Perang-perangan termasuk salah satu mainan favorit anak-anak kampung. Dengan menggunakan senjata mainan dari pelepah daun pisang, anak-anak bisa dengan sangat bangga mencitrakan dirinya sebagai pahlawan. Lewat bunyi onomatope ”dor!” dari mulut kecilnya, anak-anak mendadak berubah seperti seorang ksatria dari negeri Antah-berantah yang sanggup menghabisi musuh-musuhnya. Pada saat yang lain, sang anak berubah jadi seorang pecundang, sedangkan teman mainnya yang harus berperan sebagai sosok pahlawan. Sungguh, sebuah permainan yang benar-benar indah dan memukau di waktu kecil.
Namun, bagaimana dengan anak-anak yang tengah berada di daerah konflik? Bisakah mereka merasakan keindahan dan keterpukauan bermain perang-perangan ketika kosakata “perang” bukan lagi sebuah imajinasi, melainkan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan? Masih bisakah mereka mengucapkan bunyi onomatope “dor” ketika desingan peluru, martil, atau rudal nyata-nyata telah memekakkan telinga dan mengancam nyawa mereka?
Maka, melayanglah dunia imajiner kita ke jalur Gaza, yang konon hanya berupa sepetak tanah tandus Palestina yang berada di ujung dekat perbatasan Mesir. Sepanjang sejarah peradaban, kawasan itu (nyaris) tak pernah sepi dari konflik dan kekerasan. Pertanyaannya, mengapa penduduk di wilayah perbatasan yang seharusnya bisa menyatu dalam suasana yang kuyup dengan nilai-nilai ukhuwah itu tak henti-hentinya dirundung konflik dan selalu diselubungi kabut berdarah-darah meski sang pengendali wilayah terus mengalami suksesi dari zaman ke zaman? Adakah sesuatu yang salah dari para pengambil kebijakan dalam mengelola konflik kewilayahan sehingga selalu berujung pada perang dan kekerasan?
Kalau kita melakukan sedikit flashback, konon anak-anak sekolah di Israel telah diindoktrinasi melalui bangku sekolah. Mereka juga harus mengalami proses pencucian otak lewat pendidikan secara khusus. Bisa jadi, pola pendidikan semacam itulah yang berhasil menanamkan kebencian bangsa Israel terhadap penduduk Palestina. Tak berlebihan kalau mereka tak pernah bisa hidup berdampingan secara damai. Selalu saja ada alasan untuk menaburkan benih-benih perseteruan dan kebencian sepanjang sejarah peradaban yang mereka lalui.
Atmosfer lingkungan yang keras dipadu dengan proses indoktrinasi dan pencucian otak semacam itu, agaknya sangat memengaruhi karakter dan kepribadian anak. Mereka banyak belajar dari orang tua dan lingkungan, bagaimana mereka harus mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kekerasan yang sudah menjadi peristiwa jamak dalam kehidupan sehari-hari, disadari atau tidak, telah membuat anak-anak memiliki imaji kekerasan sebagai upaya penyelesaian masalah. Tak berlebihan jika jalan kekerasan menjadi alternatif paling jitu bagi mereka.
Sungguh, dalam situasi seperti itu, kita jadi trenyuh dan tersentuh ketika ingat sindiran Dorothy Law Nolte seperti berikut ini.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar menentang.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar jadi penyabar.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia akan terbiasa berpendirian.
Ya, ya, ya, anak-anak merupakan bagian dari sebuah siklus kehidupan sebelum mereka akrab dengan peradaban yang menyentuhnya. Mereka memiliki sebuah dunia yang “mandiri” dan “otonom”. Mereka memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk mengekspresikan naluri dan dunianya. Ketika kemerdekaan mereka dirampas, sama saja kita telah berbuat “biadab” kepada mereka; anak-anak zaman yang kelak akan menorehkan tinta sejarah yang memfosil dalam labirin kehidupan.
Meminjam teori tabularasa, anak-anak ibarat kertas putih berselaput lilin. Mereka masih polos, putih, dan bersih. Mau jadi apa kelak mereka akan sangat ditentukan oleh peradaban yang membentuknya. Jangan salahkan anak-anak kalau pada akhirnya mereka menjadi tukang jagal, preman, atau bromocorah. Lingkungan, pendidikan, dan tempaan pengalamanlah yang membangun mereka menjadi sosok semacam itu. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dari orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, atau tokoh-tokoh spiritual untuk ikut berkiprah membangun dan menciptakan atmosfer lingkungan yang kondusif. Sindiran Dorothy Law Nolte perlu dijadikan “warning” buat semua pihak yang memiliki kepentingan untuk membangun generasi masa depan yang santun, beradab, dan berbudaya.
Kalau saja anak-anak Palestina itu punya pilihan, pasti mereka akan memilih hidup di sebuah negeri yang merdeka dan bebas dari perang dan kekerasan. Dalam situasi apa pun, perang sesungguhnya sangatlah tidak menguntungkan, baik bagi yang mengklaim diri sebagai pemenang maupun yang dinyatakan telah kalah. “Kalah jadi abu, menang jadi arang!” begitulah ungkapan yang sudah demikian akrab di gendang telinga. Menang maupun kalah dalam sebuah peperangan akan sama-sama merugi.
Maka, beruntunglah anak-anak yang hidup di negeri merdeka seperti di negeri kita. Mereka bisa menikmati dunia dan naluri bermainnya dalam suasana yang bebas dari rasa takut, kecemasan, dan ketakutan. Mereka bisa berimajinasi tentang perang dan kekerasan, tanpa dihantui rasa takut terkena peluru nyasar atau desingan peluru. Mereka juga bisa dengan sangat leluasa mengucapkan bunyi onomatope “dor” sambil melepaskan peluru mainan dari pelepah daun pisang. Sungguh kontras dengan nasib anak-anak Palestina yang saat ini selalu dihantui rasa takut akibat atmosfer lingkungan yang tidak menentu. Ah, anak-anak yang malang itu, kami sungguh berempati pada nasib negerimu. ***
http://www.evernote.com
Anak-anak dan Imajinasi tentang Perang: Catatan Sawali Tuhusetya