Dalam beberapa dekade terakhir ini, sastra kita “seolah-olah” berjalan tanpa kritik. Hampir setiap minggu berbagai teks kreatif bertebaran di berbagai media cetak. Bahkan, jika kita sedikit cermat, hampir setiap saat, teks-teks kreatif bermunculan di media virtual. Diakui atau tidak, sastra cyber telah menjadi sebuah fenomena baru dalam jagad sastra mutakhir kita. Tidak sedikit pengarang bertalenta besar yang lahir dari dunia cyber. Banyak web kolaboratif dan blog yang dimanfaatkan banyak pengarang (era baru) sebagai “branding” personal untuk beraktualisasi diri dan berekspresi. Tulisan-tulisan mereka yang terpublikasikan di sebuah web atau blog tak jarang diterbitkan menjadi sebuah buku yang kemudian dibedah beramai-ramai melalui berbagai komunitas.
Persoalannya sekarang, apa yang akan terjadi jika sastra kita “seolah-olah” berjalan tanpa kritik? Bisa jadi, para pengarang yang telah menahbiskan dirinya sebagai pengarang “papan atas” yang sudah memiliki tradisi kepengarangan yang khas akan memandang kritik sastra sebagai omong-kosong. Ada atau tidak ada kritik, sastra akan jalan terus. Namun, bagi pengarang yang tengah meniti karir dan masih membutuhkan “legitimasi” kepengarangan, bisa jadi kritik sastra akan dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mereka amat membutuhkan asupan kritik untuk menjaga atmosfer dan “adrenalin” kepengarangannya. Melalui kritik, seorang pengarang bisa mengetahui derajat kreativitas kepengarangannya sehingga akan terus terpacu untuk mengasah dan menajamkan pena kepengarangannya. Selain itu, kritik sastra juga akan sangat bermakna untuk kepentingan apresiasi. Melalui kritik sastra, kepentingan pembaca bisa terjembatani melalui model pendekatan yang digunakan sang kritikus.
Di tengah derasnya arus produktivitas teks sastra yang terus mengalir, baik melalui media cetak maupun virtual, sejatinya sastra kita sangat membutuhkan kritik. Kita sangat merindukan sosok kritikus semacam alm. H.B. Jassin yang dengan telaten dan cermat memberikan kritik terhadap teks-teks sastra yang lahir pada zamannya sehingga dinamika sastra benar-benar terjaga. Di tengah minusnya produktivitas karya sastra, sang “paus sastra” Indonesia itu memburunya dari berbagai media untuk kemudian didokumentasikan dan dikritik. Para pengarang pun merasa amat terhormat dan bangga ketika karyanya mendapatkan sentuhan kritik H.B. Jassin.
Kini, ketika karya sastra tumbuh dengan suburnya di berbagai media, sastra kita justru mengalami krisis kritik. Bisa jadi, munculnya kantong-kantong dan komunitas sastra untuk melakukan bedah karya atau bedah buku –atas kolaborasi antara sang pengarang dan networker kesenian– merupakan salah satu upaya untuk menemukan ruang kritik yang dianggap bisa menjaga dinamika sastra itu. Siapa pun yang datang berhak untuk menjadi “juru bicara” karya sang pengarang. Bisa jadi, kritik yang terlontar dalam berbagai forum semacam itu tak bisa dikategorikan sebagai kritik sastra “kanon”, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk menjaga “gawang” kritik sastra yang selama ini miskin penghuni. ***
Kalau soal kritik , saya mau menyoroti soal kritik film ya pak, soale saya pahamnya itu
yang saya lihat, beberapa blog/website yang mengulas kritik tentang film-film yang sudah diyakini bagus oleh masyarakat, disana malah banyak komentar kontra, seperti : “Ini film sudah jauh lebih bagus dari film bla bla bla, dihargain kek” “Ini karya anak bangsa, kok masih aja dicela” dsb. bagaimana itu pak 😀
dan kayaknya kritik sastra ini memang sudah gak ngetren pak, karena yang ngetren adalah kritik pemerintah 😆
meskipun tidak sama, tapi ada kemiripan, mas fadhil, antara kritik film dan sastra, hehe …. saya sedih juga setiap kali membaca kritik yang terlalu tendensius, sa,a sekali tdk diikuti dengan sikap apresiatif.
