Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian I)

koranSeiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus kesejagatan, kehadiran media publik, baik cetak maupun elektronik, telah menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Ia telah dianggap sebagai ikon peradaban masyarakat modern dalam memburu informasi. Untuk mendapatkan berita-berita penting dan berharga, masyarakat tidak harus berduyun-duyun ke tempat kejadian perkara. Hanya dengan membaca atau menyaksikan tayangan berita, masyarakat bisa dengan mudah mengikuti berbagai informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Fungsi media, dalam pandangan Harold D. Laswell dan Charles Wright (dalam Simaremare, 1998), adalah untuk mengenali dan menyajikan informasi tentang kenyataan, memilih, dan menafsirkan kenyataan, menyajikan, dan meneruskan nilai-nilai sosial-budaya kepada generasi penerus, serta memberikan hiburan kepada masyarakat. Dalam konteks demikian, maka fungsi media massa adalah mengumpulkan informasi tentang kenyataan sebagai bahan berita, mengolah, dan menyunting bahan berita tersebut, untuk selanjutnya menyajikannya sebagai berita, serta menulis tajuk rencana sebagai wujud dari tugasnya dalam menafsirkan kenyataan untuk menuntun pikiran dan pemahaman khalayak, serta melakukan kontrol sosial.

Ragam Bahasa Media
Dalam menyajikan informasi kepada publik, bahasa jelas menjadi media pendukung utama untuk menyajikan fakta-fakta dan pesan-pesan. Dalam surat kabar, misalnya, bahasa digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan dan mengartikulasikan berbagai peristiwa menjadi sebuah berita secara tertulis.

Pada hakikatnya bahasa media tak jauh berbeda dengan ragam bahasa tulis lainnya. Dalam ragam bahasa tulis, orang yang berbahasa tidak berhadapan langsung dengan pihak lain yang diajak berbahasa. Implikasinya, bahasa yang digunakan harus lebih terang dan jelas karena tujuannya tidak dapat disertai gerak isyarat, pandangan, anggukan, dan semacamnya sebagai tanda penegasan atau pemahaman terhadap informasi tertentu. Oleh karena itu, kalimat dalam ragam bahasa tulis harus lebih cermat sifatnya.

Sebagai sebuah ragam bahasa tulis, bahasa media idealnya harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, bahasanya mesti terpelihara. Penggunaan bahasa yang terpelihara dengan baik, menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah media sesuai dengan fungsinya sebagai media publik. Ia akan dibaca dan dinikmati oleh berbagai kalangan yang beragam, baik dari sisi tingkat usia dan pendidikan, status sosial-ekonomi, budaya, suku, maupun agama. Fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, objek, keterangan, atau hubungan di antara fungsi-fungsi itu harus jelas dan nyata. Penggunaan bahasa media yang terpelihara, jujur, jernih, dan santun akan ikut menentukan kredibilitas media yang bersangkutan dalam meraih simpati publik. Ini artinya, aturan-aturan yang berlaku dalam penulisan harus dipatuhi. Kaidah-kaidah kebahasaan, seperti penggunaan ejaan, istilah, tanda baca, dan semacamnya sepenuhnya harus diperhatikan dan ditaati. Bahasa media yang terpelihara dengan baik akan diteladani publik dalam berbahasa secara baik dan benar.

Kedua, bahasa media juga harus lebih mudah dipahami. Karena tugasnya membawa berita; pesan, dan nilai-nilai moral kepada publik, bahasa dalam media harus mudah dipahami. Apa yang disampaikan dalam sebuah media jangan sampai menimbulkan penafsiran ganda yang dapat menggiring dan membangun opini publik secara keliru. Aspek-aspek konstruksi bahasa, seperti kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf, hendaknya dipilih secara cermat, netral makna, dan tunggal makna. Penggunaan konstruksi bahasa yang singkat dan padu jelas akan lebih tepat dan bermakna jika dibandingkan dengan penggunaan konstruksi bahasa yang berpanjang-panjang, berbelit-belit, dan bertele-tele.

