Bahasa sejatinya merupakan media komunikasi dalam konteks pergaulan umat manusia untuk membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Melalui bahasa, umat manusia mampu mengekspresikan pikiran dan emosinya sehingga bisa direspon pihak lain. Oleh karena itu, bahasa akan terus tumbuh dan berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat pemakainya. Ia tak akan pernah mati sepanjang manusia sebagai pemangku budayanya masih eksis dan terlibat secara intens untuk menggunakan bahasa yang bersangkutan. Secara pragmatik, bahasa menjanjikan nilai-nilai kemaslahatan hidup untuk membangun kerukunan dan semangat perdamaian di tengah kemajemukan agama dan budaya. Prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa amat memungkinkan masyarakat pemakai bahasa untuk menaburkan kesejukan di tengah kecamuk amarah yang membadai akibat perbedaan prinsip dan keyakinan hidup.
Namun, agaknya peran bahasa selama ini belum dioptimalkan sebagai media komunikasi yang jitu untuk membangun tatanan nilai hidup yang jauh lebih beradab dan berbudaya. Yang sering mencuat ke permukaan justru bahasa-bahasa kekerasan yang mengancam kerukunan dan semangat perdamaian. Prinsip kerja sama dan kesantunan berbahasa makin jauh terjerembab dalam semangat primordialisme semu, sehingga tak sedikit orang yang demikian gampang “mengkafirkan” pihak lain yang tidak sepaham dan sekeyakinan. Yang lebih menyedihkan, bahasa sebagai media komunikasi telah tergantikan oleh benda-benda pembawa petaka. Pedang dan pentungan tak jarang digunakan untuk mengancam dan menakut-nakuti pihak lain di ruang publik demi memperoleh pembenaran terhadap prinsip dan keyakinan yang dianutnya.
Saya jadi tersentil oleh pernyataan Kang Sobary dalam sebuah tulisannya di Kompas (18 September 2010). Lewat sindirannya, budayawan itu bilang bahwa orang keras sering datang dari “ketandusan” hidup masa lalunya yang tak pernah menerima cinta. Apa tak mustahil mereka diharapkan memberikan cinta kepada kita?
Ya, ya, Kang Sobary tidak salah. Sebagai sesuatu yang universal, konon cinta menjadi basis manusia dalam meraih kehormatan dan martabat dirinya. Tanpa sentuhan cinta, manusia bisa jatuh terpuruk ke dalam kubangan yang penuh lumpur kebiadaban dan kenistaan. Hatinya selalu dilapisi dinding kebencian dan kepongahan. Dalam konteks demikian, mereka yang biasa menggunakan bahasa kekerasan di tengah-tengah kehidupan masyarakat komunalnya bisa jadi hatinya telah kering dari cinta; cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, cinta kepada lingkungan dengan segenap makhluk ciptaan-Nya. Dan itu artinya, mereka telah gagal menjalankan fitrahnya sebagai khalifah di atas bumi yang mesti “memayu hayuning bawana” sebagai manifestasi sikap keagamaan yang rahmatan lil ‘alamiin.
Kita jadi sedih ketika sentimen keagamaan dijadikan sebagai dalih untuk menaburkan kebencian kepada pihak lain yang berbeda agama. Terlepas apa pun motifnya, jalan kekerasan (hampir) dipastikan tak akan pernah sanggup menyelesaikan masalah. Seandainya Garuda Pancasila bisa menangis –meminjam lirik sahabat saya, Budi Maryono— mungkin telah lama kita tenggelam ke dalam kubangan air matanya. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang dicengkeramnya pun mulai tampak goyah dan bergetar akibat makin meruyaknya perilaku dan sentimen keagamaan yang makin tak tersentuh sikap toleran. Sungguh, ternyata berurusan dengan sesama manusia jauh lebih rumit ketimbang berurusan dengan Tuhan yang tak pernah mengajarkan paham dan bahasa kekerasan kepada hamba-Nya.
Urusan makin repot ketika bahasa sebagai media komunikasi telah dikubur perannya ke dalam kubangan peradaban. Yang muncul kemudian adalah bahasa “gedibag-gedibug atau brang-breng-brong” yang makin menjauhkan nilai kesejatian dirinya sebagai makhluk yang terhormat dan bermartabat. ***
Kita hidup di dunia ini harus menjalin kerukunan antar beragama, walaupun berbeda agama kita tetap harus toleransi terhadap agama lain. Agama manapun juga tidak menganjurkan bermusuh-musuhan dengan siapapun yang berbeda agama.
betul sekali, mas. kemajemukan yang dimiliki bangsa kita justru perlu dijadikan sbg modal sosial utk membangun bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat.
Bahasa menunjukkan budi memang seakan telah mulai terkikis, sehingga yang terjadi bahasa menunjukkan benci. Subhanallah. Semoga pasca lebaran ini kita bisa kembali meluruskan bahasa sebagai komunikasi yang menyejukkan.
amiiin, itulah yang kita harapkan, pak. bahasa sbg alat komunikasi kalau sdh tak lagi difungsikan sbg media sosial dalam pergaulan, yang muncul kemudian hanya kekerasan demi kekerasan yang justru menghambat kemajuan bangsa. *doh, kok jadi sok tahu, saya, haks*
ya klo dpikir2 memang bgtu. agama mengajarkan kita untuk saling mencintai, menyayangi tapi ada aja orang yang ga mngerti
betul sekali, mas. ajaran agama apa pun agaknya tidak ada kok yang mengajarkan kekerasan, termasuk dalam berdakwah.
kedamaian akan jauh lebih indahhh
aku cinta damaiiii
setuju, sikap semacam itulah yang justru perlu terus dipupuk dan ditumbuhsuburkan.
waduh! saya yang paling sering berbahasa kasar di blog.. (tears)
hehehe … ndak apa2, mas, sepanjang masih dalam batas kewajaran dan demi kemaslahatan bersama.
sebelumnya saya minta maaf ni Pak…artikelnya belum selesai saya baca, soalnya waktu…maklumlah oline di warnet…..
wah dari pada kelamaan ni …waktunya bentar lagi….ya udah saya mampir aja kesini….he..he..he…
saya baca artikelnya Pak nanti….
walah, ndak perlu minta maaf, mas sopyan, baca kapan saja boleh, kok, hehe …. terima kasih dah mau mampir.
Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad mengatakan bahwa untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, haruslah dengan ilmu. Menurut saya, orang-orang yang dengan mudah melakukan kekerasan atas nama agama adalah yang tidak memahami agama secara baik. Adalah sebuah ironi, ketika sekelompok orang atas nama agama melakukan perusakan sambil meneriakkan kalimat-kalimat khas agamanya. Aih… bagi saya, kelakuan mereka itu sesungguhnya telah menistakan agama mereka sendiri.. 🙁
terima kasih banget tambahan infonya, mas vizon. saya setuju banget dengan pandangan semacam itu.
Informasi yang sangat menarik. Ditunggu kunjungan dan komentarnya juga di postingan blogku http://kwangkxz2010.blogdetik.com/2010/09/11/bersyukur/
Terimakasih.
ok, terima kasih dah ikutan nimbrung, yak!
semua kembali pada diri masing-masing ya pak?
seperti kata pepatah, siapa menabur ia akan menuai 🙂
betul juga, mas. semoga tak ada lagi kekerasan berkedok agama di negeri ini!
persepsi ujung2nya yang dikedepankan.. dan karena banyak persepsi jadinya salah tangkap dan masing2 merasa benar dengan persepsinya 🙂
perbedaan persepsi kadang2 justru diperlukan, mas deni. yang penting jangan sampai menimbulkan konflik, apalagi perpecahan.
memang menyedihkan…semua kejadian sering kali berujung kekerasan dan hanya dikarenakan kepentingan segelintir orang…sungguh Indonesia bener-bener terpuruk
regards
itulah yang terjadi, mas. semoga peristiwa seperti itu bisa secepatnya tertangani dengan tuntas dan tak ada lagi kekerasan yang mengatasnamakan agama.
setiap orang memiliki bahasa sendiri dalam berkomunikasi
bagi mereka yang menyukai kekerasan maka senjata adalah bahasa mereka
bagi praktisi kesehatan, klem, benang, jarum, obat2an adalah bahasa mereka
namun, bagi umat manusia yang tentunya tidak mencintai kekerasan, maka bahasa yang santun tentu menjadi pilihan.
(ngganyambung.com)
hehe … nyambung banget, kok, mbak. pada sisi tertentu, bahasa memang sangat kontekstual, mbak, tergantung bagaimana seseorang memanfaatkan bahasa sesuai dengan latar belakang kehidupannya.
salam .
semoga kita semua masih dalam tuntunanNya …..salam jumpa kembali pak sudah lama gak mampir …selamat hari raya iidul fitri mohon maaf lahir dan batin . (worship)
amiiin, selamat dul fitri juga mas hono, mohon maaf lahir dan batin juga, yak.
Realitas yang terjadi di tengah-tengah bangsa dan negara ini memang demikianlah,pak. Orang-orang telah banyak kehilangan ikatan batin, ikatan budaya, terbukti komunikasi mereka lebih banyak dibangun dengan bahasa kekerasan.
Mungkin masih ada secercah harapan untuk membawa keberadaan bangsa dan negara ini ke alam yang lebih nyaman manakala insan-insan pencinta-damai tak turut hanyut dalam kekerasan massal yang semakin brutal. Semoga.
Salam kekerabatan.
bener sekali, pak. banyak orang arif berpetuah, selayaknya apa pun perlu dimulai dari lingkungan terkecil dulu. kalau setiap orang anti kekerasan, imbasnya akan mampu menimbulkan perubahan besar, pak.
he..he..he…kalau saya Pak, kalau sedang bersenda gurau bersama teman-teman saya mungkin bahasa yang keluar juga agak gedebag-gedebug Pak…soalnya,udah jadi hal yang biasa gitu Pak…..
Memang benar Pak, jika kita berurusan dengan kita sesama manusia itu memang rumit…hal yang sepele malah di besar-besarkan ,,..sebaliknya hal yang memang harus di tanggapi dengan serius malah terlalu santai di tanggapinya……he..he..he…… (doh)
hehe … tentu beda antara bahasa dalam canda dan bahasa kekerasan, mas sop. dalam pergaulan, kata2 yang cenderung kasar pun masih bisa dipahami sebagai sebuah bentuk keakraban.
Saya sedih banget dengar soal HKBP, Pak Sawali…
Kok saya jadi rindu jaman Soeharto ya… waktu itu meski beliau represif, tapi kami2 yang minoritas ini tak dipenyet gini jhe
itulah yang menyedihkan, mas don. semoga saja peristiwa seperti itu tdk lagi terulang.
Aku ingin sekali
Bangsa kita ini
jauh dari kekerasan…
Agar tak ada yg menjdi korban lagi..
🙁
setuju bnget mbak,,,
terutama hanya dengan masalah perbedaan kepercayaan bangsa indonesia bentrok dan jadi ter[ecah belah.