Dunia pendidikan kita hanya melahirkan generasi penghafal kelas wahid? Itulah pertanyaan yang selalu mencuat ketika ranah pendidikan kita dinilai telah gagal melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, dan kreatif. Almarhum Rama Mangunwijaya pernah bilang bahwa dunia pendidikan kita tak lebih dari proses pelatihan binatang sirkus yang dibekuk dan didesain agar menjadi penurut dan selalu taat komando. Selama mengikuti proses pembelajaran di lembaga pendidikan, anak-anak dikondisikan agar menjadi “anak mami” yang harus selalu selalu patuh dan tunduk kepada komando sang guru. Mereka tak lebih dari robot yang hanya bisa menuruti perintah yang dikendalikan melalui “remote control”, miskin inisiatif, apalagi bersikap kritis. Ruang belajar tak memberikan kesempatan kepada siswa didik untuk berbeda pendapat dan bercurah pikir secara bebas, dialogis, dan interaktif. Jalan pikiran dan hasil-hasilnya telah diseragamkan melalui otoritas sang guru.
Robotisasi siswa didik makin tampak jelas ketika kebijakan Ujian Nasional (UN) digelontorkan menjadi penentu kelulusan melalui bentuk-bentuk soal pilihan ganda (PG). Anak-anak telah dibudayakan untuk berpikir linear karena hanya ada satu jawaban yang benar. Tak ada ruang untuk menampung pemikiran-pemikiran multidimensi. Sungguh celaka kalau siswa menjawab beda dengan kunci jawaban. Tak perlu heran jika menjelang UN berlangsung, siswa didik digiring ke dalam ruang karantina untuk di-drill melalui trik-trik sirkus agar bisa menjawab soal yang dimungkinkan sesuai dengan kunci jawaban yang selama ini tidak pernah dibeberkan kepada para pemangku kepentingan pendidikan, meski UN sudah lama usai.
Dalam situasi semacam itu, guru yang ingin tampil beda untuk mendesain pembelajaran yang lebih inovatif dan kreatif tidak mendapatkan ruang. Sungguh konyol kalau menjelang UN masih asyik-masyuk melakukan akrobat pembelajaran melalui eksperimentasi dan inovasi di dalam kelas. Melalui berbagai instruksi, bahkan juga tekanan, baik secara terang-terangan maupun terselubung, para pengambil kebijakan memosisikan guru sebagai “tukang sulap” yang harus menjadikan para siswa didik sebagai penghafal kelas wahid yang bisa dengan jitu menjawab soal-soal PG dalam UN.
Jika pembelajaran hanya didesain dan dikondisikan untuk memburu angka-angka semu yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan UN, disadari atau tidak, anak-anak bangsa negeri ini akan mengalami proses pembodohan dan pembebalan secara sistematis. Cara berpikir pragmatis akan menjadi pilihan gaya hidup sehingga gagal mengapresiasi budaya proses dalam menggapai cita-cita dan harapan. Yang lebih menyedihkan, fakta-fakta nilai UN selama ini menunjukkan, anak-anak berotak cemerlang seringkali terkebiri oleh anak-anak berotak pas-pasan. Siswa yang dalam kesehariannya (nyaris) tak menunjukkan prestasi mengagumkan, justru memperoleh nilai yang jauh lebih baik ketimbang siswa berprestasi menonjol dan berotak brilian. Dengan kata lain, soal-soal PG dalam UN dinilai kurang sahih dalam memotret profil kompetensi siswa didik.
Yang tak kalah memprihatinkan, proses pelaksanaan UN yang “cacat” dan tidak fair semacam itu dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan sekolah. Sekolah yang mampu mendongkrak jumlah lulusan dengan capaian nilai rata-rata UN yang tinggi dianggap sebagai sekolah bermutu. Sebagai penghargaan, sekolah semacam ini diberikan kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan subsidi dan berbagai fasilitas pendidikan. Sementara, sekolah yang dianggap bermutu rendah lantaran gagal mencapai target kelulusan dan rata-rata UN yang dipersyaratkan, terstigmatisasi sebagai “sekolah gagal” sehingga tidak berhak untuk mendapatkan subsidi dan fasilitas penunjang peningkatan mutu pendidikan. Akibatnya, sekolah yang dianggap bermutu makin “wah”, sedangkan “sekolah gagal” makin terpuruk.
