Perang dan Anak-anak

anakWaktu kecil dulu, saya suka banget dengan main perang-perangan. Dengan menggunakan senjata mainan dari pelepah daun pisang, saya bisa sangat bangga ketika musuh mainan saya pura-pura takluk saat senjata itu saya ledakkan melalui bunyi onomatope ”dor!” lewat mulut kecil saya. Pada saat yang lain, gantian saya yang harus takluk. Demikian kuat imjinasi kecil saya tentang perang saat itu sehingga tentara menjadi simbol kebanggaan buat anak-anak sesuia saya saat itu.

Namun, perasaan dan hati saya tiba-tiba jadi perih ketika membayangkan suasana perang yang sesungguhnya. Kebanggaan saya terhadap tentara yang suka berperang pun perlahan-lahan memudar. Terbayang dalam benak saya, betapa banyaknya nyawa yang melayang sia-sia menjadi korban kebiadaban seorang serdadu. Ibarat pepatah, ”Kalah jadi abu, menang jadi arang!”. Tak seorang pun yang diuntungkan dalam perang dan kekerasan. Masing-masing pihak bernafsu untuk saling membunuh dan melukai.

Maka, melayanglah dunia imajiner saya ke jalur Gaza, yang konon berupa sepetak tanah tandus Palestina yang berada di ujung dekat perbatasan Mesir. Tandusnya Jalur Gaza dengan Gaza City sebagai ibukotanya konon juga sangat kontras dengan daerah seputar Jerusalem yang luar biasa suburnya. Kebun anggur, jeruk dan kurma merupakan andalan dari daerah Jerusalem dan sekitarnya.

Membayangkan jalur Gaza, saya seperti menyaksikan serumpun kerakap yang tumbuh di atas batu. Hidup segan mati tak mau. Yang lebih menyedihkan, selalu saja muncul konflik yang (nyaris) tak berujung. Zaman dan peradaban terus berganti. Pemimpin dari kedua belah pihak juga terus mengalami suksesi. Namun, ternyata perang tak juga berhenti.

Perilaku yang ditunjukkan tentara-tentara Israel yang konon telah diindoktinasi dan mengalami proses pencucian otak lewat pendidikan secara khusus, agaknya berhasil menanamkan kebencian bangsa Israel terhadap penduduk Palestina. Sistem pendidikan Zionis, konon merupakan akar dan biang merajalelanya kebiadaan, kekejaman, dan ulah tak manusiawi lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan cuci otak ini berhasil meracuni anak-anak Israel. Dalam sebuah pengujian yang dilakukan oleh ahli psikologi Tel. Aviv University, G. Tamarin, digambarkan tentang pembantaian Jericho yang diambil dari Kitab Yosua dari Perjanjian Lama yang kemudian dibagi-bagikan kepada murid-murid kelas empat dan delapan. Mereka ditanya: “Anggaplah Tentara Israel menduduki sebuah desa Arab dalam sebuah pertempuran. Apakah kalian berpikir perlu atau tidak untuk bertindak melawan para penduduk seperti yang dilakukan Yosua kepada penduduk Jericho?” Jumlah yang menjawab “Ya” beragam dari 66% hingga 95% menurut sekolah yang didatangi atau kibbutz atau kota tempat anak-anak tinggal.

Agaknya proses indoktrinasi dan cuci otak semacam itulah yang secara genologis berhasil menanamkan benih-benih kebencian dan permusuhan anak-anak Israel kepada bangsa Palestina. Sungguh tidak berlebihan kalau kawasan itu akan terus terbawa dalam suasana seperti api dalam sekam. Jika tiba saatnya, api dalam sekam itu akan berubah menjadi bara yang sulit dipadamkan.

Sungguh, dalam suasana perang, bisa jadi banyak anak-anak yang harus meninggal di tempat tidur ketika rumah-rumah mereka diserang membabi buta oleh tembakan helikopter Israel, gadis remaja yang bekerja di kebun zaitun tertembak dan terbunuh tanpa alasan apa pun, bahkan bisa juga anak-anak yang terpaksa kembali ke rumah penuh dengan nganga luka dan lumpuh seumur hidupnya.

Sungguh, nurani saya masih belum bisa memahami, mengapa kecamuk perang itu masih terus berlanjut ketika dunia sudah berkali-kali mengalami pematangan sejarah yang (nyaris) sempurna. Juga semakin terbukti, betapa perang atas nama agama itu kini sesungguhnya sudah tidak ada! ***

14 Comments

  1. Seringkali perang terjadi karena mempertahankan tanah air, mempertahankan agama, juga mempertahankan harga diri. Yang tidak saya pahami, di jaman semodern ini masih saja ada yang berperang demi keserakahan. Perang betulan, maupun perang terselubung…

    Baca juga tulisan terbaru Andy MSE berjudul Indonesian Hardcore Infracter

  2. memang menyedihkan situasi dan keadaan di jalur gaza, saya hanya bisa berdoa semoga perang tersebut tidak berkelanjutan

  3. payahnya juga, budaya kopi paste ini sudah kemana-mana, bahkan mungkin kita nggak merasa atau menyadari…
    seperti yang konflik-konflik di negeri kita,
    right or wrong is my country, my money, my home, my town, my kecamatan, my kampung, my parte, my friend, my geng dan my my lainnya…
    wes …, pokoke kalo dipikir-pikir… dadi mikir tenan mas…

    Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul PRaWARd dari Indonesia Crying

  4. perang urat aja rasanya gak karu-karuan, gak bisa mbayangin gimana rasanya perang beneran kyk yg terjadi sekarang..

    Baca juga tulisan terbaru pakdejack berjudul Buat Kakakku..

  5. Sejak dulu kaum itu sudah dilaknat Allah, sekarang pun banyak manusia di berbagai negara yang melaknatnya

  6. emang, tuh israel, keterlaluan banget, emang bener kalau orang yahudi itu dikutuk sama ALLAH, kelakuannya ajah, melebihi setan.

    Baca juga tulisan terbaru hendra berjudul Kembali ke Sederhanaan

  7. kita lebih suka sama tuhan yang membuat keajaiban Pak, 😆 bukan tuhan yang menghendaki kita untuk berbagi & solider pada sesama 😥

    Baca juga tulisan terbaru tomy berjudul TUHAN DALAM DIRI SESAMAMU

  8. kali ini saya hanya berorientasi pada jiwa jiwa suci anak anak yang melayang . 😥

    Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul ISLAM SESAT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *