Cerpen Triyanto Triwikromo
Dimuat di Koran Tempo (10/04/2009)
Kematian Boma
1
Kau boleh membunuhku berkali-kali, kau boleh menusukku dengan seribu keris Pandawa. Kau boleh kecewa karena Arjuna pun tak bisa menolongmu, kau boleh kecewa karena Putra Kuru pun mati di tangan Putra Buangan yang kautinggal di Sapta Pretala sesaat sebelum lolong anjing berubah menjadi cahaya gerimis yang menggelincir di urat-urat daun ketela.
2
Sudah kukatakan kepadamu, kau tidak akan pernah menjadi pemenang Bharatayuda, kau hanya akan jadi tumbal para Pandawa. Sudah kukatakan kepadamu, bumi begitu pengasih, sehingga bunga-bunga kematian akan hidup begitu tubuh remukku dihisap oleh kehijauan humus dan wangi cacing penuh cinta.
3
“Akulah yang senantiasa menghidupkanmu, Ananda. Bukan Antareja bukan dewa yang berumah di keheningan tanah basah Kurusetra,” Dewi Pertiwi mendesis tiba-tiba, “tetapi tetap saja seorang ksatria akan membunuhmu setelah kabut raib setelah rahasia terkuak dari ayat-ayat yang semula rapat-rapat kusimpan dalam rahim semesta.”
4
“Siapakah yang akan membunuhku?”
“Sang Kresna, ayahmu sendiri.”
“Mengapa ia membunuhku?”
“Karena ia lebih mencintai Pandawa.”
5
Tapi seorang ibu bisa saja berubah menjadi anjing penipu dan aku tak pernah akan percaya pada ibu yang gagu.
6
Maka pada saat langit penuh kelelawar, aku tantang kau agar segera melesatkan panah-panah beracun, aku tantang kau agar segera menghajarku dengan seribu gada Bima atau segala keris beracun para prajurit setia, aku tantang kau agar segera menghajarku dengan seribu tangan Batara Guru dengan seribu taring Dewi Durgamu.
7
“Apakah ia telah mengerti rahasia kematianku, Ibu?”
“Ya ia telah mengerti cara membunuhmu?”
“Apakah Wilmuka juga akan palastra?”
“Ya Wilmuka akan menjemput ajal setelah membayangkan dirinya menjadi Betara Kala.”
8
“Apakah….”
“Ya, kau juga akan mati dalam selimut jaring berbisa setelah cakra Kresna memenggal kepala menusuk dada melumpuhkan kakimu yang perkasa….”
9
Hmm, kini aku mengerti mengapa kelak di Nirwana aku kelu saat menatapmu termangu-mangu di Kurusetra dan menyesal telah membunuhku jauh sebelum Bharatayuda hanya menghanyutkanmu dalam banjir darah ke kerajaanmu yang suwung dan tak lagi ampuh. Aku kelu saat melihat di kereta kencana kau bersandar dan mendesis, “Boma, boma yang indah, sekarang bunuhlah aku, bunuhlah ayahmu yang celaka….”
Telaga Senja Anjani
1
Seperti siapa pun yang pernah memandang lelingkar gelombang di telaga yang menggenang di cupu, aku tak hendak karam, bunuh diri ke dalam kilau hijau biru gerimis yang membentur batu-batu nun di kedalaman yang tak terjangkau itu, Anakku. (Ia, perempuan yang mahir berbincang dengan burung dan mendung, itu hanya ingin tafakur. Hanya ingin menatap wajah tirus damar mengabur di hening air. Hanya ingin mengajakmu merasakan nyeri saat tengkuk, tangan, wajah mataharimu tiba-tiba berbulu dan engkau hanya layak disebut sebagai kera atau binatang menjijikkan paling hina dan berdebu.)
Seperti siapa pun aku hanya ingin mandi di telaga air mataku sendiri. Aku tak ingin mengutuk nenekmu menjadi tugu yang terpancang di Alengka. Aku tak ingin melaknat kakekmu yang tak berani tenggelam dalam penderitaan rumput-rumput, koral-koral tak terurus, dan kanak-kanak bandel yang berebut Cupu Manik Astagina. (Ia, perempuan yang selalu mencari sumur untuk becermin itu, hanya berharap ada yang mengubah musim menjadi cokelat, pohon-pohon menjadi kucing, sungai-sungai menjadi lembah, dan ia menjadi Anjani yang dulu, Anjani yang kecantikannya melebihi paras 27 bidadari yang sedang mandi bersama di Telaga Sumala yang bening dan penuh ranting-ranting cahaya itu.)
2
Saat itu aku telah melupakan Cupu Manik Astagina, Anakku. Saat itu meniru katak, aku bertapa di keheningan telaga. Kudengar nyanyian Kodhok Ngorek menetas dari telur yang sebagian berubah menjadi berudu. Kureguk embun yang diteteskan para dewa ke mulut sunyiku. Kulahap segala yang menyuruk ke mulut tapi tidak untuk Daun Jati Malela, tidak untuk kekasih yang senantiasa mencintai perempuan kera sebagaimana ia mencintai kegaiban kehendak dewa.
Apakah setelah itu kau melahirkan aku? Melahirkan Anoman yang tak berayah seorang ksatria, Ibu?
Saat itu ayat-ayat hujan turun dan mengabarkan aku akan mampu menyaksikan perubahan musim menjadi cokelat, bunga-bunga menjadi angsa, sungai-sungai menjadi bukit, dan Anjani menjadi gadis yang dulu, gadis suci yang kecantikannya melebihi paras 27 bidadari yang sedang mandi bersama di telaga yang hening dan suci itu. Saat itu, Anakku, kau–cahaya yang terbit dari senyum segala dewa–melesat dari rahimku, melesat dari kandunganku yang telah dibenihi oleh roh ilahimu.
Jadi siapakah aku, Ibu?
Kau adalah cermin yang selalu ingin kupecahkan, Anakku, kau adalah telaga mengucur dari pelupuk mata yang senantiasa kubenci tetapi selalu ada. Kau, kaulah telur semesta, yang membuatku punya alasan menjadi ibu seekor kera.
Tapi kata satwa-satwa liar itu, namaku Anoman, Ibu, kera putih yang pernah tidur lelap di perut singa. Ya, akulah Anoman, Ibu, kera ingusan yang sepanjang hari bercengkerama dengan dengan buaya-buaya ganas di telaga yang kaubenci itu.
Karena itulah, Anakku, engkau adalah angin, kelak kau akan lebih tangguh dari guruh, lebih agung dari gunung, lebih marwah dari lembah, lebih taksu dari segala cupu. Kelak kau akan menelan matahari dan waktu takluk pada perintahmu. Sekarang bermainlah dengan segala pepohonan di hutan dan ular-ular berbisa itu. Aku akan menyelam ke telaga, ke dasar hening, mencari diriku yang bening, mencari swarga dalam rahim segala ganggang dan berudu, dalam suwung asal muasalku.
3
“Siapakah engkau?” perempuan berwajah kera itu menyapaku di pintu surga, di dasar telaga, “Siapakah engkau? Apakah engkau kekasih daun abadi yang terapung-apung dinaungi pijar bulan kesanga?” Tak kujawab pertanyaan itu. Aku tahu di kesunyian keranjang yang tenggelam kadang-kadang terdengar swara mambang dan siul sengau para hantu.
“Siapakah engkau?” perempuan berwajah kera itu kian cepat menyelam dan mengejar bayanganku, “Apakah engkau kembaran sejatiku?”
Kuabaikan pertanyaan konyol itu. Lalu kupejamkan mataku hanya sekadar untuk melupakan seluruh semesta yang tiba-tiba mengejawantah menjadi diriku.
O, ketahuilah, Anakku, betapa sulit berperang melawan ingatan buruk yang telah membatu di rabumu, “Siapakah perempuan kera itu, Anakku, siapakah perempuan kera itu?”
Kusembunyikan pertanyaan itu di sirip ikan yang melesat ke ceruk gelap . Kusembunyikan rahasia itu di punggung liang-liang berlumut yang mengabur di ujung sepi yang anyir itu.
4
“Kini–ketika pintu surga belum mau menerimaku– apa lagi yang harus kukisahkan kepada seonggok tugu yang terpancang sepanjang waktu di Alengka, Cintaku?” kataku kepada Daun Jati Malela, kekasih tak terduga itu.
Kemenanganmu.
Kemenanganku? Kemenangan atas apa?
Atas kesanggupan menjadi fajar pada saat kau seharusnya menjelma malam. Atas kesanggupan menjadi hujan pada saat seharusnya menjelma awan.
5
Sebagai angin dan hujan, aku pun berembus ke Alengka, Anakku. Dan di tugu terabaikan dan berlumut itu, aku bersujud dan mendesis di telinga nenekmu. “Di hadapanmu, aku tetaplah pendosa yang hina, Ibu. Tak akan kuceritakan berapa lama aku harus mengelupas wajah dan melupakan telaga senja yang kauciptakan dari cupu kencana itu. Tapi dengarlah, Ibu, kelak rohku akan menyusup ke tubuh Anila yang akan membebaskanmu dari kutuk ayah yang pecemburu. Pada akhirnya Prahasta akan tewas dan nyanyian bidadari menyusup ke telinga yang telah lama kautulikan, Ibu.”
Pada akhirnya….
“Pada akhirnya tak seekor kera boleh gugur hanya agar kita mendapatkan keindahan cinta yang kita impikan, Ibu.”
6
Apakah pintu surga telah terbuka untukku?
(Anjani terpana menatap Prahasta dan Dewi Windradi yang tiba-tiba nyemplung ke telaga bianglala. Ia terpana memandang mereka menyelam ke dasar hening air tanpa kecipak ketam atau dengung serangga.)
7
(Pintu surga kini telah terbuka.)
Tetapi kau tahu, Anakku, aku tak hendak masuk ke lorong hikayat keindahannya sebelum kau membela Rama membunuh Rahwana. Sebelum Alengka binasa dan semesta kehilangan cerita.
Apakah masih ada lagi yang harus kita percakapkan, Anakku?Apakah sejuta keranda musuh tak cukup untuk menghentikan pertempuran melawan ketakjubanmu pada wajah kera putih penuh cahaya yang mengabur di telaga itu?
8
(Pintu surga kini kian terbuka. Tetapi Anjani tetap menunggu Rahwana terluka. Menunggu panah Rama memenggal leher sang Dasamuka. Menunggu telaga darah muncrat dari bumi Alengka dan memantulkan wajah para pendosa.)
9
Dan di telaga suci itu, Anakku, wajah kitalah yang tampak paling berdebu. Berlendir dan penuh ulat berbulu. Menjijikkan dan menetes-neteskan nanah selalu.
“Apakah itu, wajahku, Ibu?” katamu.
“Mungkin wajahmu. Mungkin wajah hantu.”
“Dan kera cantik yang dililit ganggang itu?”
“Ia juga hantu, Anakku. Ia juga hantu. Selalu saja ingin kubunuh bayangan itu, tetapi senantiasa ia menguntitku.”
Mata Cinta Destarastra
Aku memang buta, Cintaku, tetapi aku telah belajar mendengarkan dengan cermat swara bening kabut hingga aku bisa memilah mana denting piring mana dentang pedang mana musuh sejati mana kawan yang harus dibela dalam peperangan. Aku memang buta, Cintaku, tetapi aku belajar merasakan dengan cermat kesakitan tusukan tajam keris hingga aku bisa mendaki gunung sunyi mendaki gunung mati membunuh cahaya matahari membunuh siapa pun yang memuja Dewi Kunti.
Aku memang buta, Cintaku, tetapi aku telah belajar mencium dengan cermat anyir darah Kurawa yang akan ditumpas tuntas oleh bajingan Kresna yang akan dilumat habis oleh putra Pandu yang hina. Aku memang buta, Cintaku, tetapi aku telah belajar menghayati dengan cermat kegelapan dunia hingga aku tahu aku mati untuk apa hingga aku tahu mati untuk siapa.
Percakapan Sengkuni dengan Durna menjelang Bharatayuda
1
“Jadi siapa yang akan kita bunuh lebih dulu?”
“Siapa lagi jika bukan Kresna? Kita tak akan membunuh siapa pun setelah panglima paling digdaya itu tergilas roda kereta.”
2
“Aku berharap Bisma akan memenggal kepala Srikandi.”
“Aku lebih berharap Dursasana menjambak rambut Drupadi dan menelanjangi perempuan haus darah itu di Padang Kuru.”
3
“Aku berhasrat ruhku menyusup ke tubuh Aswatama agar ia bisa membunuh Banowati sebelum Parikesit lahir sebelum kemenangan Pandawa melahirkan raja-raja agung di Astina.”
“Mengapa tak kauharap Kartamarma menghajar Werkudara?”
4
“Aku tahu Arjuna tak akan berani membunuh Karna. Karena itu suruh sang Adipati menghunus keris sebelum matahari terbit….”
“Tapi aku tak ingin Kunti menangis….”
