Oleh Sawali Tuhusetya
Setiap kali memasuki tahun pelajaran baru, saya selalu menyaksikan wajah-wajah optimis para siswa baru. Dengan busana serba baru, mereka tampil percaya diri, penuh vitalitas, dan tak pernah menampakkan kelelahan. Sungguh kontras dengan “aura” negatif yang memancar dari wajah pejabat-pejabat kita yang gagal mengemban kepercayaan publik. Kalau tidak tersandung masalah hukum akibat korupsi, tak jarang mereka terlibat dalam perselingkuhan atau kongkalingkong politik “hitam” yang tak sepenuhnya berjalan mulus. Menyaksikan wajah siswa baru selalu saja menumbuhkan imajinasi baru tentang wajah Indonesia masa depan di tengah beban dan persoalan bangsa yang kian berat. Merekalah yang dalam kurun waktu 15-25 tahun mendatang bakal tampil sebagai pengisi pos-pos penting dalam berbagai ranah kehidupan.
Menyaksikan wajah Indonesia masa kini tak ubahnya menatap wajah-wajah kaum elite yang bersembunyi di balik topeng dan badut. Mereka yang seharusnya memberikan keteladanan dalam mengendalikan dan mengelola negara justru tak jarang “berselingkuh” dengan berbagai kekuatan jahat yang secara tidak langsung berperan besar terhadap kebobrokan negara. Coba lihat saja berbagai pos penting dalam jajaran birokrasi negeri ini yang sebagian besar dikendalikan oleh para politisi. Bukannya kita “alergi” terhadap hal-hal yang beraroma politik. Namun, jika kita mau jujur, kita amat jarang menemukan sosok birokrat yang memiliki integritas dan kepribadian yang baik dari sosok seorang politisi. Diakui atau tidak, baju politik yang mereka kenakan amat berpengaruh terhadap dinamika birokrasi yang mereka kendalikan. Pertimbangan-pertimbangan politik masih amat dominan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan penting. Untung-rugi politik jadi pertimbangan utama. Arasnya bukan lagi untuk kepentingan rakyat banyak, melainkan lebih pada egoisme partai yang mengedepankan kepentingan personal dan kelompok demi memenuhi ambisi politik beberapa waktu mendatang.
Persoalannya sekarang, apa yang mesti dilakukan ketika wajah Indonesia kontemporer tampak penuh bopeng dan sarat beban? Haruskah bangsa kita melakukan “ruwatan massal” dengan memotong satu generasi untuk membangun “Indonesia Baru” yang dinilai jauh lebih baik?
Memang bukan persoalan mudah untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Dinamika Indonesia yang terlalu lamban dalam melakukan reformasi birokrasi memang membuat kita semua makin geregetan. Hembusan angin reformasi tidak serta-merta menciptakan atmosfer kehidupan bangsa kita jauh lebih baik dan tertata, melainkan justru terjebak pada euforia berlebihan yang hanya sekadar menguntungkan kelompok kepentingan tertentu yang kebetulan memiliki akses terhadap kekuasaan. Namun, gerakan “revolusi” yang berupaya untuk menyulap “Indonesia Baru” secara instant juga belum ada jaminan akan memberikan keuntungan buat masa depan bangsa. Bahkan, bisa jadi makin jauh terpuruk ke dalam kubangan gejolak sosial yang berkepanjangan dan multidimensi.
Dalam situasi demikian, dalam pemikiran awam saya, yang justru perlu dilakukan adalah melakukan pembenahan secara simultan dan berkelanjutan dengan target-target yang jelas dan terukur dalam berbagai ranah. Salah satu ranah penting yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah dunia pendidikan. Di sanalah generasi masa depan negeri ini digembleng dan dididik untuk menjadi generasi masa depan yang tangguh dan tahan uji dalam menghadapi tantangan yang kian rumit dan kompleks. Banyak persoalan pendidikan yang penting dan mendesak untuk segera dipecahkan dan diintervensi. Selain suprastruktur pendidikan yang berkaitan dengan regulasi dan sistem yang dinilai masih sarat dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan, faktor infrastruktur yang belum merata di berbagai daerah juga menjadi faktor penghambat dunia pendidikan kita. Mereka yang tinggal di kota-kota besar bisa demikian mudah mengakses berbagai informasi terbaru dan sumber-sumber keilmuan, tetapi anak-anak bangsa yang tinggal di daerah-daerah pedesaan yang masih jauh dari sentuhan kemajuan teknologi-informasi jelas akan makin sulit mengikuti kemajuan zaman di luar sana yang demikian kencang melaju menembus batas-batas peradaban.
Dua persoalan mendasar itu jelas butuh sentuhan dan perhatian serius, bukan hanya oleh pemerintah, melainkan juga para wakil rakyat yang kini bersinggasana di Senayan. Dua institusi inilah yang memiliki “kekuasaan” secara langsung untuk melakukan pembenahan supratruktur dan infrastruktur pendidikan kita. Jangan sampai lima tahun berkuasa, waktunya hanya dihabiskan untuk memikirkan strategi politik semata untuk mempertahankan kekuasaan, apalagi kalau sampai terlibat dalam kongkalingkong jahat hingga tersandung persoalan-persoalan hukum yang amat tidak menguntungkan.
Kita amat merindukan wajah Indonesia masa depan yang adil dan makmur yang sudah amat lama diamanatkan oleh para pendiri negara. Sungguh menyedihkan kalau dalam usia 66 tahun merdeka dan 13 tahun menjalankan roda reformasi, negeri ini justru hanya melahirkan koruptor yang bersarang di berbagai lini birokrasi. Kita sangat berharap, limbah yang serba korup semacam itu tidak mewaris ke dalam aliran darah anak-anak bangsa yang kini mulai gencar menimba ilmu di ruang-ruang dunia pendidikan kita. ***
iya pak Sawali. Semoga Indonesia masa depan lebih baik
mungkin lebih tepatnya mendambakan ya pak?? hehe
kunjungan dan komentar balik ya gan
salam perkenalan dari
http://diketik.wordpress.com
sekalian tukaran link ya…
semoga semuanya sahabat blogger semakin eksis dan berjaya.
salam kenal pak
saya juga guru bahasa indonesia yang baru ditakdirkan ngeblog. dan ditakdirkan ketemu jenengan siang ini ketika aku ngecek postinganku ngeblog: tanpa keterampin menulis mustahil.
Doa kita bersama tahun depan Indonesia lebih baik, aamiin.
Salam
Artikel yang bagus, semoga bermanfaat untuk orang banyak. terutama untuk guru indonesia di semua pelosok.terimakasi infonya.
kunjungan balik blog saya juga.
Setuju dengan pendapat Pak Sawali. Kita harus memajukan pendidikan bersama-sama. Semua stakeholders harus berperan aktif.
Salam Blogger Pak.
Salam dari Medan