Globalisasi digambarkan sebagai sebuah proses menyatunya berbagai negara-bangsa ke dalam sebuah perkampungan dunia. Hubungan antarnegara-bangsa tidak lagi terhalang oleh sekat-sekat geografis. Teknologi komunikasi telah “memanjakan” umat manusia dari berbagai belahan dunia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Dalam situasi demikian, bahasa menjadi piranti “mahapenting” dalam konteks pergaulan global. Hampir bisa dipastikan, bahasa-lah yang menjadi kunci komunikasi untuk membuka sekat-sekat geografis ketika dunia terus bergerak ke dalam pusaran dan arus global.
Persoalannya sekarang, bagaimanakah posisi bahasa Indonesia (BI) di tengah perubahan global? Haruskah BI menutup diri dari pengaruh asing agar unsur-unsur budaya, jatidiri, dan kepribadian bangsa tidak lagi terkontaminasi dan tereduksi oleh kultur asing? Haruskah BI tidak lagi bersikap “ramah” terhadap proses akulturasi budaya antarbangsa ketika fenomena “gegar budaya” dicemaskan akan mengancam dan menggerus nilai-nilai kesejatian diri bangsa?
Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di tengah perkampungan dunia, bangsa kita mustahil akan sanggup menutup diri dari pengaruh asing, termasuk dalam ranah kebahasaan. Bahasa, sepanjang masih dijadikan sebagai media komunikasi, dengan sendirinya akan terus mengalami proses adaptasi budaya. Ia akan terus berproses mengikuti dinamika dan semangat zaman seiring dengan perkembangan peradaban yang memolanya. Ini artinya, BI harus lentur dalam menghadapi perubahan global yang mustahil ditolaknya. Nilai-nilai primordial sempit dengan dalih untuk mempertahankan jatidiri bangsa di tengah gempuran budaya global, dalam konteks demikian, tidak bisa dijadikan sebagai apologi dan pembenaran untuk menolak anasir-anasir bahasa asing. BI justru akan terjebak ke dalam perangkap “keterasingan” di tengah kancah pergaulan dunia apabila BI gagal memosisikan diri sebagai bahasa yang lentur dan adaptif terhadap perubahan.
Proses akulturasi dan asimilasi budaya merupakan proses yang wajar terjadi dalam dinamika komunikasi global. Proses saling memengaruhi dan dipengaruhi akan terus terjadi dalam pergaulan antarbangsa secara simultan dan terus-menerus. Kearifan zaman-lah yang akan menjadi filter utama dalam menilai apakah proses akulturasi budaya itu sesuai dengan ranah kepribadian bangsa atau tidak. Dalam konteks kebahasaan, proses akulturasi dan asimilasi budaya agaknya juga tak bisa ditolak sepenuhnya. BI tak bisa selamanya menutup diri dari pengaruh asing. Fakta justru membuktikan bahwa kosakata BI menjadi amat kaya karena sentuhan pengaruh asing yang secara perlahan-lahan mengalami proses adaptasi, sehingga istilah serapan tak lagi terkesan sebagai sesuatu yang asing.
Seiring dengan peran Indonesia di tengah kancah perubahan global, bahasa Indonesia idealnya makin terbuka, lentur, dan adaptif terhadap istilah-istilah asing. Kalau memang ada padanan yang tepat untuk menggantikan istilah-istilah asing tersebut ada baiknya segera dimasyarakatkan penggunaannya sehingga tidak sampai terjadi padanan kata tersebut justru terkesan lebih asing daripada istilah asing itu sendiri.
Kita pernah memiliki pengalaman “buruk”. Akibat kelambanan dalam memasyarakatkan penggunaan padanan kata terhadap istilah-istilah asing, para penutur justru terasa lebih akrab dengan istilah asing itu sendiri ketimbang padanannya seperti pada contoh berikut.
relative (sering dituturkan sebagai relatif) => nisbi;
consistent (sering dituturkan sebagai konsisten) => panggah;
relevant (sering dituturkan sebagai relefan atau dituliskan sebagai relevan) => penad;
effective (sering dituturkan sebagai efektif) => mangkus;
efficient (sering dituturkan sebagai efisien) => sangkil.
Kalau mau jujur, penutur BI lebih mengenal kata-kata relatif, konsisten, relevan, efektif, atau efisien ketimbang kata nisbi, panggah, penad, mangkus, atau sangkil. Dalam konteks demikian, agar perkembangan BI lebih dinamis di tengah perubahan global diperlukan sikap selektif dalam menjaring kata-kata padanan. Tidak semua kata serapan dari bahasa asing “dipaksakan” dicarikan kata padanan dalam BI kalau pada kenyataannya kata padanan tersebut terasa lebih “asing” dan tidak pernah digunakan dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Sikap selektif semacam ini juga amat diperlukan dalam menjalankan amanat UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (pasal 44), khususnya yang berkaitan dengan Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional.
Semoga Bahasa Indonesia (BI) makin berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan peradaban global yang terus menawarkan perubahan-perubahan. ***
Selamat sejahtera bapak..
saya rasa bukan negara Indonesia sahaja menerima tempias yang sama, justeru melibatkan negara saya Malaysia. Pada pendapat saya, semua ini adalah disebabkan oleh ketaksuban kita yakni penutur, terhadap bahasa asing. Terdapat banyak perkataan yang bukan kebudayaan asal menjadi sebutan seharian kita. Saya nggak faham kalau itu nampak lebih mudah atau trendy, tapi bunyinya agak menjengkelkan. Natijahnya budaya asli seakan-akan hilang dan perlahan-lahan mengangkat bahasa lainnya.
salam sejahtera juga, mamamurai. semoga saja perubahan global yang terjadi membuat bahasa kita yang sama2 berakar dari bahasa melayu makin lentur terhadap perubahan.
Assalaamu’alaikum…
Selamat malam Pak,
wah…kalau bicara masalah bahasa, mungkin benar apa kata komentarnya mama murai, tidak hanya negara kita saja yang mengalami hal diatas.
sebab setiap negara juga pasti akan terkena dampak dari globalisasi ini…..he..he.he….
Hidup Indonesiaku…he.he..he….
wa’alaikum salam, mas sop. saya kira benar, mas, hampir semua bahasa di dunia akan mengalami proses perubahan yang hampir serupa.
(Maaf) izin mengamankan KEDUAX dulu. Boleh, kan?!
Benar, Pak. Sering kali terjadi pemaksaan padanan kata yang akhirnya malah kurang dapat diterima oleh masyarakat umum seperti sangkil, mangkus, tetikus, dll.
ya, ya. benar sekali, mas alam. memang akan lebih bagus menggunakan padanan dari bahasa sendiri. sayangnya sosialisasi kata padanan sering kali lambat hingga banyak masyarakat pemakai bahasa yang tdk mengetahuinya.
mbah sangkil = grandpa efficient (lmao)
hehe … mas itempoeti bisa saja nih, haks.
ini soal keberpihakan pemerintah terhadap bahasa Indonesia. teknisnya tinggal dituangkan dalam kebijakan dan perundang-undangan yang kemudian diterjemahkan oleh instansi dan aparatus dibawahnya.
sepertinya tak cukup hanya sebatas kebijakan dan UU, mas itempoeti, tapi juga sikap keteladanan dari kaum elite kita utk menggunakan BI scr baik dan benar.
ya…tepat sekali pak ! saya sendiri malah baru mendengar panggah, penad, mangkus, sangkil di blog ini. sedangkan nisbi saya sering mendengar, cuma kurang memahami artinya. semoga BI bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri…
nah itu, dia, mas. penyebabnya karena seringkali padanan kata dari istilah asing itu sering telat disosialisasikan.
semoga pak…memang sungguh menyedihkan kalau bahasa kita sendiri justru tenggelam oleh bahasa asing.
ya, ya, mudah2an ndak sampai berlarut-larut, mas.
berkunjung kembali. saya rasa bahasa indonesia harus mampu menjawab tantangan di era globalisasi. ragam bahasa dari pengaruh globalisasi memang harus kt cermati. tapi semoga satu nusa satu bangsa satu bahasa….
setuju banget, kang ope. memang idealnya demikian, agar BI sbg bagian jati diri bangsa tetap eksis dan bersifat akomodatif terhadap perubahan.
