungkin benar kata Bang Haji Rhoma Irama .. Masa Muda adalah masa yang berapi-api… biasanya para remaja berfikirnya hanya sekali saja tanpa menghiraukan akibatnya …
Salam hanta pak dari Kalimantan Tengah.
wah, dapat kosakata salam baru nih dari mas bayu. salam hanta juga, mas. hmm … diam2 mas bayu hafal juga dg lagu2nya bang haji.
Sebelum pendidikan karakter diberikan kepada siswa tentunya para orang tua, pendidik harus tahu dulu makna dari pendidikan karakter tersebutterutama yang berkaitan dengan moral dan tingkah laku sehingga tidak hanya sekadar teori tapi langsung pada aplikasinya. Jadi kita semua harus belajar juga tentang pendidikan karakter. Sehingga orang tua, pendidik tidak hanya menyuruh anak/siswanya saja tapi dia juga harus melakukannya.
setuju banget, mas heru. karena itu, dalam praktik pembelajaran di sekolah, guru perlu memahami substansi materi sekaligus teknik penyampaiannya, agar pendidikan karakter memiliki daya tarik buat siswa didik.
Aksi-aksi vandalisme dan premanisme, inilah kuncinya.. Moral yg sdh bergeser , salah satu penyebabnya.. Mari kita instropeksi dari diri, keluarga serta teman dekat kita, Hapuskan Premanisme dan Vandalism ini
setuju, mas. hal2 besar memang harus dimulai dari hal2 kecil terlebih dahulu!
RAIHLAH “JATI DIRI MANUSIA”.. untuk
MENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA INDONESIA
Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabat Sahabatku terchayaaaaaank
I Love U fullllllllllllllllllllllllllllllll
salam cinta damai dan kasih sayang juga, kangboed!
pendidikan agama dlam keluarga harus ditingkatkan agar pelajar sekarang tidak main kekerasan.
setuju banget, bos. semua pihak memang perlu memiliki komitmen bersama utk menumbuhkembangkan pendidikan karakter, termasuk melalui pendidikan agama dalam lingkungan keluarga.
pendidikan stengah2,,,tawuran ae
itulah yang menyedihkan, mas zackhy.
setuju bgt……..siiip
oke, terima kasih supportnya, mas.
pukulan pukulan yang hebat terhadap bangsa ini seharusnya menjadi sebuah mata pelajaran yang mencerdaskan bangsa ini.
tapi kelihatannya memang pengalaman tidak di jadikan sebagi guru.!
mungkinkah bangsa kita adalah bangsa yang nDableg..?
bangsa yang ndableg? hehe … mungkin ada benarnya juga, om. sdh banyak peristiwa kekerasan yang menelan banyak korban, tapi kembali terulang dan terulang.
mungkin karena banyak dicontohkan para pemimpinnya juga, hal itu nampak ketika pada waktu mendekati pemilu.
Buat Sdr. jabon: hmm …. ada benarnya juga tuh, bos. (thinking)
Kembali Mendidik dengan HATI….
setuju, mas jauhari. jangan2 hanya semata2 dg otak, hehe …
:(( anak negri wajib nih baca yang satu ini
ok, terima kasih support dan apresiasinya, mas.
kayaknya sih bukan hal baru Bro, wong sejarahnya dulu aja penuh dengan bunuh membunuh di antara raja-raja kok?ingat Ken Arok, Kebo Ijo, Tunggul Ametung dll…
memang benat, bos, makanya perlu ada upaya serius utk membumikan pendidikan karakter, agar kekerasan demi kekerasan semacam itu tak lagi terus berulang.
berat juga sebagai pendidik ,dan orang tua , miris ,mampukah kita membenihi bibit karakter luhur, selain kecerdasan kepada anak-anak kita.
memang berat dan tidak mudah. tapi dengan keterlibatan semua pihak, mudah2an pendidikan karakter bisa ditumbuhkembangkan dg baik, sehingga generasi masa depan negeri ini benar2 memiliki karakter dan kepribadian yang kuat dan tangguh!
Sejauh ini, sepertinya, guru-guru telah berusaha keras untuk membangun karakter siswa didik. Rasanya sulit dijumpai guru yang tak bergerak di ranah itu. Kalau pun ternyata ditemukan ada guru yang berperilaku menyimpang jumlahnya mungkin tidaklah banyak.
Justru yang paling banyak ditemukan perilaku menyimpang dan itu jelas menjadi teladan bagi anak-anak negeri ini adalah figur-figur publik. Mereka ini harus mau mengubah sikap hidup, memberi contoh hidup berkarakter.
benar sekali, pak. pendidikan karakter agaknya akan menjadi “program” baru di sekolah2. kita mesti siap2 menyongsongnya, pak, hehe …
semangat
Wahhh… Dibumi-munculkan lah yaa :)
Great idea :)
ajaran budi pakerti dan sejenisnya emang udah diajarkan sejak dulu. tapi rasana sangat susah diaplikasikan ke dalam bentuk praktek. emang saatnya memanusiakan pelajara moral atau memoralkan manusia.
memang berat tantangannya, mas. tappi justru karena sarat tantangan, pendidikan karakter harus gencar diaplikasikan.
Saya ikut langganan Parabola sejak dua bulan silam. Melaluinya, siaran televisi Indonesia bisa ditangkap dari sini, Pak.
Dan, ya ampun, saya kok prihatin setiap ngeliat berita kok ya hampir selalu ada saja berita tentang rusuh dan ribut di sana sini…
Antar kampung lah, antar mahasiswa lah… ck ck ck
itulah yang terjadi, mas don. mata rantai kekerasan agaknya terus sambung-menyambung, entah kapan bisa terputus mata rantai kekerasan itu.
apa bumi ini sudah semakin panas? apa ini yang namanya jaman pralaya (zaman kehancuran) ? kemaren di daerah saya juga terjadi pembunuhan sadis, 3 orang pelayan restoran di bacok hingga tewas oleh pembunuhan bayaran hanya karena dendam pribadi. semoga kita semakin sadar…
doh, makin mengerikan bener, ya, mas. mudah2an saja masa2 krisis nilai seperti ini bisa segera berakhir.
Pendidikan karakter emang sangat diperlukan sejak disini.
Orag tua dan guru memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan karaker anak tersebut :)
Ta entah kenapa, pendidikan yang ada sejak ini sudah jauh dari kata baik.
Moral anak menjadi tak terkendali.
Tapi semoga saja kedepannya hal tsb tidak lagi.
idealnya memang demikian, mas zippy. karena itu, perlu sinergi semua pemangku kepentingan pendidikan agar pendidikan karakter benar2 bisa tumbuh, berkembang, dan membumi dengan kuat.
UU RI 20/2003 (Klo ga salah) Fungsi Pendidikan Nasional adlah membentuk watak peradaban bangsa yg bermartabat….jd dah jelas prioritas arah pndidikan Kita, Kndisi d atas memang benar dan penyebabnya sangat komplek, tp solusiya sangat sederhana…
Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan kluarga..iya toh pak??
iya, pak eka, bener juga tuh, pak. kalau didikan dari lingkungan keluarga diperkokoh dg pendidikan nilai di lingkungan pendidikan formal, hasilnya pasti jauh akan leih baik.
Memang..semuanya harus di awali dengan Akhlaq(Karakter yang baik) untuk membangun negeri ini….
Semoga kedepannya negeri ini makin mulia akhlaqnya..amiin..
amiiin, mudah2an hal itu bisa secepatnya terwujud. (worship)
sebenarnya persoalannya memang akhlak, itu yang perlu diubah pada bangsa kita, terutama pemerintahannya…
Buat Sdr. jabon: setuju banget, bos. idealnya memang demikian. (applause)
setuju. generasi kita sudah dijauhkan dari agamanya. masing-masing memiliki isi otak yang jauh dari bimbingan sang pencipta. oleh karena guru selain mengajarkan ilmuny. terpenting bagaimana mereka bisa dekat dengan tuhannya dengan ilmu yang kita ajarkan
Buat Sdr. Arka: setuju, pak arka. terima kasih tambahan infonya.
nice post
please visit this
farmasi unand
thanks….
salah satu cara adalah dimulai dgn menerapkan metode menyentuh pintu hati dengan melakukan suatu rangkaian kegiatan yang bisa menyentuh sanubari dan pastinya bermanfaat untuk dirinya dan sesama … …. yg kemudian melahirkan kegiatan-kegiatan senada yang secara tidak langsung akan mengajarkan moral, kesantunan, pembentukan karakter secara tahap demi tahap….efeknya akan di dicontohi oleh generasi penerus bangsa kita…
wah, terima kasih banget tambahan info dan pencerahannya.
Harusnya pemerintah membuat pasal yang ada
“Dilarang melakukan aksi Kekerasan”…
thank’s you.for your boldnes.
Mudah-mudahan masih ada anak-anak bangsa yang memiliki secercah harapan dan memiliki prospek ke depan yang lebih berguna dari pada hal di atas. Tetap semangat Indonesia.
Kekerasan merupakan produk masyarakat, karena kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ditangani dengan bagus. Sehingga marak terjadi kekerasan..