Mengendalikan Naluri Agresivitas melalui Sastra

Sastra

Oleh: Sawali Tuhusetya

Belum reda air mata duka meratapi kepergian dua pelajar SMA 6 dan SMK Yayasan Karya 66 Jakarta bulan September 2012 yang silam yang tewas dalam sebuah insiden tawuran antarpelajar, nurani kita kembali tersayat oleh tewasnya dua mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) dengan kasus yang hampir serupa. Ironisnya, aksi brutal itu terjadi di depan Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Haji, tempat yang seharusnya steril dari aksi kekerasan dan vandalisme. Kematian tragis dan sia-sia ini bisa jadi merupakan akibat gagalnya para kandidat intelektual kita dalam mengendalikan naluri agresivitas yang tengah bergolak dalam dirinya. Mereka yang seharusnya akrab dan kuyup dalam tradisi dan budaya akademis untuk mengembangkan potensi kecerdasan justru saling adu otot dan pamer kekuatan. Entah, apa yang akan terjadi dengan masa depan negeri ini kalau mereka yang didambakan menjadi calon-calon pemimpin masa depan justru lebih akrab dengan panggung teror dan kekerasan ketimbang mimbar akademik.

Kita sangat menyesalkan mengapa peristiwa tragis itu kembali terjadi dan gagal dicegah. Sudah sedemikian rapuhkah kekuatan kontrol seluruh elemen bangsa ini sehingga terkesan melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik vulgar ala masyarakat Kanibal yang tak berperadaban semacam itu terus terjadi? Sudah bangkrutkah moral dan nurani bangsa ini sehingga kehilangan ruang kearifan dan keluhuran budi untuk mewujudkan pranata hidup yang lebih terhormat dan bermartabat?

Tiba-tiba saja, saya teringat pernyataan Danarto beberapa tahun yang silam ketika ditanya wartawan terhadap maraknya tawuran antarpelajar. Menurut sastrawan kelahiran Sragen (Jawa Tengah), 27 Juni 1940 ini, merajalelanya kasus tawuran antarpelajar bisa jadi lantaran mereka tak pernah membaca karya sastra. Di sekolah, mereka cenderung dijejali hafalan dan teori yang menjenuhkan. Akibatnya, kristalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam karya sastra gagal menjadi asupan gizi rohaniah yang mencerahkan.

Berlebihankah pernyataan Danarto? Saya pikir tidak. Sebuah karya sastra yang baik memantulkan dimensi kemanusiaan yang mampu merangsang pembacanya untuk menjadi manusia yang responsif, berbudaya, dan luhur budi. Semakin banyak membaca karya sastra, pembaca akan menemukan pengalaman-pengalaman baru dan unik sebagai “nutrisi” dan gizi batin yang mampu memperkaya khazanah rohaniah pembacanya. Di dalam teks sastra terkandung ranah kemanusiaan dengan segala problematika kehidupan yang begitu majemuk. Berbagai masalah hidup yang terepresentasikan dalam teks sastra mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembaca sehingga –disadari atau tidak– ia (pembaca) memiliki ruang kearifan dalam gendang nuraninya untuk bisa membedakan mana nilai kehidupan yang baik dan yang buruk. Seseorang yang telah memiliki tradisi membaca karya sastra yang baik akan mampu mengendalikan naluri agresivitas yang bergolak dalam dirinya.

“Dulce et Utile”
Pada mulanya, karya sastra memang untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dipahami. Akan tetapi, mengingat bahwa karya sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka persoalannya menjadi lain. Karya sastra berkembang sesuai dengan proses kearifan zaman sehingga lama-kelamaan sastra pun berkembang fungsinya. Yang semula hanya sekadar menghibur, pada tahapan proses berikutnya karya sastra juga mampu memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca. Hal ini relevan dengan idiom sastra “Dulce et Utile” (menyenangkan dan berguna).

Karya sastra yang hanya sekadar “memuja” keindahan, tanpa ada upaya untuk memproyeksikan nilai-nilai moral dan kemanusiaan di dalamnya, hanya akan berada di puncak menara gading keindahan yang kurang membumi. Ia (baca: karya sastra) tak akan banyak memberikan manfaat bagi pembaca yang rindu akan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi. Sebaliknya, karya sastra yang sarat dengan pepatah-petitih sosial tanpa diimbangi dengan kuyupnya nilai-nilai estetika, tak ubahnya seperti tumpukan famlet yang vulgar dan cerewet. Karya sastra bukan khotbah yang bersifat dogmatis. Karya sastra juga bukan teks orasi seperti yang biasa dilontarkan oleh para demonstran dengan berbusa-busa dan sarat dengan yel-yel atau karya reportase para jurnalis yang sering menghiasi headline surat kabar. Karya sastra sejatinya merupakan kristalisasi nilai-nilai kehidupan yang dengan amat sadar diendapkan oleh sang sastrawan berdasarkan kepekaan intuitifnya yang kemudian diekspresikan dengan menggunakan medium bahasa yang amat menyentuh, subtil, dan indah.

Itulah sebabnya, karya sastra yang baik tak pernah kehilangan daya tarik dan daya pesona untuk dibaca berulang-ulang. Karya sastra senantiasa menjadi “mata zaman” yang akan terus hidup dalam mewartakan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karya sastra memang tidak langsung sekaligus memberikan perubahan-perubahan. Akan tetapi, ia terus merangsang kepekaan nurani dan menjadi “prasasti” peradaban; tempat memahatkan nilai-nilai moral dan budi pekerti ke dalam khazanah batin pembacanya. Andai saja para pelajar dan mahasiswa di negeri ini memiliki tradisi membaca karya sastra yang baik, bisa jadi mereka akan mampu mengendalikan naluri agresivitas yang tengah bergolak dalam dirinya, sehingga tak gampang dihasut dan diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan konyol yang menodai kebersamaan dan keharmonisan hidup.

Apresiasi Sastra Terpinggirkan?
Sayangnya, apresiasi sastra di negeri ini masih menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal. Dari sekitar 220-an juta penduduk yang menghuni bumi Indonesia bisa jadi hanya sekitar 10% yang memiliki kadar apresiasi sastra yang memadai. Selebihnya, masih terperangkap dalam pemujaan budaya pop; sebuah budaya yang berkiblat pada penikmatan dunia seni berdasarkan selera massal. Lihat saja teks-teks sastra, seperti cerpen atau puisi yang bertaburan di media massa cetak pada setiap edisi Minggu. (Nyaris) teks-teks tersebut hanya sebatas dibaca beberapa gelintir orang saja. Berita-berita perselingkuhan, kekerasan, politik, hukum, olahraga, atau ekonomi, masih memiliki nilai jual tinggi ketimbang cerpen atau puisi. Tak berlebihan kalau banyak koran yang terpaksa harus menutup rubrik sastra lantaran sepi peminat. Katup bisnis kaum pemilik modal mungkin akan terasa lebih nyaman apabila koran yang dikelolanya memiliki space iklan atau berita-berita bernilai jual tinggi, sehingga tak sedikit pun berkenan menyisakan sedikit ruang kontemplasi melalui lembar budaya dan sastra. Belum lagi nasib buku-buku sastra yang (nyaris) lapuk tak tersentuh di rak-rak perpustakaan yang berdebu. Tak berlebihan pula kalau banyak penerbit yang merasa “alergi” untuk menerbitkan buku-buku sastra lantaran tak memiliki nilai jual.

Apresiasi sastra sangat erat kaitannya dengan pengalaman estetik, imajinatif, personal, dan kemampuan menggerakkan syaraf-syaraf intuitif untuk bersentuhan dengan beragam fenomena hidup dan kehidupan. Ia (baca: apresiasi sastra) tak bisa disamakan ketika seseorang menyantap hamburger atau menenggak bir yang bisa langsung terasa di kerongkongan atau tenggorokan. Proses apresiasi sastra sangat erat kaitannya dengan ranah emosional dan pengalaman batiniah. Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa proses apresiasi sastra menjadi sesuatu yang elitis dan soliter. Ia bisa digeluti, digauli, dan diakrabi oleh siapa pun tanpa membedakan status, jabatan, dan atribut-atribut sosial yang lain. Apresiasi sastra sah menjadi hak setiap orang. Ia akan sangat ditentukan oleh faktor minat dan “kemauan politik” untuk menyentuhnya.

Dengan kadar apresiasi sastra yang memadai, kita menjadi lebih toleran, peka, dan tak gampang terperangkap untuk melakukan tindakan-tindakan konyol yang bisa menodai citra keharmonisan hidup. Apresiasi sastra menjadi lorong yang tepat untuk membangun manusia yang lebih berbudaya, utuh, dan manusiawi. Melalui pengalaman-pengalaman hidup yang terungkap dalam teks sastra, pembaca akan mendapatkan asupan gizi batin yang cukup sehingga secara tidak langsung akan terus mengendap ke dalam gendang memori. Jika proses apresiasi sastra terus dilakukan secara intens dan total, kita makin kaya pengalaman hidup dan terus bersemayam ke dalam nurani, sehingga tak gampang menyakiti dan menistakan orang lain.

Entah sampai kapan apresiasi sastra di negeri ini terus terpinggirkan. Dunia pendidikan yang diharapkan mampu menjadi benteng untuk menyelamatkan apresiasi sastra di kalangan generasi masa depan pun agaknya makin tak berdaya akibat demikian kuatnya gerusan budaya pop di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sementara itu, menunggu keteladanan para pejabat dan kaum elite kita untuk mencintai dan mengakrabi sastra agaknya juga sebuah utopia bagaikan Menunggu Godot. Kalau sudah begini, bagaimana bisa bangsa yang besar ini mampu melahirkan generasi masa depan yang peka dan luhur budi yang sanggup mengendalikan naluri agresivitasnya kalau sikap empati dan responsif terhadap nasib sesama sudah diberangus oleh ledakan budaya pop sehingga miskin apresiasinya terhadap karya sastra? ***

29 Comments

    • saya pertama kali mendengar berita ini dari televisi, terus mencoba menelusuri di mesin pencari, agaknya memang benar.

  1. Karya sastra menjadikan kita berani mengalahkan perasaan benci menjadi cinta. Oleh karena itu mengapa wanita bisa klepek-klepek saat dikirimi puisi cinta,,,

  2. Ngeri juga ya, kayaknya mahasiswa kurang berpikir secara logis dan menggunakan hati nuraninya. Untungnya dulu saya hobi baca bukunya Khalil Gibran waktu kuliah..

    • Wow … mantab benar, Mas Gie. Karya-karya Gibran memang indah dan sarat dengan pesan-pesan moral, tetapi tidak terkesan menggurui.

  3. Pengendalian yang bagus pak, meskipun lewat sastra. Saya mengamati banyak pengaruh mahasiswa dan siswa berperilaku tawur-menawur itu. Pastilah ada ‘provokator’nya.

    • Bisa jadi demikian, Pak Wandi. Kalau pelajar dan mahasiswa memiliki benteng moral yang kuat, meski ada “provokator” yang bermain, tidak mudah tergelincir kok, Pak.

  4. Supaya sastra tidak terpinggirkan, coba MGMP B. Indonesia ngadain lomba RUTIN per tahun pak.

  5. Peran aparat kepolisian harus ditegaskan lagi ya pak, misalkan ngadain GDN bagi siswa dan mahasiswa kayak dulu.

  6. Mungkin juga karena akibat terlalu banyaknya waktu yg dihabiskan di lapangan ketimbang mencoba mencari teori-teori baru untuk dipahami, karena seharusnya kan dari teori itu kita bisa bersikap secara sebagaimana mestinya 🙂

    • Kalau mereka di lapangan melakukan penelitian untuk mengumpulkan data, pasti malah akan lebih bagus, Mas Pras, apalagi kalau diimbangi dengan penguasaan teorinya. Insyaallah tawuran pun bisa diminimalkan.