Imbas negatif yang muncul dari atmosfer pendidikan yang salah urus semacam itu adalah merebaknya kecurangan massal dalam pelaksanaan UN dari tahun ke tahun dalam upaya memburu citra dan marwah sekolah. Agar mendapatkan legitimasi, pengakuan, dan citra bagus dari atasan dan masyarakat, sekolah cenderung menghalalkan segala cara untuk mendongkrak jumlah lulusan dan rata-rata nilai UN; entah dengan membocorkan kunci jawaban, berkongkalingkong dengan pengawas UN, atau cara-cara curang yang seharusnya tabu dilakukan oleh sebuah institusi yang notabene menjadi agen dan kawah candradimuka peradaban.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin anak-anak masa depan yang lahir dari rahim dunia pendidikan kita akan terus mengalami proses pembonsaian kecerdasan dan pengerdilan nilai kepribadian, sehingga gagal menjadi sosok tangguh dan andal yang sesuai dengan kebutuhan dan semangat zamannya. Anak-anak kita makin terjauhkan dari tradisi dan budaya keilmuan karena selama mengikuti proses pendidikan hanya menjadi “anak mami” yang serba penurut, tanpa memiliki ruang dan kesempatan untuk berpikir multidimensional dan komprehensif.
Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius untuk menata ulang sistem penyelenggaraan dan pelaksanaan UN agar jangan sampai menumpulkan, apalagi mematikan, daya kecerdasan dan kreativitas anak-anak bangsa. Pendidikan pada hakikatnya merupakan investasi dan modal besar bangsa kita yang berkehendak untuk membangun peradaban yang lebih terhormat, bermartabat, dan berbudaya. Sungguh naif apabila UN yang selama ini cenderung menjadikan siswa tak ubahnya seperti robot masih akan terus dipertahankan tanpa ada perubahan kebijakan yang lebih mencerahkan dan visioner. ***
itulah indonesia, hanya ada di atas gak mau di praktekan, kalupun bisa cari yang di luar sana
hmm … repot juga ya, mas kalau situasi seperti ndak berubah.
sebagai seorang murid saya merasakan hal2 yang diatas.. [-( , selain itu menurut saya di Indonesia pendidikannya kurikulumnya masi melebar, kurang fokus.. alangkah baiknya setelah lulus smp bisa fokus ingin jadi apa, punya kompetensi apa, sudah banyak si pendidikan seperti itu.. tapi masi pendidikan swasta, klo negeri masi kurang.., paling SMK, untuk di kampus/universitas juga masi melebar2, dari semester satu sampai enam dikasi semua, semester 7 dan 8 bingung blom punya kompetensi spesifik.. ditanya bisa apa?, bisa semua.. tapi ga ada yang mahir, tau semua tapi ga dalam.. *curhat seorang siswa/mahasiswa 😀 * , kita dituntut mahir semua hal.., alangkah lebih baik tau sedikit tapi ahli, daripada tau banyak cuma kulit2nya saja.. :d/ , walaupun saya tidak menyangkal sudah tugas siswa atau mahasiswa untuk mengexplore sendiri lebih jauh.. karena sudah dikasi tau kulitnya.. fuihhh.. jadi curhat saya pak.. xixixi.. :”>
.-= Baca juga tulisan terbaru spydeeyk berjudul "Hanif Sjahbandi – Anak Indonesia Yang Berkesempatan Merumput di MU (Photos)" =-.
setuju banget, mas haris. inilah salah satu kelemahan mendasar dunia pendidikan kita. murid dicekoki banyak ilmu dan teori, tapi tanpa pendalaman. maka, banyak pengamat bilang, dunia pendidikan kita hanya melahirkan “generasi gagap”, haks.
kurikulum pendidikan di republik ini perlu diubah…pendidikan tidak selaras dengan dunia kerja
setuju, mas. semoga saja para pengambil kebijakan memperhatikan situasi dan tuntutan zaman seperti itu.
UN seperti moment yg sangat menakutkan bagi semua siswa yg akan mengahadapinya ya pak?:o
Mudah²an ada solusi ttg hal ini, setidaknya lulusannya tetap berkualitas tidak seperti robot..
