Rabu, 20 Januari 2010, saya diundang oleh Direktorat Pembinaan TK/SD di Ruang Rapat Gedung E Lantai 18 Kompleks Kementerian Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, untuk mengikuti Rapat Persiapan menjelang digelarnya Festival Sastra Tingkat SD/MI Tingkat Nasional Tahun 2010. Rapat yang berlangsung pukul 14.30-16.30 WIB tersebut, selain dihadiri Direktur Pembinaan TK/SD dan pejabat terkait, juga hadir Dr. Zaim Uchrowi dan Intan Savitri (Balai Pustaka), Helvi Tiana Rosa, dan beberapa undangan yang lain. Sayangnya, sastrawan lain, seperti Taufik Ismail, Hudan Hidayat, atau Maman S. Mahayana (kabar terakhir sedang berada di Korea) yang juga diundang batal hadir.
Direktur Pembinaan TK/SD
Jajaran Direktorat Pembinaan TK/SD
Helvy Tiana Rosa dan Intan Savitri
Ide digelarnya Festival Sastra, menurut Direktur Pembinaan TK/SD, sudah digagas sejak 3 tahun yang lalu. Namun, agaknya baru tahun 2010 gagasan tersebut bisa diwujudkan. Ide ini berawal dari keresahan terhadap fenomena hilangnya pendidikan karakter dan budi pekerti dalam ranah pendidikan kita. Merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, atau meruyaknya bahasa ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa, sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang gampang sekali melontarkan bahasa oral dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai etika dan estetika telah terbonsai dan terkerdilkan oleh gaya hidup instan dan pragmatik.
Ya, ya, ya, pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), misalnya, yang seharusnya bisa menjadi “katalisator” untuk membendung arus merebaknya budaya kekerasan dan proses demoralisasi, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi dan dogmatis yang semata-mata mengajarkan nilai baik dan buruk, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan intens yang bisa memicu siswa didik untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi. Akibat pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mind-set anak-anak cenderung menjadi “kanibal”, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik nazir peradaban.
Sudah berkali-kali panggung sosial negeri ini diwarnai pentas tragis tentang tawuran antarpelajar, pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Belum lagi mereka yang menjadi pengguna dan pengedar pil-pil setan dan zat-zat adiktif lainnya. Hal itu diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku kaum elite kita yang seharusnya menjadi patron dan sosok anutan sosial yang mengagumkan. Perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya kalau Nicolo Machiavelli menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas Hobes bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang.
Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika Direktorat Pembinaan TK/SD menggagas sebuah agenda Festival, Olimpiade, atau apa pun namanya, berlabel sastra yang berupaya mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter melalui karya sastra. Mengapa harus melalui sastra?
Ya, ya, ya, ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga abai terhadap persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi –kalau toh ada penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan dogmatis– perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psikososial siswa didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.
Melalui karya sastra, anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata. Anak-anak bisa belajar dan bergaul secara langsung tentang berbagai karakter mulia, yang oleh Sang Pencetus Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, dikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).
Tentu saja, langkah visioner semacam itu tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dengan intensifnya internalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil rapat koordinasi pun belum menghasilkan keputusan final karena masih akan terus berproes hingga benar-benar matang dan siap diimplementasikan.
Meski demikian, agenda Festival Sastra yang digagas Direktorat Pembinaan TK/SD diharapkan bisa menjadi awal yang bagus untuk melakukan sebuah perubahan. Jika pembangunan karakter bangsa melalui sastra dilakukan secara serius, total, dan intens, bukan tidak mungkin kelak anak-anak negeri ini akan memiliki kepribadian yang jauh lebih berkarakter sehingga siap mengawal perjalanan dan dinamika peradaban bangsa melalui sentuhan karakter yang kuat dan nilai-nilai keluhuran budi yang mengagumkan. Semoga! ***
Salut dan mendukung gagasan Direktorat Pembinaan TK/SD, teriring harapan untuk dapat terealisasi kegiatannya. Dengan 9 Pilar Pendidikan Holistik Berbasis Karakter – bukan sekedar mengajarkan teoretiknya – mudah-mudahan ke depan tertanam kebiasaan yang baik sebagaimana pernah disukseskan melalui “Tri Nga” (Ki Hajar Dewantara; Ngerti (ranah kognitif), Ngrasa ranah afektif), dan Nglakoni (ranah psikomotorik). Selamat buat Pak Sawali ….
terima kasih supportnya, pak. wah, dapat tambahan info dari pak riyadi nih tentang “tri nga” itu. matur nuwun, pak.
Sebuah langkah yang patut didukung nih Pak Sawali…
Saya setuju soal pendidikan agama dan Pkn yang sudah berubah menjadi indoktrinasi yang sama sekali tidak mencerahkan. Harus ada langkah nyata yang dapat mengubah mindset kita terhadap ini semua. Festival ini, bisa jadi sebuah gebrakan yang sangat baik untuk merubah mindset itu 🙂
terima kasih support dan apresiasinya, bang vizon.
masih mendambakan pendidikan yang mampu memanusiakan manusia
hmm … itulah yang perlu terus diperjuangkan, mas pencerah.
Salah satu karakter insan di negeri ini yang mulai terkikis adalah budi pekerti, kesopanan, tata krama, dan keluhuran moral. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh budaya asing yang masuk lewat media. Menanamkan minat sastra sejak dini saya pikir bisa menjadi salah satu solusi untuk mengembalikan karakter manusia Indonesia agar bisa memiliki budi pekerti, dan keluhuran moral. Salut !
betul sekali, mas indra. terima kasih support dan apresiasinya.
:d sip pak… Sarimin ikutan aja…
hehehe … matur nuwun supportnya, mas.
Tahun 70-an saya dan teman2 Teater Bulungan sempat mengadakan Lomba Baca Sajak Anak-anak beberapa tahun. Benar, lewat sastra dan teater minimal dapat menambah wawasan juga olah rasa, yang mudah2an menjadikan anak memiliki pendidikan yang lengkap: aqal-qalbu, intelektual-intuisi, jasmani-rohani. Mohon yang ditelaah jangan parsial.
Kegiatan ektra kurikuler apapun, yang selalu dinilai positif oleh konsep dan sistem pendidikan Indonesia, di sisi lain semangkin menumpukkan beban di punggung anak/peserta didik. Keluhan orangtua/wali siswa – yang menyatakan anakku baru kelas 3 SD – tapi bawaan bukunya begitu berat, sampai2 ia selalu miring2 ketika membawa tas. Begitu banyak mata kurikulum yang harus dipelajari – apalagi 99% masih indoktrinasi – sampai setingkat SMA, ternyata yang diujikan hanya 4 mata pelajaran. Subhanallah, pak Sawali, sampeyan baru saja mengikuti maiyahan cak Nun, yang acapkali membedah kondisi pendidikan kita. Bolehlah
kiranya sampeyan juga mengkritisi kebijakan “sistemik” para pakar – yang jadi birokrat – di berbagai Departemen, termasuk DepDikNas. Mudah2an Zaim,Helvi Tiana Rosa, Intan Savitri menyimak kaji tulisan ini. Doa saya untuk semua.
terima kasih masukannya, mas uki. mohon doanya semoga bisa terus menjaga dan membangun idealisme, termasuk sikap kritis itu.
Biar budaya malu tetap lengket dijiwa raga semuanya, hehe…
jangan sampe naco loh… no action conseptual only.
setuju, mas wempi. memang pendidikan karakter salah satunya bertujuan utk mewujudkan hal seperti itu.
kita mendukung deh pokoknya,.. semoga bisa mendapatkan hasil yang maksimal,…
terima kasih supportnya, mas damey.
semoga berjalan sesuai rancana dan tercapai target yang diinginkan
harapannya tentu akan menjalar menyebarkan virus ke DIRJEN DIKDASMEN
Kalau kita simak, memang kegiatan yang berbau kebahasaan lama ditinggalkan da dalam pembicaraan yang bersifat kompetisi.
Semenjak mengajar bahasa indonesia, saya berusaha mengajak siswa saya untuk berprestasi di bidang kebahasaan. Beberapa kali saya mengadakan lomba baca puisi, lomba membuat cerpen, lomba pidato. namun masih dalam kapasitas dikerjakan dan didanai sendiri. Sekolah apalagi teman sejawat yang berlatar belakang bahasa malah kelihatan apriori. Mading sekolahpun saya yang mendanai sendiri, dikelola oleh kelompok yang saya bentuk. belakangan saya berusaha mengarah ke dunia blog, saya bentuk majalah dinding online http://wmskita.wordpress.com membentuk komunitas jurnalis muda http://bloggerampah.blogspot.com bahkan blog sekolahpun saya yang mengelola tanpa didukung oleh siapapun
Saya memang tidak menguasai bahasa yang baik, tapi saya bermimpi anak-anak saya bisa lebih hebat.
mohon maaf kalau komentar terlalu panjang dan tidak sesuai dengan topik. Karena kalau saya posting sendiri, tentu ada yang merasa “dizolimi”
wah, salut banget dengan upaya kerans kang bud utk mengarahkan siswa didik ke dunia blog. semoga lancar dan sukses, kang.
@Pak Budi: komennya kok panjang sekali, semangat pak
wah ada kak helvy juga ya pak… pasti pertemuan yang sangat seru. bertemu dengan teman yang sama2 berprofesi sebagai sastrawan. terkadang ingin juga berst bersastra, tapi sastra yang kuhasilkan hanyalah sastra picisan, hehehhe
hehe … iya, mbak liza, kebetulan sama2 diundang.
“keresahan terhadap fenomena hilangnya pendidikan karakter dan budi pekerti dalam ranah pendidikan kita” <<<< ternyata situasinya seperti ini ya pak..? hmmm..semoga akan menjadi awa kebangkitannya ya pak amin….
pakabar pak sawali?
salam, ^_^
amiiin, semoga hal itu memang bisa terwujud, mas didien. alhamdulillah, baik dan sehat, semoga mas didien dan keluarga juga demikian. salam hangat.
saya percaya dunia pendidikan kita akan berubah mennjadi lebih baik ketika semua komponen yg ada di negeri peduli..amin
amiiin, terima kasih supportnya, mas.
semoga semua agenda dan rencana yg tersusun oleh pihak² terkait demi kemajuan dunia pendidikan negri ini bisa terealisasi amin 🙂
amiiin, terima kasih doa dan suppprtnya, mas caride.
Saya setuju dengan apa yang telah disampaikan oleh CARIDe,
Maju terus pendidikan di Indonesia,..!!
terima kasih support dan dukungannya, mas.
Semoga dunia sastra kita semakin baik….
Karena sastra adalah wajah budaya dan akan menjadi saksi perjalanan peradaban kita
amiiin, seperti itulah harapan kita, mas xit.
Sastra adalah nama Mbah Lik saya. Karena itu saya memiliki cukup cinta kepada Sastra walaupun sebatas penikmat saja. Saya menyambut baik adanya festival sastra yang digagas itu. Akan tetapi, mohon maaf sekali, Pak Sawali. Kemarin saya lupa menelpon Pak Sawali bahwa saya tidak bisa meluncur ke DepDikNas. Begitu sampai kantor saya langsung dikerubut kerjaan dan rapat-repet. Mohon maaf ya, Pak. Saya akan mendukung apabila Sastra dibuat sebagai mata ajar tersendiri agar anak cucu saya kelak memiliki keseimbangan lahir dan batin.
hehe … ndak apa2, mas arif. habis ikut rapat, saya juga langsung pulang, kok. semoga lain kali kita bisa ketemuan.
pasti menarik tuh..
Bolehngeblog
amiiin, semoga demikian, mas karena ini baru olimpiade yang pertama kalinya.
amiiin, mudah2an demikian, mas.
sepakat pak, masalah budi pekerti memang harus mejadi perhatian bersama terutama orang tua dan kalangan pendidik
begitulah memang seharusnya, mas santri, setelah mata pelajaran budi pekerti dihapuskan.
setinggi-tingginya ilmu jika tidak dibarengi pekerti yang baik niscaya akan percuma,
pekerti harus ditengakkan
setuju, mas. orang pinter kalau ndak punya budi pekerti yang bagus, malah bisa menjadi sumber bencana, hehe …
Melalui karya sastra, anak-anak bisa mendapatkan contoh perilaku. Seperti yang diinginkan pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, dikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai.
Namun, hal tsb harus ada dukungan dari semua pihak, termasuk media. Sehingga perannya melibatkan seluruh masyarakat, orangtua murid, guru, pembina pendidikan, media cetak, radio dan televisi
setuju banget, bu eny. pendidikan budi perkerti agaknya tak cukup hanya diserahkan kepada sekolah, tetapi juga perlu ada sinergi dengan berbagai pihak.
Ya, Pak Dhe.. Saya turut mengamininya. Semoga!
hehe … terima kasih, mbak damai.
wah ada lagi pak, dulu berbasis kompetensi, sekarang berbasis karakter, apakah nantinya diperlukan banyak ahli psikologi untuk mengidentifikasi karakter siswa?
wah, sudah lama sih, mas dion, dunia pendidikan kita melibatkan psikolog.
🙂 metode yang bagus, saya dukung pak, semoga berhasil dengan hasil yang baik, dan maksimal
terima kasih support dan apresiasinya, mas rifky.
wah semoga sukse pak dan berjalan lancar … kapan yah acara serupa bisa diselenggara di Ampah…. saya suka sekali membaca postingan bapak habis banyak ilmu dan pelajaran yg bisa di ambil …..
nggak seperti postingan saya….asal posting aja…
pak jangan bosan2 yah memberikan masukan arahan dan bimbingannya untuk saya supaya saya bisa seperti bapak blognya bisa memberikan ilmu dan manfaat kepada yg membacanya …..
terima kasih support dan apresiasinya, mas bayu.
Pemimpin negara ini saja masih suka tawuran.
boro-boro sastra.
wah, itulah repotnya, mas. kaum elite kita yang seharusnya menjadi teladan malah menunjukkan perilaku sebaliknya.
ikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral
nah saya suka bagian yg ini pak … wah bisa di terapkan ini pak…
hehe … matur nuwun, mas bayu. ok, saya setuju banget itu, setidak2nya bisa kita mulai dulu dari lingkungan terdekat kita.
Mengingat pergeseran Karakter Bangsa yang semakin jauh, saya sangat setuju apabila pemerintah dan masyarakat secara bersama mengembalikannya pada koordinat yang sebenarnya. Semoga sukses acaranya dan salam hangat….
salam hangat juga, mas yussa. terima kasih support dan apresiasinya.
@ Bayu Putra : wah dah lengkap banget… dan untuk mengamalkan butuh kesungguhan dan tekad yg kuad… 🙂
betul sekali, mas, tanpa kesungguhan dan tekad, agaknya kegiatan apa pun ndak akan menuai sukses.
itu tugas berat para pendidik.
itu harus di mulai dari pribadi pendidiknya. pendidik harus mampu memberi suri tauladan. jangan sampai peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”
ungkapan GURU (di gugu dan di tiru) sepertinya sudah mulai luntur. PAHLAWAN TANPA TANDA JASA masihkah berlaku? (tapi mengapa klo tidak dapat gaji ke 13 guru pada demo?). ini salah siapa ? entahlah…..
ketika rasa pengabdian sudah terganti dengan mengejar materi. apa jadinya dunia pendidikan.
semoga hanya di tempat saya saja hal ini terjadi
terima kasih masukannya, mas. semoga rekan2 sejawat kembali ke “khittah”-nya sbg pendidik yang tdk hanya mengajar, tetapi juga menanamkan nilai2 akhlaq dan budi pekerti.
kok koment luvnya tidak keluar ya ?
wah, kalau soal yang satu ini, di luar pengetahuan saya utk bisa menjawabnya, mas, hehe ….
Sudah saatnya kita semua kembali ke suara hati kecil kita Paaakk..
Mengajar dengan sastra.. dengan rasa.. dan disampaikan dengan menyentuh jiwa..
wah, setuju banget, mas ari. seharusnya memang demikian, saya sangat setuju.
wah… seneng banget mas diundang acara tingkat nasional, selamat ya…
wah, bisa jadi salah alamat tuh, mas abi, orang pusat mengundang saya, haks.
nambah mas ah…
pasti banyak ilmu yg didapaet ya mas, selain nyebarin ilmu tentunya.
Semoga karirnya naik terusss ya mas, kali aja suatu saat jadi MENDIKNAS :x:x:x:x=((=((
.-= Baca juga tulisan terbaru abifasya berjudul "Mufti Mesir Mengharamkan Al Qur’an Sebagai Ringtone" =-.
wakaka … insyaallah nanti kalau mas abi yang jadi presiden, saya siap jadi mendiknas, hehe …
Semoga aja apa yang direncanakan bisa berjalan dengan baik 🙂
Semoga pendidikan menjadi lebih maju 🙂
Salam kenal 🙂
.-= Baca juga tulisan terbaru Zippy berjudul "Terinfeksi Virus Sality / W32" =-.
amiiin, terima kasih support dan apresiasinya, mas zippy.
saya salut dengan korea untuk masalah pendidikan berbasis karakter, lihat saja korea masih memegang sopan santun sampai sekarang..
tidak peduli kenal atau tidak..
contohnya..lihat saja film2 korea.. tidak ada satupun yang berani melawan orang yang lebih tua..dan mereka selalu menjaga sikap saat berhadapan dengan orang yang lebih tua (ini salah satu contoh saja)..
mungkin pak maman yang sedang ke korea juga menyadarinya 🙂
.-= Baca juga tulisan terbaru wahyu berjudul "Takut Jadi Pejabat" =-.
hmmm … kalau begitu tdk ada salahnya kalau bangsa kita mencontoh korea dalam soal pendidikan berbasis karakter, mas wahyu.
Pendidikan berbasis sastra beda nggak dengan gagasan Paolo Freire… saya sih lebih sepakat itu. Good Post mas… 😉
hmm … ada bagian2 yang mungkin sama, mbak fitri. gagasan paulo freireini kan mengkritisi dunia pendidikan yang bergaya bank dengan memperlakukan siswa sbg penghafal kelas wahid yang melulu berorientasi pada kemampuan akademik.
semoga program tersebut dapat terlaksana sesuai rencana, lancar dan sukses sesuai harapan plus kontinyuuuuu….. karena kalau hanya sekali dua kali saja sepertinya akan terasa sulit untuk mengubah budaya negatif yang telah melanda para pelajar masa kini 🙂 *semangat pak*
amiiin, terima kasih support dan apresiasinya, mas addie.
Sepakat dengan Anda dan komentarnya Uda Vizon, Pak sawali….
Semoga ini menjadi langkah yang semakin nyata dan tidak kandas lagi di alam mimpi…
.-= Baca juga tulisan terbaru DV berjudul "Little Nyonya" =-.
amiin, memang hal seperti itulah yang kita harapkan, mas don. repot kalau program bagus hanya sekadar jadi mimpi.
Apapun, untuk kebaikan, pasti akan didukung.. Semoga benar-benar dapat terealisasi dan benar memberikan kemajuan 🙂
.-= Baca juga tulisan terbaru Ongki berjudul "Talkmania – Kring Kring Sering Sering" =-.
amiiin, terima kasih mas ongkie. semoga gagasan mulia ini secara bertahap bisa terwujud.
setuju.. menanamkan budi pekerti sejak kecil.
menanamkan jiwa sastra juga sejak kecil. mungkin juga bisa melalui media go Blog
.-= Baca juga tulisan terbaru wibisono berjudul "Telaga Sarangan" =-.
betul sekali, mas wibisono. agaknya, blog pun bisa menjadi salah satu media yang tepat utk ikut berkiprah dalam membangun pendidikan berbasis karakter itu.
Indah sekali kalau sastra religi dimasukkan dalam kurikulum, sangat menyedihkan anak-anak terlalu banyak disuguhi tayangan dewasa dan tingkah laku yang tidak bertanggunjawab dalam masyarakat! Sehingga mereka bukan anak-anak lagi tapi anak-anak yang dewasa negatif!
.-= Baca juga tulisan terbaru nuansa pena berjudul "Kubiarkan diriku ditelanjangi" =-.
itulah yang sering tidak disadari oleh para pengambil kebijakan, mas. sastra hanya dinomorsekiankan, bahkan dalam kurikulum, statusnya dinunutkan pada mapel bahasa.
wee Mbak helvy pembicaranya 🙂
mampir aja pak 🙂
hehe … bukan, mas heri. ini rapat koordinasi menjelang pelaksanaan olimpiade sastra tingkat SD/MI, kok.
Mulai dari yang kecil mulai dari diri sendiri dan keluarga mulai dari sekarang… mantap mas….
.-= Baca juga tulisan terbaru Jauhari berjudul "Selamat Hari Lahir Anakku" =-.
terima kasih aupport dan apresiasinya, mas jauhari.
langkah yang baik, sangat baik. karakter butuh, tak hanya “perlu”, dibentuk. karakter tak hanya dari nilai rapor. butuh bertahun-tahun. mesti intensif dan melintas: transtemporal, transparsial, trans ….
thaks juga karena bisa jadi langkah besar di lain tempat.
betul sekali, mas henri. makin repot kalau dunia pendidikan hanya diorientasikan ke ranah akademik semata.
:x:x:x
aku cinta guru….:x:x:x
harus, dong, mas bayu juga guru, kan? hehe …
Yup, tapi sebaiknya karya sastra dikemas dalam bentuk yang sesuai untuk
anak-anak jaman sekarang supaya mereka tertarik dan tidak boring 😡
.-= Baca juga tulisan terbaru Andah berjudul "Asmirandah – Foto #21" =-.
setuju banget. kalau toh teks sastranya tergolong serius, proses apresiasinya dikemas menjadi lebih menarik dan komunikatif.
mm, kearifan budaya lokal memang seharusnya di pertahankan pak ..
mencinatai budaya-budaya lokal sendiri tidak terlepas dari pemahaman dan kesdaean berkeyakinan kpada tuhan YME
.-= Baca juga tulisan terbaru afwan auliyar berjudul "search engine spider simulator, cara mengetahui kerja spider" =-.
seharusnya memang demikian, mas afwan. makin rumit dan kompleks persoalan di negeri ini kalau tdk ada sentuhan kearifan budaya lokal.
“meruyaknya bahasa ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa”
hmm… bahasa ekonomi dan politik yang merusak itu yang bagaimana pak?
.-= Baca juga tulisan terbaru Dhany berjudul "Apa sih yang Google Mau?" =-.
hmmm … menurut saya tayangan2 di media TV yang sarat dengan tampilan kaum politisi kita yang kurang santun dan juga maraknya dunia usaha yang sarat dengan perilaku anomali, menurut saya termasuk bahasa kekerasan juga tuh, mas dhany, hehe …
hmmm, semoga aja pendidikan dinegri kita ini bisa menjadi lebih maju….
and semoga rencananya berjalan dengan sukses ya,……….:d
.-= Baca juga tulisan terbaru ILHAM berjudul "Prilaku yang Salah Disaat Tidur" =-.
amiiin, terima kasih support dan apresiasinya, mas ilham.
