Sungguh, saya benar-benar lupa kalau bulan September yang lalu ada moment yang sangat penting dalam sejarah peradaban bangsa. 14 September 2003 telah dicanangkan sebuah gerakan yang mencerahkan, yakni Hari Kunjung Perpustakaan. Dalam pemahaman awam saya, pencanangan gerakan ini sejatinya lebih dipicu oleh budaya literasi kita yang dinilai masih berada di aras yang amat rendah. Minat baca anak-anak masa kini telah tergerus oleh budaya audio-visual yang menghadirkan tontonan yang serba menghibur.
Channel stasiun TV (nyaris) telah menguasai ruang baca dan ruang bermain anak-anak. Rohani anak-anak telah dicengkeram sekaligus dimanjakan oleh industri hiburan yang dikendalikan oleh kaum kapitalis. Hampir tak tersisa sejengkal ruang pun bagi anak-anak untuk melakukan aksi-aksi literasi yang mengagumkan. Tak heran jika ada yang bilang bahwa anak-anak negeri ini tengah mengidap “rabun membaca”.
Yang tak kalah menyedihkan, gerakan literasi telah terabaikan akibat silang-sengkarutnya persoalan korupsi, teror, atau kekerasan sosial-politik yang (nyaris) tak kunjung berhenti. Kekerasan dinilai sudah menjadi “bagian” skenario sebuah narasi besar para petualang dan bromocorah politik. Bisa jadi tidak berlebihan juga kalau ada yang bilang bahwa peradaban negeri ini memang tengah sakit. Proses pembusukan terus terjadi di berbagai lapis dan lini kehidupan hingga membuat tubuh bangsa yang besar ini kian loyo dan tak berdaya. Kaum elite kita makin tenggelam dalam arus kekuasaan yang memabukkan hingga lupa memikirkan nasib generasi masa depan yang mulai mengalami krisis keteladanan. Amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya jadi slogan dan retorika belaka. Kekuasan, diakui atau tidak, telah menyihir dan meninabobokan kaum elite kita dari persoalan-persoalan riil jutaan generasi masa depan yang terancam kebodohan dan keterbelakangan. Anekdot-anekdot cerdas dan kritis ala Sentilan-Sentilun dianggap hanya sebuah lelucon belaka.
Namun, sudahlah! Kita memang tak perlu banyak berharap pada kaum elite kita untuk mengobati peradaban bangsa yang tengah sakit akibat “rabun membaca” itu. Alih-alih ikut menggerakkan budaya literasi secara masif, sekadar untuk menunjukkan kepedulian dan keteladanan dalam soal membaca saja, mereka teramat sulit untuk diharapkan kiprahnya. Yang justru lebih penting dan mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran literasi itu dari diri sendiri hingga akhirnya menjadi kesadaran kolektif sebagai bangsa yang gemar membaca.
Sayangnya, keberadaan perpustakaan dan pondok baca yang tersebar di berbagai penjuru daerah itu kurang mendapatkan dukungan berarti dari pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan. Harga buku di negeri ini masih tergolong amat mahal akibat minimnya subsidi pemerintah di bidang perbukuan. Program Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang konon dimaksudkan untuk menyediakan buku murah bagi rakyat, tak lebih hanya sebuah kebijakan “dadakan” yang amat tidak sinkron dengan kebutuhan rakyat terhadap buku-buku bermutu. BSE hanya memenuhi ruang server yang belum tentu bisa diakses oleh masyarakat dari berbagai kalangan.Di tengah situasi “rabun membaca” yang menghinggapi generasi masa depan negeri ini, kita juga layak mengacungkan jempol terhadap sekelompok kaum muda yang dengan amat sadar membangun komunitas Pondok Baca untuk memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat sekitarnya untuk mengembangkan budaya literasi itu. Tak sedikit di antara mereka yang mau berkiprah menjadi sukarelawan untuk melayani anak-anak yang punya minat besar untuk menyuburkan kecintaannya terhadap buku. Pondok Maos Guyub yang ada di Bebengan, Boja, Kendal, misalnya, dengan setia melayani masyarakat sekitar yang tengah haus bacaan untuk menuntaskan “naluri” membaca mereka. Ada ratusan buku dengan beragam genre yang bisa ditemukan di sana.