  7. malah tiap bulan aja, @aneka berita. kalau pertahun suka lupa, kejauhan jaraknya. sebenranya lomba itu sudah banyak sekali, cuma respon anak muda saja yg kurang. betul kata pakdhe sawali, budaya pop sudah merajai.

    • Ada benarnya juga, Damai. Makin sering diagelar lomba semakin bagus sepanjang dukungan anggarannya memadai, hehe …

  8. Negara-negara maju memang sangat memperhatikan penanaman budi pekerti melalui apresiasi karya sastra. Bahkan tetangga kita, Malaysia, banyak menggunakan buku-buku karya Pramudya Ananta Toer untuk para pelajar di tingkat dasar dan menengah.
    Keluarga-keluarga di Jepang melengkapi rak-rak di perputakaan keluarga dengan beragam karya sastra lokal maupun internasional. Paling tidak kita harus memulai tradisi apresiasi literasi ini dari lingkungan terkecil kita nggih Pake?

    • Benar sekali, Mas Nanang. Idealnya memang demikian. Semoga saja langkah-langkah negeri maju yang memiliki kepedulian besar dalam menumbuhkan budaya literasi juga mulai diikuti dan diperhatikan oleh pemerintah kita.

  9. Dunia pendidikan memiliki suatu tantangan dalam berinovasi dalam hal pengembangan tehnik pendektan terhadap para peserta didiknya. Agar para peserta didik tidak merasakan jurang pemisah dengan ketidak nyamanan diantara mereka. Di perlukan suatu ketegasan sebagai contoh nasehat kebaikan yang dibangun dilingkugan sekolah dengan. Hanya dengan rasa nyaman dalam hubungan kekelauargaan yang harmonis di lingkungan sekolah dan rumah tangga, maka kita dapat menciptakan generasi muda yang dapat meminimalkan sifat naluri keagresifannya.

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah’s Blog

  10. Menumbuhkan minat anak gemar membaca karya satra sejak dini, memang dirasakan banyak manfaatnya yaitu untuk membentuk kehalusan rasa yang merujuk pada pembentukan karakter atau keluhuran budi pekerti. Dengan budi pekerti luhur sedikit banyak akan membatasi sifat beringas atau agresive karena sudah tertanam rasa tepa slira/tenggang rasa terhadap sesama. Demikian Pak, Selamat berkarya 🙂

  11. haa.. setuju banget Pak Guru.. cuma minat membaca sastra ini sangat kurang dikalangan siswa

  12. Sastra & peradaban memiliki kaitan yang erat. Sejarah perjuangan Bangsa ini pun penuh goresan warna sastra & budaya pada umumnya.

    Remaja pada umumnya memiliki energi & potensi yang luar biasa, seringkali disalurkan dengan cara yang salah dengan alasan pencarian jati diri dsb.

    Tulisan-tulisan seperti di http://sawali.info ibarat mata rantai yang hilang pada Teori Darwin, membangkitkan gairah & motivasi bagi banyak orang untuk peduli akan pentingnya pendidikan, sastra dan budaya melalui tulisan.

    • Setuju sekali, Mas. Sastra dan budaya, meski seringkali tak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan penguasa, ia akan terus hidup dan akan senantiasa menjadi “mata peradaban”.

  13. Mungkin saja sistem pendidikan kita yang kurang begitu ngena pada para pelajar menjadikan mereka mencari pelampiasan lain yaitu tawuran. Banyak hal harus segera dibenahi baik dari sistem pendidikan dan kurikulumnya

    • Setuju sekali, Bos. Sistem pendidikan dan kurikulum bukan satu-satunya penyebab siswa tawuran. Persoalannya rumit dan kompleks ketika terjadi perubahan dan pergeseran nilai. Semua pemangku kepentingan pendidikan perlu bersinergi untuk mengatasi masalah kekerasan di kalangan pelajar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *