Alam Takambang Jadi Guru! Pepatah Minang itu telah menginspirasi dunia. Kita kembali diingatkan akan nilai kearifan lokal yang sudah lama dilupakan orang. Sudah terlalu lama kita silau dan terpukau oleh peradaban Barat yang konon identik dengan logika dan kecerdasan. Padahal, logika dan kecerdasan saja ternyata tidak cukup. Ada banyak fenomena hidup yang tidak bisa didekati dengan logika dan kecerdasan otak semata. Kehidupan manusia paripurna konon memiliki banyak dimensi. Selain akal, manusia juga memiliki emosi, naluri, dan nurani. Itulah sebabnya, dunia pendidikan kita idealnya tidak hanya didesain untuk mencetak generasi yang cerdas otaknya saja, tetapi juga cerdas emosi, cerdas nurani, cerdas sosial, dan cerdas spiritualnya.
Kecerdasan “paripurna” jelas tidak bisa diwujudkan hanya dengan mengunggulkan satu dimensi kecerdasan saja dengan mengabaikan dan menindas dimensi kecerdasan yang lain. Harmoni dan keseimbangan tetap perlu dijaga. Alam, sebagaimana tersirat di balik pepatah Minang itu, menyuguhkan berbagai model pembelajaran hidup yang berdimensi luas. Alam menginspirasi dan membangun kearifan hidup. Kematangan dan kedewasaan hidup juga bisa ditimba dari alam sebagai “kurikulum kehidupan” sejati. Alam telah menumbuhkan spirit dan etos kerja para ulama, kyai, cerdik pandai, atau ilmuwan sejati, untuk “memayu hayuning bawana” (bersahabat dengan alam untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan buat sesama).
Dalam konteks demikian, kita sungguh prihatin menyaksikan “perilaku politik” para petinggi dan kaum elite kita yang sudah abai terhadap makna luhur di balik pepatah Minang itu. Mereka sudah tak punya malu untuk “berselingkuh” dan –meminjam istilah sahabat saya, Gunawan Budi Susanto—“berpakta” dengan Iblis demi memuaskan nafsu kebuasan hatinya. Korupsi, manipulasi, persekongkolan jahat, dan berbagai ulah anomali sosial lainnya menggurita di dalam tubuh kekuasaan kaum elite kita.
Apakah ini pertanda bahwa mereka tidak lagi menjadi sosok yang memiliki kecerdasan “paripurna”? Bisakah dikatakan memiliki kecerdasan emosi kalau mengurus sepakbola saja harus mempertontonkan perbuatan “kanibal” di hadapan jutaan pasang mata rakyat? Haruskah dikatakan memiliki kecerdasan nurani kalau jelas-jelas ketahuan boroknya melakukan korupsi, tetapi masih saja bersilat lidah untuk mengelabui jutaan rakyat untuk menciptakan citra sebagai sosok yang bersih? Apakah kita mesti bilang orang-orang terhormat itu memiliki kecerdasan sosial kalau dinding hatinya sudah ditimbun keserakahan nafsu keduniawian sehingga tega menilap uang rakyat di tengah kemelaratan yang masih bersimaharajalela di negeri ini? Siapa yang bisa bilang mereka yang suka mengatasnamakan rakyat itu memiliki kecerdasan spiritual kalau terus-terusan “berselingkuh” dan “berpakta” dengan setan, sosok yang seharusnya dijadikan “musuh” yang nyata bagi manusia, untuk memanjakan ambisi dan naluri purbanya?
Sungguh, kita mungkin perlu banyak belajar tentang nilai kejujuran, kesederhanan, dan persaudaraan ala masyarakat Samin yang begitu dekat dengan alam sehingga pantang menyakiti sesama makhluk ciptaan Tuhan dan merusak alam seisinya. “Aja drengki srei, tukar padu, dahwen pati open, kemeren, aja ngutil jumput, mbedhog, colong jupuk” (jangan iri hati, dengki, bertengkar, jangan mencuri, mencopet, merampok) menjadi nilai keseharian yang kuyup dalam komunitas mereka. Kaum Samin telah menjadikan alam sebagai bagian dari “kurikulum kehidupan” yang sesungguhnya sehingga mampu menciptakan harmoni dan kerukunan hidup sejati. Logika dan kecerdasan otaknya memang tak setajam mereka yang suka berbusa-busa mengumbar janji di atas mimbar kampanye dan bermain retorika untuk memutarbalikkan fakta, tetapi kaum Samin jauh lebih beradab karena kecerdasan emosi dan hati nurani masih menjadi miliknya.
Atau, jangan-jangan mereka berdalih, hilangnya kecerdasan “paripurna” itu lantaran alam tak lagi bisa dijadikan sebagai “guru sejati” akibat rusaknya lingkungan hidup yang sudah berada di titik nazir? Entahlah! ***
Terkadang kita harus banyak belajar dari setiap kejadian disekeliling kita, karena hal itu membuat kita menjadi ebih peka akan mengasah nurani kita dlam mengambil suatu keputusan.
Sukses selalu pak !
Salam
Ejawantah’s Blog
salam sukses selalu juga, mas indra. sepakat banget, mas. alam memang tak pernah lelah memberikan pembelajaran berharga buat kita.
belajar, dan terus belajar agar lebih baik.
Selamat pagi Pak …..
selamat malam, mas ruby, hehe …. setuju banget, mas. konon, belajar memang perlu terus dilakukan sepanjang hayat….
belajar dari buaian sampai liang lahat pak, belajar memang perlu terus dilakukan sepanjang hayat….
(Maaf) izin mengamankan KETIGAX dulu. Boleh, kan?!
Alam dan dunia yang terbentang di depan mata menyuguhkan berbagai ilmu, bahan perenungan, pengetahuan yang seharusnya mampu mengasah hati dan pikiran kita seandainya kita sadar bahwa hakikat manusia adalah sebagai makhluk yang paling sempurna.
setuju banget, mas alam. sayangnya, kesempurnaan akal manusia seringkali lebih banyak digunakan utk berbuat kejam dan biadab terhadap alam. piye jal?
Sangat tepat sekali untuk dipaparkan pada kondisi saat ini Pak Wali…Apalagi pada kondisi alam yang sudah mendekati kiamat yang penuh keangkaramurkaan…Jelas ini sangat sulit untuk membentenginya terutama pada anak cucu kita.
bener, mas amin, semoga saja angkara murka itu tidak mewaris ke anak cucu.
sebelum menengok ke atas, saya tengok kiri-kanan, teman sejawat dan diri sendiri.. ya pendidikan. Pendidikan kita selama ini yang mengutamakan lembaran nilai-nilailah yang telah ikut andil mencetak para bejabat berkarakter.. iya berkarakter. para petinggi kita memang berkarakter, tapi karakter apa?
hmm …. mesti tengak-tengok juga, hiks. mungkin kata “berkarakter” belakangan ini sdh mengalami perluasan makna, kang bud. lebih berkonotasi dg karakter yang baik. kalau petinggi kita agaknya bisa digolongkan memiliki karakter sebaliknya, hehe ….
belajar agar menjadi yang lebih baik lagi
betul sekali, bos, belajar pada hakikatnya merupakan salah satu upaya utk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Alam bukan dianggap guru lagi, ia hanya menjadi santapan bagi mereka yang selalu lapar..
itulah ironi yang terus terjadi di negeri ini, mas gie.
Menurut saya, kesuksesan seseorang itu memang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak belaka. Akhlak juga sangat menentukan. Apa gunanya harta berlimpah tapi didapat dari hasil korupsi, yg akhirnya hidup menjadi tidak tenang takut ketahuan. Saat ini orang sudah banyak yang melupakan pentingnya akhlak dan budi pekerti. Makanya, denger2, tahun ajaran baru nanti siswa yg masuk sekolah harus mengikuti penataran P4 seperti sepuluh tahun yg lalu.
betul sekali, pak edi. tapi kalau model penataran p4 model indoktrinasi seperti waktu zaman orba dulu, sepertinya tdk akan efektif utk membangun akhlak dan budi pekerti, pak.
Saya sependapat dengan anda bahwa logika dan kecerdasan saja tidak cukup untuk menjalankan kehidupan ini. Perlu dilengkapi dengan kearifan lokal.
iya, mas harry. konon kalau hanya cerdas otaknya saja, tanpa diimbangi dg sentuhan kecerdasan yang lain, kecerdasan hanya bisa bermakna utk membodohi sesamanya, hiks.
Sekarang sudah jarang rumah yang berdinding gedek, tapi makin banyak aja oknum tak bertanggungjawab, menyelewengkan uang rakyat dengan “rai gedek” 🙂
doh, miris juga kalau menyaksikan ulah dan kualitas wakil rakyat kita yang terhormat itu, pak.