Meskipun demikian, memasukkan dua syarat utama tersebut ke dalam kemasan bahasa media yang ideal bukanlah persoalan yang mudah. Penggunaan bahasa media seringkali menimbulkan persoalan dilematis. Pada satu sisi dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, membeberkan informasi, atau mengungkapkan unsur-unsur emosi, sehingga mampu mencanggihkan wawasan pembaca. Namun, pada sisi lain, penggunaan bahasa media acapkali tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih, dan jujur jika harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.

Gejala Deviasi dalam Ragam Bahasa Media
Karena keterbatasan rubrikasi, koran sebagai salah satu media publik, seringkali terjebak dalam situasi dilematis semacam itu. Gejala deviasi atau penyimpangan bahasa seringkali muncul dalam pemberitaan yang disajikan.

Berikut ini disajikan beberapa contoh ragam bahasa koran yang mengalami gejala deviasi bahasa.

  1. “Dua pelajar Mencuri Beo Dimassa.” Tepatkah penggunaan bentuk “Dimassa” dalam kalimat tersebut? Salah satu arti “massa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sekumpulan orang yang banyak sekali” yang termasuk kelas nomina (kata benda). Dalam kaidah bahasa, bentuk “di” yang diikuti nomina (membentuk keterangan tempat) harus ditulis terpisah. Namun, seandainya ditulis terpisah, bentuk “Di Massa” tetap bukan bentukan yang benar, karena secara semantik tidak masuk akal. Antara morfem “di” dan “Massa” seharusnya disisipkan verba “hajar” atau “keroyok”, sehingga kalimatnya menjadi “Dua pelajar Mencuri Beo Dihajar (Dikeroyok) Massa.”
  2. “Tetapi dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar.” Konjungsi “tetapi” dalam kalimat tersebut seharusnya diganti dengan “Namun” atau “Akan tetapi” dan diikuti tanda koma (,). “Tetapi” merupakan konjungsi yang digunakan untuk menggabungkan antarklausa yang tidak bisa digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Namun, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar” atau “Akan tetapi, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar”.
  3. “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”. Dalam kalimat ini terjadi penghilangan kata “juga” yang seharusnya dicantumkan secara eksplisit untuk melengkapi kata “selain” yang digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi juga menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”.
  4. “Gubernur Irup di Simpang Lima”. Judul ini bisa menyesatkan pembaca. Kata “Irup” yang merupakan akronim dari “Inspektur Upacara” dalam kalimat tersebut bisa diartikan bahwa Irup adalah nama seorang gubernur. Jadi, kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi “Gubernur Menjadi Irup di Simpang Lima”.
  5. “Di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, seusai tirakatan, baru warga mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak. Antara lain, lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. Dua kalimat ini mengalami gejala hiperkorek, kesalahan struktur kalimat, dan ketidakpaduan antarklausa. Penggunaan frasa “seusai tirakatan”yang diikuti kata “baru” merupakan kerancuan struktur kalimat yang cukup mengganggu. Kalimat tersebut akan lebih tepat jika frasa “seusai tirakatan” diletakkan pada awal kalimat dan kata “baru” dihilangkan. Kedua kalimat tersebut akan lebih tepat jika diubah menjadi “Seusai tirakatan, warga di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak, antara lain: lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. ***

(Bersambung)

94 Comments

  1. kalo kemudian kedua ragam bahasa, media maupun tata bahasa dikompromikan bagaimana Pak? yang tidak sesuai kaidah tata bahasa dicetak miring ataupun diberi penjelasan yg lain. kadang ragam bahasa dlm media biasa jadi panutan untuk yang baca soalnya 😕

    Baca juga tulisan terbaru masjaliteng berjudul ayo ngeblog

    • @masjaliteng,
      memang bukan hal yang mudah utk menerapkannya dalam media, mas, khususnya media cetak. pertimbangan rubrikasi biasanya jadi penghalang. meski demikian, tdk lantas berarti lantaran aasan keterbatasan rubrikasi, bahasa media lantas bisa demikian mudah memanipulasi pemakaian bahasa.

  2. perkembangan ragam bahasa dalam media kayaknya dipengaruhi oleh perkembangan jaman… ejaan baku sebagai patokan sebuah bahasa tidak mampu mewujudkan itu seh… hampir setiap masa selalu muncul ragam bahasa media yang kadang nyeleneh, butuh pemikiran untuk mengartikan hal itu… tapi lama kelamaan ragam itu pun diterima oleh masyarakat tanpa protes sama sekali:neutral:

    Baca juga tulisan terbaru almascatie berjudul Bakudapa

    • @almascatie,
      betul banget, mas almas. bahasa memang akan terus berkembangn seiring dg perkembangan zaman. kaidah bahasa pun tentu saja harus bersikap luwes dalam mengakomodasi perkembangan bahasa yang berlangsung di tengah2 masyarakat. meski demikian, kaidah bahasa tetep harus ada, mas, sebagai acuan bagaimana seharusnya masyarakat menggunakan bahasa secara baik dan benar.

    • @sepur,
      hehehe … idealnya bahasa jangan sampai jadi penghalang utk berekspresi, mas pur, hehe … justru perlu dijadikan sebagai media utk mempermudah interaksi dan komunikasi dg sesama pemakai bahasa.

  3. zee

    Mas setuju sekali. Makanya saya kalo baca media yg bahasanya kacau balau suka marah sendiri, masa media isinya begini sih? Tp saya lalu pikir juga, ya mungkin memang standard mereka memang begitu, jadi mo bilang apa. Sekarang banyak media yg tetap laku even bahasanya ancur, soalnya justru yg bahasanya ancur itu kadang banyak laku juga.

    Baca juga tulisan terbaru zee berjudul Tampil Perdana di TV

    • @zee,
      nah, kenyataan menag banya yang seperti itu, mbak zee. namun, seiring dg perubahan masyarakat yang semakin cerdas lingusitiknya, media yang tak lagi mengindahkan kaidah kebahasaan lama2 juga akan ditinggalkan oleh konsumennnya.

  4. Salah satu alasan mengapa bahasa kita ancur adalah : Karena tidak ada standard yang pasti yang cukup konsisten dari pakar bahasa itu sendiri. Mestinya selain dilihat dari kacamata para pakar bahasa, bahasa juga harus dilihat dari sisi pemakaiannya dalam masyarakat. Kalo kamus bahasa Indonesia tiap jilid ganti isinya Hari ini dianggap benar besok kata yang sama dianggap salah, maka masyarakat juga males belajar bahasa Indonesia. Apalagi ditambah fakta bahwa dukungan pejabat kita terhadap bahasa Indonesia cuma sekedar formalitas. Ngomongnya saja masih pating pecotot kayak aku. 🙂 :mrgreen:

    Saranku sih yang pertama kali harus dibenahi : Tidak harus setiap saban jilid, kamus bahasa Indonesia berubah. Itu melelahkan.
    Bahasa Indonesia yang pating pecotot sering dianggap bahasa yang paling mudah sedunia. Pokoke tahu sama tahu – selanjutnya up tu yu.
    Tetapi bahasa Indonesia yang benar sering dianggap (setidaknya menurutku ) sebagai bahasa paling sulit di dunia. Mengapa ? Ya karena tidak pernah jelas mana yang benar dan mana yang salah. 🙂 🙂 🙂 😛

    Misalnya : kwitansi atau kuitansi
    memengaruhi atau mempengaruhi
    lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. atau lomba joget, menggiring balon dan mewarnai gambar

    menyukseskan atau mensukseskan
    apalagi …????

    Mana yang benar? Serta apakah para pejabat dan masyarakat juga cukup tahu mana yang benar?

    Kalo masalah media mah itu mungkin terkait dengan ruang. Sehingga cenderung memakai bahasa yang singkat, misalnya dalam kasus dimassa tadi.

    SALAM 😳 😀 😮 💡 😎

    Baca juga tulisan terbaru lovepassword berjudul Award dari Zura

    • @lovepassword,
      salam juga, mas love. terima kasih banget masukannya. namun sesungguhnya sudah banyak kaidah bahasa yang telah dilahirkan dari para pakar, mas, mulai tata bahasa baku, pedoman pembentukan istilah, hingga kamus besar bahasa indonesia. namun, lantaran kurang gencarnya sosialisasi, kaidah2 bahasa seperti itu jarang tersebtuh publik. repotnya, tokoh2 masyarakat yng seharusnya jadi anutan sosial dalam berbahasa sering meneladani dg berbagai penggunaan bahasa yang salah dan rancu. media pun tak lupu dari situasi semacam itu.

