Tentang Bahasa Blog dan Kebebasan Berekspresi

Selalu saja ada yang menarik ketika saya berkunjung ke rumah seorang teman di kompleks dunia maya. Tak hanya isinya yang beragam dan memiliki daya pikat, tetapi juga gaya pengucapannya yang khas dan unik. Saya banyak mendapatkan info dan pengetahuan baru, serta ragam bahasa yang sesuai dengan kepentingan ekspresi mereka. Setahun melakukan aktivitas mengeblog memang terlalu singkat untuk bisa mendeskripsikan, apalagi menyimpulkan, kaitan antara gaya (ragam) pengucapan dan kepentingan ekspresi secara rinci dan sahih. Namun, dari ratusan blog yang saya kunjungi, setidaknya saya menemukan lima jenis kepentingan ekspresi yang tersembunyi di balik tulisan dalam sebuah blog.

Pertama, tulisan untuk menyampaikan informasi. Tulisan semacam ini biasanya menggunakan ragam bahasa resmi dan lugas. Hal ini masuk akal karena untuk menghindari kekeliruan dalam menafsirkan maksud yang terkandung di dalamnya. Untuk memberikan informasi kepada pengunjung, tulisan semacam ini sering memanfaatkan sumber dari blog atau web lain, baik dengan cara memberikan tinjauan, terjemahan, maupun kopi-paste –tanpa mengebiri etika dalam dunia kepenulisan– sehingga pengunjung memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya. Tulisan berita dan ilmu pengetahuan bisa dikategorikan pada jenis kepentingan ekspresi ini.

Kedua, tulisan untuk kepentingan mencurahkan isi hati (curhat) dan menghibur pengunjung. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan ekspresi semacam ini seringkali menggunakan bahasa gado-gado. Tujuan utamanya memang semata-mata untuk curhat dan menghibur pengunjung. Ragam bahasa yang digunakan cenderung variatif dan tidak terlalu “tunduk” pada kaidah-kaidah baku dalam struktur kebahasaan. Bahkan, tak jarang menggunakan tiga bahasa sekaligus; bahasa Indonesia, daerah, dan asing. Tulisan jenis ini biasanya sangat mudah memancing kesan-kesan emosi pengunjungnya, entah itu rasa iba, humor, atau sedih.

Ketiga, tulisan untuk kepentingan refleksi. Tulisan jenis ini bisa berasal dari peristiwa nyata (non-fiktif) atau berdasarkan imajinasi penulisnya (fiktif). Refleksi non-fiktif biasanya membahas persoalan-persoalan aktual dan menyangkut kepentingan publik yang dianalisis secara kritis berdasarkan renungan dan logika sang penulis. Bahasa yang digunakan dalam postingan jenis ini biasanya lugas, cenderung “liar” dan berani. Hal ini berbeda dengan postingan jenis refleksi-fiktif. Persoalan yang diangkat biasanya berasal dari pengalaman hidup, baik pengalaman diri sendiri maupun orang lain, yang disajikan dalam genre narasi, puisi, atau cerpen. Bahasa yang digunakan cenderung personal dan bersifat multitafsir. Sebagai tulisan reflektif, tulisan jenis ini berusaha memotret berbagai fenomena kehidupan untuk selanjutnya didedahkan lewat media bahasa pilihan yang benar-benar tertata, sehingga mampu memberikan sesuatu yang bermakna dalam ranah batin pembacanya.

Keempat, tulisan untuk kepentingan persuasi. Tulisan ini berusaha mengajak dan memengaruhi pembaca untuk melakukan sebuah tindakan sesuai dengan keinginan sang penulis. Ragam bahasa yang digunakan cenderung lugas agar mudah dipahami pembaca dengan menggunakan alasan yang logis dan masuk akal. Lewat tulisannya, sang penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa apa yang dipaparkan itu benar adanya. Tulisan yang mengajak pembaca untuk “golput” dalam sebuah pilkada atau mengajak pembaca untuk memberikan subsidi sukarela kepada sesama, misalnya, bisa dikategorikan ke dalam jenis kepentingan ekspresi ini.

Kelima, tulisan untuk kepentingan pembelajaran. Tulisan ini berusaha memberikan petunjuk dan bimbingan teknis tentang cara melakukan tindakan tertentu. Bau “how to“-nya sangat terasa sehingga cenderung menggurui. Ragam bahasa yang digunakan cenderung lugas dan apa adanya agar mudah dipahami pembaca dan terhindar dari salah tafsir.

Blog pribadi seringkali digunakan oleh sang penulis (admin) untuk berbagai macam kepentingan ekspresi. Ada warna “pelangi” di sana. Saya jarang menemukan blog yang mono-ekspresi. Ragam bahasa yang digunakan bervariasi sesuai dengan kepentingannya. Blog curhat pun sesekali diselingi dengan tulisan serius dengan ragam bahasa baku. Ini artinya, seorang bloger bisa berkomunikasi kepada pengunjung dengan mengusung beragam tema. Hal itu agaknya sangat dipengaruhi oleh kepentingan sang bloger dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Bisa jadi, suasana “gado-gado” semacam itu juga dimaksudkan untuk menghindari kejenuhan, baik bagi sang bloger yang bersangkutan maupun pengunjung.

Sebagai hunian di dunia maya, kalau boleh disebut demikian, ketenaran sebuah blog akan sangat ditentukan oleh “kelincahan” sang bloger dalam mengemas gaya (ragam) pengucapan dan kepentingan ekspresinya. Dengan kata lain, efektivitas komunikasi yang dikemas melalui gaya pengucapan yang tepat akan sangat menentukan kualitas sebuah blog. Sebagus apa pun kepentingan ekspresinya, kalau kurang tepat memilih gaya pengucapan, bisa menimbulkan kesan “jorok” bagi pengunjung. Blog curhat, yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati, misalnya, jelas akan lebih mengena jika diekspresikan dengan gaya (ragam) pengucapan yang santai melalui kemasan bahasa “gaul”. Sebaliknya, blog yang dimaksudkan untuk mengekspresikan kepentingan pembelajaran, informasi, atau persuasi, akan lebih tepat jika dikemas dengan menggunakan bahasa yang lugas sehingga terhindar dari kesan multitafsir.

Pembagian jenis kepentingan ekspresi dan gaya pengucapan tersebut semata-semata berdasarkan pengamatan saya selama setahun melakukan aktivitas mengeblog. Saya tidak menggunakan pendekatan dan teori linguistik apa pun. Mungkin Sampeyan menemukan jenis yang lain atau memiliki pendapat yang berbeda? ***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *