Antara Puasa dan Perilaku “Tapa Ngrame”

Tanpa terasa, Ramadhan sudah memasuki hari ke-21. Konon, memasuki sepertiga Ramadhan yang terakhir, tantangan makin berat. Kelelahan fisik dan psikhis makin kompleks. Bisa jadi, ini sebuah dinamika berpuasa yang sengaja didesain oleh Sang Khalik untuk menguji tingkat keimanan hamba-Nya. Bagi para pendamba nilai religiusitas, puasa bisa ditafsirkan sebagai entitas ke-hamba-an yang menyajikan banyak pengalaman spiritual. Dalam konteks demikian, bisa jadi pula secara personal setiap orang akan merasakan pengalaman spiritual yang berbeda-beda.

IblisDalam konteks kultural, ibadah puasa bisa juga dibilang sebagai laku “tapa ngrame”; sebuah perilaku spiritual di tengah keramaian duniawi ketika godaan nafsu yang paling purba sekalipun berupaya mencederai kekhusyukan kita dalam menjalankan laku pertapaan itu. Sebagai sebuah laku spiritual, dengan sendirinya “tapa ngrame” telah melewati batas-batas dimensi ragawi, kemudian “manjing” ke dalam dimensi rohaniah untuk menggapai makna kesejatian hidup. Ini artinya, perilaku seseorang yang sedang “tapa ngrame” hanya berpamrih untuk menghadirkan “Zat Yang Serba-Maha” ke dalam hidup keseharian. Ia abai terhadap gelimang nafsu; kekuasaan, keserakahan, keangkuhan, kedengkian, dendam, kemurkaan, dan berbagai penyakit hati yang lain.

Esensi puasa sejatinya tak hanya berjuang untuk menaklukkan godaan yang bersifat fisik dengan menahan deraan rasa haus dan lapar, tetapi juga berupaya memerangi godaan nafsu yang bersifat psikis untuk membersihkan noda yang mengerak di dalam nurani. Konon, inilah salah satu perjuangan terberat laku puasa dalam upaya membangun karakter dan integritas kepribadian akhlakul karimah. Sungguh beruntung buat mereka yang sanggup menjalankan setumpuk aktivitas keseharian di tengah deraan rasa haus dan lapar tanpa tergoda untuk membatalkan puasanya hanya demi memanjakan perut dan lidah. Dan jauh akan lebih beruntung ketika seseorang telah sanggup mengatasi godaan nafsu untuk memanjakan sikap serakah, bohong, korup, angkuh, atau dengki di tengah situasi serba-ambigu yang seringkali memaksa orang untuk “berpakta dengan Iblis”.

Jika laku puasa dan “tapa ngrame” ini disinergikan, maka momentum Ramadhan seharusnya bisa dijadikan sebagai saat yang tepat untuk memerangi berbagai perilaku jahat yang bersimaharajalela di negeri ini. Dengan kata lain, aparat penegak hukum seharusnya lebih gigih dalam melipatgandakan aktivitasnya untuk menangkap para bromocorah yang selama ini sudah membuat hidup banyak orang berkubang dalam kesusahan. Kasus korupsi, misalnya, jelas-jelas telah membuat deretan orang miskin di negeri ini makin bertambah panjang lantaran hak-haknya untuk bisa hidup layak telah dikemplang oleh para koruptor. Namun, mengapa KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan terkesan lamban dalam bertindak menciduk para koruptor? Bukankah memerangi korupsi termasuk “jihad” yang harus dikibarkan tinggi-tinggi?

Tapi sudahlah! Saya tak ingin larut “ngrasani” KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan yang telah membuat banyak pendamba keadilan mengernyitkan jidat. Kita hanya berharap, semangat berpuasa dan “tapa ngrame” bisa terus hadir setiap saat, meski suatu ketika nanti kita harus berpisah dengan Ramadhan yang suci dan syahdu. ***

No Comments

  1. bulan puasa memang penuh makna…
    sayang sekarang kita sudah memasuki fase terakhir ya… menahan nafu dalam diri memang lebih sulit daru sekedar menahan lapar dan dahaga…

    Salam 🙂

  2. Pakdhe, kalau saya di bulan puasa mencoba mengurangi pembicaraan soal politisi yang dekat dengan korupsi. Tapi nyatanya ngga bisa, lagi2 karena media. Inikah godaan paling keras selama ini?

  3. kesibukan dunia terutama karena memang sudah jauh dari keimanan, sudah membuat relijiusitas hanya sebuah pencitraan dan simpel dilakukan, namun tak ada nilainya

  4. jangan sia siakan bulan puasa ini yang datang hanya satu tahun sekali karena bulan puasa ini adalah rajanya bulan dari segala bulan dan sangat sekali berkahnya,,,

  5. bicara tapa ngrame, apakah di bulan ini (yang masih jauh dari Ramadhan) kita masih teringat bahwa harus tetap tapa ngrame? karena yang sering saya temukan, trend fashion busana muslim hanya meningkat pesat saat bulan puasa saja, memang mempertahankan konsistensi merupakan hal yang susah dilakukan..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *