Cerpen: Ali Syamsudin Arsi
Dia datang dari sebuah kampung di pinggiran wilayah kabupaten. Kampung yang ditumbuhi pohon-pohon rindang, pohon-pohon itu berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. kampung Dadap adalah nama yang tidak asing baginya.
“Sebenarnya aku tidak betah tinggal di kampung ini,” ucapnya suatu ketika kepada kawannya melalui sebuahsurat, ia menumpahkan banyak persoalan.
“Tapi bila kamu melepaskan diri dari kungkungan kampungmu sendiri, lantas daerah mana yang akan menjadi tanah harapanmu,” tanya rekan korespondennya dengan maksud untuk dapat memastikan bahwa ia sendiri sangat peduli akan persoalan orang lain. Membacasuratbalasan itu Dulmas terdiam.
Dulmas lahir sebagai anak dari seorang kepala desa. Di rumahnya sendiri banyak bahan bacaan yang disantapnya. Dari beberapa majalah ibukota sampai langganan suratkabar lokal. Dulmas ternyata seorang pembaca yang teliti dan memang tekun, bahkan kadang sampai bersuntuk-suntuk bila sudah ada bahan kunyahan dalam berbagai bentuk, boleh buku, boleh majalah, boleh koran atau bentuk yang lain.
Ibu Dulmas seorang guru, sebagai PNS yang sudah cukup lama bertugas, terkadang berpindah-pindah tempat tugasnya, dan perpindahan itu tidak pernah ia kehendaki, orang-orang di lingkungan dinas tempatnya bertugas terlalu sering memanfaatkan kewenangan mereka agar bukan hanya ibunda Dulmas tetapi lebih banyak guru yang dimutasikan dengan semau-maunya saja.
Ayah Dulmas sejak kecil sudah biasa dengan barang-barang dagangan, mereka mempunyai sebuah toko di ibukotakabupaten yang jaraknya sekitar 5 kilo meter dari kampung Dadap.
“Ayah, saya ingin pergi dari kampung ini, ingin ke luar pulau,” saat yang dikiranya tepat, mencoba menyampaikan hasrat lama yang bersemayam dalam pikirannya. Lelaki sebagai ayahnya hanya diam dari kata-kata, tetapi ujung matanya mencoba masuk ke dalam alam pikiran anaknya yang baru saja datang kepadanya, dan ia mendengarkan kata perkata dari anaknya. “Dulmas, apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan,” ibunya menyela lebih dahulu sebelum suaminya menguraikan pendapat. “Sebaiknya kamu pikirkan lagi dengan baik dan berulang kali, sebab kakakmu Saldah selepas bulan haji nanti akan melangsungkan pernikahan, ini perayaan kita yang pertama tentu saja kamu dapat menyaksikan persandingan mereka. Dulmas membagi sama dalam sikap sopan, satu sikap menunggu jawaban dari ayahnya, sementara Burhan masih diam dan terlihat asyik pada pikirannya sendiri, dan satu lagi kepada keinginan menguraikan jawaban terhadap ibunda tercinta. Dulmas masih menahan ucapnya, hanya sedikit bergerak arah wajahnya kepada ibunda, masih dalam diam dan gemuruh di dada.
Dulmas belum juga menjawab pertanyaan ibundanya. Dicoba berharap persetujuan kepada ayahnya. Burhan sedikit bergerak dari duduk semula. Dalam hati Dulmas sangat memohon datangnya kata-kata dari ayahnya, Dalam hatinya, “Ayah, jawablah dulu pernyataan saya, karena dari rangkaian kata-kata ayah maka akan mudah bagi anakmu ini untuk memberikan uraian alasan secara bersamaan, saya akan menjawab pertanyaan ibu yang sangat berharap dan akan mencoba memberikan tanggapan pula kepada sikap ayah sendiri,” kata-kata itu seakan menjadi tameng pada dirinya untuk tidak langsung lepas dari jerat-jerat sikap diamnya. “Saya masih mencoba bertahan untuk tidak bicara sebelum mendapat respon kata-kata dari ayah tercinta,” hatinya masih berbisik dengan lembut dan sabar.
Diam dari Burhan ternyata masih memperpanjang daftar sikap diamnya Dulmas pula.
Berkali-kali ibunya menguraikan alasan bahwa ini saat yang kurang tepat, “Tundalah dahulu niat kamu itu, Dulmas.”
Siti Masmurah berupaya keras agar ada yang didengar dari kedua belahan bibir anaknya. Tidak hanya di meja makan, tetapi saat berpapasan di halaman depan rumah pun tetap dicobanya. Mereka sudah saling mengetahui sikap masing-masing anggota rumah tangganya, mereka memiliki sikap yang tidaklah begitu sulit untuk dipahami, tetapi masing-masing akan mendapatkan jawaban dan akan saling menghormati harus bersikap seperti apa. Lebih-lebih sikap diam ayah mereka. Sudah biasa bila ada persoalan penting maka terlihat seperti ada ‘seteru’ antara Dulmas dengan Burhan. Mereka saling mempertahankan sikap dan pikiran masing-masing.
Siti Masmurah biasanya akan memainkan peran yang tidak gampang. Jam terbangnya sudah tidak diragukan berhadapan dengan persoalan seperti ini.
“Persoalan ini tidak harus diselesaikan dengan sesegeranya, saya harus membaca tanda-tanda apa yang mendasari keinginan anakku untuk pergi jauh itu,” Burhan melanjutkan ucapan-ucapan pada dirinya sendiri seraya membenahi barang-barang dagangan di toko mereka. Sebentar lagi ia pulang ke rumah. Matahari sudah melepaskan warna jingga di arah nun jauh.
“Bila memang setiap orang wajib berpindah dari asalnya berada untuk menemukan tempat baru sebagai tujuan, maka kepergiannya adalah sebuah anugerah karena keinginan itu datang dari dirinya sendiri sebagai bentuk kesadaran,” Burhan masih memberi peluang kepada pikiran-pikirannya agar dalam menentukan sikap menjadi berdasar. Setiap jengkal langkahnya adalah bentuk renungan bahkan semacam zikir di keheningannya.
Rupanya sejarah perpindahan itu telah lama dan memang dapat menjadi sebuah kewajiban, oleh sebab itu tidaklah berlebihan bila dalam sebuah perencanaan untuk maju dan berkembang maka perpindahan itu akan membuka mata dan telinga, banyak sekali anugerah dari semua perjalanan demi perpindahan, tetapi bukan untuk semata-mata kekosongan pikiran. Bila kekosongan ini yang dilakukan maka akan mengakibatkan hampa belaka, yang ada adalah kesia-siaan belaka. Kering dan percuma.
Hari mulai gelap, Burhan masih duduk tersandar di belakang meja kerjanya. Banyak catatan penting yang berserak di hadapannya. Ia akan bekerja sendirian kini, ia akan ekstra keras lagi. Di bagian lain keputusan harus disampaikan dan semua anggota keluarga pasti menunggu, sangat menunggu. Tak ada yang ditunda, bahkan untuk urusan catat mencatat itu semoga bisa digantikan oleh menantunya yang tidak lama lagi akan tiba. Usaha keluarga yang telah dirintis bersama.
Matahari akan cerah. Walau sebelumnya pelangi membuka warna di balik hujan, dengan cara melengkung di garis horisontalnya. Bayangan ke tujuh bidadari yang turun dari kayangan menuju sebuah danau. Bidadari-bidadari itu meyakini bahwa persoalan awet muda mereka adalah berkat guyuran air telaga tersebut. Mereka harus selalu mandi di telaga itu pada waktu yang telah ditentukan, biasanya pada saat gerimis tipis turun dengan perlahan. Telaga yang tidak terlalu jauh dengan pinggiran kampong Dadap, telaga yang terletak di sebalik hutan lebat di ujung kampung.
Ternyata Dulmas tetap berangkat, ia melambaikan tangan dan di pipi ibunda ada garis air yang menurun, bening, tentu berharap agar yang pergi segera kembali.
* * * * *
Tiba saat yang dinanti oleh keluarga Burhan. Banyak warga kampung Dadap berdatangan, mereka siap sedia membantu segala sesuatu dalam persiapan perayaan akad nikah dan resepsi perkawinan anak pimpinan mereka, anak pak Burhan dengan seorang lelaki yang sudah lama berpacaran. Tidak lama di pertigaan jalan menuju rumah kedua mempelai terbaca tulisan sederhana, “UNDANGAN PERKAWINAN Saldah Mahmudah & Fajar Anugerah” (lengkap pula dengan nama kedua orang tua mereka, lengkap dan sungguh lengkap). Turut mengundang seluruh anggota keluarga besar kedua mempelai. Bulan haji bersamaan dengan musim hujan, dan ini saat-saat yang tepat untuk sebuah perkawinan.
Bergotong royong di Kampung Dadap adalah aktifitas yang sudah turun-temurun dari waktu dahulu, sampai kini pun masih dilakukan. Tak ada yang berat kaki atau berat tangan. Semua bahu-membahu, saling gurau di ruang belakang saat mempersiapkan banyak bahan olahan, di perapian pun sama terlihat dan terdengar gurau-gurau, celoteh-celoteh yang membangun suasana ceria. Tidak para lelaki tetapi berbaur pula dengan para wanita tua atau muda.
* * * * *
Dulmas menempuh rute perjalanan yang tidak biasa, ia memilih alur sungai sebagai jalan untuk mencapai tujuannya. Banyak nama sungai dilalui, berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Sengaja ia putuskan komunikasi kepada siapa saja yang ia kenal, tidak terkecuali kepada pihak keluarganya di Kampung Dadap.
Dari hulu Sungai Tabalong, Sungai Negara, Sungai Martapura, bahkan lebih jauh lagi ke sungai dengan ukuran besar dan kecil, banyak anak sungai dan semua pun tidak ada yang dicatatnya, tetapi semua dialami dengan ingatan saja, karena ia sendiri tidak membawa perlengkapan rekam-merekam, tulis-menulis, catat-mencatat. Semua berjalan secara alami dan tubuhnya adalah bagian yang paling utama dalam pendokumentasian perjalanan panjangnya, entah berujung sampai di mana atau sampai seberapa lama waktunya.
“Perjalanan ini hanya memerlukan sebuah keberanian,” ucap hati Dulmas dengan penuh keyakinan. Untuk sebuah keberanian itu ternyata Dulmas harus menyiapkan raga tubuhnya dalam bentuk meditasi, semacam mematung di sepi-sepi. Raga tubuh kasarnya harus diam dan melakukan penjelajahan ke semua arah. Penjelajahan itu menuntut konsentrasi yang sangat menguras energi bahkan bukan hanya terfokus tetapi ada pemecahan ke segala arah. Pusat perhatiannya menjadi kabur, gelap sangat. Ini bukan proses yang baru ia alami tetapi telah menjadi kebiasaan bahkan sebagai tradisi bersifat pribadi. Pemecahan itu selalu ia lakukan, paling tidak ada dua sela waktu dalam sehari. Meditasi. Perjalanan meditasi itu ternyata bukan hanya mengubah raga tubuhnya sebagai apa yang ia nikmati sebagai raga kasar manusia, tetapi jelajah itu telah mengubah ia sebagai apa saja sesuai alam pikirannya. Ia menjadi ‘olah sukma’ dan boleh dikata sampai kepada ‘alih rasa’. Ilmu meditasi yang ia dapatkan sendiri dan Dulmas sangat menikmatinya. “Ini bukan hanya semacam ‘Asmaradananya Ki Danarto’ tetapi boleh jadi lebih dari itu,” jelas Dulmas suatu ketika kepada rekan koresponden dalamsuratbalasan sebelum ia memutuskan untuk pergi jauh dari rumahnya sendiri. Pergi dengan menyimpan persetujuan kedua orang tuanya, dan ucapan berat hati dari kakaknya tercinta, Saldah yang beberapa bulan ke depan akan melangsungkan pernikahan. “Baiklah, kakak tidak bisa menghalang-halangi kemauan adik, walau kita sudah mengetahui bahwa beberapa bulan lagi kakak akan melangsungan acara keluarga,” kata Saldah di saat yang memang tepat untuk mereka berdua.
“Apakah yang membuat aku sangat bahagia, Noktar?” tanya Dulmas ketika ia akan memulai perjalanan jauh. “Inilah saat-saat yang sangat aku tunggu, aku akan memulai perjalanan ini via jalur sungai-sungai yang ada di pulau ini, Pulau Kalimantan,” sebuah semangat petualang sejati tergambar sangat jelas, berkobar-kobar.
“Baiklah Dulmas, aku berhenti berkirimsuratuntuk waktu yang tidak dapat dipastikan, ini kemauan kamu sendiri,” balas Noktar dalam suratnya kepada Dulmas.
Dulmas ingin tidak ada yang mengganggunya selama perjalanan itu berlangsung.
Melewati beberapa situs di alur sungai pula. Sungai ternyata merupakan sederet tempat tinggal yang sulit untuk dilepaskan oleh masyarakat, itulah yang banyak disaksikannya. Dulmas menatapnya dengan penuh rasa senang.
Sungai-sungai besar, dari yang bernamaKapuas, Barito, Mahakam, bukan hanya itu, sampai ke sungai-sungai kecil yang bertebaran. Bahkan konon kabarnya pembagian wilayah hampir di luasnya hamparan pulau itu tidak lepas dari jalur sungai sebagai garis pembatas. Itu sangat memudahkan, oleh karena batas wilayah tidaklah harus dalam bentuk garis lurus, tetapi secara alamiah dan irit serta tidak akan menguras tenaga berlebihan. Ini menjadi wajar-wajar saja.
Di kedua sisi sungai-sungai itu alangkah lebatnya hutan-hutan, masih terasa getar-getar rimbun dengan sepenuh misteri yang ada di dalamnya. Tetapi pada beberapa tempat memang terlihat padat sebagai tempat hunian. Rumah-rumah yang bertiang kayu, dan debur gelombang kecil menghantam sehingga rumah-rumah itu pun turut bergetar.
Sementara itu di kampung Dadap.
Saldah turut bergetar. Malam-malam pertama yang menghadirkan getar-getar, seluruh persendian tubuhnya turut bergetar. Tiang dan kaki ranjang juga bergetar.
“Sungguh luar biasa, betapa cepatnya perubahan itu terjadi. Sungai-sungai yang meliuk di dalamkotaini semakin sempit, kalau tidak mau dikatakan sebagai parit-parit.”
Parit-parit yang berasal dari sungai-sungai kecil tetapi sungguh, dahulu di bawah jembatan yang berbentuk melengkung itu dapat dilalui banyak jukung. Tetapi kini, selain keruh dan menumpuk sampah, kelebaran sungai pun sudah sulit dipertahankan. Jalan raya tempat menampung laju banyak kendaraan tidak juga banyak berubah, sama saja dengan kondisi lama beberapa puluh tahun berlalu, sedang jumlah mobil, apalagi kendaraan roda dua semakin sesak saja, melihat arus di jalan raya seperti sebuah alir sungai yang bergerak begitu cepat. Sungai sendiri menjadi lambat, ramping dan tersumbat.
“Tak salah bila dalam hitungan yang sangat singkat makakotaini tenggelam,” bisik hati yang tidak jauh dengan gumam, “Kotadalam kondisi di bawah permukaan laut,” dan itu sangat memungkinkan untuk terjadi.
Pikiran yang melanglang buana dari dalam diri Dulmas semakin menjadi-jadi. Terbang ke sana-sini. Ia dapat menjelma daun-daun ilalang di daerah gersang. Ia mampu menjelma gelombang lautan atau bahkan menjadi buih-buih yang ikut serta menghantam setiap pantai. Ia pun dapat menjadi badai yang mengepung bukit dan puncak gunung.
“Tentu saja semua perjalanan pikiran itu adalah bagian dari sebuah bentuk perlawanan,” jelas Dulmas lebih kepada dirinya sendiri. Kini ia berada di sebuah bendungan besar.
“Tetapi pikiranku terbang, tak mudah dibendung,” ucapnya seraya berjalan dan memperhatikan sekelilingnya.
Bendungan itu sendiri menyisakan cerita yang sangat melekat bagi semua orang, terutama bagi masyarakat sekitarnya.
Dari bendungan besar itu pula lampu-lampu menyala terang, jalan-jalan terang, gedung-gedung terang, rumah-rumah terang, kamar-kamar terang, pikiran-pikiran terang.
Kampung-kampung tetap tenggelam. Orang-orang semakin kencang berlari, dan semakin jauh. Entah, engkau, apakah juga lari dari segala sesuatunya. Di keramaian kampung Dadap, Dulmas tak pernah tahu itu. Ia masih saja berjalan di antara pikiran-pikirannya sendiri, karena baginya persandingan itu adalah bagian dari yang biasa-biasa saja. Sedang jelajah pikirnya adalah bagian yang teramat ia suka.
Dulmas belum juga pulang, ia berlari semakin jauh. ****
Cerpen ini didedikasikan buat sastrawan besar Indonesia bernama Danarto, entah apa yang terlintas ketika ingat beliau, entah pada cerpen berjudul apa sehingga lintasan wajah tokoh itu menjadi hadir begitu saja, dan semua menjadi entah dibuatnya.
* * * * *
Biodata Penulis
Ali Syamsudin Arsi lahir di Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov. Kalimantan Selatan. Kini tinggal dikota Banjarbaru, Prov. Kalsel.
Menerbitkan 4 buku ‘Gumam Asa’ yang berjudul:
1. Negeri Benang Pada Sekeping Papan (Tahura Media,Banjarmasin, Januari 2009).
2. Tubuh di Hutan Hutan (Tahura Media,Banjarmasin, Desember 2009).
3. Istana Daun Retak (Framepublishing,Yogyakarta, April 2010).
4. Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing,Yogyakarta, Februari 2011).
5. Gagasan Besar, himpunan tulisan Aruh Sastra Kalimantan Selatan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, September, 2011).
Buku puisi pribadi yang telah diterbitkan:
1. ASA (1986), 2. Seribu Ranting Satu Daun (1987), 3. Tafsir Rindu (1989 dan 2005), 4. Anak Bawang (2004), 5. Bayang-bayang Hilang (2004), 6. Pesan Luka Indonesiaku (2005), 7. Bukit-bukit Retak (2006).
Buku kumpulan puisi bersama, yaitu:
1.Banjarmasin(1986), 2. Bias Puisi dalam Al-Qur’an (1987), 3.Banjarmasindalam Puisi (1987), 4. Festival Poeisi se-Kalimantan (1992), 5. Jendela Tanah Air (1995), 6. Tamu Malam (1996), 7. Kesaksian (1998), 8. Wasi (1999), 9. Bahana (2002), 10. Narasi Matahari (2002), 11. Refortase (2004), 12. Dimensi (2005), 13.TamanBanjarbaru (2005), 14. 142 Penyair Menuju Bulan (2006), 15. Seribu Sungai Paris Berantai (2006), 16. Ronce Bunga-bunga Mekar (2007), 17. Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), 18. Bertahan di Bukit Akhir (2008), 19. Menyampir Bumi Leluhur (2010), 20. Seloka Bisu Batu Benawa (2011)
Buku-buku terbitan di luar Kalsel yang memuat karyanya, adalah:
1.Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Medan, 2005), 2. Komunitas SastraIndonesia, catatan perjalanan (Kudus, 2008), 3. Kenduri Puisi, buah hati untuk Diah Hadaning (Yogyakarta, 2008), 4. Tanah Pilih (Jambi, 2008), 5. Pedas Lada Pasir Kuarsa (BangkaBelitung, 2009), 6. Mengalir di Oase (Tangerang Selatan, 2010), 7. Percakapan LinguaFranca(Tanjung Pinang, Kepri, 2010), 8. Beranda Senja, setengah abad Dimas Arika Mihardja (Jakarta, 2010), 9. Senja di Batas Kata, beranda rumah cinta (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jambi, 2011), 10. Kalimantan dalam PuisiIndonesia(Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI, Samarinda Kalimantan Timur (2011), 11. Kalimantan dalam ProsaIndonesia(Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI, Samarinda, Kalimantan Timur 2011), 12. Akulah Musi (Palembang, 2011).
Sebagai editor pada buku-buku:
1. Bahana (Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru, 2002), 2. Darah Penanda, antologi pemenang lomba cipta puisi dan cerpen (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), 3. Taman Banjarbaru (ForumTamanHati, Banjarbaru, 2005), 4. Di Jari Manismu Ada Rindu (Kumpulan puisi Hamami Adaby, 2008), 5. Bertahan di Bukit Akhir (Kumpulan puisi penulis Hulu Sungai Tengah, 2008), 6. Bunga-bunga Lentera (Kumpulan puisi siswa SD dan SMP seKota Banjarbaru, 2009), 7. Tugu Bundaran Kota (Kumpulan puisi, cerpen dan dramatisasi puisi siswa SD dan SMP Kota Banjarbaru, 2010), 8. Badai 2011 (kumpulan sajak mutiara Hamami Adaby, 2011).
Tahun 1999 menerima hadiah sastra dari Bupati Kabupaten Kotabaru.
Tahun 2005 menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 menerima hadiah sastra bidang puisi dari Kepala Balai Bahasa Banjarmasin.
Tahun 2012 menerima penghargaan dari Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra, Pemerintah Kota Banjarbaru melalui Dinas Pariwisata, Budaya dan Olah Raga.
Alamat rumah: Jalan Perak Ujung nomor 16, Loktabat Utara, Banjarbaru, 70712.
“Selamat hari lebaran wa Minal aidin wal fa idzin Pak”
#maaf telat..
Sama2 mas sang bayang. Maafkan juga semua kesalahan dan kekhilafan saya selama ini.
Selamat hari raya idul fitri wa Minal aidin wal faidzin Pak..
maaf telat hehehe
Pak Sawali ni suka sekali membaca buku, jadi termotivasi
nice post 🙂
tulisan yang bagus, panjang banget sampek capek bacanya…
met idul fitri pak,,,minal aidzin ya…cerpennya bagus banget….bapak guru bahsa indonesia kah?
tokoh dulmas mirip saya…
berlari jauh dari kampung halaman… 😀
mohon maaf lahir batin pak sawali.. 🙂
Kapan perjalanan Dulmas berakhir ? Apakah jalan tanpa ujung ?
Salam
Perjalanan Dulmas kiranya panggilan naluri, dan tak ada penyesalan jika hal itu dilakukan sesuai kata hati. Salam Budaya
Ceritanya sungguh berkesan di hati saya pak.. 🙂
Semoga Dulmas cepat pulang…. bulan puasa kemarin saia juga sempat napak tilas 1/6 perjalanannya… dari banjarmasin-amuntai heheheh
Selamat idul fitri pak, mohon maaf lahir batin pak….
Sejauh apapun perjalanan manusia, sejatinya ia tengah menjalani suatu siklus kehidupan….datang dan pergi, siang dan malam, silih berganti secara periodik untuk mengantarkan manusia menuju sangkan paraning dumadi dan kembali kepada rumah kesejatian diri.
Punika tulisan pak Sawali piyambak nggih? Mugi-mugi kemawon Dulmas enggal wangsul pak. 😆
Semoga Dulmas segera pulang pak. 😆 Ini cerpen karya pak Sawali kan? Hewubat. Dibuat buku bagus pak. 😀
Pak Sawali itu ngefans banget dengan Gumam Asa ya pak? Semoga pak Sawali bisa kayak Ali Syamsudin Arsy.
Nampaknya sosok Dulmas itu pencari jati diri yang tidak pernah puwas ya pak. Bejitulah ‘ciri’ orang yang haus ilmu. 😀
Jika menginginkan adanya perubahan, maka harus ada pengorbanan. Mungkin seperti itulah salah satu pesan yang ingin disampaikan oleh penulis cerpen itu kepada pembacanya.
Bagus cerpennya. Ternyata penulis cerpennya adalah orang Kalimantan ya. Hebat.
Semoga sastra kita semakin berkembang dan maju.
Pantesan isi cerpennya sarat sastra yang ndalem. Begitu liat profil yang nulis, dan Bang Ali sudah banyak menghasilkan karyanya. Semoga bisa menyusul.
😀
Teringat Ketika Pergi Meninggalkan Kampung Halaman untuk Sekolah di Kota untuk mengejar impian
nice post.. 🙂
Bagus tulisannya….keren abis….
kadang demi sebuah impian, harus merelakan sesuatu hal yang kita rasa berat dihati, nice thread (y) visit
Denarto??
Ko’ saya baru dengar sastrawan ini ya Pak? Artinya sastrawan kita banyak, sampai saya ngga bisa mengenalnya satu persatu 🙂
semoga bisa saya pahami postingan ini pak sawali,,
salam hangat dari kampung semarang
Saya membaca artikelnya Pak…hebat juga ini karya Bapak 🙂
Cerpennya menarik banget gan … Sippp 🙂
healthy
Berlari Semakin Jauh: Catatan Sawali Tuhusetya