.-= Baca juga tulisan terbaru Caride™ berjudul "Minta Maaf Lewat Telinga Kanan" =-.
hmm … menakutksn sesungguhnya lebih disebabkan oleh pencitraan, mas caride.
kapan negeri in mau maju klu sistem pendidikanya seperti itu, mematikan potensi siswa dan terlalu berorientasi pada angka kelulusan bukan kualitas yang sesungguhnya, contoh dong negara tetangga seperti singapura dan malaysia
.-= Baca juga tulisan terbaru bule berjudul "Earn Money From Twittad" =-.
itulah ironi yang terjadi di negeri ini, mas. konon dulu malaysia berguru ke negeri kita. hmm … sekarang malah sebaliknya. doh!
itulah ironi yang terjadi di negeri ini, mas. konon dulu malaysia berguru ke negeri kita. hmm … sekarang malah sebaliknya. doh!
sedemikian parahkah dunia pendidikan di negeri ini pak? memang sangat di perlukan adanya upaya serius untuk menata ulang sistem penyelenggaraan dan pelaksanaan UN agar jangan sampai menumpulkan, apalagi mematikan, daya kecerdasan dan kreativitas anak-anak bangsa..betul sekali itu…mudah²an aja yak.
salam, ^_^
.-= Baca juga tulisan terbaru Didien® berjudul "Kiat Menghalau Pembobolan Rekening" =-.
sebenarnya trend pendidikan kita sudah mulai membaik, mas didien. sayangnya, kebijakan UN masih menjadi persoalan rutin tahunan.
sebenarnya memang terlalu byk permasalahn yg ada di negeri ini..tidak hanya di dunia pendidikan, namun juga dengan permasalahan lain yg tidak pernah tuntas bahkan cenderung semakin runyem…hmmmm..
.-= Baca juga tulisan terbaru d-Gadget™ berjudul "Sony Ericsson Vivaz, Penerus Xperia X10" =-.
memang benar, mas. negeri kita memang menghadapi persoalan yang makin rumit dan kompleks. pendidikan hanya salah satu ranah di antara sekian persoalan yang menumpuk.
Untuk UDAH LULUS….
rasain yg mau UAN… :d
hehe … kok rasain, toh, mas, hehe … kita doakan saja semoga adik2 kita bisa mengikuti UN dengan prestasi lumayan, tanpa kecurangan.
saya masih setuju UN diadakan, hanya saja jangan dijadikan penentu kelulusan, tetapi dapat dijadikan barometer bagi sekolah secara Nasional. Tetapi…entahlah. Salam sukses selalu.
.-= Baca juga tulisan terbaru yusami berjudul "DIALOG DENGAN DPR" =-.
seharusnya memang demikian, mas yussa. banyaknya kecurangan yang terjadi akibat sistem pelaksanaan UN yang masih kacau. Un seharusnya hanya dijadikan sbg alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional.
era kehancuran dunia pendidikan kita sebenarnya [menurut saya] sudah mulai ketika lembaga bimbingan belajar bermunculan dan malah menjadi semacam kewajiban bagi siswa.
survey membuktikan lebih dari 90% siswa kita ikut bimbel. mereka menarik biaya mahal dengan sistem pembelajaran yang mengacaukan konsep keilmuan.
betul sekali, mas dion. keberadaan bimbel bukannya membangun karakter siswa yang cerdas, melainkan justru mereduksi pengetahuan anak melalui penerapan sikap pragmatis yang salah kaprah.
Pragmatisme siswa, sekolah, bahkan daerah, sudah menjadi anak kandung UN. Bahkan pada sebuah rapat di sebuah sekolah, pernah tercetus usulan dari salah satu orang tua siswa, agar sekolah tidak usah kasih materi yang macam², cukup yang mata pelajaran yang di-UN-kan saja.
🙁
Pada sisi lain, pemetaan kualitas pendidikan sebagaimana salah satu dasar pelaksanaan UN menjadi sangat tidak jelas. Pada gilirannya, tidak akan tercapai pemerataan kualitas pendidikan di negeri ini.
Saya sudah buntuk Pak, tidak menemukan cara lain kecuali,
“Hai Pelajar Indonesia, Bersatulah!”
memang tdak mudah, pakacil, utk mengurai benang kusut dunia pendidikan kita yang keluar dari track-nya. mungkin harus ada kesadaran kolektif utk melakukan perubahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional kita.