Ada gak kemungkinan bahwa miskin kritik ini juga berkaintan miskin pembaca Pak? Sekarang tak begitu banyak orang yang suka membaca karya sastra. Sebab untuk mengeritik kita kan butuh pengetahuan terhadap apa yang dikritik..Lah kalau tak suka membaca, tak punya pengetahuan, apa yang mesti dikritik..Jadi saya curiga berkurangnya kritikus sastra pasti berbanding lurus dengan berkurangnnya minat masyarakat terhadap karya sastra.
sejak dulu sastra memang kurang diminati, bu evi, termasuk dari kalangan muda. namun, utk soal kritik agaknya ndak ada hubungannya dengan soal minat masyarakat. kan setiap tahun lulusan fakultas sastra pasti melulusan sekian sarjana sastra. kenapa dari institusi ini kok ndak pernah bisa melahirkan kritikus sastra ulung, ya?
mantap gannnnn
Ada suatu ide agar karya sastra banyak dikritik, yaitu dengan adanya suatu blog yang memuat resensi buku-buku sastra. Sama halnya dengan blog-blog yang berisi tentang resensi film-film. Komentarnya luar biasa banyak. Namun kelemahan dari sastra ini adalah kenikmatan dan waktu yang diperlukan untuk membaca berbeda dengan film, hingga akhirnya kritik-kritik sangat sedikit.
Andaikata ada blog tentang resensi buku, tentunya harus dipilah-pilah lagimengenai kritikan yang bermutu atau tidak.
wah, kok jadi kepikiran utk membuat blig yang khusus memuat ttg resensi buku sastra, info yang menarik. yang jadi persoalan, blognya dikunjungi atau tidak, ya?
Hi..hi.. maaf salah reply nih. itu tergantung network marketingnya mas. Kalo gencar kampanyenya pasti bisa, dan tentunya pasar itu selalu terbuka. Pasti aja ada pembaca yang berminat.
oh, bener juga, mas. ternyata blog pun perlu dipromosikan juga.
Itu mungkin karena nilai Nilai Bahasa Indonesianya banyak yang jeblok ya Pak..he he
Ow, kalo itu tergantung network marketingnya mas. Kalo gencar kampanyenya pasti bisa, dan tentunya pasar itu selalu terbuka. Pasti aja ada pembaca yang berminat.
Soal satra saya tidak tahu sama sekali.
Tidak menarik dan tidak tertarik 😀
kalau menurut saya malah itu tantangan,, apa itu sastra sebenarnya,,
terkadang membuat pusing juga karena dengan bahasa yang sulit untuk di mengerti…
Bner juga pak..banyak yang beranggapan sartra ini sudah bagus lah,sudah sempurnahlah,pokognya jawabannya selalu stuju.jadi kritik sulit muncul
kalau masalah-masalah kritik-mengkritik bukan saya ahlinya,,
hehehee…
memang kritik sastra indonesia kini sedang dalam keadaan ‘krisis’, bahkan hampir2 ‘sekarat’
So, kita sekarang sangat merindukan sosok baru pengganti H.B. Jassin.
semoga dg tulisan ini ada yg terinspirasi untuk menjadi ‘badal’ dr H.B. Jassin
kita sudah lama menunggu kehadiran sosok HB Jassin “yunior:, mas, tapi kenapa ndak lahir juga, ya?
semoga aja gak mundur ya dunia sastra indonesia…
Setuju sanget Pake……
Barangkali berbagai komunitas sastra dan jurusan sastra di perguruan tinggi bergandengan tangan untuk bersinergi nggih!
setuju banget, mas nanang, memang idealnya seperti itu.
bener pak ! ngerasain juga. untuk ada bapak yang selalu support
ya pak,padahalkan kritik itu sangat bermanfaat untuk menjadi lebih baik lagi.