    • @Pencerah,
      bisa jadi benar, mas pencerah, tapi sesungguhnya kalau para pengguna bahasa ingin bertaat asas terhadap kaidah yang berlaku, agaknya pamor bahasa formal yang digunakan dalam situasi formal tetep bersinar, mas.

  5. ada satu lagi pak guru
    ragam bahasa soewoeng yang ngak mengikuti eyd… maaf ya pak uru dalam pelusian di blogku ancur lrbur

    • @suwung,
      hehehe … jangan suka merendah begitu, mas suwung. bahasa itu kan juga mesti dipergunakan secara luwes, tergantung utk kepentingan ekspresi dalam situasi yang bagaimana? formal atau nonformal. *halah*

    • @mantan kyai,
      walah, kalau bahasa temen2 bloger ya tergantung kepentingan ekspresinya, mas ardy. bisa dg gaya slengekan, semi serius, atau serius baget, gitu loh! hehe ….

  6. DV

    Tulisannya berat, Pak Sawali 🙂
    Tapi saya suka terutama soal contoh penggunaan bahasa yang kurang tepat itu.
    Menurut saya ada banyak yang perlu diluruskan ya (mungkin mbikin kayak EYD baru gitu) karena semakin banyak mainstream media yang sepertinya melegalkan bahasa-bahasa yang “menyimpang” gitu…

    Pripun, Pak?

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Makan, Hidup dan Bekerja

    • @DV,
      hehe … sesungguhnya eyd dimaksudkan agar masyarakat pemakai bahasa mau menggunakan dan menerapkannya, terutama dalam situasi formal, mas donny. media, yang seharusnya didesain utk kepentingan formal pun sering terkesan rancu lantaran utk mengejar target pasar dan penghematan rubrikasi.

  7. Kalau saya gampang Pak.
    Dulu, saat pelajaran Bahasa, saya ikut pakem.
    Sekarang, ketika bersosialisasi, ya pakai bahasa sosial.
    Ning Kendal, ngomong dialek Kendal.
    Pas balik Kudus, yo ngomong cara sana.
    Ngomongi Cah Cilik, ya ikut “mbocahi”
    Nek ning omah yo pakai Bahasa Saya.
    Kalau pakai kaidah bahasa, takut anak & istri saya ndak mudheng.
    Nulis ya gitu, sing penting unine podo.
    Misalnya:
    “Bulan Vebruari Aqu nyegad Fespa…”
    Unine pasti sama dengan “Bulan Februari Aku nyegat Vespa”
    Tapi, suk nek pas test, saya pasti balik ning teori…

    Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Biar Lambat Asal Meningkat

    • @marsudiyanto,
      nah, konon begitulah yang dimaksud dg berbahasa dengan baik dan benar, pak mar, hehe … harus disesuaikan dg situasinya. istilah yang lebih mentereng, konon perlu disesuaikan dengan konteksnya.

  8. Kalo kita pakai bahasa yang baku sebagai blogger kok rasanya kaku banget dan ndak luwes ya…. jadi blogger mending kita pake bahasa luwes mudah dipahami kan begitu pak… hehehe

    Baca juga tulisan terbaru Novianto berjudul Amanah itu ada pada yang muda

    • @Novianto,
      hehehe … kan ndak harus selalu baku, toh, mas novi. berbahasa indonesia dg baik dan benar itu kan perlu disesuaikanb dg konteks tuturannya.

    • @SJ,
      hehehe … penggunaan istilah contreng itu sudah menjadi “istilah” khusus, mas jenang, sehingga istilah “centang” yang lebih baku justru diabaikan.

  9. bahasa media memang
    banyak yang ngawur dan amburadul
    terutama media di daerah
    biasanya hal itu terjadi
    karena redaktur dan wartawannya
    pemahaman bahasa Indonesianya
    pas-pasan

    Baca juga tulisan terbaru Mikekono berjudul 9 April nan Mencekam

    • @Mikekono,
      hehehe … bisa jadi bener seperti itu, mas agus, tapi menurut hemat saya kok bukan lantaran para redaktur tak paham soal kaidah bahasa, melainkan semata2 utk mengejar target pasar dan penghematan rubrikasi.