Tapi takutnya kalau terlalu bebas tanpa remot kontrol ya bisa-bisa generasi mendatang jadi kayak Pansus. Terlalu banyak inisitatif. Putar-putar tanpa ngerem.:d:)>-
untung dah lulus,,
nice info, best of blog
salam pak,,,,,,,,, semangat
.-= Baca juga tulisan terbaru ofaragilboy berjudul "KONEKIN : Lebih banyak – Lebih Terasaaa…!!!" =-.
Itu dia pak Sawali. Untuk tahap kebijakan regulasi mungkin terkait dengan masalah teknis, ini pada tahap konsensus lanjutan. Namun pada awalnya adalah harus merubah mindset atau pola pikir, ini menjadi sangat sulit karena terkait dengan masalah mentalitas.
Kalau bangsa timur dikatakan kuat dipengaruhi budaya mitologi, tidak juga, buktinya Jepang bisa maju dan bangsa yang berperadaban iptek tidak mengukur pendidikan berdasarkan skor dan robotisasi, namun mental kritis dan cerdas. Jadi merubah pola pikir harus diawali dulu dari para regulator, bukannya menghukum murid karena berbeda pendapat. :)>-
Sebenernya saya juga ndak setuju dengan UN sebagai penentu kelulusan. Tapi ada baiknya hanya dijadikan salah satu parameter yang saling mensubtitusikan dengan metode lainnya. Ya mau gimana lagi, saya cuma bisa mengikuti sistem, soalnya kalau ngeyel ndak iktu UN ya saya ndak bakalan lulus. Piye Jal???
Perkara UN sepertinya memang tak pernah berhenti ya..
Mbok sekali-kali Pak Sawali menampilkan sejarah kenapa EBTANAS bisa disulap jadi UN yang slalu bermasalah ini, Pak…
Suwun!
.-= Baca juga tulisan terbaru DV berjudul "Leo, singa yang mengaum" =-.
untungnya jaman saya masih sekoLah duLu..
UN nya ga parah-parah banget…
saya lebih setuju tipe soal itu esay penalaran, sehingga siswa bebas mengembangkan ide-idenya, hanya saja belum punya formula bagaimana untuk menilainya secara obyektif.
ada nilai positif yang bisa saya ambil sebenarnya dengan model esay kita tahu apakah ide anak ini murni atau nyontek habis dari temannya, meskipun kita tidak menunggui saat anak-anak mengerjakannya, hal yang tidak bisa kita lihat dari soal pilihan ganda
ehm,…. memang begitu keadaannya pak,… kita di giring menuju opini yang kita tidak bisa melawannya,… kasihan anak didik kita sebenarnya,….
.-= Baca juga tulisan terbaru dameydra berjudul "Listrik Pra Bayar Hematkah,…?????" =-.
sebagai yang masih dalam status dididik, blum tau bagaimana yg terbaik buat memberikan ilmu, namun memang harus ada yang perlu diperbaiki untuk tidak menjadi siswa yg instant namun dapat berkembang sesuai dg perkembangan zaman..
.-= Baca juga tulisan terbaru aRuL berjudul "Kerbau, Komunikasi dan Marketing Politik yang Berhasil" =-.
Pendidikan, sirkus dan UN.
topik pendidikan selalu saja membuat saya gimana gitu.
saya sendiri terkadang masih bingung dengan sistem pendidikan di indonesia pak, sangat aneh ketika ada seorang siswa cerdas yang berani mengkritik sistem kita malah jadi bahan tertawaan. ini pernah saya alami dengan beberapa teman kuliah ketika menyuarakan sistem penilaian yang dirasa kurang fair.
budaya pendidikan kita juga semakin terasa aneh ketika penilaian itu tidak dilakukan dengan standart tertentu misalnya pertanggung jwaban atas tugas tertentu. pernah saya temui ada mahasiswa yang dengan jelas menggunakan makalah yang pernah saya presentasikan. sama persis. dan mendapatkan nilai A. sungguh sangat memukul mental saya. padahal ketika sesi tanya jawab juga sangat tidak mengesankan.
buat Ujian Nasional memang tidak dapat dijadikan standart. masih banyak kekurangan disana -sini. pembonsaian kecerdasan, istilah Anda cukup mewakili karena pada saat saya ujian dulu pun sudah mendapatkan jawaban sebelum ujian dimulai, entah siapa dalang dibalik ini semua, yang jelas semoga mutu pendidikan kita semakin baik saja dimasa depan. dari pengajar, sistemnya dan juga guru-guru yang mampu memberikan teladan baik ketika mengalami kegagalan maupun mencapai keberhasilan
.-= Baca juga tulisan terbaru liudin berjudul "Membangun Kepercayaan diri Untuk Menjadi Public Speaking yang Efektif" =-.
