Andreas Harefa dalam buku Menjadi Manusia Pembelajar (2000) pernah menyatakan bahwa sekolah kita telah lama dipisahkan dari soal-soal nyata sehari-hari. Ia telah berubah menjadi semacam “sekolah militer”, ajang indoktrinasi, dan “kaderisasi” manusia-manusia muda yang harus belajar untuk patuh sepenuhnya kepada “sang komandan”. Tak ada ruang yang cukup untuk bereksperimentasi, mengembangkan kreativitas, dan belajar menggugat kemapanan status quo yang membelenggu dan menjajah jiwa anak-anak muda. Tak ada upaya yang dapat dianggap sebagai upaya membangun jiwa bangsa.
Dalam atmosfer pembelajaran yang semacam itu, tidak heran apabila generasi yang lahir dari “rahim” dunia persekolahan kita tak lebih dari manusia-manusia mekanis; menjadi robot-robot penghafal kelas wahid yang disiapkan untuk meraih prestasi tinggi dan lulus ujian. Setiap hari, mereka harus menelan setumpuk teori dan hafalan yang dijejalkan sang guru. Kelas hanya dibatasi empat dinding ruang yang terisolasi dari konteks lingkungan sosial dan budaya masyarakatnya.
Kelas yang sunyi dari hiruk-pikuk dan celoteh murid dianggap sebagai kelas yang kondusif dan ideal. Murid yang baik telah dicitrakan sebagai “anak mami” yang serba patuh dan penurut. Mereka tak lagi diberi kesempatan untuk berpikir merdeka, apalagi mendebat pernyataan sang guru yang suka berpikir “zakelijk” seperti dalam buku paket. Buku paket telah diperlakukan bak “kitab suci” yang pantang dibantah kebenarannya. Kebenaran yang diperoleh di kelas dibangun berdasarkan dogma-dogma, khotbah, indoktrinasi, dan “pemerkosaan” norma berpikir siswa didik.
Generasi “Bebal”
Imbas yang muncul, murid-murid memang tampak cerdas secara intelektual, tetapi sejatinya mereka “bebal” secara emosional, spiritual, dan sosial. Otak kiri dan otak kanan tidak seimbang sehingga orientasi berpikir mereka cenderung searah, monodimensi, dan linear. Ketidakseimbangan semacam ini jelas akan berdampak terhadap upaya pembentukan karakter dan kepribadian murid. Jika kondisi semacam ini terus berlanjut, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi pribadi yang besar kepala, hipokrit, mau menang sendiri, bahkan bisa jadi akan gampang terkontaminasi sikap korup. Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil pula negeri besar ini kelak akan dihuni oleh generasi-generasi masa depan yang kehilangan empati dan kepekaan terhadap nasib sesama.
Berbagai perilaku korup dan tidak jujur yang dipertontonkan oleh orang-orang berdasi memang tidak melulu menjadi dosa dunia persekolahan kita yang salah urus. Banyak faktor yang memengaruhinya. Namun, secara jujur mesti diakui, dunia pendidikan kita belum sepenuhnya mampu melahirkan generasi masa depan yang andal, terampil, kreatif, bermoral, beradab, dan berbudaya. Dalam konteks demikian, jelas diperlukan “political will” dari segenap komponen pendidikan, khususnya dari unsur pendidik dan tenaga kependidikan untuk mewujudkan iklim pembelajaran yang efektif, menarik, dan menyenangkan.
Jika selama ini kelas hanya di-setting sebatas empat dinding ruang, maka perlu ada upaya serius dari para guru untuk membangun suasana ruang kelas yang lebih terbuka, interaktif, dialogis, dinamis, dan menarik sehingga memungkinkan terjadinya masyarakat belajar. Dalam konteks demikian, pendekatan kontekstual yang mengakrabkan siswa pada pengalaman dan persoalan-persoalan konkret keseharian akan lebih bermakna ketimbang mencekoki mereka dengan setumpuk teori dan hafalan yang amat jauh nilai aplikatifnya dalam kehidupan nyata.
Kelas yang “hidup” ditandai dengan dinamisnya perilaku siswa dalam proses pembelajaran melalui aktivitas bertanya, berdiskusi, berkarya, berdebat, atau berdialog. Guru memasuki dunia siswa dalam keadaan sadar dan terencana. Guru tidak lagi memosisikan diri sebagai hakim yang mem-vonis benar-salah. Guru lebih banyak memberikan kesempatan kepada sisa untuk menemukan kebenaran melalui pergulatan pemikiran yang sesuai dengan dunia mereka. Ruang kelas pun jadi sarat dengan pajangan hasil karya siswa sebagai arena bersaing untuk memenuhi kebutuhan berkompetisi dan beraktualisasi diri secara fair, jujur, rendah hati, dan apresiatif. Dalam setting ruang yang semacam itu, kelas tidak lagi berada di puncak menara gading yang terasing dari komunitas masyarakat di sekelilingnya.
Kini, sudah saatnya kelas dipermak menjadi masyarakat mini yang memberikan keleluasaan kepada siswa untuk bersosialisasi, berinteraksi, bercurah pikir, dan berprakarsa, dalam suasana yang terbuka dan egaliter, sehingga bisa belajar menanggalkan atribut-atribut primordial, mampu menghargai perbedaan, dan bisa mengembangkan kepribadian dan sekaligus sanggup menemukan kesejatian diri yang demokratis dan toleran. ***
sangat setuju dg apa yg dikemukakan andre. konsep yg jelas salah. harusnya sekolah (belajar tidak hanya di kelas) menjadi sebuah taman bagi siswa, tempat yg asyik lagi menyenangkan. suatu yg menjadi angan-angan ki hajar dewantoro dg konsep taman siswa-nya
begitulah idealnya, pak zul. sayangnya, konsep pendidikan taman siswa yang dirancang ki hajar dewantoro yang bagus itu sudah banyak dilupakan orang.
saya ingat (masih ada di catatan harian yg saya tulis), betapa tahun 1989 dulu saya dan beberapa teman “benci” dg pelajaran pmp (sekarang pkn). sang guru begitu tekstualnya dg buku paket, sehingga apa yg diberikan bak buku paket yg berjalan. padahal ketika itu kami secara sembunyi-sembunyi sudah membaca karya-karya pram, catatan harian ahmad wahib, dan gejolak dari anak muda gie. akibatnya, suatu ketika pada saat pembelajaran pmp tersebut, sang guru kami debat habis hingga beliau menangis. tapi kami tak peduli.
saya rindu dg murid seperti saat saya dan teman-teman jadi murid dulu pak sawali….
wah, andai saja murid2 saya seperti yang pernah pak zul lakukan, saya justru akan merasa sangat bangga, pak. sekalig juga sayang sekali, murid yang sekritis pak zul seperti itu sekarang sudah amat jarang.
Saya pernah punya pengalaman, Pak Sawali.
Sewaktu SMA di SMA Kolese De Britto Yogyakarta, karena mungkin kami diberi kebebasan yang bertanggungjawab, pernah ada teman yang tiba-tiba keluar pada saat pelajaran PMP (sekarang PPKN barangkali).
Dia bilang begini, “Maaf Pak, Anda membodohi saya! Ilmu yang Anda ajarkan itu tidak sesuai kenyataan!” Lalu ia mohon diri untuk keluar dan guru itu mengijinkannya tanpa mendendam.
Pada saat kenaikan kelas, Sang Guru memberikan tugas khusus karena dia tetap menolak untuk mengerjakan soal PMP, menurutnya PMP itu tidak sesuai dengan praktik kenyataan.
Entah komen ini sesuai atau tidak dengan konteks tulisan, tapi membaca artikel sampeyan kali ini, ingatan saya langsung tertuju pada kawan saya yang pemberani itu. 🙂
Hidup De Britto !!! *halah*
Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Blood for Life
hmmm … teman mas donny yang kritis dan cerdas seperti itu yang kini jarang ada, mas. yang pasti, dalam konteks pendidikan yang hakiki, anak2 mesti diberikan kebebasan utk mengembangkan kreativitasnya sehingga mereka bisa berpikir multidimensional, tidak linear seperti yang sekarang ini sering terjadi.
karena semua sudah kadung tersistem, maka untuk merubahnya harus merubah sistem eksisting. caranya dengan masuk ke dalam sistem tersebut dan dengan kekuatan militansi (lama) atau revolusi (cepat). siapa yang berani memulai?
Baca juga tulisan terbaru DETEKSI berjudul Jangan Coblos Partaiku!
revolusi? hmmm … ini memang agak ekstrem, mas dion. tapi kalau memang itu jalan terbaik utk melakukan sbeuah perubahan dalam dunia pendidikan kita, agaknya itu pun cara yang baik. persoalannya, kembali ke pertanyaan mas dion, siapa yang berani memulai? haks!
Wah… salam kenal ae wes…. soalnya bingung mau comment
salam kenal juga, mas noe2, terima kasih kunjungan dan komentarnya.
Seharusnya memang begitu, tapi apakah semua sudah siap memulai? Pendidikan dan perekrutan guru harus dibenahi, siswapun mulai dibiasakan tidak “yes sir”…
Baca juga tulisan terbaru masjaliteng berjudul Caleg = calon stres
saya sepakat dg masjaliteng. agaknya perlu dibutuhkan kesadaran personal utk melahirkan kesadaran kolektif. perlu diawali dari orang per orang hingga akhirnya menjelma menjadi sebuah kekuatan hebat.
😀 He He HE
sudah saatnya kelas dipermak menjadi masyarakat mini yang memberikan keleluasaan kepada siswa untuk bersosialisasi, kalau soal memulainya tidaklah sulit tapi sulitnya untuk mempertahankan agar bisa menjadi lebih baik.
bener juga, mas. tapi utk bisa mempertahankan toh perlu memulai juga, hehehe ….
Wuih.. (mengambil nafas panjang2 terus dilepas dengan cepat).
Aku dulu mungkin dididik kayak bgitu kali ya?
Sering kali tidak kita (blogger) sadari, kita juga sering melakukan itu terhadap orang lain. Kita juga sering menyajikan opoini2 “aneh” yang bisa mempengaruhi jalan orang lain. heheheh…
Dengan semua ini, semoga kita bisa lebih cerdas lagi dalam berfikir dan bertindak.
hmmm … opini “aneh”? kalau memang dilandasi argumen yang logis, kenapa ndak, mas hidayat, hehehe ….
sudah saatnya kelas di jadikan tempat yang nyaman dan hidup. tapi perlu perjuangan keras om,saya setuju dengan kata om dion. kita mulai untuk merubah tatanan itu
Baca juga tulisan terbaru dafhy berjudul Internetan Murah Menggunakan Hp Dengan Telkomsel
iya, mas dafhy, memang perlu ada komitmen utk melakukan perubahan dalam dunia pendidikan kita, setidaknya lewat proses pembelajaran di kelas.
Masalahnya guru harus berpijak di dua tempat. Idealisme di satu sisi dan tanggung jawab memenuhi beban kurikulum. 🙄
Baca juga tulisan terbaru lovepassword berjudul Help me daku kebanjiran !
iya, bener juga tuh, mas love. memang tdk mudah ketika guru dihadapkan pada kondisi semacam ini. tapi setidaknya, motivasi utk melakukan sebuah perubahan perlu dimiliki setiap guru.
loadingnya lama pak guru..saran nich..pake template yg ga berat aj.._^
Baca juga tulisan terbaru arafi berjudul Tips 10 Mengubah sakit hati menjadi sesuatu YANG MANIS
duh, saya ndak tahu juga nih, mas arafi. mungkin saja blog ini memang sedang bermasalah, bukan karena theme-nya. makasih masukannya, mas.
keren. simple dan praktis
Baca juga tulisan terbaru mrilham berjudul Baseball Trophies
hehe … apanya, mrilham yang simple dan praktis? hiks.
Dan saya rasa ini bukan hanya tugas sekolah, tapi seluruh komponen… keluarga, masyarkat dan semuanya….
Sebuah tugas yang berat pak, karena budaya dan sistem begitu kental mewarnai…
Baca juga tulisan terbaru azaxs berjudul Digital Statement
betul banget, mas azaxs. butuh kebersamaan, sikap kolektif, dan sinergi dari semua komponen pendidikan.
Ide yg ok Pak, saya jg yakin kalau itu diterapkan, para siswa akan menjadi generasi yg lbh baik..
Baca juga tulisan terbaru waw berjudul Mogok Kerja Ternyata Batal
iya, mas dewanto, mudah2an hal itu bisa terwujud.
doh apa komen saya termakan sakimet yah???
intinya saya komen begini: yang pasti kita butuh perubahan fundamental atas sistem pendidikan nasional. kalo perlu pilih menteri yang gak botak :)) *sentimen mode on*
Baca juga tulisan terbaru mantan kyai berjudul Earth Hour : 60 Menit Mendinginkan Bumi
hemmm… mau nyoba lagi pakai aksimet, haks, ternyata kembali bermasalah, hehe …. btw, menteriyang nggak botak? memang ada kaitannya dg perubahan dalam dunia pendidikan kita, mas?
kemarin baca Toto Chan
Jadi terinspirasi dengan gaya pendidikan yang ada disana
Baca juga tulisan terbaru Pencerah berjudul Musibah yang Tak Tercegah
toto chan, ya, ya, ya, memang tokoh yang satu ini bisa menjadi sumber inspirasi bagaimana menerapkan pola dan sistem pendidikan yang bagus dan mencerahkan, mas pencerah.
engg bukan hanya sudah saatnya yang sayah liat pak, tapi kita harus yakin bahwa kita sudah sangat.. sangat… sangat terlambat, so akankah kita di gulung jaman ataukah anak kita akan meneruskan tradisi kebebalan kita sampai ribuan tahun lagi
Baca juga tulisan terbaru almascatie berjudul Go Moluccass 2009
hmmmm … perubahan itu memang mesti dilakukan, mas almas, sebelum peradaban makin kacau dan “membusuk”. butuh kebersamaan dan sikap kolektivitas utk mewujudkannya.
kalau pak sawali berbicara tentang sekolah dan guru, tentu tidak dimaksudkan untuk sekolah sebatas SD hingga SMA dan guru-gurunya semata, karena fenomena indoktrinasi juga tak kurang ditakutkan terjadi di bangku perguruan tinggi.
metode student-centred memang tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan kognitif siswa, setidaknya begitu dikatakan oleh berbagai penelitian. namun memang dalam hal kematangan, sistematika berpikir dan kemampuan analisa, metode ini jauh lebih bermanfaat.
jadi kalau perangkat ujian kita semata mengandalkan kemampuan menghapal, metode indoktrinasi sampai kapan pun akan tetap jadi favorit dalam kurnas kita, pak.
Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul For Auld Lang Syne
itulah repotnya, mbak yulfi kalau dunia pendidikan kita sudah lama masuk dalam perangkap dan belenggu angka2. yang terjadi kemudian adalah pembonsaian talenta peserta didik. kalau menurut hemat saya sih, pola2 indoktrinasi berbasis berhaviorisme semacam itu sudah saatnya ditinggalkan, mbak, hehe ….
ironi memang ketika pendidikan diregulasi sebagai mesin secara tidak langsung. memberikan wacana stereotype tanpa ada pola2 untuk mewacana kan konsep2 lain yang mungkin lebih masuk dikalangan pelajar. susah memang, tapi tidak ada salahnya dicoba!
Baca juga tulisan terbaru senoaji berjudul Mendekam dipenjara ketidaktahuan, menikmati ransum bubur rasa bersalah. Apakah ini yang akan ku telan selama 12 hari menjelang kemerdekaan bersumpah!
konsep pendidikan yang memperlakukan siswa secara mekanis, hanya akan menghasilkan robot2 zaman yang hanya selalu taat pada komando, mas seno. lebih repot lagi kalau yang memberi komando orang2 yang tak bernurani, haks.
saya sudah lama tidak mengikuti dunia sekolah,
tapi membangun budaya sekolah dengan pendekatan yang kontekstual memang perlu. sangat perlu. Agar ilmu dan waktu tidak sia-sia.
Baca juga tulisan terbaru mascayo berjudul kali ini Situ Pamulang
betul banget tuh, mascayo. pendekatan kontekstual yang berupaya mendekatkan sisa pada pengelaman dan lingkungan sosial-kulturalnya akan membudayakan anak utk berpikir logis dan runtut.
Hhmmm…
Sekarang ini beberapa sekolah khusus sudah menerapkan model begitu, dimana para siswa jg diajarkan untuk kritis dan berani mengungkapkan pendapat. Tp kadangkalah, keberanian kritis itu tdk didukung dengan mental dan intelegensia yg baik. Alangkah baiknya klopun bersuara, kita punya argumen yg dapat dipertahankan.
syukurlah kalau model pendidikan semacam itu sudah mulai banyak diterapkan, mbak zee. saya juga sepakat bahwa siswa masih butuh pendampingan dan pembimbingan dari orang2 dewasa terdekatnya. kalau dibiarkan bebas tanpa pendampingan bisa repot!
Sekolah itu tempat belajar, yang setiap disana harus bisa merasakan kebaikan disana, tanpa beban dan tanpa ada kecemasan 🙂
Baca juga tulisan terbaru Novianto berjudul Benarkah kita masih berhitung?
betul, mas novi. perlu ada upaya serius utk mewujudkan suasana lingkungan belajar yang nyaman, menarik, dan menyenangkan.
semuanya itu bergantung pada gurunya pak…
seharusnyalah para guru memahami apa hakikat belajar itu sebenarnya. saya sangat sedih melihat guru yg sangat teksbook, menjadikan buku paket sebagai kitab suci. bahkan, di sekolah anak saya, salah seorang gurunya sangat kekeuh dg persoalan buku teks itu. dia sama sekali tidak mau bila ada muridnya yg memakai buku yg berbeda dg yg dipakainya… benar2 tidak kreatif…
Baca juga tulisan terbaru vizon berjudul birah i
duh, kalau itu sudah bener2 keterlaluan, mas vizon, hehe … mestinya buku teks hanya dijadikan sebagadi salah satu rujukan. kalau buku teks dijadikan “kitab suci” di sinilah awal bencana itu, lantaran para siswa mesti menjadi penghafal dan berpikiran monodimensi.
Haruskah ada revolusi dalam dunia pendidikan di negeri ini pak Sawali, untuk bisa merubah paradigma lama yang memang telah mendarah daging dalam sistim pendidikan kita
Baca juga tulisan terbaru achmad sholeh berjudul Ketidakpekaan Elit Politik Terhadap Kondisi Masyarakat Kecil
revolusi? duh, cara seperti ini memang terkesan ekstrem, pak. kalau bisa memang perlu proses dan perencanaan secara matang. namun, kalau perubahan sulit terwujud, revolusi agaknya bisa menjadi cara yang terakhir, hehe …
ya mungkin salah satu cara adalah membudayakan membaca & menulis Pak. pada saat pelajaran tertentu misal IPA atau PPKN anak2 didik diminta menulis pendapat mereka tentang suatu persoalan dan nanti dipresentasi didepan kelas
belajar bersikap kritis & berani menyatakan pendapat juga menghormati pendapat orang lain
Baca juga tulisan terbaru tomy berjudul IBU JENDRA, DIALEKTIKA KEARIFAN LELUHUR NUSANTARA
ah, itu model pembelajaran yang bagus juga tuh, pak tomy. unjek kerja siswa selama ini memang terkesan masih kurang.
ngikut lewat kang…Jual sepatu kw super keren2 lho kunjungi belisepatu(dot)weebly(dot)com
hehe …. silakan, mas, matur nuwun.
mungkin belum seluruhnya bisa menerapkan hal tersebut mas, tapi apabila hal tersebut bisa merubah menjadi lebih baik kenapa harus tidak yah…
Baca juga tulisan terbaru harianku berjudul Cegah bahaya penyakit diare
betul banget, mbak. utk melakukan sebuah perubahan memang bukan hal yang mudah di tengah kuatnya kultur masyarakat kita yang suka kemapanan.
mirip aku banget mas…
*manusia penghafal (itu dulu)
Baca juga tulisan terbaru okta sihotang berjudul Kampanye damai pemilu 2009
walah, kok tahu kalau mas okta jadi manusia penghafal? haks.
asslmkm, pak sawali bgmn kabarnya? maaf sekali sy jarang sekali berkunjung dan menikmati wawasan dari bapak ke blog ini. Maklum pak, sedang berjuang lulus dari kampus nih. 🙂
Saya sangat sepakat dengan tulisan bapak diatas, selama sy sekolah dan bahkan sampai ke perguruan tinggi sekalipun sy masih sangat sering menemui pengajar yang menggunakan metode pembelajaran searah dan terkesan menjadi manusia paling benar. Padahal menurut sy mahasiswa saat ini cenderung harus berpikiran lebih konkrit dan mengetahui wacana yg terjadi di dunia nyata.
Saat ini di kampus, sedang kemasukan dosen2 baru yg cukup dinamis cara berpikirnya, namun apa yg terjadi pada mereka adalah bukan sebuah penghargaan dengan menerima gagasan2 baru yg cerdas tsb, namun malah cenderung diasingkan dan dikucilkan..
pendidikan harus segera di revolusi pak… wassalaam wr wb 🙂
wa’alaikum salam, mas sigma. alhamdulillah, sehat. wah, mudah2an cepet lulus, mas sigma, agar ilmunya bisa diamalkan utk membangun bangsa yang lagi kacau, hehe … wah, salut juga dg munculnya banyak dosen muda yang dinamis dan idealis. patutu disayangkan kalau kiprah mereka justru dikebiri.
saya pingin menjadi murid lagi, pingin membuka ruang diskusi sama guru2 saya dulu.
Baca juga tulisan terbaru antown berjudul Revisi
wew…. jangan dong! kan sudah saatnya mas anto jadi “guru” buat lingkungan terdekat, hehehe ….
Ngrubah kebiasaan yg sudah menahun nggak mudah Pak.
Saya pernah nyoba terapkan di suatu kelas.
Kebetulan jumlah siswanya ideal, cuman 24 anak. tempat duduknya saya setting leter U seperti ajang diskusi. Beberapa teman guru mengimprove dengan positip, tapi beberapa yang lain (umumnya guru tuwir) malah ngamuk, minta agar posisi dikembalikan seperti dahulu kala. Ngamuknya nggak ke saya tapi ke siswa.
Dengan pertimbangan kemanusiaan, karena kalau permintaan tersebut nggak dituruti menyebabkan mereka sress, terpaksa saya merestorenya.
Beruntung anak2 juga memakluminya.
Tapi untuk kelas yg over quota, yg jumlahnya 40 memang susah. Begitu diberi ruang gerak, diberi peluang sedikit untuk leluasa, biasanya kebablasan dan susah untuk mengendalikan. Siswa saya, muda untuk terbagi konsentrasinya. Ada apa2 sedikit, suasana kondusif yg terbangun mudah sekali berantakan. Ada siswa yg datang belakangan karena terlambat, ada pengumuman lewat pengeras suara, ada petugas presensi, atau hal kecil lainnya, perhatiannya langsung ambyar.
Ujung2nya, kondusif yg diartikan sebagai suasana “sepi trintim” terpaksa masih saya berlakukan, entah sampai kapan…
Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Pemilu, Pamili, Pemula, Pemalu dan Pamali
wah, pak mar ternyata sudah men-set up ruang kelas jadi lebih interaktif dan komunikatif. memang tdk mudah, pak, utk melakukan sebuah perubahan di tengah2 kuatnya kultur sekolah kita yang antiperubahan. seringkali mereka berpendapat, kenapa tatanan yang sudah mapan mesti dioprek-oprek? padahalal, kemapanan seringlalu identik dg status quo. makin repot, ya, pak?
Wuakehe commentku…
Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Pemilu, Pamili, Pemula, Pemalu dan Pamali
napa, pak mar? komennya kan dah muncul toh? hehe … saya sendiri juga ndak tahu, pak, kenapa blog ini makin banyak errornya, hehe ….
hiya.. saya kurang mudheng juga hubungan erat dari system dan hasil, tapi saya suka sekali lihat anak-anak playgroup belajar di suruh jalan-jalan ke sawah.. dikenalkan padi, kuntul, dsb 🙂
@lucid,
iya, mas lucid, pembelajaran dg menggunakan model outbond semacam itu agaknya bagus juga agar proses pembelajaran menjadi lebih kontekstual.
Wah, dulu saya mungkin bukan guru yang baik, ya, Pak, kok sampai diprotes murid nggak boleh ngajar lagi. Ya, udah lah. Tapi, sumpah mati, saya nggak pernah melakukan tindakan kekerasan kepada murid. Paling nggebrak meja, doang. Hee….he… Saya juga nggak me-mark up nilai, lho.
Baca juga tulisan terbaru racheedus berjudul Pemilu 1982: Penyerbuan Kampung Bojong
@racheedus,
hehehe … agaknya mas rache masih suka mengenang juga saat jadi guru. model kekerasan agaknya juga ndak mempan utk membuat anak-anak kreatif, mas, bahkan cenderung mengalami tekanan mental karena muculnya rasa takut dan nervous.
kelas memang harusnya menjadi miniatur gelanggang pertarungan ide, pendapat, dan pemikiran, perbedaan pendapat atau pikiran yang diluar dari buku teks sesungguhnya adalah alat “test” bagi buku itu sendiri. guru/dosen bukanlah sumber ilmu. tetapi sekadar fasilitator atau perantara dgn ilmu yang sesungguhnya.Hal ini yang selalu saya tanamkan kepada mahasiswa saya.Salam kenal pak Sawali. Saya “the real newbie in blogsphere” 😆
Baca juga tulisan terbaru achmad sulfikar berjudul Berbohong dengan Statistik
@achmad sulfikar,
salam kenal juga, mas fikar. makasih banget tambahan infonya. saya sepakat banget dg apa yang disampaikan mas fikar itu.
Saya sangat setuju dengan Pak Sawali. Tidaklah mengherankan bahwa bangsa kita lebih sering menjadi “pengikut” dan bukan sebagai “penemu” terutama dalam hal2 yang besar karena daya kreatifitas seorang anak Indonesia telah di”bonsai” sejak kecil.
@Bisnis Cuci Helm,
yaps, mudah2an saja segara ada perubahan paradigma dalam dunia pendidikan di negeri ini, mas. murid2 tak semata-mata diperlakukan sebagai objek, tapi justru diperlakukan sebagai subjek.
Dulu jaman SD ada seorang guru yang selalu memberikan keleluasaan kepada saya keluar kelas untuk cuci muka karena pura-pura ngantuk, dan saya sangat menyukai guru ini, walaupun guru tersebut punya kebiasaan menyulut taplak meja dengan rokoknya. 😛
Saya suka dengan guru model begini, karena murid seperti saya bisa sedikit melihat pemandangan diluar kelas dan sedikit mencicipi apa yang ibu kantin sediakan. 😆
Waduh, sepertinya komentar saya tidak nyambung dengan tulisan pak Sawali. Mohon maaf Pak, jadinya malah curhat.
Baca juga tulisan terbaru sapimoto berjudul Athaya Arnawama Freda Susanto
@sapimoto,
hiks, suka menyulut taplak meja dg rokok? duh, berarti pak guru ini suka merokok di klas, dong, hehehe ….
Setuju pak, kelas mestinya menjadi ruang bagi kelompok manusia yang ada di dalamnya, baaik itu murid ataupun guru untuk saling berbagi pengalaman dan pemahaman tentang hidup dan persoalan yang di bahas. Rangkaian pengalaman-pengalaman itulah yang akan memberikan makna tentang sebuah proses pembelajaran ideal…jadi tidak jamannya lagi guru menjadi orang yang serba tahu, dinamika komunikasi yang efektif dan mendidiklah yang harus di galakkan…
Baca juga tulisan terbaru imoe berjudul …pemenangnya adalah (UPDATE)…
@imoe,
betul banget, mas imoe. idealnya komunikasi antara guru dan siswa mei lebih terbuka dan dialogis sehingga siswa didik mampu menumbuhkan kreativitas dan kompetensinya.
sebuah wacana pendidikan yang mirip dengan Orde Baru Mas
sekiranya pendidikan seperti ini banyak terjadi didunia mahasiswa
Baca juga tulisan terbaru Ahmad Maulana berjudul Paradigma Pemberantasan Korupsi Di Mancanegara
@Ahmad Maulana,
mungkin suasana pembelajaran yang kaku seperti itu juga imbas dari kebijakan pemerintah orba yang dinilai cenderung otoriter dan represif, mas maulana.
ya pak, membuat suasana kelas hidup adalah kunci supayta para siswa betah dikelas, nyantai, tapi serius 😉
Baca juga tulisan terbaru arifudin berjudul Akhirnya saya ngeplurk juga
@arifudin,
iya, mas arif, kurang lebih seperti itulah.
Salut dengan pak Marsudiyanto, mengapa keinginan baik malah diartikan lain, kadang senioritas dan rasa tidak mau kalah pinter menjadi momok yang pada akhirnya juga para murid tahu dan mentertawakan gurunya, bukankah murid juga manusia, yang kelak juga memiliki kehidupan sebagaimana yang dialami oleh semua orang juga….
@suryaden,
hehehe …memang bener, mas surya, ide2 pak marsudiyanto memang bagus dan mencerahkan berkat tempaaan pengalaman beliau selama bertahun-itahn menjadi seorang guru.
Setuju pak, kelas mestinya menjadi ruang bagi kelompok manusia yang ada di dalamnya, baaik itu murid ataupun guru untuk saling berbagi pengalaman dan pemahaman tentang hidup dan persoalan yang di bahas. Rangkaian pengalaman-pengalaman itulah yang akan memberikan makna tentang sebuah proses pembelajaran ideal…jadi tidak jamannya lagi guru menjadi orang yang serba tahu, dinamika komunikasi yang efektif dan mendidiklah yang harus di galakkan…
@imoe,
betul banget, mas imoe, apalagi kalau ang guru suka menegakkan wibawa dg cara menakut-nakuti siswanya, hehehe … makin tambah repot.
komennya pak Mar bisa dijadikan postingan. saya dulu satu kelas 50 orang. pokoknya ramai banget saat nggak ada gurunya. tapi kalau ada gurunya sepi. memang dulu sepertinya diajarkan untuk patuh dengan buku paket termasuk pada bapak ibu guru tanpa ada kesempatan untuk mengkritisi
Baca juga tulisan terbaru endar berjudul Sepatuku tersayang
@endar,
walah, itu artinya siswa hanya pada saat ada di depan guru. sedangkan, di belakang guru, mereka bisa berbuat sekehendak hati, hehe … nisa jadi ini juga dampak dari proses pembelajaran nyang terlalu kaku dan tertutup, mas endar.
waduh bused baru liat pak statistik web sampean, GBLnya mengerikan harusnya pr 6 kie, maju terus pak guru
@baris,
duh, saya ndak mudheng, mas mbaris, soal yang semacam ini, hiks.
gimana dengan pembelajaran online pak. gak pernah berinteraksi dengan teman-temannya secara sosial, ujung2nya bisa lulus juga. Untung pembelajaran ini tidak berlaku di kelas setingkat sekolah
Baca juga tulisan terbaru novi berjudul Diklat Jurnalistik, antara Capek dan Puas
@novi,
pembelajaran online? hmmm … agaknya model pembelajaran semacam ini baru bisa efektif kalau akses internet memang mendukung, mas novi.
kapan semua impian itu terwujud pak guru?
@suwung,
agaknya butuh waktu yang lama juga nih, mas suwung, hehe ….
Kirain menanggalkan atribut Parpol, huehehehee
Baca juga tulisan terbaru Bawor berjudul SMS Aneh…..
@Bawor,
hehehe … ndak ada hubungannya dengan parpol kok, mas bawor.
pelan2 aja kalo mau mengadakan perubahan itu,ntar siswanya malah jadi kebablasan. kalo di bilang di doktrin,yah itu khan cuman di sekolah.kenyataannya tidak membuat anak2 kita semakin bodoh khan.filter pikiran pada anak2 modern udah bisa membedakan kok.