Sekarang sudah jarang rumah yang berdinding gedek Pak, tapi makin banyak aja oknum tak bertanggungjawab, menyelewengkan uang rakyat dengan “rai gedek” 🙂
Bener Pak, alam takambang jadi Ilmu, karena alam ini penuh dengan bermacam2 ilmu yang bisa kita ngarap menjadi sebuah kreatifitas dan karya
iya, nih, mbak. alam telah memberikan banyak pelajaran buat kita. sayangnya, tak sedikit mereka yang berbuat biadab terhadap alam.
miris dengan kearifan lokal yang sudah mulai terkikis digantikan oleh perilaku-perilaku egois, tamak dan koruptif dari para elit 🙁
kepentingan pribadi dan golongan lebih diutamakan daripada kepentingan bangsa
itulah fenomena yang terjadi di negeri ini, mas fajar. nilai kearifan lokal yang seharusnya digali dan ditumbuhkembangkan justru makin marginal dan terpinggirkan.
Mungkin Pak, masih mungkin ya….mereka itu bukan cerdas tapi pintar karena orang cerdas gak akan seperti itu…
Tapi, ini sih lebih ke moralitas kali ya…saya nggak ngerti aja karena tingkahnya lebih mirip orang gak pernah sekolah 🙁
bisa jadi, bos, tapi mungkin hanya cerdas otak kirinya, hehe …. sedangkan otak kanan yang bersentuhan dengan emosi dan nurani (nyaris) tak pernah diasah.
jika pun tak bisa seimbang di antara semuanya, maka tentu memilih mengutamakan nurani rasanya sudah dapat membuat hidup ini aman, selamat dan bahagia.
konon ada yg bilang, di mana ada kemaluan (nafsu), maka di situ ada persoalan.
dan saya suka sekali dengan kalimat penutup dari pak sawali itu, dan sudah pula saya haramkan diri dan anak cucu saya, untuk hidup dan bekerja dari apa saja yg terhubung dengan pengerukan alam.
kita memang sangat berharap, suatu ketika akan muncul sosok pemimpin dan kaum elite kita yang benar2 memiliki keseimbangan kecerdasan, baik yang menyangkut kecerdasan otak kiri maupun kanan, pakacil.
Alam itu adalah guru paling maha dan besar jika orang bisa memanfaati nya. dan Jangan seperti ini pribahasa Pak ” Alam Takambang Jadi Ilmu dan Contekan takambang jadi Sarjana.
doh, bener2 sebuah ironi kalau idiom seperti itu yang terjadi, mas fernando. doh!
Wah lama nih Pak tidak berkunjung ke sini. Selalu ada informasi yang bermanfaat buat pengetahuan saya tentang nilai-nilai kehidupan. Sangat nyata bahwa kecerdasan paripurna sudah mulai hilang, yang ada hanya kecerdesan menindas. Sunggu sangat disesalkan…
gpp, mas. blog ini bebas dikunjungi kapan saja, kok, hehe … itulah kenyataan yang terjadi. ironisnya, tak sedikit orang yang terlalu mengagung2kan kecerdasan otak semata.
Untuk bisa memiliki kecerdasan paripurna, kayaknya nggak akan pernah tercapai pak. Minimal mendekati, betul? Karena sudah ada nyang Maha Cerdas, iaitu Alloh ta’aalaa.
paripurna memang beda dengan sempurna, pak wandi, hehe … cerdas pun beda dengan mahacerdas, hiks.
Setuju, Pak Sawali. Pepatah Minang legendaris satu ini menyiratkan pesan pembelajaran. Ketika Allah menciptkan bumi dan makhluk bernama manusia maka Allah pun menciptakan sistem pembelajaran budaya untuk hidup dibumi. Kita ingat kisah waktu Qabil putra Adam usai membunuh Habil, dia melihat dua burung bertikai dan salah satunya mati. Burung yang hidup mengais ngais tanah. Setelah itu menarik buruk yang mati itu kedalam tanah yang sudah digali. Itulah yang dicontoh oleh Qabil untuk menguburkan Habil. Artinya alam mengajarkan manusia untuk berbudaya.
Postingan yang kembali menggugah kesadaran belajar diri pada alam. Penting dibaca.
subhanallah. sangat mencerahkan komentarnya, mas. terima kasih atas tambahan informasinya.
wah,, wah,, wah….
kalau ingat paripurna kok tiba-tiba teringat akan studi saya dulu ya>>>
paripurna memang mempunyai arti yang sangat luas sekali<<<
Entah…. kapan pula aku bisa ikuti anda seperti ini. Sepertinya begitu naifnya diriku
makasih pak atas infonya.
aspiringwriter311.kazeo.com
Alam Takambang Jadi Guru dan Kecerdasan ââ¬ÅParipurnaââ¬: Catatan Sawali Tuhusetya