Meski usianya hampir 70 tahun, kepak sayap si penyair berjuluk “Si Burung Merak” ini masih kuat dan tangkas. Suaranya masih lantang dan sangatlah mahir memainkan irama serta tempo. Kepiawaian pendiri Bengkel Teater, Yogyakarta, ini membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam dramanya membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang dikenal oleh seluruh anak negeri hingga ke mancanegara.
WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri.
Menekuni dunia sastra baginya memang bukanlah sesuatu yang kebetulan namun sudah menjadi cita-cita dan niatnya sejak dini. Hal tersebut dibuktikan ketika ia bertekad masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada selepas menamatkan sekolahnya di SMA St.Josef, Solo. Setelah mendapat gelar Sarjana Muda, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di American Academy of Dramatical Art, New York, USA.
Sejak kuliah di Universitas Gajah Mada tersebut, ia telah giat menulis cerpen dan essei di berbagai majalah seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, Budaya Jaya. Di kemudian hari ia juga menulis puisi dan naskah drama. Sebelum berangkat ke Amerika, ia telah banyak menulis sajak maupun drama di antaranya, kumpulan sajak Balada Orang-orang Tercinta serta Empat Kumpulan Sajak yang sangat digemari pembaca pada jaman tersebut. Bahkan salah satu drama hasil karyanya yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan (1954) berhasil mendapat penghargaan/hadiah dari Departemen P & K Yogyakarta.
Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, pria tinggi besar berambut gondrong dengan suara khas ini mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya, dilakukannya dengan sangat baik.
Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.
Di samping karya berbau protes, dramawan kelahiran Solo, Nopember 1953, ini juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.
Banyak lagi karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.
Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya pada acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke 118 Mahatma Gandhi pada tanggal 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang sangat hangat dari para undangan. Demikianlah salah satu contohnya ia secara langsung telah berjasa memperkenalkan sastra Indonesia ke mata dunia internasional.
Beberapa waktu lalu, ia turut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, Selasa, 22 Juli 2004. Dalam acara itu, ia menyuguhkan dua puisi balada yang berkisah tentang penderitaan wanita di daerah konflik berjudul Jangan Takut Ibu dan kegalauan penyair terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia. Pada kesempatan tersebut, lelaki yang akrab dipanggil Willy ini didampingi pengusaha Setiawan Djody membacakan puisi berjudul Menang karya Susilo Bambang Yudhoyono.
Prestasinya di dunia sastra dan drama selama ini juga telah ditunjukkan lewat banyaknya penghargaan yang telah diterimanya, seperti Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada tahun 1957, Anugerah Seni dari Departemen P & K pada tahun 1969, Hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada tahun 1975, dan lain sebagainya.
Menyinggung mengenai teori harmoni berkeseniannya, ia mengatakan bahwa mise en scene tak lebih sebagai elemen lain yang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti ia masih terikat oleh kepentingan harmoni dalam pertemuannya dengan elemen-elemen lain. Lebih jelasnya ia mengatakan, bahwa ia tidak memiliki kredo seni, yang ada adalah kredo kehidupan yaitu kredo yang berdasarkan filsafat keseniannya yang mengabdi kepada kebebasan, kejujuran dan harmoni.
Itulah Rendra, si bintang panggung yang selalu memukau para penontonnya setiap kali membaca sajaknya maupun melakoni dramanya.
Nama: WS Rendra
Nama Lengkap: Willibrordus Surendra Broto Rendra
Lahir: Solo, 7 Nopember 1935
Agama: Islam
Istri: Ken Zuraida
Pendidikan:
– SMA St. Josef, Solo
– Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
– American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)
Karya-Karya
Drama:
– Orang-orang di Tikungan Jalan
– SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor
– Oedipus Rex
– Kasidah Barzanji
– Perang Troya tidak Akan Meletus
– dll
Sajak/Puisi:
– Jangan Takut Ibu
– Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
– Empat Kumpulan Sajak
– Rick dari Corona
– Potret Pembangunan Dalam Puisi
– Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
– Pesan Pencopet kepada Pacarnya
– Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
– Perjuangan Suku Naga
– Blues untuk Bonnie
– Pamphleten van een Dichter
– State of Emergency
– Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
– Mencari Bapak
– Rumpun Alang-alang
– Surat Cinta
– dll
Kegiatan lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih
Penghargaan:
– Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
– Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
– Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Rendra tetap berkibar meski pernah dinilai orang masuk Islam hanya karena ingin berpoligami. Saya salut dgn beliau yg tetap teguh sebagai sastrawan dan menjadikannya sebagai pilihan profesi
sepakat, mas xitalho.
Salam kenal ya gan 🙂 nice blog