  10. folklor, saya inget juga, kemudian bahasa advokasi dan media juga berbeda,…tapi memang bahasa media sekarang sering hiperbol dan aneh, mungkin untuk memancing pembaca atau marketing…
    repot semuanya, memang harus dikritisi setiap saat, seperti dulu ketika jaman orba, yang dipakai adalah bahasa penjinakan semua, dan sekarang masih hobi dengan bahasa berontak pak…

    Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul Karet tabung gas

    • @suryaden,
      iya, mas surya, agaknya bahasa pun sering digunakan sebagai alat politik utk melanggengkan kekuasaan. orba pun tak luput dari situasi semacam itu, ada penggunaan ragam eufemisme secara berlebihan yang sejatinya justru amata tdk menguntungkan.

  11. tapi kenapa ya pak klo sekarang jika kita menulis baik di media maupun sebagai seorang blogger terasa lebih susah dikala menggunakan bahasa baku,, biasanya pembaca juga terkadang males untuk membaca..

    *ada tips pak?

    Baca juga tulisan terbaru emfajar berjudul Fenomena “Gerakan Anti Mega” di Facebook

    • @emfajar,
      hehe … bahasa sebaiknya jangan menjadi penghalang dlam berekspresi, mas fajar, lebih2 bahasa dalam blog. asalkan ndak terlalu menyimpang dari kaidah, blog masih oke juga kok utk ikut mendukung penggunaan bahasa secara baik dan benar.

  12. sekarang ragam bahasa media dalam penyampaian berita udah aneh2 mas sawali, terkadang bisa menimbulkan pemikiran berbeda dari apa yg diberitakan itu

    • @dhoni,
      iya, mas doni, terima kasih juga infonya. saya turut berduka cita atas meninggalnya beberapa sahabat mas doni yang menjadi korban musibah pesawat fokker 27 itu. semoga diberikan kelapangan jalan menuju ke haribaan-Nya. keluarga yang ditinggalkan semoga juga diberikan ketabahan.

  13. banyak orang tak perhatikan tata bahasa, yang penting enak di dengar dan bombastis…coba bapak dengar para presenter di Tv banyak yang ngaco tuh…

    Baca juga tulisan terbaru imoe berjudul …lika-liku kripik budaya…

  14. jamannya sudah bisa dikatakan jaman gaul biasanya kalau kita dengan EyD katanya Ktr0ok . . . serba bingung, seperti tempat umum di jakarta malahan tidak memakai bahasa kita sendiri, kebanyakan bahasa imporr

    • @Cah Angon,
      duh, itulah repotnya hidup di zaman yang masih serba kacau, hiks, orang2 yang masih memiliki idealisme dikatakan sok idealis, keke … ada2 saja!

  15. *masih gedeg-gedeg belum memahami* he..he..
    media.
    kalau waktu saya sekolah dulu pak, kan banyak arabnya, jadi bahasa pengantarnya bahasa arab juga, ntah itu siswanya paham pa tidak, tapi secara tidak langsung akan membuat siswa terbiasa 😉

    Baca juga tulisan terbaru arifudin berjudul Jalan-jalan di Jatim Park

  16. untuk contoh-contoh bahasa media cetak ini, entah kenapa saya merasa bisa menarik benang merah di antara tulisan para jurnalis (terutama media cetak lokal) karena ada keseragaman. apa ini diakibatkan oleh apprenticeship atau keteladanan kepada jurnalis yang lebih senior sehingga terjadi kekeliruanan kolektif, entah juga.

    kalau demi menghemat ruang (seperti komentar lovepassword) hal ini menjadi lazim dan dimaklumi, rasanya alasan itu sulit diterima juga. toh media cetak harusnya tak melupakan idealisme bahwa kehadirannya adalah juga untuk edukasi publik. (dan bahasa yang rancu ini pulalah yang sering membuat saya uring-uringan bila melihat teks yang keliru EYD di televisi. lha media massa yang seyogyanya mendidik kok malah menyesatkan)

    yang pasti tulisan-tulisan pak sawali mengenai bahasa indonesia selalu menarik untuk disimak. serasa mengulang pelajaran bahasa indonesia yang sejak bangku sekolah selalu jadi favorit saya.

