Sebagai salah satu produk kebudayaan, sastra berperan sebagai penjaga peradaban. Ia (baca: sastra) bagaikan “mata zaman” yang terus memancarkan nilai kearifan dalam memberikan kesaksian terhadap tanda-tanda zaman. Ia juga bisa menjadi media “katharsis” untuk menjauhkan diri dari rangsangan dan godaan inderawi yang bersifat hedonistik, konsumtivistik, materialistik, vandalistik, dan berbagai perilaku terkutuk lainnya. Sangat beralasan apabila sastra senantiasa diposisikan secara terhormat oleh para pendamba kebenaran, keadilan, dan kejujuran sebagai filter yang “ampuh” untuk membentengi diri dari berbagai tindakan anomali.
Yang tidak bisa dilupakan, tentu saja, “hamba-hamba” kebudayaan yang terlibat di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan sastrawan. Merekalah yang secara total dan intens terus melahirkan teks-teks sastra sebagai manifestasi kreatifnya dalam meneguhkan tanggung jawab moralnya sebagai “hamba” kebudayaan yang sekaligus sebagai penjaga peradaban. Disadari atau tidak, merekalah yang mendapatkan “dunia panggilan” untuk menjalankan peran kebudayaan dan peradaban itu. Melalui transfigurasi total kesastrawanannya, ia diharapkan mampu menjadi “juru bicara” nilai kemanusiaan hakiki. Melalui kepekaan intuitifnya, mereka diharapkan mampu memuliakan martabat manusia yang terekspresikan ke dalam teks-teks sastra yang indah bersama keagungan nilai moral yang ditawarkannya.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa seorang sastrawan mesti menjadi semacam “makhluk suci” yang (senantiasa) terjaga dan terbebas dari limbah dosa dan nista. Bagaimanapun juga, sastrawan juga manusia yang –suatu ketika—bisa saja tergelincir ke dalam lembah kenistaan. Namun, persoalannya menjadi lain jika “kenistaan” itu dituai bukan lantaran “tergelincir”, melainkan menjadi bagian dari buah tabiat dan karakter jahat yang sering dibungkus manis lewat karya-karya yang dilahirkannya. Jika situasinya demikian, maka –dalam pandangan awam saya—telah runtuhlah posisinya sebagai “hamba” kebudayaan yang sekaligus sebagai penjaga peradaban. Karya-karya “agung” yang telah diciptakannya akan menjadi “fosil” peradaban yang –pelan tapi pasti—hanya akan menjadi bagian dari sebuah sejarah yang kelam dan penuh luka sepanjang proses kreativitasnya.
***
Ya, ya, ya, sastrawan memang perlu menjaga marwahnya sendiri. Kehadiran sastrawan dalam rimba sastra Indonesia mutakhir agaknya tidak semata-mata dinilai berdasarkan karya-karya kreatifnya, tetapi juga “rekam jejak” sejarah kehidupannya. Seagung apa pun teks-teks kreatif yang telah dilahirkannya agaknya akan sulit menghapus “rekam jejak” kehidupannya yang kelam. Antara aspek intrinsik dan ekstrinsik saling berkelindan dan membangun sebuah kesatuan yang utuh dan padu.
Keserba-mungkinan yang “pahit” semacam itu menjadi semakin mustahil terhindarkan ketika dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global. Jejaring sosial, semacam facebook atau twitter, seperti mesin dan “juru bicara” informasi yang setiap saat bisa mengendus dan sekaligus mewartakan persoalan-persoalan yang paling “privacy” sekalipun. Sangat beralasan ketika seorang sastrawan yang notabene menjadi penjaga peradaban dan senantiasa bergelut dengan nilai-nilai kemanusiaan melalui teks-teks kreatifnya melakukan tindakan anomali yang diduga sangat bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkannya, dinding jejaring sosial jebol seketika. Facebook maupun twitter seakan tak sanggup membendung arus “kemarahan” dan “cercaan” para facebooker maupun tweeps terhadap sastrawan yang bersangkutan.
Mesti diakui, sastrawan di negeri ini masih menjadi sebuah “Indonesia” minoritas. Ia (baca: sastra) hanya digeluti oleh mereka yang mendapatkan “dunia panggilan”. Selebihnya adalah pembaca dan mereka yang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk menjadi “juru bicara” sastra di tengah-tengah lingkungannya yang sering kali kurang berpihak kepadanya. Dalam situasi demikian, tak jarang muncul pertanyaan yang serba tak terduga.
Apa gunanya belajar sastra kalau sastrawan yang selalu berjuang menggunakan bahasa untuk menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kejujuran, justru malah melakukan tindakan tak terpuji yang amat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang disuarakan dalam teks-teks kreatifnya? Masih bisakah karya sastra dijadikan sebagai sarana yang ampuh untuk membangun karakter anak bangsa ketika orang yang menghasilkan teks-teks sastra yang indah justru tenggelam dalam tindakan amoral? Benarkah orang yang gemar membaca karya sastra akan menjadi orang yang berbudaya? Bukankah sastrawan sudah sangat kenyang dengan bacaan-bacaan sastra bermutu? Namun, mengapa mereka gagal menjadi manusia yang berbudaya dan berperadaban tinggi?
Deretan pertanyaan semacam itu memang sebatas retorika. Sastra, termasuk kehidupan sang sastrawan, adalah dunia yang “otonom”. Tak seorang pun yang bisa meng-intervensi. Ia bebas menentukan jalan sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya. Meskipun demikian, sastrawan juga perlu terus berjuang untuk menjaga marwahnya agar kelak dicatat dalam sejarah sebagai sosok yang ikut berperan-serta menjaga peradaban agar tetap steril dari tingkah anomali yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh sastrawan yang bersih dan tidak cacat moral. ***
salut ya buat para sastrawan yang mampu bertahan di tengah zaman yg menganggap sastra itu kuno, susah dipahami dan nggak mengikuti zaman.
Ya, meskipun masih minoritas, sastrawan sejatinya memiliki kekuatan dahsyat utk melakukan perubahan, mas ndop.
semoga sastra di Indonesia berkembang pesat, dan kita jangan menganggap satrawan itu kuno…
Terima kasih gan atas informasinya, sudah beberapa hari ini saya mencari informasi ini, ini sungguh sangat membantu saya . mulai sekarang saya akan bookmark blog ini agar saya bisa kembali dan melihat informasi yang terbaru.
mungkin agan atau pengunjung blog agan juga membutuh kan infomasi dari saya, silahkan liat artilek saya yang sangat Mohon kunjungi website kami
http://www.168sdbet.com
Terima kasih
Terima kasih gan atas informasinya, sudah beberapa hari ini saya mencari informasi ini, ini sungguh sangat membantu saya . mulai sekarang saya akan bookmark blog ini agar saya bisa kembali dan melihat informasi yang terbaru.
mungkin agan atau pengunjung blog agan juga membutuh kan infomasi dari saya, silahkan liat artilek saya yang sangat Mohon kunjungi website kami
http://www.168sdbet.com
Terima kasih