Hari ini, Kamis, 22 Desember 2011, seharusnya kaum perempuan di negeri ini terbebas dari segala macam bentuk kekerasan dan penindasan. Pada hari yang bahagia ini seharusnya kaum perempuan di negeri ini bisa tersenyum lepas; menyaksikan sebuah momen keagungan yang memosisikan kaum ibu sebagai pencerah peradaban. Pada hari yang bahagia ini pula, idealnya kaum ibu terbebas dari jeratan nasib akibat perlakuan buruk para majikan yang kejam dan biadab. Namun, agaknya suratan takdir berkehendak lain. Akibat sikap abai penguasa yang sudah kehilangan nurani, dari tahun ke tahun justru kaum perempuan “dijual” ke negeri seberang demi menggelembungkan pundi-pundi devisa atas nama negara.
Entah, sejak kapan repertoar “Nasib Perempuan yang Terbuang” menjadi lakon tragis di atas panggung sosial negeri ini. Koor dan lagu sumbang tentang nasib TKW selalu menggema dari sudut-sudut kampung dan desa. Entah, sudah berapa nyawa ibu-ibu kita yang melayang dari tebasan pedang para algojo. Entah, mungkin sudah tak terhitung lagi nasib ibu-ibu kita yang terluka; disiksa dan dianiaya. Namun, entah, hingga saat ini penguasa negeri ini tetap menutup mata dan telinga nuraninya untuk memperhatikan nasib mereka. Belum ada “kemauan politik” sedikit pun untuk memulangkan mereka ke pangkuan ibu pertiwi.
Salahkah kaum ibu berbondong-bondong mengadu nasib ke negeri orang? Tidak! Naluri untuk bisa bertahan hidup di tengah ancaman kemiskinan dan kelaparan di negeri sendiri telah “memaksa” mereka untuk menjalani nasib yang sesungguhnya sangat tidak mereka harapkan. Tingkat pendidikan yang rendah, hingga gagal bersaing untuk mendapatkan lapangan kerja, membuat mereka tak memiliki alternatif lain kecuali harus mengadu nasib dan jauh meninggalkan keluarga dan sanak-kerabatnya di kampung halaman yang amat mereka cintai. Dan ketika tiba di tempat sang majikan, mereka sama sekali tidak memiliki posisi tawar, selain harus mengikuti “apa maunya” sang majikan. Sungguh beruntung kalau mereka mendapatkan majikan yang baik hati. Kalau tidak? Alih-alih memperbaiki nasib, bisa selamat dari kekejaman sang majikan pun sudah sangat bersyukur.
Fakta sudah menunjukkan betapa rentetan tragedi yang menimpa para TKW kita benar-benar berada di titik nadir. Mereka yang sudah tak tahan terhadap siksaan sang majikan, terpaksa harus melakukan “harakiri”. Pulang pun hanya tinggal nama. Belum lagi mereka yang terpaksa menjadi korban “kebuasan nafsu” brutal kaum majikan yang tak beradab. Sungguh, dari sisi kehormatan dan martabat bangsa, jor-joran ekspor TKW ke luar negeri sangatlah tidak menguntungkan. Bahkan, makin memperparah stigma bangsa kita sebagai “bangsa kacung”.
Lantas, apa yang mesti dilakukan dalam situasi ruwet semacam itu? Menurut hemat saya, semua TKW harus dipulangkan! Selamatkan mereka dari ancaman, siksaan, dan ketakutan! Kaum elite dan penguasa negeri ini mesti ingat dengan janji-janji politiknya di atas mimbar kampanye yang hendak menghapus kemiskinan dan membuka lapangan kerja. Berikan ruang publik yang nyaman buat kaum perempuan di negeri ini untuk bekerja dan mengabdi buat bangsa dan negeri tercinta. Penguasa negeri ini sudah diuntungkan dengan banyak fasilitas negara yang dibiayai dari jerih-payah rakyat. Sungguh amat “durhaka” kepada Ibu Pertiwi apabila tidak diimbangi dengan kerja keras untuk memakmurkan rakyatnya. Negeri yang subur-makmur “gemah ripah loh jinawi” dengan kekayaan meruah di balik pinggang bukit, gunung, dan ceruk laut, akan menjadi ironi zaman apabila gagal memberikan kesejahteraan yang layak dan memadai buat rakyatnya.
Sungguh, saya amat merindukan pada Hari Ibu yang anggun dan agung ini, kaum Ibu mampu memuliakan hari kebesarannya dengan penuh senyuman, kedamaian, dan kebahagiaan, tanpa terancam rasa takut dan tekanan. Namun, hingga detik ini, layar memori saya masih dipenuhi silhuet dan bayangan gelap tetangga dan saudara saya semacam Yu Karti, Yu Painem, Yu Darmi, Bulik Suminah, atau Budhe Kartiyem, yang terbelit kegelisahan, kepedihan, dan ketakutan di negeri orang. Haruskah saya meneriakkan yel-yel “Dirgahayu Ibu Indonesia”? Sungguh, saya benar-benar tidak sanggup! ***
selamat hari ibu..
Selamat hari Ibu…
Semoga Ibu Kita dan semua Ibu se Indonesia slalu dalam lindunganNya
amiiin, semoga doa pak mar terkabul.
ibuku sayang ibuku mala… eh ibuku mujur yang malang tkw ding
i luv mom… maafkan salahku selama ini mom,,.. maafkan aku yang blum bisa membhagiakanmu mom,,… [salam and selamat *Hari iBu]
ibu, i love you!
amazing pak….
Mohon untuk berkunjung juga pak…
blog jenengan kembali menggugah gairah saya untuk ngeblog lagi..thx
haduuh… sisi lain “ibu-ibu” kita ya..
sedih… X(
Wah tapi kalo TKW nya kayak Darsem gimana, pak Sawali? Konon ia malah jadi konsumtif setelah menerima bantuan milyaran dari masyarakat lewat sebuah saluran televisi nasional?
Btw, selamat hari Ibu.. juga untuk Ibu dan istri Pak Sawali!
selamat hari ibu juga, mas don. darsem agaknya menjadi sebuah fenomena. setelah lolos, ternyata sikap hidupnya dikabarkan mlh berubah jadi konsumtif. repot juga.
karena ibu segalanya..
tiada salahnya…
ibu love you
untuk seluruh ibu didunia..
🙂
aku sayang para ibu
aku juga sayang ibuku, bagaimana dengan kamu ?
ardiansyah-nomore.blogspot.com
Beberapa hari yg lalu, saya melihat acara berita di TV ttg TKI, termasuk TKW di dalamnya.
Saat kepulangan ke negeri sendiri para “ibu-ibu kita” ternyata belum lepas dari penindasan. Kabarnya, dari bandara hingga sampai ke daerah asal mereka diminta “sumbangan seikhlasnya” oleh para oknum dari pejabat sampai supir travel. Kejam.
itu dia yang terjadi, mas ayip. penderitaan agaknya belum juga berakhir setelah tiba di tanah air.
Beberapa hari yg lalu, saya melihat acara berita di TV ttg TKI, termasuk TKW di dalamnya.
Saat kepulangan ke negeri sendiri para “ibu-ibu kita” ternyata belum lepas dari penindasan. Kabarnya, dari bandara hingga sampai ke daerah asal, mereka dimintai “sumbangan seikhlasnya” oleh para oknum dari pejabat sampai supir travel. Sumbangan? Hemm.. lebih tepatnya dipalak. Kejam
Beberapa hari yg lalu, saya melihat acara berita di TV ttg TKI, termasuk TKW di dalamnya.
Saat kepulangan ke negeri sendiri para “ibu-ibu kita” ternyata belum lepas dari penindasan. Kabarnya, dari bandara hingga sampai ke daerah asal, mereka dimintai “sumbangan seikhlasnya” oleh para oknum dari pejabat sampai supir travel. Sumbangan? Heh, lebih tepatnya dipalak. Kejam
Maaf, pak. Karena internetnya naik turun, saya pikir komentar pertama dan kedua saya tidak terkirim. Makanya saya nge-post comment berkali-kali. Eh, ternyata muncul semua. Mohon dihapus saja nggih pak. Maaf.
selamat hari ibu yaa….
Selamat hari ibu pak 🙂
saya juga memperingati hari ibu Lho…
Sungguh sangat miris mendengarnya pa, padahal kita negara yang luar biasa jika dikelola dengan bijaksana. Kemiskinan seringkali menjadi alasan untuk mereka yang mencari penghidupan dinegeri orang, benang semakin kusut karena pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan kerja. I love you mom….
Ibuku hanya orang biasa, tapi aku bangga kepada beliau, sayangnya aku masih diperantauan. I miss you mom……
setiap kali momen hari ibu tiba ingatan saya selalu jatuh pada sosok seorang ibu yang harus mengadu nasib di negeri orang, mas. namun, ternyata yang didapat jauh dari harapan.
Kaum ibu adalah kaum yang rentan, tapi juga kaum yang mulia. Selamat hari ibu. Walau hanya sekedar ucapan tap jauh di lubuk hati, semua orang pasti mencintai ibunya.
Selamat hari ibu bagi para kaum wanita yang menjadi ibu dan bagi calon ibu. Semoga bangsa ini tidak selalu membiarkan ibu pertiwi ini selalu bersedih dan meneteskan air matanya.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah’s Blog
Pak Sawali, kalau memulangkan saja mungkin tidak sulit bagi pemerintah. Tapi bagaimana nasib mereka setelah disini itu yang jadi pertanyaan penting. Keberangkatan TKW ke luar negeri pasti diniatkan untuk merubah nasib, membantu keluarga dll. Kalau kembali hanya untuk jadi pengangguran, saya kira mereka yg langsung terkait di dalamnya, TKW, juga tidak akan mau. Menurut saya sebelum memulangkan para KW pemerintah harus punya sejumlah solusi untuk mereka. Dan tampaknya itulah yg tak mampu dikerjakan ole pemerintah 🙂
beul sekali, bu evi. ini memang pr besar buat pemerintah. alam indonesia yang begini luas dan kaya raya, saya masih bertanya2 juga, apa tidak bisa sih pemerintah kita menyiapkan lapangan kerja yang layak buat rakyatnya sendiri?
selamat hari ibu untuk ibu” yang ada didunia,,
semoga kita semua dapat menghormati ibu” kita,,,
sukses slalu buat seluruh ibu”..
yaps sangat memprihatinkan saya ikut prihatin dengan para ibu yang harus tetp bekerja keras walaupun seharusnya mereka merasakan bagaimanakah keistimewaan seorang ibu yang diperingati hari kemarin
sangat memprihatinkan dengan keadaan para tkw yang tidak bisa merasakan kebahagiaan yang berhak mereka rasakan yang seharusnya mendapatkan keistimewaan yang diperingati untuk para ibu……
selamat hari ibu pak,
bicara TKW nya saya ngga bisa komen…
prihatin…
Seandainya presiden kita yang pertama bapak Soekarno masih hidup tentu beliau meneteskan air mata. Beliau tidak ingin bangsa Indonesia ini menjadi pembantu/budak di negara lain. Beliau pernah berkata bahwa kita jangan menjadi pembantu di negara lain.
Para pemimpin kita saat ini berbanding terbalik dengan pemimpin terdahulu khususnya beliau pak Soekarno. Pemimpin kita saat ini justru menginginkan sebagian rakyatnya menjadi pembantu di luar negeri alias menjadi TKW/TKI. Alih-alih agar devisa kita menjadi bertambah. Pemimpin kita mengorbankan nama baik bangsa kita sehingga bangsa kita di stempel menjadi bangsa pembantu.
Maaf pak, atas komentar saya.
Kalau bekerja di luar negeri menjadi seorang pemimpin perusahaan, atau seorang dokter misalnya itu bagus. Itu malah mengharumkan nama Indonesia.
bener, mas uwi, kalau soal yang satu ini sudah beda kasus, hehe ….
itulah bedanya pemimpin kita dulu dan sekarang, mas uwi. kita jadi sedih ketika mendengar stigma bahwa bangsa kita hanya dianggap sbg bangsa kacung, tapi agaknya kaum elite kita tetap apatis dan kurang responsif, terima kasih atas tambahan infonya, mas uwi.
Sudah berapa banyak hari yang ada di kalender kita diperingati, namun sayangnya sekedar seremoniyal belaka ya pak, termasuk hari Ibu. Saya pengin ada hari buwat bapak pak. Kapan ya?:roll:
hehe …. pak wandi ndak usah iri kalau ndak ada hari bapak, hiks.
sungguh sangat ironis.
saya jadi teringat nasib mbak marli (TKW arab)yang sekarang masih stress,dan harus menjadi beban orangtuanya.Mbak marli 2 thn bkerja jadi tkw di arab saudi namun baru setahun , dari pihak penyalur memulangkannya dengan alasan mengalami ganggua jiwa.sepertinya dia terpukul dengan sebuah kejadian yang menimpanya.dan sampai sekarangpun belum penyebab stressnya.dengan anaknyapun mbak marli sudah tidak kenal lagi.Pemerintah daerah setempat hanya sibuk jika keluarganya ingin mengadukan keluhannya ,keluarganya hanya pasrah dengan keadaannya ini.
tulisan kang sawali betul tepat dan mengena sekali buat mbak marli ini.
seorang ibu,adalah molekul terkecil dari adanya Ibu pertiwi.
salam kenal kang sawali.
di tunggu kunjungan senior,
wah, terima kasih banget atas tambahan infonya, mas. sungguh makin menyedihkan sekaligus mengharukan menyaksikan nasib para tkw kita.
setuju banget pak !!!! menurut saya masih jauh dari kata berhenti pengiriman TKW selama sistem negara ini tidak di rubah.
berkunjung di jum’at siang pak sawali…. XD
semangat terus!!…
Memang tragis, Pak. Padahal lapangan kerja di luar pekerjaan babu banyak di Timur Tengah. Sebagai contoh, di rumah sakit sebagai perawat, di hotel, di restoran, dll.
Sebenarnya cara untuk membuat tenaga kerja kita kompetitif di luar negeri juga tidak sulit-sulit amat. Tinggal asah keterampilan di bidang yang akan di masuki lalu tambahkan dengan Bahasa Inggris. Pelajaran-pelajaran nggak penting cukup sampai SMP saja. Di SMK, hanya pengetahuan dan keterampilan yang akan menunjang pekerjaan saja yang diajarkan.
Apa susahnya bikin seperti itu?
wah, itu dia repotnya mas arif. sejak dulu muatan kurikulum pendidikan kita terlalu gemuk. pinginnya semua ranah disajikan, tapi ujung2nya para lulusan sekolah kita malah ndak bisa apa2.
pilihan mereka atau mereka tak punya pilihan..Bagus artikelnya, tentang sosial..
sosial banget dan pasti ada unsur education itu..
suka dengan postingan ini,,
Bagus artikelnya, tentang sosial..
Mungkin karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sehingga mereka memilih menjadi TKW karena tergiur cepatnya memperoleh penghasilan dengan jumlah yang besar.
bisa jadi demikian, mas tanto. rendahnya pendidikan pada umumnya juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup. mungkin lantaran dibuka peluang utk bekerja sbg tkw, maka mengadu nasib di negeri orang pun jadilah pilihan.
Sangat miris apa yang terjadi pada para TKW diluar sana, mereka dielu2kan sebagai pahlamawan devisa namun pada kenyataannya kehidupan yang mereka alami tak sejalan dengan baik dan banyak yang menderita
Emansipasi wanita sepertinya pun sedikit memposisikan mereka pada keadaan yang kurang mengenakkan