Baca juga tulisan terbaru boyin berjudul Tips jalan jalan ke Petronas twin tower
@boyin,
saya sepakat mas boyin, perubahan memang perlu dilakukan secara bertahap. namun, persoalan pola pembelajaran yang cenderung indoktrinatif memang perlu dikurangi agar anak2 bisa mengembangkan potensi dan kreativitas sesuai dg perkembangan jiwanya.
semua sudah terlanjur pak, hehehehe… saya malah teringat dengan gaya lama pola belajar ketimuran, pesantren, padepokan, sanggar dengan resi dan cantriknya, kyai dan santrinya.. hehehehe
Baca juga tulisan terbaru gempur berjudul Open Suse 11.1: My Notebook Operating System
@gempur,
hehe … meski sdh telanjur, ndak ada salahnya kok, pak, diubah. btw, saya juga rindu model pembeljaran seperti yang berlaku di pondok pesantren, pak. tapi dg sentuhan pendekatan masa kini shg komuniasi guru-murid menjadi lebih terbuka dan interaktif.
Tapi Pak, untuk melahirkan pemimpin mungkin pendidikan militer masih yang terunggul. Tau kapan harus memimpin dan kapan harus taat pada pimpinan, banyak dipelajari di sekolah militer.
Meskipun demikian, ngga jaminan juga sih lulusan sekolah militer akan bermoral baik. Wong lulusan sekolah agama juga ngga dijamin orang sholeh koq ya. He he he.
Jadi buat apa sekolah?
Baca juga tulisan terbaru Iwan Awaludin berjudul Perjalanan Wiwin
@Iwan Awaludin,
hehehe … setiap pola pendidikan memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing2, pak iwan, termasuk pola pendidikan militer. nah, pertanyaaan pak iwan yang terakhir itu menarik, buat apa sih sebenarnya sekoah itu? duh, kalau yang ini pasti pak iwan sudah bisa menemukan jawabannya. reorik itu kan, pak?
saya kurang gitu paham soal ini 🙄
@and1k,
walah, kenapa mas andik jadi suka merendah begitu, hehehe …
Sialnya, metode pengajaran yang mengungkung jati diri dan kebebasan berekspresi siswa itu masih berlaku di banyak tempat. Percayalah, segala bentuk “pengekangan” tanpa dasar justru melahirkan siswa-siswa bertpikal “pemberontak”..
Baca juga tulisan terbaru zenteguh berjudul Rendezvous
@zenteguh,
wah, pernyataan mas teguhsungguh reflektif dan mencerahkan, nih. dan saya sepakat banget itu.
Setuju mas….
sy sbg pelajar, kyknya kbykn dicekoki teori pelajaran tok.
gak ada teori tentang kebutuhan ruh, yang sejatinya lbh penting.
Baca juga tulisan terbaru Oef Anantasena berjudul ‘GOR’ Al Hikmah 2 Kebanjiran (Revisi)
@Oef Anantasena,
wah, iya, mas ananta. semoga saja segera ada perubahan agar pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
Salah satu dari ciri pendidikan kita yang masih perlu diperbaiki adalah masih kentalnya feodalisme. Sebuah cara pandang yang berlebihan terhadap penghargaan kepada orangtua, guru, kepala sekolah. Imbasnya, bila murid kreatif dibaca sebagai bebal, kurang ajar, dll. Berdasarkan pengamatan di bbrp perguruan tinggi pun, feodalisme masih amat kental.
Btw, salam perkenalan pak. Salam hangat, sukses selalu… 😛
Baca juga tulisan terbaru Murid Baru berjudul Kepedulian pada Bencana Mungkin Sekadar Pola Hidup Topikal
@Murid Baru,
salam kenal dan salam hangat juga, mas, makasih banget kunjungan dan pencerahannya. opini yang sangat bagus dan bermanfaat. makasih.
Ayo rubah pendidikan Indonesia lebih baik!!!
Para guru2,dosen2 and yg terkait dgn dunia pendidikan mari buat sistem pendidikan yg bermutu..:)
@che_3z,
iya, mas de-kill. ajakan yang bagus nih, ay kita lakukan perubahan bersama-sama!
sebuah wacana pendidikan yang mirip dengan Orde Baru Mas
sekiranya pendidikan seperti ini banyak terjadi didunia mahasiswa
@Ahmad Maulana,
pola pendidikan gaya orba memang menimbulkan truama bagi dunia pendidikan, mas maulana, karena anak2 dikerangkeng dalam belenggu instruksi dan indoktrinasi semata.
klo smua guru baca postingan ini
jamin deh, dunia pendidikan kita bakal makin maju
slama ini mmg trasa banget aroma feodalisme di sekolahan
guru seolah2 adalah makhluk yg paling sempurna..
Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Kita dan Sepotong Roti
@Nyante Aza Lae,
terima kasih supportnya, mas kurnia. semoga saja makin banyak rekan sejawat yang mulai melakukan perubahan kultur dan paradigma dalam proses pembelajaran.
Kalau di tempat kerja saya, hampir semua guru2 yang ada, gajinya pada minus, padahal tiap tahun khan ada kenaikan masih juga minus.
Bagaimana mereka mau mengajar dengan sadar dan terencana? Kalau fikiran mereka yang ada hanya “buat apa aku bekerja dengan sungguh2 ? Toh…besok awal bulan aku sudah tidak menerima gaji bahkan harus tombok”
bagaimana mereka akan bekerja dengan sadar dan terencana?
Yang ada juga fikiran pingin cari tambahan penghasilan di luar sekolah.
Apa sempat mereka merencanakan? Yang ada juga rencana kebutuhan dia sendiri
ndak tahu lah…nggak mo ikut2
@Bukan Kyai,
duh, sesungguhnya tingkat kesejahteraan guru mulai membaik, mas. memang repot kalau ekonomi keluarga masih jadi hambatan. yang pasti, semangat dan etos kerja guru akan ikut drop.
Kelas yang “hidup” ditandai dengan dinamisnya perilaku siswa dalam proses pembelajaran melalui aktivitas bertanya, berdiskusi, berkarya, berdebat, atau berdialog. …. wah seaindainya guru Bhs, Indonesia saya dulu Pak Sawali paling saya sekarang udah jadi penulis tenar
tapi serius Pak…. saya menulis sejak SMP tapi nggak ada wadahnya di SMP/SMA :(( baru setelah kenal blog banyak nulis 😀 telat udah punya nak 3 baru banyak nulis 😀
hiihii gak nyambung ya Pak 😀
@hmcahyo,
walah, menulis sesungguhnya ndak ada kata terlambat kok, mas heri, hehe … kan banyak juga tuh penulis yang menghasilkan karya masterpiece justru ketika usia sudah hampir senja, haha …
Quote:
Tugas guru=menemukan kebenaran melalui pergulatan pemikiran yang sesuai dengan dunia mereka (siswa).
Ini memang tantangan yg menarik. Klo sudah begini, maka guru harus lebih mengedepankan partisipasi siswa ketimbang memperturutkan misal ja’im sbg orang yg diharapkan paling pintar di kelas.
ada pendapat barangkali pak tentang pengkritisan Paul E. Dennison thd pendidikan
@Akhmad Guntar,
ya, saya sepakat banget itu, pak ahmad. idealnya anak2 dalam proses pembelajaran harus dilibatkan secara aktif, tak semata-mata menjadikan mereka sebagai objek seperti tong sampah ilmu pengetahuan.
“Menuntut ilmu itu harus dengan kerendahan hati”
Sistem menuntut ilmu alternatif, ide yang menarik. Cuma beranikah kita mengambil resiko untuk membuka hal yang baru…
Pendidikan tidak hanya disekolah kok…
Baca juga tulisan terbaru tengkuputeh berjudul HANYALAH LELAKI BIASA
@tengkuputeh,
‘iya, betul banget, mas tengku. sesungguhnya hakikat pendidikan tak hanya sebatas pendidikan formal semata, tetapi juga berbagai praktik pendidikan yang ditemukan secara langsung dalam sekolah kehidupan yang sesungguhnya.
konsep josh, pak guru!Learning by doing…
Baca juga tulisan terbaru cupangkolam berjudul Detik-Detik Menegangkan Jelang Pemilu
@cupangkolam,
walah, mas cupang bisa saja nih, hehe … konsep learning by doing memang bagus, mas, sayangnya masih sulit utk diterapkan dalam praktik keseharian di sekolah, apalagi menjelang ujian nasional, hiks.
Sekolah mestinya menjadi aktivitas yang menyenangkan.
Saya ingat cerita si bungsu, saat saya tanya, pada saat kapan dia paling nyaman sekolah? Maksud saya SD, SMP atau SMA? Jawabannya mengagetkan..karena saat kuliah.
Kenapa? Karena saya banyak belajar banyak hal, dan kalau ada masalah bukan nya teman-teman ngajak mogok atau membolos (saat SMP/SMA), tapi adalah berusaha menyelesaikan masalahnya dan saling membantu. Tapi saya senang, berarti dia sangat menyenangi aktivitas kuliahnya, dan malah kesenengan sampai sekarang karena terus melanjutkan lagi.
Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Saung angklung Udjo, salah satu contoh industri kreatif?
@edratna,
wah, mungkin setiap anak punya kesan yang berbeda-beda ttg masa2 yang menyenangkan waktu menuntut ilmu, bu, hehehe … mungkin suasana sekolahnya berbeda. yang pasti, sekolah yang mampu memberikan suasana yang menyenangkan pasti akan membawa kenangan yang tak mudah terlupakan.
Saya jadi berplikir, adakah yang salah saat pembelajaran SD s/d SMA? Jangan-jangan karena target (agar lulusannya diterima dimana-mana), menjadi keseimbangan antara belajar dan kemasyarakatan kurang berimbang.
Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Saung angklung Udjo, salah satu contoh industri kreatif?
@edratna,
bisa jadi begitu, bu, apalagi dg munculnya kebijakan UN. menjelang UN, anak2 tiba2 saja disetting menjadi penghafal kelas wahid, hiks.
Salam
Menemukan situasi kek gini ga pak de?
“Anak-anak, mengerti? ” anak-anak terdiam
“anak-anak, Ada yang ditanyakan? masih pada diam
“Anak-anak, ada yang ingin disampaikan atau berpendapat?” diem juga ..
nah itu mungkin Pakde salah satu efek dari merode pembelajaran yang Pakde uraikan diatas, so gmn mau maju, parahnya lagi hak begini juga terjadi pada peserta didik di tingkat perguruan tinggi, akkhhhhhh gimana ya 😀
Baca juga tulisan terbaru nenyok berjudul Caleg Berujung RSJ
@nenyok,
hehehe …. memang bukan hal mudah utk membangun sikap kritis pada anak2 sekarang, mbak ney. makanya dalam dunia pembelajaran sekarang ini sedang gencar2nya digalakkan modal pembelajaran inovatif dan kreatif.
Apakah ada sekolah yang menerima
anak yang tidk mampu….??