Terus terang saya mau komentar apa diblog bapak, setiap saya berkunjung ke blog bapak selalu saja ada ide dan pembahasan lain, menarik untuk dibaca. Blog bapak sangat inspiratif.l
jadi inget dulu baca buku soal H.B Jassin dan kawan-kawan, menjadi puitis yang membuat puisi saja, kritikannya bisa sangat-sangat banyak, apalagi karya sastra lain yang lebih berat naskahnya. sekarang sih, apa adanya, dikritik atau gak tetep jalan apa adanya.
Walaupun bukan sastrawan tetapi saya dulu juga senang baca kritik sastra. Maklum, dulu saya pengin juga jadi sastrawan, hehehe. Coba saya dulu dikasih nama Sastra, tentu saya nggak butuh kritik seperti sastra yang dimaksud Pak Sawali…
hehe … kalau gitu yang butuh kritik hanya yang bernama “sastra” doang, mas arif?
Dulu, saat masih mencoba menjadi “sastrawan”, saya sudah membaca masalah ini di majalah Horison kalau gak salah. Lucu saja, gimana mau berkembang kalau tak ada yang kritik-mengeritik. Apakah ini sebabnya sastra kita seperti kerakap di atas batu?
memang benar, mas eko, sebenarnya ini lagu lama juga. eh, ternyata hingga sekarang belum berubah juga.
bagus pak 🙂
persoalannya mas, mungkin apakah penyair-penyair yang lahir pada abad digital ini sering dikategorikan “penyair instan” ?, sehingga keenganan kritikus sastra yang ingin mengapresiasi “sastra instan”. Jadi perlu mendefinisikan dulu apakah persoalan ini, sehingga karya sastra bisa diterima oleh semua kalangan. Atau mungkin di zaman digital ini dibutuhkan pertarungan yang makin ketat dalam hal – “branding” personal untuk beraktualisasi diri dan berekspresi – seperti pada saat jargon-jargon sastra tempo dulu pun mengalami hal yang sama kan??….
Seharusnya juga, kita memberi apresiasi setiap karya kritik sastra yang sudah mulai jarang karena untuk bisa mengkritisi sastra dibutuhkan inteletualitas, pengetahuan, wawasan dan kemampuan “membaca” pikiran penyair sehingga memberi pencerahan buat pembacanya.
ada benarnya juga, mas bud. justru karena itu, saya sok usil bertanya, ke mana saja ya para alumni fakultas sastra kita sehingga produktivitas karya sastra yang terus mengalir tak pernah kena sentuhan kritiknya? saya kok kurang begitu yakin kalau mereka kurang memiliki inteletualitas, pengetahuan, wawasan dan kemampuan “membaca” pikiran penyair, hehe …
membayangkan apajadinya saja sudah pusing, ya sudahlah memang paman Sam cocok jadi polisi dunia yang baik hati, bila kena demo warganya…kan tidak main tembak!! seperti di negeri dongeng 😀
maaf mas…salah reply whahahahaha…..
saking asiknya bolak-balik catatan ini 🙂
Saya termasuk peminat sastra, meski belum menjadi penggiat sastra seperti Pak Syawali.
Bagi saya sastra ibarat dosis, ada kadar tingkatannya.
Mohon kiranya Pak Sawali mengulas tingkatan sastra itu sendiri.
😛
Salam,
Roni Yusron – Belajar Tanpa Batas
Sebenarnya kritik itu ada tapi kritiknya yang bagaimana dulu? Yang saya tahu ada dua kritik yang bisa dikategorikan. Pertama kritik sastra akademik dan kritik sastra umum. → http://zakiiaydia.com/2010/12/21/menyimak-peran-kritik-sastra-akademis/
Mungkin yang kritik sastra umum banyak dijumpai meliputi “Ih bagus benar puisinya, aku suka deh” ataupun seperti ini “Puisinya kurang dipadati alur yang pas”
Apabila benar hanya kritik itu yang banyak didapati, tak ayal lah tak ada pengembangan. Yang seharusnya menjadi pionir adalah kritik sastra yang berbasik akademik itu.
Salam hangat mas 😀
Salam hangat juga, Mas Zaki. Kritik memang masih ada dan tak akan pernah mati. Namun, masa2 kritik yang subur seperti eranya HB Jassin agaknya sudah “mati”. Kini jumlah karya kreatif sangat timpang dengan jumlah karya kritik yang muncul.
Salam Kenal gan 🙂