Dalam pemilihan Puteri Indonesia 2010 oleh Mustika Ratu terpilih Nadine yang baru tinggal di RI 3 tahun sebelumnya di Inggris, dengan bahasa Indonesia ala kadarnya.
Alasan panitya karena dia akan bertanding ke Miss Universe jadi diutamakan kemampuan bahasa Inggrisnya.
Padahal Miss Universe yang sekarang waktu diwancarai dikontes memakai penterjemah.
Kejadian yang sama dalam pemilihan Miss Indonesia 2009 oleh RCTI terpilih Karenina dengan bahasa Indonesia yang jelek pula.
Alasan panitya sama dengan diatas.
Kalau kita benar2 ingin bahasa Indonesia tetap berperan kuat maka sebaiknya semua pihak, terutama pemerintah, berupaya melindunginya.
wah, kalau begitu, pada setiap kegiatan, para pakar BI perlu dilibatkan nih, mas, agar kriterianya makin membumi dan makin meng-indonesia. terima kasih tambahan infonya.
sering kali kata atau ucapan yang kurang lazim tapi malah sering kali kita ucapkan, sehingga bahasa indonesia jadi amburadul (dance)
hmm … agaknya sosialisasi terhadap kaidah bahasa harus terus gencar dilakukan nih, mas.
Pingback: Tweets that mention Catatan Sawali Tuhusetya -- Topsy.com
mudah2an BI bisa lentur dalam menghadapi perubahan global yang sulit untuk ditolak ,pertahankan dalam pemakaian BI yang baik dan benar.
setuju banget, mbak. idealnya memang demikian, kok.
memang betul pak… teknologi pun mempunyai andil cukup besar dalam proses terkuburnya BI, semoga BI segera bangkit.
hmm … seharusnya kemajuan teknologi tak perlu dijadikan sbg alasan utk tdk menggunakan BI scr baik dan benar, mas, hehe … sebab kemajuan teknologi mustahil ditolak. bahkan, perlu dijadikan sbg nilai tambah buat kemajuan dan perkembangan BI.
kalo dilihat dari pekrmbangan sekarang ini justru masyarakat negeri ini lebih mementingkan keafsahan penggunaan bahasa² yang di akui dunia ini juga merupakan salah satu efek budaya barat ya pak, sedangkan untuk penguasaan bahasa sendiri terkadang malah dikesampingkan. semoga BI bisa selalu menjadi bahasa pemersatu bangsa ini tanpa sebuah kekhawatiran
kita tdk bisa menyalahkan sepenuhnya para penutur BI, mas, sebab mereka mungkin memang tidak tahu kalau ada istilah2 asing yang sdh ada padanannya dalam BI.
wah tukang gosip ketinggalan gosip lagi nih…
betul banget pak guru, bahsa kita mulai tergantikan oleh istilah2 asing. gosip yang menyedihkan sekali ya pak (tears)
tidak telat juga, kok, mas. di sinilah perlunya BI perlu bersikap lentur terhadap perubahan global.
bukunya anak-anak untuk pelajaran BI, terkadang banyak kata serapan juga lo pak. Nah lo, pembuat bukunya juga ikut terkena dampaknya global sehingga kata serapan-pun banyak digunakan.. 🙂
hehe … utk tambahan kekayaan kosakata saya kira kok masih bisa diterima, pak fendik. yang repot kalau gaya bertuturnya kebarat-baratan, hehe …
namun jangan sampai menghilangkan budaya dan bahasa derah masing-masing pak 😀
betul sekali, mas reza. itu dia yang perlu terus kita jaga.
wew… menyedihkan sekali…
sekarang juga, murid2 sekolah diajarkan bahasa indonesia sebagai formalitas saja….
hmm… masyarakat kita memang dikenal sbg masyarakat dwibahasa, mas. di kelas memang wajib menggunakan BI sbg bahasa pengantar sesuai dg fungsinya sbg bahasa resmi.
Sangat Inspiratif dan memberi motivasi bagi saya agar lebih bersemangat untuk berbahasa indonesia yang baik. Makasi yah pak info artikelnya, smoga BI bisa brkembang mnjadi lbih baik 🙂
sama2, mas adit. terima kasih support dan apresiasinya.
dalam penggunaan bahasa yang baku, kita memang semakin jauh panggang daripada api…..
hehe … sebenarnya arti berbahasa indonesia yang baik dan benar tdk harus selalu menggunakan bahasa baku, mas nanang, tetapi perlu disesuaikan dg konteks tuturannya.
Tulisan yang arif dari Pak Sawali.. Memang lebih baik mengedepankan sikap selektif dalam menggunakan bahasa Indonesia. Saya malah sering mengasosiasikan Mangkus dan Sangkil ke nama orang ketimbang ‘efektif dan efisien’ (doh)
hehe … itu dia, mas dhodhie. kata2 padanan itu terasa lebih asing karena sosialisasinya seringkali terlambat.
Tapi saya juga makin senang karena dalam google translate, padanan kalimat bahasa Indonesia ke bahasa Inggris makin baik. Nggak acak adul kayak dulu alias kebalik-balik.
oh, ya, saya malah jarang2 nih, mas, menggunakan fasilitas google translate. syukurlah kalau sekarang makin oke.
yah mas.. aku sangat setuju dengan penapat dari MAS MOT??
ok, siplah!
makasih banyak ya boss….atas artikelnya…smangat//// (dance)
@renra,
sama2, terima kasih apresiasinya.
Dan kita harus menjadi penyelamat dan pemelihara bahasa Indonesia.
@Johan Wahyudi,
wah, setuju banget itu, pak johan.
mau komen gimana ya.khususnya di kalangan anak muda sekarang, dirasa lebih keren aja kalo biasa pake istilah2 asing gitu … entahlah … Denuzz gak terlalu mengerti gimana cara menanggulanginya … hehe
Semoga persahabatan kita tidak lekang oleh waktu dan tidak terbatas oleh ruang
@Denuzz BURUNG HANTU,
hmm … konon berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan, mas denuzz, hehe … kalau terbiasa menggunakan istilah2 asli, pasti juga akan lebih terasa nyaman ketimbang harus menggunakan setumpuk istilah asing, hehe …
relatif = nisbi…
konsisten = panggah…
wow… banyak yang tak kutahu
tentang bahasaku sendiri…
jadi malu nih, Bung Syawali
thanks pencerahannya
aku bangga bahasa indonesia
salam sukses…
sedj
@sedjatee,
salam sukses juga, mas sedjatee. terima kasih apresiasinya.
saya suka kata “memindai”
@mobil keluarga,
baguslah, bos, ketimbang menggunakan istilah “scanning”, hehe …
memang kami tertawa 😛 pada paragraf:
relative (sering dituturkan sebagai relatif) => nisbi;
consistent (sering dituturkan sebagai konsisten) => panggah;
relevant (sering dituturkan sebagai relefan atau dituliskan sebagai relevan) => penad;
effective (sering dituturkan sebagai efektif) => mangkus;
efficient (sering dituturkan sebagai efisien) => sangkil.
karena memang terdengar asing, ya itu tadi buah dari kelambanan dalam memasyarakatkan kata bahasa itu sendiri.
@adetruna,
benar sekali, mas ade, karena terlambat melakukan sosialisasi, akhirnya padanan kata2 itu jadi malah terasa lebih asing, hiks.
selamat malam pak maaf baru berkunjung kembali, masih banyak stok kosa kata bahasa indonesia yang tidak kalah kerenya dengan bahasa asing. misal bahasa jawa yang diendonesiakan misal. pada paragraf pertama kata piranti.
dibarengi.pokonya banyak
maaf aku lupa lagi pak ……..
salam rahayu
@ngatirin,
selamat malam juga, ki dalang ngatirin, hehe … saya kira benar sekali, bahasa kita tak kalah keren kok jika dibandingkan dg istilah2 asing.
sebenarnya saya jg baru tahu tentang bahasa indonesia yg asli itu pak, biasanya memang kita lebih suka untuk mengupdate bahasa asing ke bahasa indonesia dan kata2 itulah yg kemudian sering dipakai dan dibakukan
@julicavero,
hmm … kalau dah telanjur pakai serapan dari bahasa asing memang padanan kata asil bahasa indonesia sering terkesan malah lebih asing, mas ginting, hehe …
Bahasa indonesia merupakan salah satu alat pemersatu bangsa. Alangkah indahnya jika kita bangsa Indonesia, bangga memakai bahasa Indonesia dan tidak menyampuradukkan dengan istilah2 asing yang tidak baku …
setuju banget, pak bambang. memang idealnya demikian. meski diterpa globalisasi, semoga cinta dan kebanggaan kita terhadap bahasa nasional tdk pernah luntur.
