Pernah mendengar idiom “wani pira?” Ya, ya, idiom bahasa Jawa yang bermakna “berani berapa?” yang meluncur dari mulut seorang bintang iklan sebuah produk rokok itu belakangan ini begitu populer. Dalam pandangan Sumbo Tinarbuko, ungkapan ini telah menjadi sebuah ideologi yang dianut oleh para pemuja budaya instan yang menisbikan proses. Untuk mendapatkan pangkat, jabatan, dan kedudukan, mereka tak segan-segan melakukan jalan pintas dengan memberikan uang pelicin ketika ada tawaran yang menggiurkan. Mereka tak mau repot-repot menempuh proses berliku dalam mendapatkan sesuatu.
Idiologi Wani Pira (IWP) – meminjam istilah Sumbo Tinarbuko – agaknya telah berhasil menjaring banyak pengikut. Mereka tak segan-segan mengeluarkan uang pelicin alias suap demi memuluskan langkahnya dalam meraih mimpi dan harapan. Saya tidak ingin menyoroti idiom ini dari sisi politik dan ideologi. Biarlah hal itu menjadi kajian dari para pakar ilmu politik, sosial, atau komunikasi. Saya justru ingin melihat penggunaan ungkapan populer ini dari sisi pragmatik.
Harus diakui, tim kreatif pendesain iklan rokok tersebut cukup imajinatif. Untuk mempromosikan produk yang diiklankan, mereka dengan sengaja memanfaatkan ungkapan untuk menyentil maraknya fenomena suap yang belakangan ini cukup marak. Dari sisi ini, pendesain iklan secara tidak langsung bermaksud untuk menyindir perilaku anomali yang sering dilakukan oleh para pengikut IWP. Persoalan pihak yang disindir kena tembak atau tidak, merasa tersindir atau tidak, setidaknya pendesain iklan telah berhasil membangun opini publik tentang merajalelanya fenomena suap itu. Dengan cara demikian, memori publik akan selalu diingatkan tentang “penyakit sosial” ini meski disadari benar iklan tersebut bukanlah iklan layanan masyarakat.
Dalam perspektif pragmatik, idiom “wani pira” bisa dikategorikan sebagai tuturan direktif (impositif) yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu. Yang termasuk kategori ini di antaranya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, atau menantang. Tuturan berikut merupakan tindak tutur direktif menuntut, menyarankan, dan menantang.
1. “Kamu harus bisa menjadi juara pertama lomba baca puisi tingkat nasional.”
2. “Sebaiknya Anda berangkat sekarang juga.”
3. “Kalau Anda memang berani, mengapa diam saja?”
Dalam idiom “wani pira”, tersirat maksud “menantang” yang ditujukan kepada mitra tutur. Meski agak bernada “slengekan”, santai, dan bercanda, proses komunikasi sosial yang dilakukan telah menimbulkan banyak tafsir. Ada kontradiksi nilai yang dibangun. Tokoh jin dalam iklan yang terusik oleh permintaan seorang manusia yang bermimpi untuk menghilangkan fenomena suap, dengan mantab dan percaya diri tokoh jin sanggup mewujudkan mimpi itu. Namun, si manusia tak sanggup menyembunyikan kekecewaannya ketika dengan tiba-tiba meluncur ungkapan “wani pira” dari mulut si jin dengan nada “mengejek”. Bisa jadi, adegan parodi itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan betapa tidak mudahnya memberantas praktik suap itu.
Meski tergolong “cerdas”, iklan tersebut juga bisa membawa implikasi sosial tersendiri. Karena ditayangkan di ruang publik, anak-anak yang menonton tayangan iklan itu bisa jadi ikut-ikutan bersikap latah dengan melontarkan idiom “wani pira” ketika sedang terlibat dalam proses komunikasi dengan orang-orang terdekatnya. Jangan-jangan, mereka tanpa beban dosa akan mengungkapkan idiom “wani pira” ketika disuruh orang tua atau orang-orang terdekatnya untuk belajar, membantu orang tua, atau berkarya. Sungguh akan merepotkan, bukan? ***
wah jika melihat dampak negatifnya dimana anak-anak juga menonton, saya jadi kuatir pak guru, nanti anak-anak itu kelak akan tumbuh menjadi koruptor masa depan. apa-apa: wani piro?!
bisa saja seperti itu,, kemarin adik saya itu disuruh guru bahasa indonesia untuk lihat mario teguh golden ways,, padahal ya masih duduk di kelas 3 SMP,, pesan dari bapak saya waktu itu “ndukkk… kamu belum waktunya nonton seperti itu…”
hehehee…
semoga saja, para ortu tetap bisa melakukan pendampingan ketika anak2 nonton tayangan tv, mas.
itu dia, bu dokter. para pengelola stasiun TV agaknya perlu juga memperhatikan dampak yang ditimbulkan oleh tayangan acaranya, termasuk iklan.
Benar sekali apa yang diungkap dalam paragraf terakhir. Anak-anak—orang dewasa juga—begitu ringan mengucapkan kalimat tersebut. Meskipun saat ini masih dilakukan dengan bercanda—benar-benar bercanda—tapi apa jadinya jika mereka menghadapi situasi yang memungkinkan mereka melakukan suap, akankah latahnya akan keluar “begitu saja”?
wah, makin repot juga kalau korupsi dan main suap dilakukan dengan sikap latah, mas, hehe …
hee ya juga ni semuanya gara2 iklan itu bilang wani piro terus
semoga saja iklan tersebut hanya sebatas dianggap sebagai selingan belaka.
bener tuh mas, kata kata wani piro kadang bisa berdampak buruk bagi anak anak karena anak jaman sekarang tuh gampang menirukan apa yang sedang di tontonya.
bener sekali, bos, itulah sebabnya para pemasang iklan juga perlu hati2 dalam memilih ungkapan maupun bahasa gambar agar tdk gampang dan latah ditiru oleh penonton.
waahh, bener juga tu kalimat yg terakhir, kalo bisa di salah artikan oleh anak-anak kan bisa jadi repot…
betul sekali, itulah yang mengkhawatirkan. di tengah kuatnya upaya utk memberantas suap dan korupsi akan menjadi masalah kalau iklan justru memicu suburnya fenoemana suap.
Wah kebetulan banget kalau saya semalam baru saja bikin akun di sebuah forum dengan nama yang menggunakan idiom ini… :p
oh, ya? kok bisa ya, mas pras, hehe …
Waktu SD, ijazah saya ada nilai merahnya. Tapi saya tenang karena orangtua saya menanamnkan satu hal: “Kalo kamu bisanya empat sudah pol, dan mengerjakan tanpa nyontek, Bapak dan Ibu lebih suka begitu.”
Setelah saya dewasa, saya dan anak saya menandatangani dokumen edaran dar sekolah. Isinya, kalau siswa ketahuan nyontek, dan ketahuan melakukan plagiarisme (termasuk dari internet), maka langsung dikeluarkan tanpa peringatan. Dan itu terbukti pada kasus anak lain.
Sang kepsek memegang teguh satu hal: sekolah tak boleh ikut arus masyarakat. Saya salut. Tujuan bukan berarti menghalalkan segala cara.
kepala sekolah yang patut di tiru..
masih adakah karakter kepsek itu disekitar saya?? (celingak-celinguk)
semoga saja, mas ada yang lain, pak koes, hehe ….
wah, luar biasa, paman tyo. semoga saja langkah kepsek yang konsisten semacam itu diikuti oleh kepsek2 yang lainnya. terima kasih infonya, paman.
Saat ini lembaga sekolah, dan para pengurusnya, berada di tengah pertarungan nilai (lihat posting 69 kata: http://kopi69.com/2011/09/12/anak-sma-bawa-mobil-ke-sekolah/). Banyak kepala sekolah yang tak kuasa menghadapi ortu kuat/kaya. Sebagai ilustrasi, cara menangani tawuran saja gak bisa tegas justru karena tak bisa melibatkan ortu siswa (lihat catatan Totot: http://jurnal.pakde.com/?p=1972).
Soal “wani pira” semakin memepet mereka yang lemah, termasuk birokrat yang mengurusi lembaga pendidikan.
kenyataan seperti itulah yang terjadi, paman. seringkali uang dan kekuasaan mampu membunuh idealisme dan kearifan sikap hidup! repot juga.
sekarang anak anak nggak boleh nonton tipi lokal saja kali pak,
yah kemaren temen baru jemput anaknya yang masih TK, baru ketemu di sekolahnya tanya ke bapaknya,
“Pak pak, bapak tahu kartu internet?”
temen jawab, “Nggak tau nak”
dengan spontannya anaknya bilang, “NDESOOO!!!”
bener bener speechless pak kalau sudah gini….
#tepokjidat…
wah, makin repot, tuh, mas sri. para tim kreatif iklan perlu lebih selektif nih dalam memilih kata2 atau ungkapan.
Assaamu ‘alaikum. Saya adalah blogger pemula.
Menarik sekali blog bapak.
Kalau menurut saya. Memang kadang-kadang dalam iklan terdapat kata-kata yang menyindir seseorang atau lembaga. Tetapi pengiklan harus cermat memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat kita. Jangan sampai iklan yang ditayangkan berdampak negatif terhadap bangsa kita.
waalaikum salam. saya setuju sekali, mas. tim kreatif iklan TV harus benar2 memperhatikan dampak yang mungkin terjadi akibat penggunaan ungkapan atau kata2 yang digunakan dalam iklan.
thanks iia mas infonya,,
hampir sama dengan ini ya pak,,
http://satulagi.com/newz/wani-piro-muncul-dari-mario-teguh
saya gak berani pak sawali…
Emang bener, pak. Aku juga lihat, banyak sekali iklan-iklan yang tidak mendidik. Tapi, memang harus diakui kalau iklan mereka menarik. Kalau menurutku sich, yang harus dilakukan ya mendampingi anak-anak kalau sedang melihat TV.
seuju banget, mas tanto. kehadiran tv di rumah agaknya mustahil ditolak. yang perlu dilakukan ortu adalah melakukan pendampingan saat anak nonton TV.
bagaimana ini pak,,kalau segala sesuatu bisa di selesaikan dengan ‘wani pira?’ moral bangsa ini,,semoga banyak yang sadar dan tidak menjadi seperti mereka yg mengandalkan ‘wani pira?’
itulah yang menyedihkan. realitas sosial yang terjadi ternyata memang demikian. bahkan, “wani pira” kini sdh menjadi budaya baru.
Ujian Nasional,
Mengapa aku semakin sedih dengan engkau wahai ujian anak negeri ini?
Ujian nasional, pendidikan karakter, dan impian-impian anak bangsa: dipandang semakin tak nyata. Kang Sawali, ada banyak cerita yang akan menjadi cerpen-cerpenmu nanti bersumber dari ketiga hal tersebut. Selamat berkarya. Tapi, jangan sampai karyamu memakan daging-daging dalam tubuhmu yang tak kunjung tambun.
salam kenal mas bro 🙂