bagus banget… bidikannya pada pengembangan karakter…
lebih mengasah kemampuan intuitifnya gitu ya kira-kira
elmoudy likes this 🙂
.-= Baca juga tulisan terbaru elmoudy berjudul "Avatar" =-.
hmm … begitulah kira2,mas elmoudy,hehe …
Aku suka tulisan njenengan, 😡 😡 😡
Maju terus Pendidikan Indonesia,,,
.-= Baca juga tulisan terbaru Mr.eL berjudul "Cerita Uang Palsu di @lhikmahdua.net" =-.
terima kasih apresiasinya, mas. kita bisa share, kok, hehe …
Hmmm, jadi inget materi obrolan dengan seorang teman dari Madura kemarin malem. Obrolan bermula dari pengakuannya yang tidak pernah menonton karapan sapi, lalu melebar pada tiadanya materi/pelajaran di sekolah yang mengajarkan tentang budaya dan sastra Madura. Ini tentu saja hal yang ironis. Dan inilah yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia dewasa ini.
.-= Baca juga tulisan terbaru Bung Eko berjudul "Ditawari Beriklan di Detik" =-.
betul sekali, bung. keterpukauan penguasa pada dunia iptek agaknya telah menihilkan kepedulian mereka utk mengangkat dan mengembangkan nilai2 kearifan lokal melalui dunia pendidikan. doh, makin rumit, nih.
dengan sastra yang baik membuat pertemanan yang baik pula
ok, mas rudi. saya setuju banget dengan pendapat semacak ini.
sastra membentuk karakter manusia dan bangsa.
kalau butuh aksses internet murah bisa mampir di HamaSale Shop. thanks
.-= Baca juga tulisan terbaru hamasale berjudul "Paket Internet Unlimited dan Modem Huawei E1550 – Rp. 550.000" =-.
terima kasih infonya, mas.
waduh. kenapa pak sawali ga sms. saya kan udah sebulan di jakarta.
bakal kuajak jalan-jalan lagi pak 🙂
.-= Baca juga tulisan terbaru novi berjudul "Tips Memilih Motor Bekas (Video)" =-.
walah, ndak tahu, mas novi. kirain di surabaya, hehe …
andaikan kata “sastra” ini dibnbuat jadi lebih enak didengar dan lebih ngepop pasti banyak yang tertarik,..kayaknya kata “sastra” ini diasosiasikan seperti sesuatu yang “berat” bagi otak2 yang tidak mengenalnya..
hmm … bisa jadi lantaran pengajaran apresiasi sastra di sekolah, mas. sebenarnya anggapan kalu sastra itu berat ndak bener jugam, tuh, hehe … cara penyajiannya mungkin yang perlu diubah.
:x:x:x
nggak ada bosan-bosannya saya membaca postingan pak sawali… karena penuh syarat dan makna…(bisa jadi insfirasi juga)…
hehe … jangan bikin saya jadi ge-er, mas bayu,hehe … tulisan biasa saja, kok.
semoga tidak berhenti di tingkat TK/SD..
karena siapa tahu,setelah masuk masa pubertas jadi lupa lagi dengan apa yang didapat :)>-
.-= Baca juga tulisan terbaru Pradna berjudul "Komputer di Rumah Kayu" =-.
hehehe … jadi inget sama ucspan gus dur saat jadi presiden,wakaka ….
saia setuju dg ide membangun pendidikan berbasis karakter melalui sastra, pak…
karena sastra intinya adalah menekankan pada sisi ‘humanisme’ manusia…
dan itu yg saia pikir tdk ada di pelajaran lain, seperti matematika, fisika, sejarah, atau yg lainnya…
dg pendiidikan sastra, kita dpt memperbaiki moral anak bangsa… 🙂
setuju, mbak vany. kedua ilmu ini: iptek dan humaniora, agaknya memang sama2 diperlukan utk membangun peradaban maju yang humanis.
Saya senang kalau ada aktivis pemikir macam Anda, Bung Sawali. Semoga Anda bisa terus berbagi. Karena, konon, penyakit umum orang Indonesia dalam hal operasi hitung adalah “tidak bisa membagi”, meski dalam soal menambah, mengurang, dan mengali sangat jago. Tapi tiga kompetensi yang terakhir inilah yang disinyalir sebagai embrio tindak kuropsi di negeri kita selama ini. Salam.
terima kasih support dan apresiasinya, mas jamal.
karakter bangsa harus dibangun kembali setelah hancur berkeping-keping terhantam kesombongan diri….
hmm … semoga kesombongan itu tak terjadi lagi, ya, mas.
memang benar anak sd/mi sebagai langkah awal atau dasar peletakan profile dan sikap. tetpai sesuatu yang sudah diletakkan tanpa di asah kembali tentunya akan sia-sia Kang…. karakter anak akan terbentuk bila terbiasa, maka lanjutkan ke jenjang berikutnya kang jangan cuma sd/mi saja……tetap semangat
.-= Baca juga tulisan terbaru aakdidik berjudul "Hujan Senja Ini" =-.
tugas kita utk terus mengasahnya, aak.
Saya setuju dan mendukung penuh program ini.
Salam kenal, pak Sawali dari ibu guru di Tangerang
.-= Baca juga tulisan terbaru Ms. Resty berjudul "PAIKEM, Secantik I2m3-kah Dirimu?" =-.
salam kenal juga, bu resti. terima kasih kunjungan dan komentarnya.
Setuju pak.
M.Nuh satu-satunya menteri yang secara tegas mementingkan pendidikan karakter. kalo ga salah dulu ada gagasan memadukan IPTEK dan IMTAQ. jadi mendidik anak bangsa bukan saja tugasnya guru BP yang porsinya jamnya sedikit. tapi tugas semua guru mapel dan elemen sekolah hendaknya membrikan karakter yang baik…
ga usahlah ada mata pelajaran khusus PEndidikan karakter. tapi.. integrasikan pembinaan karakter pada setiap mata pelajaran….jadi bukan aspek kognitifnya saja yang ditekankan…. kasihan anak2 kita.. beban pelajarannya sungguh banyak…
kita tunggu langkah konkret pa MEnteri….
setuju banget, pak. pendidikan karakter memang ndak perlu jadi mapel tersendiri, tapi diintegrasikan lintasmapel. sudah terlalu banyak kok mata pelajaran yang ada dalam kurikulum.
nice infoo…
check thiis…
:D
^click^
Pingback: OSI dan CT-BSI: “Investasi Sastra” Masa Depan » Catatan Sawali Tuhusetya
Pingback: OSI dan CT-BSI: “Investasi Sastra” Masa Depan « Attorney Legal Blog
Pingback: OSI dan CT-BSI: “Investasi Sastra” Masa Depan « Attorney Legal Blog
Berbicara mengenai pendidikan tidak bisa lepas dari unsur pembentukan karakter. Namun sayang, nilai-nilai karakter belum sepenuhnya terintegrasi secara otomatis dalam proses pendidikan. Orientasi pendidikan masih berkutat pada bagaimana mengasah kognisi siswa, belum sepenuhnya menyentuh pada tataran mempertajam karakter peserta didik. Hal ini nampak pada fenoma di masyarakat kita saat ini, dengan kian maraknya tawuran antar pelajar, perilaku remaja yang menyimpang dan masih banyak lagi kejadian yang jauh dari nilai-nilai karakter yang mestinya sudah tertanam sejak mereka duduk di bangku sekolah
Everything typed made a great deal of sense. However, consider this, what if you added
a little content? I mean, I don’t wish to tell you how to run your blog, however
what if you added a title that grabbed a person’s attention?
I mean Membangun Pendidikan Berbasis Karakter melalui Sastra: Catatan Sawali Tuhusetya is
a little boring. You could peek at Yahoo’s front page and note how they create news titles to get viewers to open the links.
You might try adding a video or a related picture or two
to get people excited about what you’ve got to say.
Just my opinion, it could make your website a little bit more interesting.