Di tengah atmosfer peradaban yang sakit akibat merebaknya penyakit “rabun membaca” seperti saat ini, kita layak memberikan apresiasi terhadap munculnya berbagai Komunitas Pondok Baca yang tumbuh di berbagai pelosok dusun. Mereka dengan amat setia melayani minat para “pelanggan” yang sudah merasakan manfaat dahsyat dari kebiasaan dan kebutuhan membaca. Mereka layak digolongkan sebagai “pahlawan” literasi yang secara tidak langsung telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sayangnya, keberadaan perpustakaan dan pondok baca yang tersebar di berbagai penjuru daerah itu kurang mendapatkan dukungan berarti dari pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan. Harga buku di negeri ini masih tergolong amat mahal akibat minimnya subsidi pemerintah di bidang perbukuan. Program Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang konon dimaksudkan untuk menyediakan buku murah bagi rakyat, tak lebih hanya sebuah kebijakan “dadakan” yang amat tidak sinkron dengan kebutuhan rakyat terhadap buku-buku bermutu. BSE hanya memenuhi ruang server yang belum tentu bisa diakses oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Yang justru mendesak untuk perlu segera dilakukan adalah memberikan subsidi buku-buku bermutu ke berbagai perpustakaan sekolah/desa atau ke berbagai komunitas pondok baca yang amat dibutuhkan oleh masyarakat. Melalui subsidi buku-buku bermutu diharapkan gerakan literasi di negeri ini bisa terus berlangsung secara masif, hingga akhirnya mampu membangun masyarakat “sadar baca” yang mampu mewujudkan bangsa yang cerdas sebagaimana diamanatkan para founding-fathers. Nah, bagaimana? ***
sudah banyak orang yang berkomentar sinis bahwa orang indonesia belum mempunyai budaya membaca. buktinya kita memiliki tradisi sastra yang kuat sejak zaman dahulu kala. yang kurang sekarang adalah ketersediaan perpustakaan di sekolah atau lingkungan rumah. saya termasuk beruntung karena sewaktu kecil saya dapat mengunjungi perpustakaan yang dikelola ibu2 Dharma Wanita di kompleks perumahan saya. Tapi di saat yang sama ada banyak orang yang merindukan kesempatan untuk bersentuhan dengan buku namun tidak ada akses; akhirnya kerinduan itu mereka hapus sendiri.
salam hangat.
salam hangat juga, mas, terima kasih banget tambahan infonya, semoga budaya literasi di negeri ini bisa terus menggeliat dan tak pernah mati.
apakah moment tersebut (HKP) nantinya juga hanya akan menjadi sebagai kenangan saja #doh
semoga saja tidak, mas addie, tetapi justru makin menggeliat dan dinamis.
@Sawali Tuhusetya, iya pa, dan itu terbukti tanpa dukungan (penuh) pemerintah pun skrng banyak bermunculan taman baca, baik yang dibentuk olek suatu kelompok maupun perorangan.
maju terus pendidikan indonesa (dance)
bener banget, mas addie, semoga dengan banyaknya taman baca, budaya literasi di negeri ini makin berkembang dinamis.
Pingback: Instalasi Nginx Dengan PHP5 Dan Dukungan MySQL Pada CentOS 5. 5 | Duniamaya.info
(Maaf) izin mengamankan KEEMPAX dulu. Boleh, kan?!
Sepertinya kita malah belum pernah mengalami budaya membaca tiba-tiba sudah meloncat ke budaya audio-visual.
Perpustakan2 yang ada di sekitar kita lebih sering sepi pembacanya, juga sepi bahan bacaannya. Bahkan beberapa sekolah tidak mempunyai perpustakaan yang layak (tears)
bener sekali, mas, makanya ada yang menyebut, dalam kultur literasi kita terjadi lompatan sejarah yang tidak wajar.
wah, wah, wah.
tegang amat tuh membacanya.
eeh serius maksudnya ..
thanks pak pencerahannya
hehe …. tegang campur serius? maksudnya begitu, ya, mas? hiks.
ya Mas…memang seperti itulah kenyataannya…..
Tekhnologi yang semakin canggih sudah mulai menghipnotis penerus bangsa ini…..
Ya, kita memang tidak bisa jika harus mengandalkan para elite, tak bisa diharapkan, wong korupsi aja dimana-mana (doh) …..he..he..he…. 🙂
bisa jadi maraknya korupsi pun bisa menjadi hambatan serius terhadap budaya literasi, mas sop.
Membaca adalah kebutuhan meskipun banyak bacaan online buku tetap nomer satu 🙂
setuju banget, mbak ajeng, ada yang menyebut, buku masih menjadi kekuatan mainstraim dalam budaya literasi kita.
Hal-hal di sekeliling kita sudah sedemikian banyak yang tidak mendidik. Tayangan televisi dan semua pandangan di jalan dipenuhi segala macam iklan dan gambaran yang tidak mendidik.
Tindakan-tindakan penyelamatan oleh sebagian anak muda sekarang dengan mengusing perpustakaan – perpustakaan bagi mereka yang ingin membaca tidak didukung oleh pemerintah. Pasalnya, mereka hanya mengucapkan saja “setuju dan mendukung kegiatan tersebut” namun tidak ada kucuran dana atau bantuan untuk pengembangan lebih lanjut.
bener sekali, mas mandor. para pengambil kebijakan suka sekali beretorika tapi masih minim kepeduliannya terhadap nasib perpustakaan di negeri ini.
kehadiran informasi online sedikit demi sedikit telah menggeser peranan perpustakaan. sebab, dengan hadirnya internet kita bisa mencari informasi/pengetahuan yg kita inginkan. Akan tetapi hal ini tentunya tidak akan menghilangkan minat baca, justru semakin meningkatkan masyarakat untuk lebih menikmati informasi yg bisa ditemukannya 🙂
saya kira benar, mas, meski demikian, buku agaknya masih menjadi kekuatan mainstraim dalam kultur literasi kita karena sifatnya yang praktis dan portabel.
jujur saya punya keprihatinan yang sama soal budaya membaca yang ada pada masyarakat kita khususnya generasi penerus bangsa. tayangan audio visual membuat mereka terbelenggu menjadi generasi peniru yang gak punya kreativitas dan miskin ide. beda dengan membaca yang bisa membuka cakrawala dunia karena pikiran diajak untuk berimajinasi dan berkreasi.
mari budayakan membaca 🙂
memang seperti itulah yang terjadi, masndol, semoga muncul terobosan baru dan visioner yang bisa membuat budaya literasi di negeri ini makin oke!
Pingback: Tweets that mention Catatan Sawali Tuhusetya -- Topsy.com
Iya neh pak, kesadaran membaca saat ini masih sangat kurang gara2 generasi muda jaman sekarang seperti saya ini dari dulu dicekcoki fasilitas yang serba instan. Jadi membaca jadi hobi buat segelintir orang saja.
Alhamdulillah, saya punya sedikit rezeki dari online. Jadi tiap bulan bisa membeli buku yang bisa dibaca oleh adik-adik dan orang tua saya.
Mulai dari yang kecil dulu
wah, salut dan ikut senang, mas eka. semoga rezekinya makin melimpah, mas, sehingga makin banyak juga buku yang bisa dibeli.
This is the wonderful thing i spend long time to find it.
benar sekali pak, setuju 100%
terima kasih supportnya, mbak.
Pingback: Atom Karbon yang Khas | www.budies.info
Paduka yang mulia ketua penjelmaan rakyat endonesa salah baca pembukaan undang-undang negaranya. apakah ini salah satu contoh kurangnya membaca, atau memang belum bisa baca pak?
hehe …. bisa jadi dua2nya, kang bud, hiks, kurang membaca, bahkan mungkin malah belum bisa baca, keke …. (doh)
Wah tadi pagi saya udah maen ke blog ini,,,sekarang maen lagi ah Pak…he..he..he…
kunjungan malam ni Pak… (highfive)
hehe …. berarti sehari minimal dua kali dong, mas sop, hiks. matur nuwun, mas.
Sayang ya pak, di tempatku juga ada gedung perpustakaan daerah yang baru di bangun, baru kelar sekitar 3bln yang lalu, tapi pengunjungnya bisa dihitung dengan jari tangan.
mari kita tebarkan semangat untuk membaca !!
hmm, semoga secara bertahap gedung perpusatakannya bisa difungsikan dengan baik, mas deni.
Infonya sangat menarik mas… di tunggu Tips dan Tricks lainnya…
terima kasih apresiasinya, mas jun.
wah anak-anak dikampungku lebih suka Facebook atau PS2 , rupanya ada hari kunjung perpustakaan
itulah kenyataan yang menyedihkan, pak munir. perlu sinergi dg ortu agar anak2 juga mulai melirik buku.
terima kasih…
contoh lain pak, ketika pembuatan tugas akhir, daftar pustaka dijejali oleh web, bukan buku2 konvensional..:)
hehe … seperti itulah yang terjadi. dunia perbukuan kok malah ndak disentuh sbg rujukan? haks.
memang betul pak, pemerintah kita lambat
mudah2an saja secara bertahap para pengambil kebijakan mulai memperhatikan pentingnya gerakan literasi ini, mas.
Benar sekali, Pak. Di samping disebabkan oleh masyarakat kita yang memang jauh dari budaya membaca karena telah terhipnotis oleh keberadaan media audio-visual, juga masyarakat lebih mengorentasikan uang untuk kepentingan perut yang (memang) kepentingannya tak dapat ditunda-tunda.Hihihihi….