5
“Apakah kau yakin akan hidup setelah Bharatayuda berakhir?”
“Aku percaya maut akan terus-menerus mencibir dari bibir getir.”
Pintu Neraka Yamadipati
Jika pada suatu malam swara seekor burung hitam mengiris hati bagai pisau yang tak henti-henti menyayat daging sapi, bukalah pintu istanamu, Kresna. Biarkan angin, panah-panah beracun itu, menusuk-menusuk punggungmu, biarkan isyarat gerimis riwis membentur-bentur bunga di taman, biarkan kercik gaibnya menjelma cakar Durga, cakar kematianmu.
Dari pintu neraka, aku selalu berhasrat membunuhmu paling awal, Kresna, selalu ingin kutusukkan rencong ke ulu hati agar kau mati agar kau tak bergegas mengatur siasat menumpas Kurawa menumpas siapa pun yang kauanggap musuh Pandawa. Apakah kau tak mengenalku, Kresna? Apakah kau tak mengenal Dewa Kematianmu?
Kini pandanglah mataku yang tak pernah berkedip, Kresna, masuklah dalam keheningan retina sebagaimana telah kutelusuri kesunyian penderitaan segala nyawa sebagaimana telah kuarungi tangis segala jiwa sebagaimana telah kutinggalkan Dewi Mumpuni, istriku hanya agar aku bisa mencabut nyawa siapa saja.
Juga nyawamu. Juga nyawa penuh siasat pertempuran itu.
Setelah Sukrasana Palastra
“Sungguh, itu bukan Sukrasana, setahuku wajahnya bernanah, sangat buruk, dan menjijikkan,” kata seekor lipan kepada belatung, “Mungkin ia Raden Sumantri, ksatria tampan yang baru saja menghadiahkan Taman Sari terindah untuk Prabu Arjuna Sasrabahu. Sukrasana tak layak masuk surga kita meskipun ia telah menjelma sekuntum bunga dengan beberapa lembar daun bergaris cahaya senja.”
“Tapi ia Sukrasana,” sergah belatung yang telah bertahun-tahun menjaga Pintu Surga, “Panah Sumantri yang menembus jantungnya telah menghisap dosa-dosanya. Ia kini lebih tampan dari siapa pun. Ia lebih indah dari gerimis yang gugur dan membentur taman penuh embun. Ia bukan lagi raksasa yang tak mampu memahami isyarat kelepak burung yang melintas sungai sebelum sepasang kupu-kupu merontokkan bulu-bulu gaib di nyala api unggun.”
Kutukan Rahwana
1
Aku telah cukup tabah meminta Wararodra memancung leher Trikala dan Kalaseki hanya agar Sinta menganggap Rama dan Laksamana binasa, Paman Prahasta, aku telah cukup tabah menyajikan sepasang kepala penuh ceceran darah itu di nampan kencana hanya agar Sinta gemetar dan memujaku sebagai Dewa Cinta, tetapi mengapa malah kauimpitkan sepasang gunung runcing di Gunung Suwela yang telah menindihku? Karena itu kukutuk kau jadi batu agar lebih mudah kauremukkan sepuluh kepala yang senantiasa menghardikmu….
2
Seperti dalam kisah-kisah pertempuran masa lalu, aku tak pernah bisa mati, Ibu, aku tetaplah hutan penuh darah yang tak pernah mau mendengarkan megatruh rapuhmu aku tetaplah swara-swara gelap dari gua pertapaan para mambang dan segala hantu.
Jika pada akhirnya aku mati oleh panah Rama atau gada dewa yang tak kelihatan, hanya satu yang akan kukutuk sepanjang waktu: engkau, wahai ibuku, ibu yang tak melahirkanku sebagai erang gunung atau desau waktu. Jika pada akhirnya aku tak juga bisa menyunting Sinta atau dewi paling suci tanpa nama hanya satu yang akan kukutuk sepanjang waktu: engkau, wahai ibuku, ibu yang tak melahirkanku sebagai ksatria bermata biru.
3
Apakah setiap yang najis hanya boleh bersekutu dengan senja yang amis, Ibu? “tidak, anakku, kau akan jadi raja harum, kau akan jadi resi wangi, kau akan jadi kekasih sejati…” tapi kelak aku akan remuk, Ibu, kelak aku akan terpuruk… “tidak, anakku, kau bukan pecundang, kau dan istana indahmu akan senantiasa dikenang oleh musuh-musuhmu….” ***