    • @marshmallow,
      iya, mbak yulfi, salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh pihak media adalah rubrikasi demi mengejar target pemasaran dan penghematan meski demikian, seperti yang dikatakan mbak yulfi, sebagai media publik idealnya perlu menjadi rujukan sosial buat publik bagaimana cara berbahasa secara baik dan benar.

    • @waw,
      saya kira bagian redaksi media kok bukan lantaran mereka tak paham soal kaidah bahasa. biasanya, karena pihak pengelolalah yang akan lebih menentukan corak medianya.

    • @ma6ma,
      walah, itu malah lebih repot lagi, mas magma. pascareformasi, agaknya makin banyak media yang suka cari sensasi tana memperhitungkan penggunaa kaidah bahasa.

  17. betul sekali Pak, bahasa media cetak maupun elektronik, kerap membuat jengkel. Terlebih jika judul bombastis tak sesuai dengan isi berita. Saya merasakan adanya keengganan para jurnalis muda utk menambah wawasan atau mengecek apakah kalimat atau istilah yang digunakan sudah benar. Salahsatu contoh yg sering bikin saya kesal sendiri adalah kata “pasca” yang dibaca “paska” …

    Baca juga tulisan terbaru bunda berjudul PAGET DISEASE PAYUDARA? Apa sih itu….?

    • @bunda,
      wah, buda ternyata jeli juga. memang bener banget, mbak. dalam kaidah bahasa indonesia, antara ejan dan lafal sebaiknya sama. sayangnya, pihak pengelola media lebih mengutamakan target pemasaran da penghematan rubrikasi demi meraih keuntungan.

    • @racheedus,
      kalau ingin lebih efektif, gunakan saja kata “namun” jika digunakan di awal kalimat, mas rache. kata “tetapi” hanya digunakan utk penghubung antarklausa (di tengah kalimat).

  18. kalo di media massa peke bahasa seperti yaaaa gag bener pak guru khan yang baca jutaan orang, lha kalo ngeblog pake pake bahasa amburadul itu sah sah saja khan milik sendiri, btul gag pak guru?

    Baca juga tulisan terbaru dinda_cute berjudul Bodohkah Aku?

    • @dinda_cute,
      ‘iya, bener juga tuh dinda. karena blog personal penggunaan bahasanya ya disesuaikan dg kepentingan ekspresinya. pingin yang formal atau nonformal.

  19. Gak ikutan lomba blog yang diadakan oleh Balai Bahasa Bandung, Pak?
    Menurut saya, blog Pak Sawali ini memenuhi kriteria untuk mengikuti perlombaan tersebut.

  20. yang paling saya tidak suka dari bahasa media adalah yang terlalu membesar-besarkan keadaan. Hal kecil bisa jadi “WAHH” dengan penggunaan kata-kata tertentu. Memang bagus kalau itu bisa membuat orang tertarik membaca berita atau menonton berita tersebut di televisi, tapi terkadang mengundang emosi pambaca yang justru berakibat pada munculnya komentar2 tidak sebab dari orang yang belum mengerti duduk permasalahan. Jgn sampailah ada provokasi yg disebabkan oleh media

    Baca juga tulisan terbaru TUTORIAL WEBSITE berjudul Jasa Pembuatan Warnet

    • @TUTORIAL WEBSITE,
      iya, mas, media agaknya masih suka menggunakan simbol2 hiperbolis utk memikat konsumen. namun, kalau sampai digunakan utk memprovokasi pembaca, duh, ya makin repot tentu saja, hahaa ….

  21. Wah, keknya Pak Sawali mau nyambi jadi editor bahasa media massa nih, hehehe.

    Kemungkinan penyebab kesalahan itu (paling tidak) ada dua:
    (1) gak ada editor bahasanya
    (2) suara editor bahasa kalah sama penanggung jawab halaman media (redaktur, redpel, wapemred, pemred).

    @Untuk Lovepassword:
    bos, permasalahanmu, perlu didiskusikan dengan pihak2 terkait atau dalam forum terbatas dengan kalangan yang berkompeten. Beberapa hal bisa dicari jawabannya di milif Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

    Salam

    Baca juga tulisan terbaru Bahtiar Baihaqi berjudul KALAU KAMI GOLPUT, KALIAN MAU APA?

    • @Bahtiar Baihaqi,
      walah, ndak juga, kok mas baihaqi. hanya pas kebetulan pingin mosting secara bersambung ttg persoalan ini. saya juga jadi ndak ngeti, nih, mas, kenapa editor bahasa media justru dihilangkan, yak!

  22. saia termasuk orang lemah akan ragam bahasa…hiks..
    semoga dengan nge-Blog saia isa belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar..

    Baca juga tulisan terbaru gajah_pesing berjudul Macro Photography

    • @Iwan Awaludin,
      hehehe … kemarin sedang maintenance, pak. belakangan ini, blog saya jadi demikian gampang dibobol hacker, pak. jadi, begitu deh ceritanya. mesti rajin ngoprek.

  23. Wahh iya, saya sekarang juga merasakan penurunan berbahasa media cetak dan media elektronik. Bahkan di Kompas pun terjadi kesalahan bahasa.
    Sulit memang ya pak…

    • @edratna,
      alasan utamanya mungkin masalah rubrikasi, bu, tapi bahasa kompas,dalam pandangan awam saya, masih bagus bu dibandingkan media yang lain.

  24. lagi2 saya ketinggalan update-nya pak sawali…. 🙁
    iya Pak, tentang Bahasa Media juga saya bahas di tulisan terbaru saya. mohon dikritik. 🙂

    Koran2 kelas dua memang terbiasa menggunakan bahasa yang non-formal kan Pak? nah, kalau yang menggunakan bahasa ambigu itu Media papan atas?

    Baca juga tulisan terbaru denologis berjudul Putra Presiden difitnah?

    • @denologis,
      hehehe … bahasa koran kelas dua kan memang sedang gencar memburu pasar, mas, sehingga bahasanya pun mesti disesuaikan dg selera pasar. beda bangetdg bahasa koran papan atas. mereka sudah punya segmen yang jelas, sehingga bahasanya pun cenderung mengikuti kaidah.

  25. bahasa media kalo menurut saya memang dirancang sepersuasif mungkin, untuk membajak keingin tahuan pembaca.

    (doh) kalo aku bahasanya mawut pak! gak jelas dan seenake dewe! *mohon petunjuk!*

    Baca juga tulisan terbaru senoaji berjudul WC UMUM

    • @senoaji,
      hehehe … bisa jadi benar, mas seno. salah satu tujuan media kan memang utk memengaruhi pembaca. btw, ttg bahasa blog kan memang sangat ditentukan oleh kepentingan ekspresinya, mas. mau dibuat formal atau nonformal, hehe …

  26. Bahasa non media menurut saya enak banget , dan yg pasti cepat di mengerti , akan tetapi hanya org2 tertentu yg mengerti..
    sdkn bahasa formal apalagi media ..saya rasa berupakan bahasa tingkat tinggi , dan yang pasti selain enak di baca “terstruktur + terintegrasi”tata bahasa yg pasti cakupannya masyarakat luas banget..

    tapi yg pasti perkembangan bahasa baik media maupun non media akan sesuai dengan perkembangan jaman (cmiiw)

    Salam Sukses 😀

    Baca juga tulisan terbaru Diah berjudul Say No To Mega

    • @Diah,
      iya, mbak diah, bener banget, itu, mbak. bahasa, di mana pun, akan sangat dipengaruhi oleh budaya dan dinamika zaman penggunanya. ini artinya, *halah kok jadi sok tahu saya* bahasa akan terus berkembang mengikuti dinamika zamannya.

  27. mymyn

    menarik mengikuti penggunaan bahasa dalam ragam bahasa media. mungkin mas Sawali atau siapapun dapat memberi info tentang referensi apa saja yang bisa saya gunakan untuk memperluas wawasan saya tentang ragam bahasa media ini. karena saat ini saya berencana meneliti tentang ragam bahasa media ini. trims` 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *