Untuk ke sekian kalinya dunia pendidikan kita kembali tercoreng ulah kaum pelajar dan mahasiswa yang mempraktikkan aksi premanisme dan bar-bar. Para kandidat intelektual yang seharusnya menjadikan sekolah dan kampus sebagai basis dan ruang berekspresi keilmuan, justru malah suka mengumbar aksi-aksi agresif, pamer otot, dan kekerasan. Walhasil, nilai-nilai keluhuran budi yang seharusnya melekat secara inheren ke dalam kepribadian dan jatidiri pun kian mengapung hingga akhirnya kabur terbawa arus peradaban yang memuja kekerasan dan vandalisme.
Ada apa dengan kandidat intelektual kita? Sudah sedemikian parahkah atmosfer dalam lingkungan dunia pendidikan kita sehingga gagal menyemaikan nilai-nilai kemanusiaan secara “paripurna” ke dalam nurani insan sekolah dan kampus? Tak ada lagikah ruang yang tepat bagi mereka untuk mengoptimalkan berbagai talenta kecerdasan yang mencerahkan buat masa depan? Tak ada lagikah cara yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah selain melalui cara-cara kekerasan?
Tantangan yang mesti dihadapi kaum muda, khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa, saat ini memang makin rumit dan kompleks. Mereka tidak saja dihadapkan pada kompleksnya situasi internal psikologis, tetapi juga mesti menghadapi atmosfer peradaban yang makin “sakit” dan sarat dengan anomali. Dalam situasi demikian, disadari atau tidak, seringkali mereka terjebak pada sikap pragmatis dengan menempuh cara-cara yang dianggap paling tepat untuk mengekspresikan naluri agresivitas yang ada dalam dirinya ketika hasrat yang diharapkan tidak segera terwujud. Salah satu naluri agresivitas yang paling dekat dengan kaum remaja adalah naluri kekerasan itu.
Kehilangan Ruang Keceriaan
Salah satu faktor pendorong masifnya aksi kekerasan di kalangan kaum muda kita adalah hilangnya ruang keceriaan yang seharusnya mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak, sejak kecil, sudah terbiasa hidup dalam atmosfer lingkungan yang sarat dengan beban sosial. Naluri bermain yang seharusnya tumbuh dan berkembang secara leluasa sesuai dengan dunianya telah terampas oleh tangan-tangan kaum kapitalis yang telah menyulap ruang-ruang publik untuk bermain menjadi mall dan supermarket. Ruang bermain telah berpindah dari ruang-ruang publik ke ruang privat dan domestik di dalam rumah. Repotnya, di rumah pun mereka jarang mendapatkan ruang yang tepat untuk menyalurkan naluri bermainnya. Bahkan, tak jarang mereka mulai kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang akibat kesibukan orang tua mencari nafkah di luar rumah.
Sementara itu, di sekolah pun mereka juga jarang mendapatkan ruang yang tepat untuk bisa berekspresi secara bebas. Setiap hari, mereka harus berhadapan dengan tugas-tugas dari sekolah yang menumpuk. Jika tugas gagal dikerjakan dengan baik, tak jarang mereka kena semprot dari gurunya. Ruang kelas pun berubah menegangkan. Ini artinya, anak-anak makin kehilangan ruang keceriaan yang seharusnya mereka dapatkan. Lingkungan keluarga dan sekolah belum mampu memberikan ruang yang nyaman bagi mereka untuk berekspresi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jiwanya.
Kondisi semacam itu diperparah dengan atmosfer kehidupan di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang selalu menampilkan wajah penuh kekerasan. Maraknya tawuran antarkampung, demo anarkhis, pemerkosaan, korupsi, dan berbagai perilaku kriminal lainnya, setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar terhadap maraknya aksi kekerasan di lingkungan anak-anak hingga kelak mereka berada di sekolah menengah dan kampus. Miskinnya keteladanan dari kaum elite, lemahnya penegakan supremasi hukum, dan berbagai perilaku jahat yang menghinggapi tokoh-tokoh yang secara sosial seharusnya bisa dijadikan sebagai kiblat dan anutan dalam berperilaku, kian memicu dan memberikan ruang agresivitas di kalangan kaum remaja terpelajar kita. Kini, kekerasan itu bukan lagi sebuah fiksi, melainkan menjadi sebuah fenomena dan fakta sosial yang tak terelakkan.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin bangsa kita akan menjadi bangsa bar-bar yang amat jelas bertentangan secara diametral terhadap cita-cita para pendiri negara. Dalam kondisi demikian, perlu gerakan sinergis untuk menanggulangi ancaman kekerasan yang terus menghinggapi ruang batin dan memori kaum terpelajar kita. Pengembangan dan pengakaran pendidikan karakter tidak cukup diserahkan di sekolah, tetapi juga perlu diimbangi dengan intensifnya penanaman nilai karakter dan kultural di tengah-tengah lingkungan keluarga. Yang tidak kalah penting, tentu saja keteladanan kaum elite kita agar tidak suka mengumbar nafsu serakah yang diperontonkan secara masif dan vulgar di ruang-ruang publik. Tanpa gerakan sinergis semacam itu, penanggulangan aksi kekerasan hanya akan menjadi slogan dan terus akan menjadi “ancaman laten” yang suatu ketika akan menjadi ledakan sosial yang makin parah. ***
lek wis kecentok sulitnya mencari ekonomi kiro-kiro podo mari kok pak 😀
bisa jadi begitu, mas bend, hehe … ini mungkin termasuk bagian dari beban sosial itu.
Saya miris melihat kenyataan ini, kenapa bisa terjadi perang saudara seperti ini. Pesan apa yang ingin disampaikan Penguasa Semesta kepada bangsa ini?
bener banget, mas ari. kekerasan agaknya sdh berada di titik nazir peradaban. mestinya semua elemen bangsa utk memperhatikan secara serius persoalan ini agar tdk mewaris ke generasi berikutnya.
Wah kacau ya pak, ini terjadi karena kita membiarkan, terlalu toleransi terhadap kesalahan-kesalahan. Ketika kitanya ingin benar, lingkungan tidak benar. Kita harus mencari pemimpin yang baru, yang bisa diteladani. Terkait dengan kejadian tawuran siswa SMU 6 dengan wartwan kemarin itu, saya pikir ada masalah di sekolah tersebut. Lebih baik sekolah tersebut dimerger saja atau dihapus.
bisa jadi ini merupakan efek dan imbas demokratisasi dan keterbukaan yang masih belum menemukan bentuk yang sesungguhnya, mas rahman, sampai2 dunia pendidikan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka peradaban pun terkena imbasnya juga.
sing a song, “mau dibawa kemana….”
makin belum jelas, mas sri, hiks. lebih2 jika melihat perilaku kaum elite negeri ini.
mau dibawa kemana atuh,,
Bukan “akan” lagi pak guru, memang sudah barbar kok…
Memang masalah tekanan sosial nih, terutama di Jakarta dan kota2 besar. Di kota2 kecil kehidupan pelajar santai2 saja keknya..
bisa jadi bener, mas jen. makin repot juga persoalan ini. tapi kalau dicermati, fenomena kekerasan pun sudah mulai merembet ke kota2 kecil.
misalnya KDRTD [Kekerasan Dalam Rumah Tangga Desa]>>>>
bener tidak itu pak,,
hehehee…
dilema pak, semua kembali kepada pribadi masing-masing, itulah mengapa ada sebuah kalimat yang menarik bagi saia “Dimulai dari diri sendiri”
betul sekali, mas fay. ungkapan itu jauh lebih bermakna dan bermanfaat ketimbang gembar-gembor yang bergaya sloganistis dan retorika.
Di sisis lain selalu didengungkan pendidikan karakter, sementara para tokoh dipucuk pimpinan menyuguhkan perilaku yang jauh dari berkarakter. Ya beginilah jadinya ….
Pemimpinnya harus diganti. Seperti UN menjadi syarat kelulusan, semua ahli pendidikan tidak ada yang setuju, tapi tetap saja dilaksanakan. Saya masih ingat dalam wawancara di republika mentri pendidikan yang dulu Bambang Soedibyo sewaktu awal menjabat mengatakan UN tidak akan dijadikan syarat kelulusan, tapi kenyataannya mana? Sepertinya ada yang salah di pemimpin kita. Sudah tau salah tapi tetap dijalankan, susah sekali sih menjadi benar..
konon sbg pembantu presiden, menteri, termasuk mendiknas, juga mengikuti kehendak sang pemimpin, mas. sepanjang sang pemimpin belum memiliki visi yang jelas tentang arah pendidikan, termasuk UN, situasi tak akan banyak berubah.
itulah ironisnya, pak. agaknya bener juga kalau ada yang bilang bahwa negeri ini sedang dilanda krisis keteladanan.
Wah, sebelum saya komentar tulisan, saya mau mengucapkan selamat karena ganti theme, Pak!
Theme yang ini saya suka sekali karena lebih segar dan ‘ngenomi’ 🙂
Soal tulisan, saya waktu ngeliat berita soal tawuran SMA 6 vs SMA 70 maupun ketika SMA 6 vs wartawan itu rasanya gemes… Ingin saya datang ke tempat itu trus saya hajar semua hahahaha (mantan preman SMA nih Pak hehehe)
Bagi saya, emosi yang meletup-letup di kalangan pelajar itu wajar.. bahkan kalau harus berkelahi itu juga masih masuk akal.. tapi kalau beraninya keroyokan…. saya cuma bisa geleng-geleng kepala…
Baru SMA saja sudah beraninya keroyokan dan curang.. gimana ketika jadi penguasa nantinya ya!
hehe …. termasuk murid teladan, mas don ini, haks. diajak berantem pun ok, asal ndak keroyokan. bener2 jantan dan ksatria, haha …. namun, agaknya situasi sekarang sudah berbalik, mas. maraknya kekerasan belakangan ini, pasti sudah melibatkan massa.
Sebagai ayah dari seorang ABG laki-2, saya juga khawatir dengan perkembangan pelajar sekolah menengah (bahkan mahasiswa) yang
sering melakukan tawuran.
Saya hanya bisa berharap bahwa para orangtua bisa lebih banyak memperhatikan secara langsung anak2nya dan membimbing mereka dengan fokus pada saling toleransi, sportifitas, persaingan sehat, moralitas, agama, dll.
Disamping itu sekolah menerapkan disiplin lebih ketat lagi pada para siswanya.
Selanjutnya, tokoh masyarakat juga harus memberikan contoh cara hidup yang baik, bersikap adil, tidak korupsi dll.
Dan penegak hukum menjalankan tugasnya sesuai hukum yang berlaku tanpa pilihi bulu.
setuju banget, mas harry. mempercayakan pengembangan nilai karakter di sekolah tanpa diimbangi dg intensifnya pengembangan karakter dalam lingkungan keluarga hanya akan melahirkan generasi yang “terbelah kepribadiannya” (split personality). demikian juga peran tokoh masyarakat dan penegakan hukum. bener2 urgen utk segera dilakukan.
mungkin ada rasa senioritas yang berlebihan
senioritas? hmm …. kira2 dalam konteks apanya, ya, pak? tawuran itukah?
kalau senioritas sepertinya jarang itu,, biasanya sie ada pertandingan sepak bola atau apalah yang nantinya itu sekolah A lawan sekolah B,, ujung-ujungnya,, eeee… malah ngajak tawuran…
ulasan yang bagus pak. mungkin jga pengaruh lingkungan yg keras yg menciptakan kandidat intelektual bar bar
bisa jadi memang demikian, mas moko. lingkungan agaknya punya andil besar terhadap pola perilaku dan perkembangan kejiwaan kaum pelajar kita.
Fenomena apa ni, Pak? Yang pasti guru diposisikan harus menerima untuk selalu dijadikan kambing hitam karena dianggap gagal mendidik siswa.
bisa jadi ini fenomena peradaban yang tengah “sakit”, pak mursyid, hehe …. namun, tidak adil juga kalau setiap kali ada tawuran guru harus selalu dijadikan kambing hitam. persoalan ini sudah makin rumit dan kompleks.
Dua hari yang lalu, saya nonton liputan 6. Beritanya tentang murid yang memukuli guru. Jadi ceritanya, si anak dipukul oleh gurunya karena melakukan kesalahan. Si anak kemudian melapor ke orangtuanya. Lalu si Bapak yang tidak terima anaknya dipukul, datang ke sekolah dengan membawa polisi, dan mengamuk memukul guru yang telah memukul anaknya, dan menyuruh anaknya memukul si guru di depan murid-murid yang lain. Yang miris, guru-guru yang lain hanya diam saja, entah karena takut disebabkan si bapak membawa polisi atau tidak mau ikut disalahkan. Wawancara reporter liputan 6 dengan kepala sekolah, guru tersebut akan dikenai sanksi. Kasihan sekali pak, saya sampai mau nangis nontonnya. Mana masih guru honor, tidak ada pembelaan malah akan dikenai sanksi. Kejadian di MTs negeri Bima NTB.
Penerawangan saya, ini krisis keteladanan pak.
walah, mudah2an pak wandi belum beralih jadi tukang terawangan, hehe ….
perlu dibenahi untuk semua kalangan pak,,
heran saya tawuran pasti sering terjadi di kalangan pelajar,,,
wong namanya saja pelajar kok malah gelutan,,,
weleh-weleh…
Saya terus terang merasa sedih, bahkan pada beberapa kasus ternyata mahasiswa memebrikan kesan lebih buruk dari pada mereka yang tidak mengenyam pendidikan, tidak mengapa unjuk rasa, tapi dengan cara yang benar, tidak mengapa demo asalkan bukan karena di bayar.. tetapi memang untuk kepentingan rakyat indonesia…
susah memang pakdhe mendandani karakter bangsa ini. sudah menggurita permasalahannya. kisah2 premanisme pelajar ini sepertinya sudah dosa turunan generasi2 terdahulu.
sebagaimana ospek saya yang pastinya diwarisi oleh angkatan sebelumnya. meski tak sesadis dahulu.
Yahh.. semoga nanti ada solusi mengatasi kekerasan ini
Yg ini mah bukan kandidat intelektual gan, tapi kandidat preman berdasi.
Ikut urun rembug ya, Pak.
Saya sepakat dengan ulasan Pak Sawali, penyebab brutalnya anak-anak muda sekarang adalah masa kecil mereka yang jauh dari kata cerita. Terutama di kota-kota, di mana kehidupan sosial sudah sedemikian keras dan kaku, belum lagi beban hidup orang tuanya yang kian berat, ditambah lagi tidak adanya ruang bermain yang cukup, sehingga anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televisi. Padahal televisi lebih sering menampilkan adegan kekerasan. Mulai dari sinetron sampai berita, semuanya didominasi oleh tayangan penuh kekerasan nan vulgar.
Hal ini lebih diperparah lagi dengan tidak adanya teladan dari figur publik, seperti pejabat dan kalangan artis yang biasa tampil di tivi. Akibatnya, begitulah. Anak-anak mudah tanpa teladan yang dididik oleh kerasnya kehidupan. Kalau begini terus, tamatlah Indonesia.
CS1: http://arenaliga.com hadir untuk mempermudah anda membuka account.
Permainan yg disediakan :
* SBOBET
* IBCBET
* 338A
* Tangkas Net
* 88 Tangkas
* Poker King
* SSSBet
* Tangkas 777
* BankerKing
* AFB88
* SSBET
* Golden Dragon
* Europe City
* 1S Poker
Promo : Minimum Deposit Rp. 50.000,-
Untuk detailnya silahkan kunjungi
http://arenaliga.com
50 pendaftar pertama memperoleh bonus deposit 5%. Terms berlaku.. Hubungi CS Online
Arena liga Team
kurangnya contoh dan tujuan kebanyakan siswa dan orang tua sekolah itu hanya mempedulikan nilai saja. dan setuju juga dengan yang diatas Lingkungan keluarga dan sekolah belum mampu memberikan ruang yang nyaman bagi mereka untuk berekspresi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jiwanya…
huhuhu karena susah mengubah sistem yang sudah ‘ngejelimet’ mending mulai membenahi diri sendiri dan mendidik baik-baik calon anak nanti*lho ko jadi kesana.hihihihi
Sekolah perlu pendidikan berkarakter untuk menciptakan para intelektual yang tidak menjadi preman.
mantap juga nie sangat bagus dan sangat menarik……..
makasih pa atas artikelnya,mungkin kaum terpelajar terlalu serius kurang humor
Tulisan yang sangat inspiratif, mas!! mereka yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa ini namun menjadi cerminan buruk pendidikan bangsa. Sementara masih ada para generasi penerus yg “bersemangat” meraih impian di bangku pendidikan terhambat oleh sistem pendidikan. contohnya ananda Fitri ( http://www.wakafquran.org/project/detail/zakat_untuk_biaya_pendidikan_fitri_dan_adik-adiknya )
Mau jadi apa nasib para generasi penerus bangsa ini. Setiap permasalahan selalu berujung dengan kekerasan,, apa mungkin akan bertambah dewasa dengan kekerasan-kekerasan yang tertanam sejak dini??
model Pendidikan Akhlaq menjadi hal yang tidak boleh dilupakan