itu hanya pendapat sebagian orang pak. Menurut saya, dulu ketika saya masih sekolah, memang menghafal masih ada, tapi khan pelajaran tertentu. Kalau matematika, nggak mungkin menghafal saja, tetapi tetep harus sama praktek mengerjakan soal.
lha memang harus dihafal, lha bagaimana caranya sebuah pertanyaan bisa dijawab kalau materinya nggak dihafal?
trus masalah harus menurut, wong sudah diajarkan untuk menurut aja anak sekarang ini malah suka membangkang, apalagi kalau tidak diajarkan untuk menurut? bisa bisa malah lepas kontrol ke mana -mana, khan malah repot…
hehehehhe… itu hanya pendapat saya pak…
Kalo wempi dulu bukan di suruh menghapal, tapi mencatat, hehe….
“anak-anak buka buku blablabla halaman blabla sampai blabla, buat ringkasannya di buku catatan kalian.
ada juga tunjuk seorang teman nulis dipapan tulis dari buku bu guru, kita-kitanya nyalin ke buku catatan. knapa gak dicopy aja…?
tanya kenapa? [-(
Terlepas dari pro dan kontra UN, saya hanya menginkan perbaikan sisitem pendidiakn yang lebih baik,menyeluruh,dan mengena agar mutu dan kwalitas siswa bisa diandalkan…!!! 8->
.-= Baca juga tulisan terbaru saifuna berjudul "Tips Agar Bisa Sabar" =-.
Yang saya tahu, murid2 skarang slalu menuntut tanpa ada tanggung jawab sbagai pelajar, yaitu BELAJAR.
Sistem pendidikan di Indonesia perlu disesuaikan dengan negara2 asia yang berkembang pesat, seperti di China dan India. Sehingga menghasilkan generasi yang cerdas dan terarah. Thanks 🙂
“”sarana dan fasilitas di sekolah hrus terpenuhi.., baru diadakan UNAS..,,”””
alhamdulillah, saya ndak sempat ngikutin UN yang tendensinya kelulusan. karena memang program studi keagamaan sudah dijamin lulusnya
dan sampai sekarang pun saya masih tidak suka dengan penentuan barometer nilai dengan ujian. 🙂
kalopun saya ikut ujian apa aja itu sih ya karena ibadah sosial lah pak. 😉
tapi, apapun itu, beginilah Multikulturalisme Kita.
~ maaf nyepam, mumpung update. 🙂
maka dari itu saya nggak mau sekolah pak, takut di “bodohi” :d
mendambakan pendidikan yang berdasarkan kemampuan dan minat sesungguhnya sejak dini.
misalkan sejak kelas 1 smp seorang siswa sudah bisa memilih kemampuan dan minatnya di bidang elektronika…dalam 6 tahun (kelas 3 SMA) tentulah akan jadi ahli elektronika siap pakai…(mosok ya di drill 6 tahun pada jurusan yg diminatinya tanpa dibebani UN yg absurd tidak jadi ahli)
apalagi trus dilanjutkan kuliahnya tetap pada jalur yang diminati itu…wiih..
.-= Baca juga tulisan terbaru Pojok Pradna berjudul "Obrolan Sore 13: Selamatan 100 hari Kebun Binatang Carangpedopo" =-.
ok ok aja, tapi sayang kayaknya anak terus dijejeli ilmu, namun sayang terlalu banyak, jadi ya gak kesimpan semua, muntah si anak. kok gak kepikir anak diupayakan dilatih ketrampilan, katanya sesuai kompetensi, eh malah ilmu melulu.gm mau maju, ya nggak pak ???!!!
wah, begitu ya? bukannya sebuah ingatan penghafal itu juga baik? sepertinya negara kita sudah overdosis atas hafalan, sehingga tidak sanggup lagi menghafal, bayangkan saja, 3 tahun materi yang diberikan hanya di pertaruhkan dalam waktu beberapa hari, ini bukan judi kan? sehingga banyak sekali kecurangan yang mana pemerintah akhirnya menutup mata atas kejadian itu. Yah, semoga saja ada terobosan baru dalam mengukur prestasi siswa bukan hanya dari UN yang menurut saya sangat aneh…
Saya sudah tiga tahun menjadi Tim Pemantau Independen, saya sering membandingkan bagaimana persiapan sekolah dalam menghadapi hajatan ini. Sekolah mapan akan sangat rapi dan terukur sedangkan sekolah pas-pasan lebih kalang kabut menghadapi UN yang ujung-ujungnya menjadi maling demi meluluskan anak didiknya. UN seperti film Tiga Hari Untuk Selamanya.
Semoga tahun ini yang terakhir.
.-= Baca juga tulisan terbaru antokoe berjudul "Me-mobile-kan Antokoe dot Com" =-.
ternyata kita seide Pak, tahun lalu telah menyentil rasa kepuisian saya sehingga saya guratkan puisi dengan judul UN, monggo saget diwaos malih
.-= Baca juga tulisan terbaru narno berjudul "DUA HURUF" =-.
Saya setuju dengan perlu ada upaya untuk menata ulang sistem penyelenggaraan dan pelaksanaan UN agar jangan sampai mematikan, daya kecerdasan dan kreativitas anak-anak bangsa. Tapi hingga saat ini UN adalah cara terbaik bagi pemerintah. Kalau mau diubah ya silahkan, toh banyak para profesor-profesor yang ada di departemen pendidikan.
.-= Baca juga tulisan terbaru Anas berjudul "Bhirawa | Sang Blog Perkasa" =-.
teope begete pak yang di blockquote ntu pak, dan memang menggambarkan situasi dan kondisi UN kemaren2 😀 tapi katanya yang sekarang sedikit lebih ketat ya pak, misalnya para pengawas independen bisa masuk ruangan plus jumlahnya juga diperbanyak…… hanya para panitia UN di sekolah masing2 mo pake trik apalagi untuk ngadepin ntu *xixixiiiii*
#wah ini repiu ya pak 😉
teope begete pak yang di blockquote ntu pak, dan memang menggambarkan situasi dan kondisi UN kemaren2 😀 tapi katanya yang sekarang sedikit lebih ketat ya pak, misalnya para pengawas independen bisa masuk ruangan plus jumlahnya juga diperbanyak…… hayo para panitia UN di sekolah masing2 mo pake trik apalagi untuk ngadepin ntu *xixixiiiii*
#wah ini repiu ya pak 😉
Ayo Pak, siap2 ngedrill murid…
Tak kancani teko kadohan… 😀
Saya juga menyepakati yang di ucapkan salah satu praktisi pendidikan kita, yang mengatakan bahwa UN itu project paksaan. Untuk apa menghabiskan uang milyaran hanya untuk mencari standar pendidikan.
rasane pemerintah ke kok koyo ndak tau enek sing bener to pak?
Saya lebih setuju dengan soal yang kaya konteks (context rich-question) yang dikembangkan Helller (1985); open -ended question dan reverse question
.-= Baca juga tulisan terbaru cobaberbagi berjudul "Multimedia Interaktif" =-.
ngikut aja :d
soal ini emang akan selalu jadi pro kontra pak. susah sekali mendamaikan dua pendapat soal uan itu.
.-= Baca juga tulisan terbaru haris berjudul "Tahun Baru" =-.
Betul sekali Pak, dan guru pun terpaksa harus mengejar target. Yang penting siswa lulus, soal apakah siswa cerdas, kritis, arif dan kreatif , itu urusan belakangan.
Terima kasih Pak.
Salam dari Cianjur
pendidikan dengan materi yang melebar bagian dari penjauhan profesioanlisme itu sendiri, sementara tuntutan lapangan menghendaki profesioanal. Bagiamana mungkin kita bisa mencetak semua/aneka macam binatang menjadi elang semua
memang kita tak boleh lelah berteriak meluruskan esensi pendidikan
saya mendukung perjuangan ini
.-= Baca juga tulisan terbaru budiesastro berjudul "BECIK KETITIK OLO DIBECIKNO WAE" =-.
kenapa kalau komen dengan id dot info gak mau masuk? apa karena email kuganti..
viva pendidikan
itulah bangsa kitya bang…aku setuju dengan apa yang bagusnya aja kang
.-= Baca juga tulisan terbaru Harry seenthing berjudul "NEXUS ONE IS The Best For Anything" =-.
meskipun tidak setuju dengan UN tak ada jalan lain tetap harus mensukseskan UN tentu dengan cara-cara yang bermartabat halal dan toyyib
Wah kasian anak2 didik ya…digencet terus…:((
ya mau gimana lagi, depdiknas nya gonta ganti peraturan terus sih…:((
yah…emang beginilah iklim pendidikan di Indonesia…
bukannya kemaren saya denger ada Isu bahwa UN mau dihapus yah pak? perkembangannya gimana tuh, kalo saya setuju kalo UN memang harus direvisi keberadaannya.
😉 Setuju dg yang ditulis Pak Sawali.. sekolah bertahun – tahun dan hanya ditentukan hanya dalam bbrp hari ujian nasional (UN).
Jadinyaaa… Saya pribadi sih lebih suka kelulusan SMU ditentukan dari pihak intern sekolah.. Nah baru dilanjutkan untuk masuk kuliah, via SPMB dg soal yg standar nasional.. itu juga saya setuju…
btw komen saya kok gak keluar yah?? :d
.-= Baca juga tulisan terbaru arihevea berjudul "Walpaper dengan Ms. Paint, karya bro crash99" =-.
yah dari segi positifnya sih, semua orang berkembang justru saat sudah selesai sekolah, karena mencari pengetahuan di luar.
Dengan sistem UN sebagai penentu kelulusan akan menghilangkan kreativitas para pengajar. Murid hanya didik untuk menjawab pilihan yang benar saj sehingga perkembangan keilmuan yang lebih luas masih terkendala. Angka nilai UN herusnya tidak dijadikan satu-satunya angka, masih ada angka lain seperti keahlian, minat dan bakat dari seorang murid yang berbeda antara satu dengan yang lainya
.-= Baca juga tulisan terbaru mandor tempe berjudul "Bertemu" =-.
UN skrg bukan untuk pembelajaran demi menghadapi masa depan tapi sekedar mendapatkan selembar kertas yang bertuliskan lulus. Bahkan menjadi proyek bagi oknum2 yang tidak bertanggung jwb utk merusak generasi mendatang.
selamat menempuh ujian nasional
selamat bersenang senang yah
salam kenal sobat
Semakin tajam, mengasyikkan, dan mencerahkan … selamat Pak Guru
tentang unas ini memang banyak yg pro dan kontra ya, pak…
tapi, saia tdk setuju kalo unas dihapuskan…
mungkin penyelenggaraannya yg perlu dibenahi agar lbh baik lagi…. 🙂
guru dan anak didik harus berjuang dan bekerja keras…
😕
saya tidak setuju dengan UAN. TITIK….
penuh kepalsuan dan tipu daya,
.-= Baca juga tulisan terbaru Yunus Chalim berjudul "Pendidikan Segaris Dengan Kemiskinan" =-.
UN sebenernya bikin siswa mundur sebelum bertempur, masa setelah belajar 3 tahun pas UN gak lulus sekolahnya gak beres :-w
imbasnya ternyata banyak pak ….
semakin tahun sepertinya lulusan SMA yg masuk ke universitas pun tidak semakin baik kualitasnya … 🙂
.-= Baca juga tulisan terbaru afwan auliyar berjudul "Trik gila menaikkan 1000 pengunjung lebih per hari" =-.
mampir sebentar mengunjungi Pak Guru, semoga sehat selalu dan sukses.
mantep artikelnya…..
“Robotisasi siswa didik”
kalimat yang tepat,siswa tidak diberikan ruang utnk berkreasi,hanya aturan dan sebatas menurut yang akan menjadi patokan dari pendidikan.
maksih dah share artikel diatas.
salam kenal pak bos………
setuju saya, mereka bahkan kasihan sekali, kadang malah jadinya bukan hanya robot saja je pak 😀
Mau lulus aja kok repot! hehe…
kalau diperhatikan, nilai UN itu sebenarnya gak ada relevansi apa-apa. Toh, saat akan masuk PT masih harus menjalani tes lagi, biaya lagi…fiuh!!
UN memang sudah salah kaprah Pak, berteriak pun kafilah tetap berlalu. Huft!
Wah UNAS menjadikan “Pembodohan bangsa” karena dengan UNAS mending ndak usah ada pelajaran selama 3 tahun kan pak, langsung aja UNAS, wong nilai d skolah sebagus apapun kalo UNAS jelek ya ndak lulus, eh tapi ndak tau ya skarang? sama klihatannya 😕