Ketika reformasi bergulir 14 tahun yang silam, rakyat berharap akan terjadi sebuah perubahan mendasar di negeri ini. Pola kekuasaan rezim Orde Baru yang cenderung sentralistis, otoriter, dan militeristik, akan berubah menjadi pola kekuasaan yang pro-rakyat. KKN yang selama masa Orba ditengarai sudah menjadi budaya di kalangan pejabat dan elite penguasa, secara bertahap akan terkikis hingga akhirnya rakyat benar-benar hidup sejahtera, terbebas dari lilitan kemiskinan dan keterbelakangan. Demikian juga halnya dengan ranah pendidikan yang selama ini tak pernah luput dari intervensi dan nafsu kekuasaan rezim Orba, secara bertahap diharapkan akan mampu menemukan kemandirian dan steril dari pengaruh kekuasaan.
Namun, harapan akan terjadinya perubahan pasca-reformasi ternyata masih jauh panggang dari api. Masih banyak rakyat yang terlilit kemiskinan dan keterbelakangan, korupsi makin menggurita di segenap lapis dan lini birokrasi, praktik suap kian menggila, supremasi hukum pun makin amburadul. Otonomi daerah yang diharapkan mampu meneteskan kuah kesejahteraan kepada rakyat secara adil dan merata, justru malah menciptakan kesenjangan kesejahteraan yang luar biasa. Elite politik lokal kian makmur, sedangkan rakyat kecil hanya bisa gigit jari.
Dunia pendidikan yang diyakini menjadi “kawah candradimuka” peradaban pun tak luput dari cengkeraman politik lokal. Yang paling sering terjadi adalah penempatan orang dalam menduduki pos tertentu di Dinas Pendidikan setempat. Para birokrat di Dinas Pendidikan ditengarai tidak lagi dipilih berdasarkan pendekatan profesionalisme, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan politis semata. Mereka yang dianggap berjasa selama Pilkada berlangsung hingga ikut berkiprah mengantarkan bupati/walikota duduk di atas singgasana kekuasaan, tak segan-segan diberi “hadiah” jabatan yang menggiurkan dan bergengsi. Kalau tidak demikian, jabatan tak segan-segan ditawarkan kepada para penganut “mazab wani-pira” yang ditengarai makin bejibun jumlah “jamaah”-nya. Untuk mendapatkan sebuah jabatan “basah” dan bergengsi, mereka tak segan-segan merogoh kocek dan uang pelicin untuk merebut dan bersaing mendapatkan kursi yang ditawarkan.
Walhasil, dunia pendidikan pun makin silang-sengkarut. Alih-alih menjadi “kawah candradimuka” peradaban, dunia pendidikan justru makin tenggelam dalam limbah politik lokal yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Jika situasinya demikian, sungguh sulit diharapkan dunia pendidikan mampu melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan berkarakter. Bagaimana tidak kalau orang-orang terbaik dan visioner untuk memajukan dunia pendidikan justru tersingkir dan disingkirkan dari ranah pengambilan kebijakan hanya lantaran dianggap tidak menjadi “tim sukses” sang penguasa atau bukan penganut “mazab wani-pira”? Bagaimana mungkin dunia pendidikan bisa menjadi agen kebudayaan dan peradaban kalau dikendalikan oleh aparat birokrasi pendidikan yang sudah terkooptasi oleh kepentingan politik dan kekuasaan?
Aroma pendidikan yang sarat dengan kepentingan kekuasaan dan politik lokal pasca-reformasi memang sudah tercium oleh pemerintah pusat. Peraturan Bersama Lima Menteri –Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama Nomor: 05/X/PB/2011, Nomor SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, 48 Tahun 2011, 158/PMK.01/2011, dan 11 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil tanggal 3 Oktober 2011 sudah diluncurkan dan akan berlaku secara efektif per 2 Januari tahun 2012. Namun, SKB tersebut hanya mengatur tentang penempatan formasi guru. Implementasinya pun masih perlu dipertanyakan mengingat makin longgarnya kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah.
Apakah sinyal SKB Lima Menteri tersebut juga akan berimbas terhadap kebijakan penguasa daerah dalam penataan formasi pegawai non-guru? Kita masih terus menunggu fatzoen politik para penguasa lokal dalam memaknai reformasi di negeri ini. ***
Walau pun menunggu keputusan dengan menggunkan suatu rasa harap-harap cemas, dengan suatu pertanyaan dalam hati nuraniku terbesit suara, “adakah semua itu harus mengorbankan kepantingan untuk rakyat bangsa dan negara ?”
Sukses selalu
Salam
Ejawantah’s Blog
kalau reformasi dioptimalkan utk berpihak pada rakyat, pendidikan mestinya tdk harus dinodai oleh ambisi2 politik, mas, hehe ….
Kelihatannya banyak yang harus diperbaiki dalam dunia pendidikan kita pak.
Reformasi hanya gaung sesaat tanpa hasil yang memuaskan.
Permasalahan pendidikan semakin kompleks dan pasti sulit sekali meluruskan benang yang telanjur ruwet. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab??
Salam ngeblog.
iealnya memang demikian, bu suka. sayangnya, fenomena yang terjadi justru menunjukkan fakta sebaliknya. mereka yang sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan seringkali lupa dengan “khittah” mereka yang harus berupaya keras utk meningkatkan mutu pendidikan.
pendidikan pascareformasi: komersialisasi pendidikan, clusterisasi pendidikan (sekolah kristen, sekolah islam, sekolah china, dsb..) yang makin membahayakan eksistensi negara ini
betul sekali, mas dion. menyedihkan juga kalau fenomena “jahat” seperti itu pada akhirnya harus menjangkiti dunia pendidikan kita.
Pak Sawali, pendidikan adalah hal mendasar yang dibutuhkan setiap bangsa untuk maju. Saya ingat cerita tentang Kaisar Hirohito.. setelah jepang dihajar sekutu dengan bom atomnya, kaisar itu memutuskan untuk mendahulukan membangun bidang pendidikan ketimbang bidang lainnya sebagai awal mula dan nyatanya Jepang tak butuh waktu lama untuk recovery.
Prihatin dengan keadaan di Indonesia. Semoga para pemimpin bangsa tanggap…
kita memang berharap demikian, mas don. semangat sang kaisar jepang seperti yang sering dijadikan rujukan banyak orang ketika membicarakan persoalan pendidikan seharusnya bisa menginspirasi para pengambil kebijakan. namun, agaknya hal itu tdk terjadi di negeri kita. kalau sdh masuk dalam lingkaran kekuasaan, mereka lupa dengan idealismenya.
dunia pendidikan di negara kita memang belum begitu bagus karena masih banyak sekolah sekolahan yang fasilitasnya belum memadai
sangat disayangkan 🙁
pasca-reformasi, seharusnya sektor pendidikan menjadi prioritas. namun, yang terjadi justru sebaliknya. pendidikn dinomorsekiankan sehingga banyak infrastruktur pendidikan yang terbengkelai.
Bicara tentang pendidikan di negara ini, masih sangat tertinggal sekali dengan negara lain. Sungguh sangat memprihantikan sekali jika melihat dunia pendidikan Indonesia di era yang sekarang ini. SUNGGUH TERLALU.. 🙁
seperti itulah yang terjadi, mas dany. semoga para pengambil kebijakan segera kembali ke “khittah”-nya.
Pasca-reformasi, pendidikan semakin komersil, Pak. Sungguh memprihatinkan. Nisbah Anggaran Pendidikan dibikin 20% dari APBN tetapi faktanya di lapangan pendidikan semakin komersil.
bener sekali, mas arif. sebuah ironi lagi2 mesti terjadi. pendidikan sebagai pusat kultural pada akhirnya hanya menjadi sebuah slogan. anggaran besar yang seharusnya bisa dioptimalkan utk meningkatkan mutu pendidikan justru malah sebaliknya.
baru dengar tentang quo vadis Pak. 🙂
kurang lebih artinya seperti judul lirik lagu “mau dibawa ke mana?” hehe …
Pendidikan sepertinya masih bukan prioritas bagi bangsa ini. Yang diurusin selalu yang aneh2. Ah, kapan kita bisa berjaya? -_-‘
iya, mas dendy, saya juga memiliki kesan yang sama seperti itu. kalau otonomi daerah masih berlangsung seperti itu, rasanya sulit dunia pendidikan kita bisa maju dan berkembang.
masih sangat awam dengan demikian, memang pendidikan dan yg terlibat didalamnya (guru) bisa menjadi lokomotif penguasa. Seperti jaringan yg sulit terurai, kapan ada yg ngatur benar2 independen.
mungkin ini dampak dari otonomi daerah yang memberikan kewenangan secara langsung kepd bupati/walikota utk mengatur rumah tangganya sendiri, mas kurnia. kalau penguasa lokal masih memiliki idealisme dunia pendidikan seharusnya menjadi prioritas.
Saya setuju Pak dengan pendapat anda. Peninggalan-peninggalan Orba yang negatif dan masih berlanjut sampai sekarang akan berdampak negatif pula terhadap generasi selanjutnya (dalam hal ini Reformasi).
Apabila dalam dunia pendidikan kita dipimpin oleh orang yang hanya mengandalkan duit, maka pendidikan kita akan tetap tertinggal.
Kita berdo’a semoga pendidikan kita bisa maju lagi. Amiin.
amiin, semoga dua mas uwi dan doa kita semua bisa terwujud. namun, kalau penguasa lokal belum memiliki “kemauan politik” utk berpihak pada dunia pendidikan, mungkin perubahan itu akan sulit diwujudkan.
Kalau kata simbah saya, “yo wis ben, mengko lak ketemu dalane dhewe.” Seperti halnya ketika pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru kan juga karena ketidakpuasan yang sudah memuncak, begitupun dari Orde Baru ke Reformasi karena ketidakpuasan yang memuncak. Bisa jadi besok dari Reformasi ke Reformasi Paling Baru juga akibat hal yang sama. Menurut saya justru pola otonomi daerah yang seperti sekarang ini ibarat politik pecah belah jaman Belanda.
“politik pecah belah zaman belanda”, hmm …. analogi yang tepat saya kira, mas nahdhi. semoga para pengambil kebijakan segera menyadari hal itu.
Turut prihatin yang sedalam-dalamnya.
Semoga ke depan, regulasi dan kebijakan di dunia pendidikan akan semakin lebih baik. Antara sikap pesimis dan optimis memang sedemikian tipis.
Namun, harapan harus terus disematkan untuk perubahan ke arah yang lebih baik itu.
Semoga pengambil kebijakan di dunia pendidikan negeri ini—–baik pusat maupun daerah—–membaca dan memahami tulisan ini, yang menurut saya mewakili kegelisahan sebagian warga bangsa.
amiiin, kita terus beharap demikian, pak deni. sikap responsof para penguasa lokal terhadap persoalan2 pendidikan sangat kita nantikan.
tidak bisa dikatakan betul2 tenggelam sih pak. msih ada sisi baiknya tentu. cuman kalau pendidikan digunakan sebagai manipulasi politik itu sudah keterlaluan memang. ~_~
implementasi otoda setiap daerah mungkin bervariasi, mas iknew, meski secara umum memperlihatkan gejala politisasi pendidikan yang amat kuat.
Semangat Pak
Makin kompleks aja permasalahan negeri ini. Kapan sih berubahnya. Padahal reformasi kemarin diharapkan makin baik. DOH.
bener, mas anas. pasacareformasi, persoalan bangsa ini justru kian tambah ruwet dan kompleks. demikian juga halnya dengan pelaksanaan otonomi daerah di sektor pendidikan.
Zaman memang telah berubah.
seharusnya pemerintah yang sekarang mampu untuk mengatasi dampak buruk dari otonomi daerah khususnya di bidang pendidikan.
idealnya memang demikian, mas. namun yang terjadi justru sebaliknya. implementasi otoda sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan sang bupati/walikota.
Dunia pendidikan seharusnya steril dari tabiat-tabiat yang kurang etis apabila mengharapkan kelangsungan bangsa ini menjadi bangsa yang dihormati dan disegani dunia internasional.
setuju banget dengan mas amin. idealnya memang demikian. seharusnya para pemegang amanah rakyat bener2 bisa menegakkan idealisme utk membangun dunia pendidikan yang jauh lebih baik.
apalagi kalau politik disangkutpautkan sama pendidikan,,
sangat tidak suka saya,,
betul pak, permen kalah dengan perbup
kalau selama ini sedang didengungkan pendidikan karakter, lantas saya ganti bertanya, “Karakter pendidikan macam apa sih yang maunya?
seperti itulah yang terjadi, kang bud. tentang “karakter” mungkin yang dimaksud pendidikan karakter, bukan karajter pendidikan, hehe …
hanya satu kata: PRIHATIN
Pasca reformasi pendidikan, terutama pendidikan tinggi, menjadi sangat mahal. Mudah2an akan menghasilkan pemimpin2 yang tangguh dimasa depan.
bukan hanya pendidikan tinggi aja mungkin, mas nizam. gejala komersialisasi pendidikan pun kini agaknya sudah merambah ke pendidikan dasar dan menengah.
wah kalau malah semakin ruwet begitu, ngalamat tidak semakin cerah masa depan generasi penerus kita!
bisa jadi begitulah nasib masa depan negeri ini, mas nanang, hehe …
Semoga aja “kejadian” seperti ini segera beress dari negri kita tercinta. (ngarep.com)
amiiin, mudah2an memang dem[ikian, mas.
hemmh,,gimana nih buat masa depannya kalo kaya gini terus,,hemmhhh
sayaa selalu percaya, pak sawali, reformasi bukan obat yang bisa menuntaskan semua masalah secepat kilat. reformasi hanya perubahan cukup drastis, tapi dia harus diperbaiki dg perubahan2 yang sifatnya sedikit demi sedikit, terus-menerus. di dunia pendidikan juga begitu saya kira 🙂
setuju banget, mas haris, konon kalau perubahan yang drastis lebih tepat disebut sebagai “revolusi”.
Peraturan Bersama Lima Menteri tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil tanggal 3 Oktober 2011 ini point pentingnya apa ya ?
penempatan formasi guru PNS, mungkin itu poin-nya, sehingga terjadi pemerataan jumlah guru di setiap daerah.
untuk menata pendidikan memang butuh pemerataan, guru guru di tempat overload harus berani dipindahkan ke daerah pelosok dengan tunjangan daerah terpencil yang layak, guru guru honorer harus diberi standar pengupahan di atas KHL setempat, dan program sertifikasi DIUBAH menjadi sistem penilaian berbasis kompetensi dan kualitas output siswa,
tentunya budaya mengabdi pada pimpinan juga dirubah menjadi mengabdi pada siswa demi peningkatan kualitas SDM mendatang
bahkan sekarang ada yang mulai berpikiran kalau orang Indonesia itu tidak layak diberikan kebebasan dan kemerdekaan. Menurut mereka setelah diberi kebebasan orang Indonesia cenderung semaunya sendiri dan kurang bertanggung jawab 🙂
tapi ya entahlah. saya hanya melihat fenomena ujian nasional antara pro dan kontra 🙂
“Penyakit masyarakat” menjadi “penyakit pemimpin bangsa” maka sesuatu yg dihasilkan oleh orang yg pesakitan adalah sesuatu yg menyakitkan..