Sangat setuju, Pak. kekakuan, saklek, “jual mahal” hanya akan menghambat eksistensi BI. Kelenturan, keterbukaan makin membuat BI eksis dan makin diperhitungkan baik oleh penuturnya hingga pemilik bahasa asing. Tak kalah penting adalah upaya memunculkan dan melipatgandakan rasa memiliki BI. Kedaulatan bahasa Indonesia terancam bukan saja oleh eksternal, perubahan global, melainkan juga oleh penuturnya sendiri, warga Indonesia
bener banget, mas didik. di tengah situasi perubahan global seperti sekarang, idealnya BI makin lentur dan adaptif terhadap berbagai pengaruh yang mustahil terelakkan.
kalau sekarang, bahasa indonesia sudah “terkontaminasi” dengan bahasa lain, termasuk bahasa-bahasa yang lebay…
wah, ternyata ada juga bahasa lebay, ya, mas, hehe …
AJIB TUH PAK INFONYA…kekakuan, saklek, “jual mahal” hanya akan menghambat eksistensi BI.. SETU BANGET TUH AKU
bisa jadi memang benar, mas. kalau BI bersikap tertutup, keinginan utk menjadikan BI sbg bhs internasional makin sulit diwujudkan.
saya baru tahu ternyata bahasa indonesia seperti itu, dari jaman SD guru saya mengajarkan bahasa indonesianya “relative” ya “relatif”
hehe … makanya itu, mas heru, sosialisasi padanan kata yang telat seringkali menimbulkan yang lebih “asing” ketimbang istilah asingnya itu sendiri.
Begitulah perkembangan jaman, bahasa yg sebagai alat komunikasi juga gak mau ketinggalan.. selalu ada saja kata-kata yg ter-update dari bahasa asing.
Begitupun, aku cinta bahasa indonesia.. 🙂 (dance)
nah, motto yang terakhir itu sepertinya memang sudah menjadi keniscayaan buat segenap warga bangsa, masyhury.
Kebiasaan kita menggunakan kata serapan dari bahasa asing bisa juga disebabkan karena padanannya dalam BI belum dikenal sehingga dikhawatirkan apa yang disampaikan itu tidak dipahami. Seorang guru, teman saya, sempat menanyakan arti kata unduh.
Kekhawatiran lain dalam berbahasa Indonesia adalah keengganan sebagian masyarakat untuk berbahasa dengan baik.
benar sekali, mas azis, karena sering telat disosialisasikan, padanan kata BI justru terkesan lebih asing ketimbang bahasa asingnya itu sendiri.
Begitulah perkembangan jaman, bahasa yg sebagai alat komunikasi juga gak mau ketinggalan.. selalu ada saja kata-kata yg ter-update dari bahasa asing.
menyerap istilah asing pada era sekarang sdh pasti terjadi, mas, bahkan mungkin akan sulit dihindari.
Serapan asing mungkin tak bisa dihindari. Perubahan itu akan secara alami berkembang, berubah dan akan terus-menerus mengikuti zaman. Yang jelas jangan sampai perubahan itu menjadi penyakit keutuhan BAHASA PERSATUAN KITA, yah seperti bahasa Lebay (dance) , Alay (banana_cool) , atau bahasa2 loe2+GUA-GUA (padahal GUAnya GELAP GAK ADA lampunya (lmao) )
sekarang bahasa di indonesia tuh dah di campur adukan pada masa sekarang,malah bukan tambah bagus malah tambah ancur
Bahasa Indonesia yang sekarang di gunakan banyak mengubah kata nya…
tidak mengikuti peraturan EYD lagi…
terus kembangkan pengetahuan anda tentang bahasa indonesia
saya sangat ngeri banget sampai2 di suatu daerah mereka gak ngerti bahasa indonesia, padah mereka mengaku berkebangsaan indonesia.
boleh berkembang asal jgn kebablasan alis salah kaprah Pak……perlu dijaga