Belakangan ini, nurani kita terperangah oleh maraknya berbagai aksi kekerasan masif di ruang-ruang publik yang hadir telanjang dan vulgar. Perkelahian di kalangan pelajar dan mahasiswa, kejahatan akut, mutilasi, pembunuhan terencana, korupsi, pembunuhan karakter, hilangnya nilai kesantunan, fitnah, demonstrasi yang ricuh, tawuran antarsuporter bola, mafia hukum dan peradilan, serta berbagai ulah bar-bar lainnya seolah-olah sudah menjadi fenomena yang lumrah terjadi. Masyarakat pun makin permisif dan cuek. Yang memprihatinkan, negara yang seharusnya hadir untuk melakukan deteksi dini, mencegah, dan tegas bersikap dalam menegakkan supremasi hukum juga setali tiga uang. Banyak kasus kekerasan dan kejahatan yang seharusnya bisa dicegah justru dibiarkan membara di atas tungku penyakit dan pembusukan sosial yang parah dan berdarah-darah.
Tak hanya proses pembusukan sosial yang terjadi di negeri ini, radikalisasi berkedok agama pun ditengarai sudah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekerasan berbau SARA dan proses “pencucian otak” yang konon dilakukan oleh kelompok aliran tertentu yang secara asasi bertentangan secara dimetral dengan prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi bisa menjadi bukti, betapa negeri yang dulu disanjung puji sebagai bangsa yang ramah dan santun itu kini berangsur-angsur berubah menjadi bangsa pemarah dan gampang kalap. Bangsa kita seolah-olah tengah mengidap “amnesia sejarah”. Bangsa kita seperti tengah terseret ke dalam arus peradaban bangsa bar-bar dan kanibal yang tega memangsa sesamanya.
Air Mata Duka Bapak Bangsa
Menyaksikan situasi carut-marut yang melanda negeri ini, bisa jadi bapak-bapak bangsa semacam Tirto Adhi Soerjo, HOS Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Hatta, Soekarno, atau Soerdirman –untuk menyebut beberapa nama– tak sanggup membendung air mata dukanya. Apa yang telah mereka rintis seolah-olah telah jauh tenggelam ke dalam ceruk peradaban yang sakit dan chaos. Makin melaju ke depan, bangsa kita bukannya makin bertambah arif, matang, dan dewasa, melainkan justru terdegradasi dalam ruang keangkuhan, arogansi, dan mau menang sendiri.
Dalam situasi demikian, banyak kalangan merindukan hadirnya Pancasila sebagai dasar ideologi dan pandangan hidup bangsa yang mampu menciptakan suasana keilahian, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Bukan sekadar dihafalkan di lapangan upacara, ruang-ruang kelas dan kampus, atau ruang-ruang seminar, melainkan menjadi “roh” yang mengawal dan memayungi setiap langkah anak-anak bangsa dalam bersikap dan berperilaku di tengah hidup keseharian. Ketika orang hendak mengangkat pentungan atau pedang untuk menyakiti sesamanya yang berbeda paham dan keyakinan, mereka ingat prinsip ketuhanan yang tidak pernah mengajarkan kekerasan. Ketika orang hendak berperilaku curang dan memfitnah, mereka ingat nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dipegang teguh dalam hidup bermasyarakat. Ketika sekelompok orang terjangkiti penyakit primordialisme sempit yang menganggap kelompoknya sebagai pihak yang paling benar, mereka ingat nilai-nilai kesatuan yang mesti dijunjung tinggi. Ketika kaum politisi kita mau memaksakan kehendak dan menang-menangan, mereka ingat nilai-nilai dasar demokrasi yang mesti dipegang teguh. Pun juga, ketika seseorang hendak menilap uang negara, mereka ingat saudara-saudaranya yang masih terlilit kemiskinan dan tak mau mencederai prinsip keadilan yang mesti dianutnya.
Namun, kerinduan semacam itu agaknya seperti meraba boneka manekin yang terpajang di sudut sebuah etalase. Indah, tapi tak sanggup disentuhnya. Itulah sebabnya, banyak kalangan mulai terusik untuk menghidupkan kembali Penataran P4 yang dulu pernah diterapkan rezim Orde Baru. Mereka menilai, Penataran P4 cukup jitu dan strategis untuk menanggulangi maraknya perilaku anomali yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan.
Indoktrinasi Gaya Orde Baru
Memang tidak bisa dipungkiri, Pancasila telah menjadi ikon dan slogan yang demikian marak di benak anak-anak, remaja, dan orang tua ketika rezim Orde Baru berkuasa. Anak-anak sekolah, mulai yang tinggal di pelosok dusun hingga mereka yang hidup di kota-kota besar, sangat akrab dengan bunyi sila-sila dalam Pancasila. Bahkan, 36 butir Pancasila yang selalu dijejalkan ketika Penataran P4 berlangsung, bisa demikian mudah dihafalkan di luar kepala sampai titik dan komanya. Namun, bagaimana implementasinya? Apakah indoktrinasi gaya Orde Baru melalui Penataran P4 berhasil membumikan Pancasila di negeri ini? Apakah anak-anak yang dulu hafal 36 butir Pancasila, kini setelah dewasa dan menjadi orang tua mampu menjadikan Pancasila sebagai “roh” yang mengawal dan mengayomi mereka dalam perilaku hidup keseharian?
Bisa jadi ini pemikiran naif saya yang pernah mengalami pola Penataran P4 ketika duduk di bangku SMP, SPG, dan IKIP sekitar tahun 80-an. Namun, jika kita lihat realitas yang terjadi, generasi seusia saya ternyata tidak sepenuhnya sanggup menjadikan Pancasila sebagai “kekuatan” yang mampu membentengi diri dari perilaku jahat yang menggodanya. Bahkan, mereka yang tidak pernah mendapatkan Penataran P4 justru malah terbebas dari virus kejahatan, manipulasi anggaran, korupsi, dan semacamnya. Bukankah mereka yang sering tersandung masalah hukum justru mereka yang biasa berdandan perlente, berdasi, berambut licin yang biasa berkantor di ruang ber-AC?
Saya tidak hendak mengatakan bahwa upaya merevitalisasi dan membumikan Pancasila tidak penting dan nonsense. Justru, ketika peradaban sudah makin sakit seperti sekarang, upaya serius untuk memaknai Pancasila sebagai dasar ideologi dan pandangan hidup bangsa yang mampu menciptakan suasana keilahian, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan dalam perilaku hidup keseharian perlu terus dilakukan. Anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menimba ilmu di bangku pendidikan jelas perlu menjadi sasaran yang tepat untuk menyemaikan dan menumbuhsuburkan nilai-nilai Pancasila itu.
Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana pendekatan yang tepat digunakan untuk membumikan nilai-nilai Pancasila ke dalam nurani generasi masa depan negeri ini. Dalam pandangan awam saya, pola indoktrinasi gaya Orde Baru yang menjejali anak-anak dengan model hafalan dan “khotbah” yang kurang membumi, hanya menjadikan anak-anak seperti robot yang kehilangan sikap kritis dan daya kreatif. Apalagi, banyak pengamat menilai, Penataran P4 hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan menciptakan generasi penurut dan “anak mami” agar selalu sendika dhawuh terhadap penguasa. Dalam konteks demikian, Penataran P4 tak lebih hanya sebuah bentuk pembonsaian anak-anak bangsa agar kelak mereka tidak menjadi generasi yang mampu berkembang secara mandiri, kreatif, cerdas, demokratis, dan religius.
Kurikulum “Tersembunyi”
Kini, setelah Pendidikan Pancasila dilepaskan dari Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah, Pancasila perlu dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum “tersembunyi” yang harus menyatu ke dalam emosi dan perilaku peserta didik. Ia (baca: Pancasila) tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi disajikan secara integral pada setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter yang kini sedang gencar diimplementasikan dalam dunia pendidikan kita sejatinya juga merupakan bagian dari upaya serius untuk membumikan nilai-nilai Pancasila itu ke dalam pribadi peserta didik.
Jika pola pendidikan karakter sebagai bagian dari kurikulum “tersembunyi” ini dilakukan secara serius dan berkesinambungan dalam dunia pendidikan kita, bukan mustahil kelak wajah anak-anak masa depan negeri ini akan selalu tampil ramah, santun, toleran, religius, rendah hati, dan memiliki etos kebangsaan sebagaimana dicontohkan oleh bapak-bapak bangsa. Sudah bukan saatnya lagi anak-anak masa depan negeri ini dicekoki dengan berbagai pola indoktrinasi dan dogmatisasi sempit yang hanya diorientasikan untuk mengkultuskan penguasa semata. Mereka harus tumbuh dan berkembang menjadi generasi masa depan yang mandiri, cerdas, berakhlak, dan berkarakter kuat sehingga tak gampang terperangkap ke dalam kubangan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Semoga! ***
Salah satu hasil reformasi adalah menghapus P4 tdk lagi wajib dilaksanakan masuk SMP, SMA atau PT. Hasilnya saat ini bukan tambah baik tapi makin kabur. Coba kita amati siswa/i, lingkungan sekitar dan masyarakat kita.
1. Sebagian besar siswa sudah tdk tahu konstitusi negaranya.
2. Sebagian besar siswa sudah tidak tahu lagu-lagu Nasional bangsa Indonesia. Bandingkan dengan lagu-lagu yg mrk hafal (Pop, Metal, dangdut, Jazz, dst).
3. Sebagian besar siswa malu menyanyikan lagu-lagu nasional jika tidak di Forum resmi.
4. Menjelang 17 Agustus, kesadaran untuk mengibarkan bendera di depan rumah sangat kurang. Bandingkan jika musim Piala Dunia. Bendera negara lain bisa dipajang sampai ke pucuk pohon yang paling tinggi.
5. Malu menggunakan produk dalam negeri. Bandingkan barang-barang yg dipakai siswa sekarang.
6. Musyawarah Mufakat sudah hilang. Bandingkan dengan UU MD3 yg disahkan terburu-buru oleh kubu KMP. Voting menjadi Idola di DPR dan MPR.
Saya Tidak sepakat dengan kata Kurikulum Tersembunyi untuk Pancasila. Itu mengandung makna kita malu menjadikan Pancasila sebagai Ideologi bangsa. Ideologi itu harus ditampilkan, disampaikan dan disosialisasikan dengan terang benderang. Bukan disampaikan dengan sembunyi-sembunyi. Apakah hasil kurikulum tersembunyi sejak 2004 sudah makin baik?
Subhanaallah, tulisannya sangat inspiratif sekali.
Meskipun saya termasuk generasi yang belum pernah merasakan penataran P4, Namun dari berbagai referensi yang saya baca, penataran P4 sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan bangsa. Disaat Globalisasi dan Westernisasi yang menjamur saat ini, P4 seharusnya digalakkan kembali sebagai benteng moral bangsa.
semoga apa yang kita harapkan untuk negeri ini semuanya bisa terlaksana.
amin !!!