Oleh: Sawali Tuhusetya
Kang Darpin mengerjapkan bola matanya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Dengan wajah bersungut-sungut dimatikannya pesawat TV 14 inchi yang (nyaris) tak pernah berhenti menyala itu. Maklum, istri dan ketiga anaknya termasuk penggila sinetron. Sebagian besar waktunya tumpah di depan layar gelas yang sudah mulai jauh berkurang kualitas gambarnya itu. Mereka baru beranjak tidur setelah kepenatan menyentuh ubun-ubun akibat dijejali adegan-adegan sinetron yang kurang membumi; sarat dengan mimpi, teror, kekerasan, dan air mata. Kang Darpin bukan menyesali kegilaan istri dan ketiga anaknya itu. Lelaki separo baya itu sangat paham, TV telah menjadi “tuhan” kedua buat mereka. TV telah menjadi ikon informasi dan hiburan yang mampu melambungkan mimpi di tengah peradaban yang sakit.
Bukan! Sekali lagi bukan lantaran “anak buah” teknologi modern itu yang secara ajaib telah menyihir keluarganya, melainkan kegeramannya terhadap ulah orang-orang yang mengklaim diri masuk pada klas menengah yang secara vulgar menampilkan perilaku pongah di depan publik. Bukan kali ini saja Kang Darpin yang pegawai rendahan itu dipameri ulah kaum menengah kita yang merasa paling benar. Mereka seperti menjadi “nabi-nabi” baru di tengah para pengikutnya yang bebal dan bodoh. Mereka merasa menjadi figur publik yang layak dijadikan kiblat dan rujukan para pengikutnya.
Malam menjelang dini hari. Kang Darpin belum juga sanggup memejamkan bola matanya. Bayangan perilaku pongah dan vulgar para “nabi” baru itu terus menari-nari dalam layar batinnya. Kang Darpin memang tak paham teori. Namun, menurutnya, suguhan perilaku pongah dan vulgar yang tampil telanjang di depan publik itu bisa berefek ganda. Disadari atau tidak, TV telah menjadi anak teknologi peradaban mutakhir. Informasi sekecil apa pun yang tertayangkan bisa dengan mudah disaksikan penonton lintas-geografis. Para penonton negeri jiran pun bisa dengan mudah mengakses saluran stasiun TV kita. Jika suguhan yang tampil “talkshow” yang serba pongah dan vulgar, jelas akan mampu memberikan imaji negatif terhadap kultur bangsa kita. Muncul kesan, bangsa kita memang gemar bersitegang dan perang urat syaraf dengan sesamanya, tetapi loyo dan tak berdaya ketika tampil dalam forum-forum internasional.
Pada sisi yang lain, tayangan TV yang serba vulgar dan pongah, juga akan berimplikasi jahat terhadap mind-set anak bangsa dalam memandang setiap persoalan. Masalah sekecil apa pun bisa dibesar-besarkan, dan sebaliknya, persoalan yang besar bisa dibuat kecil. Lantas, demi mendongkrak rating dan iklan, acara “talkshow” didesain sepanas mungkin hingga mampu memacu adrenalin dan tensi penonton turun-naik. Imbas jahat yang lebih berbahaya, pola “talkshow” semacam itu akan menjadi pola generasi masa kini dalam menyelesaikan masalah. Pola keroyokan pun jadi model. Bukan salah atau benar yang menjadi substansi persoalan, melainkan sejauh mana kemampuan seseorang dalam menggaet simpati banyak orang untuk berpihak kepadanya.
Kang Darpin mengucak-ucak pelupuk matanya. Di sisinya, sang istri telah terlelap seperti tengah bermimpi menjadi tokoh “bidadari” yang punya seribu kekuatan sihir untuk mengatasi setiap persoalan. Untuk ke sekian kalinya, lelaki berjidat licin itu menghela napas. Tak luput, dadanya pun berkecamuk banyak pertanyaan yang tak terjawab. Mampukah talkshow rutin yang digelar salah satu stasiun TV setiap pekan yang menyajikan diskusi panas dan konon paling bergengsi di negeri ini mampu memberikan pencerahan kepada publik?
“Jangan salah Sampeyan, Kang Darpin! Itu acara sudah dikemas dengan naluri bisnis seorang pemilik modal. Mereka hanya butuh rating dan iklan. Persoalan tayangan acaranya mencerahkan atau tidak, itu persoalan lain! Sampeyan ndak perlu serius memikirkannya, Kang. Buat apa? Toh para pengambil kebijakan di negeri ini sudah tak sanggup mengontrolnya!” Tiba-tiba saja ucapan Kang Kitri, kolega sekantornya, mendesing tajam di dalam gendang telinganya.
Hmm … inilah repotnya ketika televisi menjadi “tuhan” kedua. Pemilik modal dan penonton sama-sama butuhnya. Juragan TV butuh keuntungan finansial, penonton butuh hiburan untuk mengalihkan kesuntukan persoalan kompleks yang tengah menderanya. Kang Darpin tersentak ketika tiba-tiba saja seekor tikus liar menerobos masuk ke dalam bilik tidurnya yang lupa dikunci, lantas tanpa sopan-santun memorak-porandakan botol-botol make-up istrinya yang sudah kosong.
“Dasar tikus sialan!” umpatnya dengan bola mata memerah saga. ***
Ya. Memang repot, Pak. Kebanyakan tayangan televisi kita sepertinya jauh dari muatan mendidik. Padahal, setiap tayangan televisi seharusnya puanya muatan mendidik walaupun itu acara hiburan atau perbincangan.
mungkin itulah salah satu dampak yang terjadi ketika kaum pemilik modal sudah telanjur menguasai sektor2 penting di negeri ini, mas arif, sampai2 media yang seharusnya mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat pun mesti mengikuti selera kaum pemilik modal.
postingan dalam bentuk beda. asik dibacanya 😀
saya juga ndak suka sinetron pak. acara terlarang itu kalau di rumah hehehe…
pinginnya sih yang santai2 saja postingannya, mbak latree. tapi mungkin lantaran biasa nulis yang rada2 serius malah terkesan kaku, haks.
maka melamun, bermimpi, berkhayal kemudian menempuh jalan pintas untuk mewujudkannya…….. menjadi kelanjutan ceritanya,
bisa jadi itu imbas lanjutan ketika banyak penonton terhipnotis tayangan layar kaca itu, mas affan.
setuju,,saya termasuk orang yg suka menonton televisi tapi itu dulu,,sebelum saya bekerja,,kini saya sadar kalo televisi lebih memberikan efek negatif dengan tontonan yg tidak mendidik,,
seandainya para pengelola TV masih memiliki sedikit idealisme, mungkin masyarakat akan benar2 mendapatkan suguhan tayangan yang benar2 edukatif sekaligus menghibur.
salut pada stasiun televisi yang masih mengedepankan pendidikan dan kemajuan. . . tapi emang ada? 🙁
mungkin ada, mas garis, meski jumlahnya amat sangat sedikit.
Dewasa ini TV memang sudah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat kita baik tua, muda dan anak2. Disamping perlu kebijaksaan orang tua juga diharapkan sikap arif pemerintah untuk menjaga agar acara TV diperbaiki tidak hanya menyiarkan film/sinetron horor, kekerasan, perselingkuhan, dll.
bener sekali, mas harry. kalau orang tua mungkin masih bisa memberikan kontrol dan filter terhadap dirinya sendiri. yang mungkin agak kerepotan adalah anak2. orang tua kan tdk mungkin selamanya bisa mendampingi anak2 ketika menonton TV.
saya sebenarnya juga mau marahin yang buat acara tipi, seperti umpatan kang darpin pada kalimat terakhir di posting ini, kok isinya sampah semua, tapi ya gimana lagi paaaak, (meski masih ada satu channel yang cukup inspiratif, yang taglinenya Inspirasi Indonesia…) tetapi kenyataannya pak, (dari pemantauan di keluarga dan tetangga) emak tante pembantu dan family family serta tetangga yang ditonton ya acara acara tipi yang sampah sampah itu pak… gosip, sinetron, dan investigasi investigasi itu hlaaa gimana coba….
#ibarat gembala, pada jaman mbah harto, kita itu dikekang erat nggak boleh kemana mana, sekarang bebas, namun kebablasan, benar benar lepas kendali pak…
walah, bener juga, mas sriyono, dalam situasi yang serba bebas semacam itu, komisi penyiaran indonesia mestinya perlu memosisikan dirinya sbg institusi yang bener2 mampu mengontrol tayangan tv. kalau terus dibiarkan bebas tanpa kendali, jelas akan berdampak terhadap kultur masyarakatnya juga.
tulisannya sangat bagus sekali.. dimana nih belajar nulis kaya gini heheh
terimakasih telah berbagi..
Televisi juga berpengaruh dalam pengembangan pengetahuan. Tetapi selain itu, televisi juga bisa menjadikan kita lupa waktu dan segalanya.
Maka tontonlah TV secukupnya? 😉
bener sekali, mas dany, meski kalau melihat tayangan sebagian besar stasiun TV kita masih amat jauh dari mencerahkan.
Hal tersebut kemabli pada setiap individunya. Dan khususnya orang tua yang masih memilki anak, hal ini sangatlah harus menjadi perhatian khusus. Agar kita sebagai orang tua dapat mengontrol jam tayang dan membrikan arahan yang benar terhadapat media tontonan terhadap anak.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah’s Blog
bener juga, mas, sayangnya tdk mungkin setiap saat ortu tidak selalu bisa mendampingin putra-putrinya ketika menonton TV.
Itu pemilik TV nekjika saya ibaratkan blogger, hanya pemburu traffick pak. Nggak mau melihat efek sampingnya. Yang dilihat hanya efek depannya dowang (perut). Yang saya tahu, sec. umum media informasi menggunakan motto yang sama untuk mencari karbon eh korbannya, iaitu “GOOD NEWS IS NOT NEWS, BUT BAD NEWS IS NEWS” – Berita apik kuwi dudu berita, BERITA ELEK kuwilah baru namanya berita. Betul? 🙄
wah, repot juga kalau idiom itu yang menjadi tagline-nya, pak wandi. meski sebenarnya kata “good news” dan “bad news” masih memiliki banyak tafsir.
sudah beberapa tahun saya tidak memiliki televisi di rumah, kalaupun saya memilih menonton televisi saya lebih suka memilih tayangan Saun The Sheep favorit adik saya.
soalnya tayangan yang lain kok malah terlihat ‘berbahaya’ untuk emosi jiwa..
hehehehehe
oh, ya, ternyata dari sekian tayangan TV yang tergolong “sampah”, masih ada juga tayangan yang bagus, ya.
Kita sudah menyadari hal itu. Sayangnya sebagian orang tidak menyadari dengan cepat. Hal ini akan membuat dampak negatif dikemudian hari jika secara terus-terusan disuguhi tayangan TV.
iya nih, mas, dalam situasi sepeti itu, idealnya pihak pengelola stasiun TV masih menyisakan sedikit idealisme dengan menayangkan acara2 yang sehat dan mencerahkan kepada publik.
mungkin saat ini kita harus dan wajib pintar pintar memilih tayangan televisi..
tepat sekali, meski utk memilih tayangan TV yang bagus dan mencerahkan ternyata bukan hal yang mudah.
kadang saya juga gg habis pikir kenapa tayangan sinetron lebih menjamur di bandingkan tayangan tayangan yang sifatnya mendidk…
hem,,bener pak,untungnya saya jarang banget nonton tv,kecuali kalau lagi jenuh lihat acara lawak
Memang,,.. televisi… banyak manfa’atnya.!! tp tak jarang televisi membuat kita merugi dan melalaujan aktivitas kita…..
Ah, untungnya saya gak begitu suka nonton tivi. Soalnya di Pemalang siaran Metro TV burem, jadi nonton tivi kalo malam Minggu sama malam Senin. Tapi kadang Rabu atau Kamis pagi-pagi banget. Hehehe…
di kendal hampir semua stasiun TV bisa diakses, mas eko, meski makin kesulitan utk menemukan tayangan yang benar2 bagus dan edukatif.
Saya cuma mikir enaknya dulu masih kecil, siaran cuma satu Pak,… anak2 ngga pada rebutan milih chanel yang mana. Siaran terkontrol, ngga asal muncul dan terkadang memang mendidik. Sekarang?????
itulah repotnya, mas kaget, semakin banyak stasiun TV ternyata malah makin sulit menemukan tayangan yang bagus dan mencerahkan.
semenjak menekuni kegiatan baru, saya jarang menonton tv nih, palingan cuma nonton spongebob pagi-pagi sama sore sebentar 😀
spongebob? hehe …. itu tayangan yang disukai anak2, mas reza, termasuk si bungsu.
udah jarang nonton tv…acaranya itu2 terus…bukan menghibur tp malah membosankan…:P
Tulisan yang berbobot dan memang benar Pak Sawali, sampe sekarang pun (tahun ketiga) saya meski sudah pindah ke Australia, tiap saat masih nonton televisi Indonesia dari siaran Parabola… 🙂
agaknya mas donny kangen juga sama siaran TV Indonesia, ya? meksi ternyata sedikit sekali tayangan acara yang bagus dan edukatif.
Saya sekarang ini jarang sekali menonton televisi, karena kesibukan kerja…
paling sejam- dua jam saja dalam sehari nonton televisi, lebih lama didepan komputer…
hehe … mending begitu, mas sop, toh kalau nonton tayangan acaranya jauh dari mencerahkan.
Ijin komen lagi, pak…
komen saya yang pertama kok ngga muncul ya..hehehe…
padahal cuma masukin homepage aja, buka laman artikel page…
maksih..
media memang luar biasa…..apalagi TV yang merupakan media paling TOP…
sungguh banyak orang yang menyukainya…setelah suka,,maka akan terpengaruh berita2 atau hal2 didalmnya
itulah mungkin dampak ketika banyak masyarakat yang menjadikan TV sebagai “tuhan” kedua, mas.
kalau tayangan masih beralasan pada rating, maka kemajuan televisi masih tertinggal jauh. Setiap hari tayangan hanya berisi sinetron yang ceritanya tidak pernah jelas
itulah yang menyedihkan, mbak. padahal sebagian besar pengelola TV hanya rating dan iklan yang dikejar.
Lama tak berkunjung, tulisan Pak Sawali masih mantaf. BTW…Gak seperti Kang Darpin, untungnya saya sama keluarga sudah bisa sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan terhadap TV…:)..
syukurlah, mas tata. terlalu banyak di depan TV malah makin jenuh dan membosankan
Yang cukup menyedihkan banyak anak sekolah yg melalaikan tugas belajarnya karena lebih asyik memantau acara televisi. Kontrol KPI thd tayangan televisi juga tidak lagi peka, seperti iklan mie instan beberapa waktu lalu yg sempat membuat para guru sedikit berang.
Beruntung saya tidak ikut2an menjadikan TV sbg “Tuhan” ke dua.
bisa jadi itulah salah satu “sihir” televisi, bu suka. anak2 yang seharusnya sibuk belajar, malah menghabiskan sebagian besar waktunya di depan TV.
Sudahlah kang Darmin, tidak usah terlalu stress… Masih mending Kang Darmin sadar akan kondisi ini. Semoga saja selain kang Darmin juga merasakan hal yang sama, dan bisa mengurangi “menghisap candu” rakyat itu. 🙂
kang darpin, mas, bukan darmin, hehe … kalau kang darpin mungkin masih bisa melakukan kontrol, tapi istri dan anak2nya itu loh!
Kalau saya sih berusaha sebisa mungkin memilih tayangan berkualitas, Pak..
Ada kok.. 🙂
memang ada, mas gie, tayangan TV yang bermutu, meski jumlahnya sangat sedikit.
Televisi memang bisa jadi seperti pedang bermata dua ya pak. Di satu sisi membunuh ketertinggalan informasi, di sisi lain malah bisa membunuh waktu hingga terbuang sia-sia…
bener sekali, mas darin. tapi agaknya masyarakat lebih suka menghabsikan waktunya utk menonton tayangan yang jauh dari nilai2 edukatif.
kebetulan ane jarang liat tv sekarang gan, cause banyak disuguhi sinetron penuh adegan rebutan harta dan wanita. kalaupun lihat tv ane kebanyakan lihat acara kick andy dan acara – acara berbau entrepreneur dan motivasi.
syukurlah, tayangan TV kita memang sebagian besar kurang layak utk ditonton, apalagi bagi anak2.
Kalau Putri pribadi sih lebih sering buka dasbor Yahoo daripada lihat TV.
Tapi Mama lebih suka menikmati sinetronnya di TV.
Yah, kalau seumuran Mama. Mungkin masih bisa ditoleran ya, mungkin lelah seharian ngurus rumah. Hiburannya cuma TV.
Alhamdulillahnya, mungkin tidak menjadikan TV sebagai Tuhan 🙂
lebih baik begitu, mbak putri, hehe … lebih banyak manfaatnya ketimbang menonton TV yang cenderung menjenuhkan dan membosankan.
saking terkejutnya kang darmin tu sampe ngumpat.. Hmm, saya lebih prefer/suka nonton da’i muda pak, lebih mendidik dengan seribu persoalan bangsa. Nilai agama, politik, sosial pun ditonjolkan..
hehe … umpatan terakhir itu sekaligus utk menunjukkan salah satu efek tayangan TV yang sarat kekerasan, mas, ternyata bisa juga berpengaruh terhadap sosok seorang kang darpin yang jauh lebih selektif dalam menonton tayangan TV.
semakin tinggi “debit” arus informasi, maka harus semakin tebal pula filternya, apalagi di era serba informasi dalam bingkai demokrasi Indo semacam ini. spesifik urusan sinetron, saya tak pernah ntn sama sekali, kadang2 rindu juga sinetron2 baik yg dulu pernah tayang di televisi kita, macam si doel anak sekolahan.
bener sekali, mas, orang tua mungkin masih bisa melakukan kontrol dan filter, mas arif, tapi bagaimana dengan anak2? ortu tak mungkin bisa mendampingi putra-putrinya dalam menonton TV yang sebagian besar berisi tayangan2 “sampah”. tentang sinetron, memang masih ada yang berkualitas juga. sayangnya, jumlahnya saat ini makin jauh berkurang.
Duh, udah lama saya ga nonton TV, kangen juga.. ha ha… 😀
pak jupri mungkin amat sibuk di kampus, ya? hehe …
televisi juga memberikan semua informasi yang kita perlukan
betul sekali, mas, meski porsinya jauh lebih sedikit ketimbang tayangan2 yang tergolong “sampah”.
sekarang saya sudah tidak pernah nonton tv lagi. di samping sibuk, di kos saya ga punya tv. he.. he.. he..
Anyway terima kasih sdh berbagi Pak Sawali.
Sepakat!
Saat ini pemilik Tv lebih sibuk mengurusi trick untuk menaikkan rating mereka.
acara Tv dilayar kaca 11-12, mirip dan identik. Cuma “dipolesi” sedkit sebagai sekat perbedaan dengan tayangan lain, padahal intinya sama …
Miskin kreatifitas namun kaya akan jiwa duplicate
Salut!
agaknya seperti itulah yang terjadi, mas wid. mungkin ini salah satu dampak ketika TV sdh jatuh ke tangan para pemilik modal. idealismenya terbabat habis oleh ambisi utk mendongkrak rating dan keuntungan finansial.
tayangan televisi sekarang sudah banyak yang gag mendidik
huft 🙁
makanya sekarang sudah jarang nonton tipii
memang itulah fakta yang amat menyedihkan, mbak.
lama tidak silaturahmi kesini
tv dirumah saya dengan tegas saya batasi jam tayangnya pak, kecuali hari sabtu dan minggu. selain acara yg banyak tidak mendidik tv juga potensial memecah kesatuan dan persatuan keluarga. 😀
nb :
tolong di jelaskan makna imbuhan me pada kata merakyat dan membumi Pak, saya mau buat posting dengan keyword diatas, tapi ragu ttg makna imbuha me, daripada tanya google yg orang amrik, lebih baik saya tanya ke pak Wali.. tks
wow … keren dan mantab, mas pur. tentang merakyat dan membumi, hmm … prefiks me- pada kata merakyat dan membumi, seperti halnya me- yang melekat pada nomina, seperti batu-membatu, patung-mematung, dll. secara morfologis bisa bermakna “menjadi atau seperti”. Namun, agaknya kurang tepat kalau merakyat dan membumi bermakna menjadi/seperti rakyat atau menjadi/seperti bumi. dalam analisis awam saya, merakyat dan membumi, menunjukkan gejala kebahasaan yang berbeda. mungkin secara struktural identik dengan makna “menyatu=menjadi satu”. ini artinya, merakyat bisa dimaknai meenjadi satu dengan rakyat, membumi = menjadi satu dengan bumi (tidak: soliter, mengawang, atau jauh dari bumi). duh, ini hanya sebatas penafsiran awam saya, mas pur, selebihnya terserah panjenengan menafsirkannya, hehe ….
sindiran yang sangat mengena Pake!
di jaman modern ini, justru kita lebih sering tersesat kepada “tuhan-tuhan” yang bukan sejatine Tuhan.
hehe … sebenarnya tidak bermaksud menyindir, mas nanang, lha wong ini hanya sekadar postingan kurang kerjaan, kok, haks.
Tayangan TV kadangkala tidak mendidik. Kita sebagai penonton TV selayaknya bisa bijak dalam memilih acara TV. Memang kadang kita menonton TV yang isinya hiburan semata. Seperti yang Bapak katakan, acara seperti itu hanya untuk menarik minat penonton dan menaikkan rating dan iklan oleh para “pemilik” TV.
idealnya memang demikian, mas uwi. penonton perlu selektif utk memilih tayangan yang lebih edukatif. sayangnya, tdk setiap saat ortu bisa mendampingi dan mngontrol aktivitas anak-anak dalam menonton TV.
Dan saking di tuhankan nya TV sekarang jadi banyak program2 yang nga jelas & ngerusak mental terutama anak2 dibawah umur. Iklan2 nya pun sekarang terkesan “maksa” . Anyway, nice topic!
seperti itulah yang terjadi, bos. sungguh menyedihkan kalau pada akhirnya TV justru malah menjadi “biang” runtuhnya benteng moral anak2 bangs.
Sama mas,,kalau dirumah saya TV selalu hidup nonstop,,,apalgi kalau udah nonton sinetron,,wah,,bakalan gak bisa diganggu tuh yg suka nonton sinetronnya 🙂
Salam Persahabatan
http://www.disave.blogspot.com
salam persahabatan juga, mas abed. wow … sintetron ternyata benar2 telah mampu “menyihir” penontonnya.
Saya suka dengan gaya bercerita Anda, mengalir dan sangat memancing imajinasi 🙂
Selamat ya jadi pemenang Gold Award di ICTWatch bersama dg blog saya juga LewatMulut.com
Salam sukses!
terima kasih atas apresiasinya, mas. selamat juga atas penghargaan ISBA 2011 utk blog lewatmulut.com kategori “GOLD”, semoga makin tambah sukses.
Gejala masyarakat baru yang tak bisa dihindari. Dan itulah fenomena zaman kita 😀
agaknya memang seperti itu, mas tengku. makin repot beban persoalan bangsa ini.
Keberadaan tv memang ada negatif dan positifnya, tapi jika tak ada tv tentu saja proses edukasi dan informasi juga tidak dapat berjalan. Soal kepongahan, kevulgaran, atau aspek bisnis itu mah selalu ada di setiap hal, bukan tv saja. Yang penting adalah bagaimana kita menjadi lebih dewasa dalammensikapi pemberitaan dan informasi di media. Kalau tidak ada talkshow pun tentunya kita juga buta menjadi buta akan situasi sebenarnya.
bener sekali, mas, agaknya kita sulit menolak kehadiran TV dengan model tayangan seperti itu. yang diperlukan adalah filter dari setiap keluarga agar mampu memilih tayangan yang dianggap lebih bernilai dan edukatif.
aku tadi liat judulnya langsung kaget pak dhe…
kok kyake segitunya yah masyarakat ngeliat tipi…
tipi jadi tuhan kedua…
:'(
hehe … makanya kata “Tuhan” saya beri tanda kutip, mbak yuni.
televisi tepatnya dajal,bayangkan saja matanya satu,tv juga menguasai dunia buktinya tahu apa yang terjadi pada negara lain,dan lain lain,kalau dijelaskan lagi pasi panjang
bagus banget nih artikelnya
semoga saja bermanfaat…
Tuhan kedua itu masih kalah dengan remote, settingan channel dan TV berlangganan, untuk anak2 sebelum remaja semua masih bisa dikendalikan, sedangkan untuk remaja sikap mereka tergantung pada pembelajaran dari keluarga di masa kecilnya.
Tuhan kedua tetap bisa dikalahkan dengan meluasnya dukungan segenap rakyat melalui kecaman online nasional, bukan berarti tidak bisa, tapi membutuhkan usaha keras kita bersama
Request artikel : “ketika televisi dikendalikan o/ calon2 presiden” dong mas…
pemilu nanti sprtinya demikian
terima kasih masukannya, mas. sayangnya, saya belum punya referensi yang cukup siapa saja capres 2014 dan TV mana saja yang mereka kendalikan.
iya Pak, bener banget. Tapi untung saja masih ada tayangan TV yang berthema tentang pendidikan. Tergantung pintar2nya seseorang dalam memilih tayangan yang layak untuk ditonton apa tidak :D.
sekarang makin banyak acara tv yg tak mengusung pendikan, padahal di era 90’an banyak sekali acara tv yg mengusung pendidikan, dari mulai lagu anak-anak, film interaksi yg menuntun penonton untuk mengasah kemampuan anak, kartun anak-anak bahkan film yg bertemakan pendidikan. itu semua sudah sulit didapatkan di era sekarang ini. sungguh ironis anak-anak yg lahir di era sekarang (walaupun tidak semua) balik lagi tergantung dari orang tua masing-masing. 😀