Oleh: Ali Syamsudin Arsi
Di setiap pertemuan sastra yang kita tahu bahwa mata acara seminar merupakan bagian terpenting, ada rasa aneh saja bila masih terdengar pertanyaan mendasar, “Untuk apa seminar sastra itu.” Bahkan ada yang lebih parah lagi, “Seminar sastra itu tidak ada gunanya, buang-buang dana dan waktu saja.” Berlanjut dengan, “Yang paling penting adalah aktifitasnya mana dan buktinya mana, atau prestasinya mana.”
Kita pernah menghadirkan sastrawan D. Zawawi Imron pada agenda Aruh Sastra 1 di kota Kandangan, penyair Sutardji Calzoum Bachri pada agenda Aruh Sastra 3 di Kotabaru (bersama D. Zawawi Imron), penulis Korrie Layun Rampan pada agenda Aruh Sastra 4 di kota Amuntai, pengamat sastra Maman S Mahayana pada agenda Aruh Sastra 5 di kota Paringin, Abdul Hadi WM pada Aruh Sastra 6 di kota Marabahan, Raudal Tanjung Banua pada agenda Aruh Sastra 7 di kota Tanjung, Ahmad Syubhanuddin Alwy dan Yvone de Fretes pada agenda Aruh Sastra 8 di kota Barabai.
Tidak kurang itu saja, rekan-rekan sendiri yang berdomisili dalam wilayah Kalimantan Selatan pun yang memang mempunyai kemampuan sebagai nara sumber sudah pula dihadirkan, yaitu: Jamat T Suryanata, Sainul Hermawan, Maman S Tawie, Burhanuddin Soebely, Setia Budi, Syarifuddin R, Agus Yulianto, Rustam Effendi, M. Rafiek, Taufik Arbain.
Seminar, atau juga diskusi, terlebih dialog, atau perbincangan bahkan mengarah kepada perdebatan, semua itu tentu saja merupakan bagian dari arus deras dari sebuah perjalanan yang bernama proses kreatif. Selain itu, ada yang bernama ceramah, dan lebih khusus mungkin ceramah agama, ceramah ilmiah suatu keilmuan, ceramah budaya.
Semua bentuk agenda di atas adalah mempunyai tujuannya masing-masing, tetapi pada dasarnya adalah penyampaian informasi kepada orang lain dari seseorang atau bahkan dari orang-orang yang lain secara tunggal maupun jamak. Kalau ceramah agama itu sebuah kebutuhan bagi pemeluknya, kalau ceramah ilmiah itu merupakan kebutuhan bagi yang memerlukannya, ketika seminar sastra itu merupakan kebutuhan bagi pegiatnya maka adalah hal yang biasa diadakan dan itu bagian penting dari proses kreatif berkesenian tersebut, bagian penting dari bersastra tersebut.
Satu hal yang lepas dari pemikiran kita selama ini adalah, “Mengapa karya-karya kita (puisi atau cerpen) tidak secara menyeluruh dan mendalam dibicarakan dalam setiap seminar pada agenda Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang telah memasuki tahun ke-9.” Hal ini pernah pula dilontarkan dengan tajam oleh penyair Ibramsyah Amandit ketika seminar sastra terjadi di kota Paringin yang waktu itu mendatangkan pengamat sastra Maman S Mahayana. Ibramsyah Amandit benar, lontaran pertanyaan itu perlu mendapat respon positif dan mari kita upayakan untuk merealisasikan, bahkan rekan-rekan lain akan sepakat tentang ini.
Ada langkah strategis agar karya-karya ‘urang banua’ mendapat posisi utama dalam pertemuan yang bernama Aruh Sastra Kalimantan Selatan itu. Pertama, buku-buku sastra yang akan diterbitkan oleh panitia sejak dua bulan dari hari pelaksanaan sudah dapat diakses oleh calon pembicara/narasumber. Semisal bulan pelaksanaan agenda aruh itu September, maka minimal buku sastra sudah terbit di bulan Juni atau Juli pada tahun tersebut.
Perlu diperhatikan bahwa sejak pengumuman, kemudian pengumpulan, dan pengolahan data, lalu perancangan draf menuju buku pracetak, minimal memerlukan waktu 4 sampai 5 bulan. Proses cetak minimal 1 bulan agar mendapatkan waktu lebih bila ada kesalahan yang dianggap fatal.
Nah, urusan cetak buku ini alangkah baik ditangani oleh pihak provinsi Kalimantan Selatan, dalam hal ini boleh jadi melalui Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan, bekerja sama dengan pihak Dinas Pendidikan atau kepada pihal Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan, karena jumlah yang diperkirakan sangat banyak. Target distribusi buku-buku tersebut menjangkau seluruh perpustakaan sekolah yang ada di seluruh wilayah provinsi Kalimantan Selatan. Ini memang sebuah proyek besar bagi dunia pendidikan di Kalimantan Selatan, tetapi pertanyaan besarnya pun kembali berulang bahwa adakah komitmen serius dan berkesinambungan terhadap dunia pendidikan ini atau selama ini hanya isapan jempol belaka dengan berdalih macam-macam alasan.
Bila komitmen ini tidak pernah ada maka jangan berharap banyak akan terlaksana dengan baik, tetapi bila kesadaran kolektif ini tumbuh dengan sendirinya apa yang menjadi persoalan mendasar di dalam dunia pendidikan akan dapat terselesaikan, dan sastra bisa saja memulainya.
Lihatlah di rak-rak buku perpustakaan yang ada, semua nama masih dominan oleh penulis-penulis dari luar ‘urang banua’, kapan kita memulai bila kita sendiri selalu saja ‘terjajah’ oleh pihak di luar kita sendiri. Sungguh kita selalu saja tidak pernah membangun untuk kepentingan jangka panjang, karena proyek ini merupakan rangkaian yang jauh ke depan, tetapi harus dilakukan selangkah demi selangkah.
Itu bisa terlaksana dengan baik bila sejak jauh bulan persiapan semua keperluan sedini mungkin dibicarakan. Hal yang paling utama tentu saja pembentukan panitia dan penyusunan program secara pasti. Pasti dan tidak berubah-ubah di tengah jalan.
Seminar merupakan sebuah perjalanan batin bagi yang terlibat di dalamnya, dan proses kreatif sangat memerlukan itu karena aka nada getar-getar semangat dalam penulisan sebuah karya. Terkhusus bila karyanya dibicarakan oleh orang lain, dan itu terjadi pada ruang yang sangat mulia bernama seminar. Persoalan teknis tentu saja dapat dirumuskan lebih mendalam dalam rangka penajaman demi penajaman.
Apakah beberapa pihak terkait memahami ini semua atau akan berlaku pula, “Akh, cuek saja laaaaaaa….”
Banjarbaru bagaimana, apa yang sedang engkau siapkan? ***
pak sawali saya nyimak 😉
Semoga karya-karya ‘urang banua’ makin berkibar ya pak…menggeliatkan kembali zaman keemasan yang pernah dicapai oleh para sastrawan terdahulu…
semoga sastra di Kalsel semakin menggeliat
saya yakin, banyak warga kalsel yang memiliki potensi sebagai pujangga sastra
saya juga yakin,banyak calon yang berpotensi….
terkadang kekurangnnya adalah bagaimana menjadikan karyanya itu dikenal pak,,,saya juga suka menulis tpi tidak tahu karyanya harus diapakan lagi…
Sebenarnya bangsa kita sangat kreatif pak cuma budaya tulis menulis inilah yang masih saja kurang semangat.
sebenarnya negara yg maju itu negara yg pendataannya lengkap. Dan di Indonesia ini memang pendataannya kurnag lengkap. Makanya walaupun kaya akan budaya, tetapi masih kalah sama negara lain di bidang publikasinya.
Tapi semakin lama, seiring dengan bertambahnya blogger handal yg mengulas Indonesia, akan semakin terkenallah Indonesia di mata dunia ini..
Nah, menulis yg baik perlu ilmu sastra yg baik juga toh harusnya… Jadi sastra itu penting. Banget!
ikutan…
Visit TO my Blog Worlds-Of-gamers.blogspot.com
bagi saya, sastra kini tidak lagi mendapat tempat yang luas di hati para penerus bangsa. apakah ini karena semakin sedikitnya kesempatan belajar sastra di sekolah-sekolah? mungkin juga disebabkan guru-guru nya juga yang tidak paham akan sastra. beruntunglah sekolah tempat pak sawali mengajar, ada pak sawali yang menaruh perhatian besar terhadap sastra.
meskipun tdk punya latar belakang pendidikan sastra, saya cukup menggemari krya sastra. secara umum yg saya rasa, penggemar sastra di Indonesia maskin menurun. semoga di kalimantan selatan tetap semangat 🙂
sastra mengalir dan terjebak dalam darah teknik q 😀
jadinya galao terus nih om.
jadi nggak paham beginian 😀
Pak Sawali pindah ke Kalsel? nggak khan…saya setuju kalo karya karya sastra jangan dicampur adukkan dengan agama, biarlah mereka berdiri masing masing..sehingga krtisme pemikiran tetep dijaga…
Maju terus sastra Indonesia 🙂
ohhhhh gue stju kok
gbung jga yaa
http://motogp.unsri.ac.id/index.php/category/1
Sastrawan yank baek….
internet kini telah memberi andil besar dalam menghidupkan kembali sastra tanah air melalui media blog dan web
terus semangat berbagi Pak 🙂
emang anak kalsel hebat dalam sastra
hidup lebih berwarna dengan sastra
Wahh .. hebat hebat yaa..
semoga sukses …