Salam kekerabatan.
memang media audio-visual tdk selamanya bisa dikambinghitamkan, pak. semoga secara bertahap budaya literasi di negeri ini bisa tumbuh dan berkembang dg baik.
sepertinya budaya baca membaca perlu diterapkan sejak usia dini ya pak
betul sekali, mas. kalau dibiasakan sejak dini, insyaallah kelak mereka akan memiliki budaya literasi yang bagus.
masalah dunia maya memang yang paling memprihatinkan, dimana konten negatif malah yang menjadi hal yang paling dominan. sampai kapan ya pak hal ini terus belangsung…
itulah yang sering jadi masalah, mas. kalau penggunaan internet tdk dilakukan secara sehat malah jadi penghambat budaya literasi.
Tilisannya bermanfaat bangt buat para remaja..
Lanjutkan!!hehehe..
hehe … terima kasih apresiasi dan support-nya, mbak pita.
yuk.. lebih sering berkunjung ke perpustakaan… meski masih minim buku berkualitas.. semoga saja dapet subsidi buku bermutu seperti yang pak sawali kemukakan.. tapi kapan ya negara mau nyubsidi? menunggu… :0
itulah, pak fendik, agaknya kita masih harus bersabar menunggu entah sampai kapan untuk mendapatkan subsidi buku2 bermutu, hiks.
diajari ngeblog aja, ntar kan otomatis sering baca tulisan2 orang lain (evil_grin)
hehe … repotnya koneksi internet masih sering menjadi kendala, mas pradna.
berkunjung gan…
mangga, mas, terima kasih kunjungannya.
Gimana kita tidak rabun dalam membaca perpustakaan cuman berisikan buku yang sudah kadaluarsa. Pimpinan MPR saja rabun membaca dalam membaca teks Pancasila.
@Dahrun Marada,
Saya setuju, negara ini memang memalukan! Pemimpin MPR koq bisa salah baca teks Pancasila, tapi tidak pernah salah dalam hal membaca angka-angka diatas cek!
doh, itu dia, mas marada, kok bisa ya pimpinan mpr bisa rabun membaca teks pancasila, (doh)
Halo teman,
Perpustakaan memang sangat penting bagi masyarakat.
Untuk itu perlu ditingkatkan kesadaran tentang manfaat
dan perlunya berkunjung ke perpustakaan.
multibrand.blogspot.com
setuju banget, mas. keberadaan perpustakaan sangat penting peranannya dalam meningkatkan minat baca.
Perpustakaan yang unik, update terus. nggak kayakperpustakaan lain yang bukunya dah compamg camping masih dipajang juga. (thinking)
ya, ya, perpustakaan memang butuh dirawat dan dijaga dg baik agar benar2 dirasakan manfaatnya oleh pembaca, mas.
Infonya sangat menarik…
terima kasih apresiasinya!
rasanya kita perlu investor ‘gila’, yang tidak hanya nanam modal utk mbangun apartemen, mal, dll, tapi yang juga mau bikin perpustakaan & kuburan. satu utk pengasahan rohani & edukasi anak bangsa, satunya utk hal yang pasti akan didiami orang yang garis ‘finish’nya tiba. kalo ada provokator yg mau mimpin demo gerakan sadar membangun perpustakaan, saya ikut!
wow …. motivasinya luar biasa, mas. sayangnya, investor rata2 belum melirik dunia perbukuan. mungkin lantaran pertimbangannya profit melulu.
artikel yg bagus pak.saya seorang ibu dan guru.saya termasuk orang tua yang agak ketat dalam masalah nonton TV…tapi di lingkungan kami sebaliknya 🙁 ….apa perlu ada tulisan spt di jogja “jam 19-21 jam belajar anak2…”di gang2 biar lingkungan jg mendukung agar anak suka baca
, 🙁 belajar, dan jauh dari TV.
info dan masukan yang bagus juga tuh, bunda majid. budaya belajar dan literasi idealnya memang perlu dimulai sejak dini.
Gerakan dan Budaya Literasi yang Terabaikan harus bisa kita di lestarikan…
Banyax juga pak KTI nya..:)
Membaca adalah kebutuhan meskipun banyak bacaan online buku tetap nomer satu
thaks pak atas infonya !!!
moga moga dikirim investor di bidang perbukuan…..yg peduli dg ilmu dan tidak mencari untung duit mulu……………
Seharusnya budaya tidak diabaikan agar bangsa tidak luntur oleh budaya orang lain