Dalang: Ki sawali Tuhusetya
Sesuai sumpahnya, Bhisma tak akan terusik persoalan duniawi. Harta, tahta, dan wanita, sudah tak ada lagi dalam kamus hidupnya. Kecintaannya pada Hastina, negeri besar yang telah melahirkan dan membesarkannya, melebihi kecintaannya pada diri sendiri. Sebagai lelaki normal, sesekali dia ingin juga mencium aroma ketiak perempuan yang sanggup merangsang naluri kelelakiannya. Lantas, menuntaskan gairah asmara yang berlipat-lipat di dalam keremangan sebuah bilik bertaburkan bunga-bunga narwastu dari syurga. Namun, keteguhan hatinya dalam memegang prinsip telah berhasil menaklukkan godaan yang tak jarang menjerumuskan umat wayang (manusia) ke dalam kubangan nafsu dan kemanjaan selera rendah.
Sementara itu, suasana jantung kota Hastina penuh ingar-bingar. Ribuan rakyat memadati alun-alun. Mereka tengah menyaksikan “pesta” karnaval dalam memeringati ulang tahun kelahiran negerinya. Banyak atraksi yang disuguhkan para peserta, mulai yang serba sederhana dan tradisional hingga yang serba canggih dan modern. Tepuk tangan dan aplaus meriah bersambung-sambungan; menggetarkan bumi Hastina, menyambut kehadiran ronbongan peserta. Semua rakyat menikmatinya dan larut dalam kemeriahan pesta. Di panggung kehormatan, tampak Setiyawati, janda almarhum Sentanu, yang tampak anggun dan kharismatik, Citranggada, penguasa Hastina, didampingi Ambika, istrinya, Wicitrawirya, didampingi Ambalika, istrinya, dan beberapa aparat Hastina yang lain.
Di tengah ingar-bingar pesta itu, Bhisma justru merasa kesepian. Tiba-tiba saja, dalam bentangan layar memorinya, hadir sesosok perempuan yang amat dicintainya. Ya, Amba. Perempuan seksi dari negeri Kasi yang berhasil dia boyong bersama Ambika dan Ambalika dalam sebuah sayembara itu, selalu saja meneror isi kepalanya. Jujur saja, Bhisma sangat mencintai perempuan yang tergila-gila kepadanya itu. Namun, sekali lagi, Bhisma mustahil melawan sumpah yang sudah dia ikrarkan. Demi memenuhi hasrat almarhum ayahnya, Sentanu, dan demi kelangsungan trah bangsa Kuru yang amat dicintainya, Bhisma rela melepaskan segala kenikmatan duniawi yang sudah ada dalam genggaman. Tak ada lagi keserakahan, ketamakan, ambisi, hedonis, apalagi korupsi, yang tersisa dalam lorong rongga dadanya. Yang bersemayam dalam nurani Bhisma hanyalah sebuah dharma; sebuah kebajikan dan kearifan menuju jalan kebenaran.
Mungkin di negeri Hastina yang agung itu, hanya seorang Bhisma yang sanggup melawan godaan duniawi yang tak henti-hentinya menggerus dan membombardir nafsu dan selera rendah. Selebihnya, bangsa Kuru yang agung dan disegani itu, mulai akrab dengan berbagai macam “penyakit” sosial, mulai perselingkungan di kalangan pejabat, korupsi, manipulasi, mark-up anggaran, subsidi yang salah sasaran, para petualang politik yang bermuka tembok, hingga lembaga hukum yang dinodai ulah para mafia dan hamba hukum yang korup dan tak jujur. Kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan pun masih menjadi sebuah pemandangan yang gampang dilihat di berbagai sudut dan pelosok negeri Hastina.
Sungguh, sebuah pemandangan yang amat kontras jika dibandingkan dengan atmosfer kehidupan yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan para pejabat. Kebijakan otonomi daerah bukannya memicu semangat pejabat daerah untuk memakmurkan rakyat, melainkan justru menjadi alasan pembenar untuk mengeruk keuntungan dan memanjangkan nafsu hedonis. Atas nama otonomi daerah, para pejabat yang “berselingkuh” dengan anggota dewan berusaha membuat kebijakan-kebijakan di balik slogan “siapa menguntungkan siapa”. Berbagai peraturan daerah pun diluncurkan. Namun, sebagian besar merupakan produk-produk Perda yang sangat tidak menguntungkan rakyat kecil. Penduduk negeri Hastina selalu saja berhadapan dengan kenyataan hidup yang pahit; sengsara dan menderita di atas kepungan gaya hidup glamor yang dikembangkan oleh kaum elite Hastina.
Bhisma benar-benar prihatin menyaksikan kondisi rakyat negerinya yang tak pernah tersentuh perubahan. Namun, dia tidak bisa banyak berbuat, apalagi kedudukannya hanya sebatas penasihat yang amat kecil pengaruhnya dalam pengambilan keputusan.
Yang amat memprihatinkan Bhisma, tentu saja gaya kepemimpinan Citranggada yang dinilai tidak memiliki kejelasan visi dan misi. Orientasinya justru lebih banyak diarahkan untuk mengembangkan konflik dan perseturuan antarkelompok. Dia memberikan kebebasan kepada berbagai organisasi dan kelompok sosial-politik untuk berkiprah di tengah-tengah masyarakat, dengan catatan harus mendukung semua kebijakannya. Ya, berbagai LSM yang bermunculan, tak lebih hanya menjadi boneka dan robot yang harus “sendika dhawuh” dengan instruksi sang penguasa.
“Kalau boleh berpendapat, apa yang Sampeyan kembangkan bisa menjadi preseden bagi kelangsungan bangsa Kuru yang Agung. Coba Sampeyan lihat, berbagai konflik dan perseteruan, entah itu atas nama agama, ethnis, atau kelompok, sudah demikian merajalela. Rakyat yang sudah hidup susah makin menderita akibat rentetan konflik horisontal yang terus terjadi,” ujar Bhisma suatu ketika di runag kerja Citranggada yang sejuk.
“Terima kasih Bapak Penasihat! Saya bersama para aparat sudah memiliki kesamaan visi untuk membuat Hastina sebagai negeri yang besar. Kami butuh power. Butuh kekuatan dan keperkasaan. Masyarakat harus dibiasakan untuk menghadapi konflik. Dengan cara demikian, mereka akan selalu dalam keadaan siap apabila ada negeri lain yang berusaha untuk merongrong kewibawaan Hastina yang Agung. Mohon maaf, saat ini juga saya ada acara untuk audiensi dengan para tokoh organisasi sosial-politik. Ajudan sudah menunggu!” sahut Citranggada sambil beranjak dari kursinya. Bhisma hanya bisa mengelus dada. Betapa tidak berharga dirinya di depan seorang penguasa yang seharusnya gampang sekali dia taklukkan. Dialah sebenarnya pewaris tahta Hastina yang sah. Namun, dia memang tak mau mengusik adik tirinya itu dalam menikmati singgasana kekuasannya. Selain telah bersumpah untuk tidak mengurusi hal-hal duniawi, juga menjadi pantangan baginya untuk menjilat ludah sendiri.
Matahari sudah condong ke barat. Suasana pesta karnaval makin meriah. Alun-alun makin berjubel. Tiba-tiba saja lamunan Bhisma buyar ketika gendang telinganya menangkap suara ribut-ribut dari tribun kehormatan. Suasana karaval pun mendadak kacau dan onar. Setiap kepala digerayangi tanda tanya, apa sebenarnya yang telah terjadi di tribun kehormatan.
Di tengah kerumunan massa yang berjubel, mata penduduk Hastina membelalak ketika menyaksikan dua sosok kembar tengah bersitegang. Ya, ternyata mereka sama-sama mengaku sebagai Citranggada yang asli.
“Edan! Gendheng! Kok berani-beraninya Sampeyan mengembari seorang penguasa Hastina yang Agung! Hayo, mengaku! Jelaskan kepada rakyatku, siapa sebenarnya Sampeyan?” tegur Citranggada yang satu dengan wajah merah dadu.
“Edan! Gendheng! Sampeyan kok juga berani-beraninya mengembari seorang penguasa Hastina yang Agung! Hayo, mengaku! Jelaskan kepada rakyatku, siapa sebenarnya Sampeyan?” tegur Citranggada yang satunya dengan wajah memerah saga.
Ketegangan makin terasa. Setiyawati, Wicitrawirya, Ambika, Ambalika, dan para pejabat Hastina hanya bisa saling berpandangan dengan bola mata membelalak. Dadanya diserbu tanda tanya besar. Agaknya, kedua sosok kembar itu tak ada yang mau mengalah. Maka, adu kekuatan fisik pun tak terhindarkan. Dengan emosi yang memuncak, kedua sosok kembar itu bertarung di tengah alun-alun untuk membuktikan siapa sosok Citranggada yang asli.
Rakyat Hastina yang baru saja larut dalam pesta karnaval tak juga bisa menebak. Siapa sosok pemimpin mereka yang sesungguhnya. Yang mereka saksikan hanyalah bunyi tinju, tendangan kaki, jurus-jurus silat, karate, taekwondo, kungfu, atau jurus-jurus beladiri yang sulit diikuti gerakan-gerakannya. Mereka bertarung begitu cepat dengan tendangan-tendangan akurat dan body moving yang (nyaris) sempurna.
Agaknya, kedua sosok kembar itu memiliki kekuatan yang seimbang. Sudah hampir satu jam pertarungan gaya bebas itu berlangsung tanpa wasit, tetapi belum juga ada tanda-tanda siapa yang lebih unggul. Yang mereka lihat hanya dua sosok kembar yang bersimbah keringat dan darah segar yang muncrat ke segala penjuru. Wajah mereka sudah bonyok dan babak belur. Namun, gerakan mereka tetap saja lincah dan cepat.
Tiba-tiba saja, Citranggada yang satu melolos belati. Lantas, dengan gerakan yang gesit dan terlatih, berhasil menghunjamkannya tepat ke ulu hati musuhnya. Seketika, terdengar teriakan dan pekik histeris hingga menyentuh garis langit. Kemudian, diikuti suara tubuh yang ambruk bergedebam mencium bumi. Sekarat meregang nyawa. Rakyat Hastina bersorak-sorai sambil suit-suit membahana. Mereka yakin, yang telah tewas itu adalah Citranggada palsu yang hendak membuat kekacauan di Hastina yang Agung. Namun, dugaan mereka, ternyata keliru.
“Wahai, rakyat negeri Hastina! Sesungguhnya, aku bukanlah Citranggada! Aku hanya makhuk dari luar angkasa yang sengaja diturunkan ke bumi untuk mengakhiri kesombongan Citranggada, pemimpin kalian! Sudah saatnya Hastina melakukan sebuah perubahan melalui tatanan pemerintahan baru yang lebih baik; damai, aman, sejahtera, dan tidak ada lagi kerusuhan-kerusuhan!”
Pengakuan Citranggada palsu membuat tribun kehormatan seperti runtuh. Setiyawati, Wicitrawirya. Ambika, Ambalika, dan para pejabat Hastina tak sanggup menyembunyikan dukanya. Mereka segera berlarian memeluk dan menciumi jasad Citranggada yang terbujur kaku dengan penuh nganga luka di sekujur tubuh.
Seketika itu juga, rakyat Hastina beramai-ramai menurunkan umbul-umbul dan menggantinya dengan pemasangan bendera setengah tiang. Ya, menjelang berakhirnya pesta karnaval itu, negeri Hastina harus kehilangan sosok pemimpinnya. Betapapun Citranggada dikenal sebagai sosok yang sombong dan korup, dia pernah menjadi orang nomor satu di Hastina, sehingga layak diberikan kehormatan menuju peristirahatannya yang terakhir.
Bhisma juga tak kuasa menyembunyikan dukanya. Wajahnya tampak suntrut. Sejak Citranggada kembar bertarung, dia sebenarnya sudah bisa menebak mana Citranggada yang asli dan yang palsu. Dia menyaksikan dengan cermat setiap gerakan yang dilakukan oleh dua sosok kembar itu ketika tengah bertarung. Sebagai sosok yang ahli olah kanuragan dan olah kebatinan, Bhisma sangat paham dengan jurus-jurus yang mereka kembangkan. Mata batinnya sangat jelas bisa menangkap gerakan Citranggada asli dan palsu. Namun, mustahil baginya untuk memberikan pembelaan terhadap adik tirinya itu. Pertarungan itu merupakan perwujudan watak ksatria yang harus dilakukan secara fair dan adil.
Yang tak habis dia pikir, kenapa setiap kali ada perubahan mesti ada tumpahan darah? Tidak adakah jalan yang penuh kearifan untuk mewujudkan sebuah perubahan? *** (Tancep kayon)
Sudah menjadi kebiasaan dalam sejarah di negeri ini, pembaharuan selalu menggerus dan membenamkan tradisi yang lama, kecuali satu…..tradisi korupsi :DD
Dunia wayang memang menggambarkan keadaan dunia manusia, selalu ada perebutan dan tumpah darah. Kapankah pergantian generasi dapat berlangsung damai? Tentunya harus dimulai dari pemimpin itu sendiri, yang mau memberi contoh nyata pada setiap orang.
Seandainya saja sosok bhisma itu berada dalam diri para penguasa di negeri ini, rasanya negeri ini akan menjadi negeri yang besar, adil, makmur dan sejahtera seperti harapan semua lapisan masyarakat , harapan kita mudah2an lahir di negeri ini jutaan sosok bhisma
Achmad Sholehs last blog post..Gus Dur VS Muhaimin Iskandar Mengapa Bisa Terjadi
Rakyat sekarang cuma bisa bengong melihat perang politik yang penuh intrik, pak.
Sangat sulit sekali mencari sosok Bhisma–yang bahkan menorbankan tahtanya dan bersumpah untuk tidak menikah–di negeri yang berkecamuk ini. 😛
Apalagi jika ceritanya seperti itu, pak. Calon-calon Bhisma pun bakal diseret arus politik yang kejam oleh mereka yang berkuasa. 🙁
sebuah tulisan reflektif kelas satu. terima kasih Pak Guru.
Salam Merdeka
Robert Manurungs last blog post..Muslim Gampang Marah Karena Pikiran Tertutup
wahh saluttt
zoels last blog post..Upload File n Data Ya di Bizhat aja
😕 😕 😕
pusing kang mbacanya…panjang + nggak negrto cerita wayang …
padahal kan itu budaya bangsa yak 1!?!?
afwan auliyars last blog post..Miss Universi 2008 Bugil kah …. ?!?!
analoginya menarik, menggunakan tokoh-tokoh pewayangan untuk refleksi kepada negeri sendiri.
memang tak mudah untuk berubah ya, pak?
marshmallows last blog post..Abandoning
jleng, jleng, jleng… negerinya telah lama merdeka, tapi Resi Bisma malah terkungkung sumpahnya. Citranggada kok tewas di tangan alien? :devil :oke
walah, Pak Sawali, ternyata memang paten ya? Saya sampai terlarut oleh ceritanya. Seperti membaca lakon beneran. Bahkan saya bisa sandingkan dengan novel Gajahmada ituh…namun lakon pak Sawali lebih mengena.. 💡 💡 💡
Iis sugiantis last blog post..Anda suka makan JCo,Dunkin atau Country Style Donat? Baca ini dulu ya!
Itulah pak di Negeri ini, waktui diluar menjadi pengkritik yang tajam dan pedas, waktu didalam malah jadi pemangsa yang ganas.
Apa orang indonesia itu tidak siap kaya, tidak siap pangkat, tidak siap menjadi pejabat. Yang mengkritik dan yang dikritik ternyata satu darah, dan celakanya sama sama tidak tahan godaan.
Makanya pernah saya menulis, kalau jadi pemimpin harus iklas dan tidak perlu dibayar, cukup semua di urus negara. Kalau tidak mau jangan jadi pemimpin, jadilah pengusaha. Biar tidak jadi pengusaha kekuasaan bisa rusak negeri ini, sesui ulasan pak sawali proyek untung rugi pribadi, bukan proyek untuk rakyat. Antar DPRD dan Pejawab daerah, antatar DPR Pusat sama pemerintah pusat.
Saya jadi heran apa ini watak, mental atau budaya. Jangan-jangan kalau saya jadai pejabat juga akan melakukan hal yang sama. Wah tak sugih ndisik di luar, biar nanti waktu jadi pejawab sudah gak doyan duit.
Salam Dari petani Internet Indonesia
Sumintars last blog post..Digoyang google posisi naik turun
walah…ternyata..hwe… aku baca judulna udah gresss… gitu… 🙂
Ada Raja, Ratu, Pangeran, Menantu, Sanak kadang. Namun kok tidak ada konglomerat nya pak Sawali. Dia juga turut andil dalam hal ini, menguras devisa bangsa itu. 👿 👿 👿 👿
laporans last blog post..Hyperreality Paradigm
“…perselingkungan di kalangan pejabat, korupsi, manipulasi, mark-up anggaran, subsidi yang salah sasaran, para petualang politik yang bermuka tembok, hingga lembaga hukum yang dinodai ulah para mafia dan hamba hukum yang korup dan tak jujur. Kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan pun masih menjadi sebuah pemandangan yang gampang dilihat di berbagai sudut dan pelosok negeri Hastina.”
Ya Tuhan. Sebegitu dekilnya kah negeri tersebut? Betapa mengibakannya.
Pasti Pak Sawali tak mau memberi bocoran, cerita di atas cerminan dari negeri mana? Kenapa, Pak Sawali? Rahasia penulis ya? Tapi rasa-rasanya aku kok familiar dengan kondisi seperti itu ya… Aduh, entah di mana, rasanya akrab betul.
Tancep Kayon, Pak Sawali…
Paranormal aja ikutan nyalon kepala daerah karena dapet bisikan bisa jadi pemimpin yang membawa kebaikan. Mungkinkah pak dalang akan mendapat wangsit juga? hihihi
L 34 Hs last blog post..Alkid jogja dikala sore
Saya jadi ingat… sebuah cerita sains fiksi di sebuah film seri, ceritanya adalah sekelompok ilmuwan yang hendak “memperbaiki sejarah dunia”. Ceritanya sekelompok ilmuwan masa depan melompat ke akhir abad ke-19 di Austria, guna membunuh atau menyingkirkan seorang bayi yang kelak akan menjadi seorang “Adolf Hitler” yang menjadi biang kerok Perang Dunia II kelak di tahun 1939-1945. Nah, sekelompok ilmuwan tersebut berhasil membunuh sang bayi. Namun apa yang terjadi?? Keluarga Hitler mengadopsi seorang bayi lagi, dan juga dinamai Adolf Hitler lagi, dan justru dari bayi inilah lahir Perang Dunia II. Huahahaha……
Memang, meskipun cerita ini hanyalah sebuah kisah sains fiksi, terkadang dari intrik politik dapat lahir cerita yang gress…… dan cerita “membingungkan” seperti menebak mana yang asli dan mana yang palsu memang selalu sangat menarik… huehehehe…..
Yari NKs last blog post..Terlalu Bergantung Pada Kekayaan Alam?
Nama Citranggada, Setiyawati, Wicitrawirya, Ambika, Ambalika sudah jauh dari kepala saya.
Yang masih saya kenali paling2 Gatotkaca, Arjuna, Werkudara, Burisrowo, Suyudono, Kumbokarno.
Ibarat penyanyi, saya hampir melupakan Charles Hutagalung, Barce van Houten, Anna Mathovani, Tanti Yosepha.
Saya lebih familiar dengan Ian Kasela, Dewi Persik, Trio Macan dan Inul.
Maafkan saya Pak Sawali… Ampun Ki Dhalang….
Saya ini masuk orang yang DAYA LUPANYA TAJAM
Akhirnya………
Muncul juga cerita wayang kontemporer yang lama saya nantikan.
Kangen.
Saya selalu suka dengan cara Pak Sawali memasukkan kritik terhadap bangsa ini. Walaupun saya tidak begitu mengenal setiap tokoh pewayangan yang dipaparkan, tapi saya yakin Pak Sawali telah melakukan seleksi karakter sesuai dengan muatan kritik yang akan dibeberkan. Salut.
🙄 🙄 🙄
suhadinets last blog post..Lagi, Kiriman Buku dari Pak Ersis Warmansyah Abbas: Menulis dengan Gembira
waduh….hehehe
mau puasa lho…
bersihkan pikiran hati perasaan
met ramadhan
Ada 1 contoh lagi seorang pemimpin yang luar biasa, Presiden dunia Akhirat
Siip Ki Dalang … semakin menghanyutkan nich
Maaf P Sawali, saya koment dulu. bacanya setelah offline 😀 (maaf skali lagi.. )
Salam
kapan Indonesia berubah tatanan dan tanpa pertumpahan darah
selama ini selalu diwarnai tumpahan darah meskipun darah para mahasiswa
Gimana Kabar teleh balik ke jawa jadi puas mbaca hehehhehe
Semoga sehat senantiasa
salam juga buat keluarga
kambingkelirs last blog post..Sehari Semalam
Saya kagum dengan blog ini. Sangat spesifik! 😡 Ternyata banyak hal yang bisa saya peroleh dari blog ini.
Semoga sukses terus, bro!
Wah p.sawali jago dalang juga..jangan2 yang ngisi rubrik jawapos tiap minggu tentang pewayangan kontemporer p.sawali 😀
Asik banget pak ceritanya …
Diahs last blog post..Rahasia Belajar SEO
ternyata negara kita mirip cerita wayang yak pak. setiap kali ada perubahan mesti diawali pertumpahan darah.
sungguh negara yang penuh dengan dengan nilai kesopanan berbalut pertumpahan darah
Zulmasris last blog post..WARISAN
Salam
Hmm paparan ciri khas Pakde menohok dan ngena banget ….
ya begitulah Pakde kayaknya sudah jadi hukum alam juga kali setiap perubahan pasti ada pengorbanan atau ada yang harus jadi korban atau sengaja dikorbankan mungkin, tak masalah dengan itu yang menjadi masalah justru kemudian perubahan itu bukannya lebih baik malah lebih ancur haduh :DD
nenyoks last blog post..Ajip Jaman Jepang
Kirain ga ada tulisan baru, soalnya judul hampir sama dengan tulisan sebelumnya.
Iwan Awaludins last blog post..Di Sini Ada Setan
kasihan rakyat di negeri Hastina sayangnya Bhisma yang tahu ilmu jeroan ksatria juga mindel mawon…. bukankah dengan melihat siapa Citraganda yang sebenarnya bisa memberikan pembelaan. Apalagi Citraganda pemenang dari Luar Angkasa… tapi apakah karena presidennya gak punya visi sehingga bisma ingin perubahan itu melalui jalur kekerasan..
Ah mbuh lah coba2 mahami cerpen pak Sawali yang makin mantep sajah… 😀
izin mbaca2 lagi pak setelah lama tak nongol….
kurts last blog post..Bid’ahku Bid’ah Kita Semua
semoga pemimpin kelak bisa membawa perubahan bagi negeri ini, dan tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik….dan semoga rakyat tidak salah pilih pemimpin sehingga kita semua bisa keluar dari keterpurukan ini……….
Perubahan memang butuh pengorbanan Pak. Minimal kita mesti mengorbankan kebiasaan lama yang mana kita sudah merasa nyaman melakukannya selama ini. Tapi selalu ada kekuatan dibalik perubahan.
Padahal dg cara damai jauh lebih uenak 🙂
achoey sang khilafs last blog post..“Komunitas Kebaikan”
Silakan tulis komentar Anda di sini!kenapa pak ngak nyoba metafornya pake budaya bapak (bapak bukan orang jawa kan, bugis kalau ngak salah)..hohoh tapi bagus ini
tragedi yang sangat menarik…:)