Mengembalikan Jati Diri Bangsa melalui Reformasi Kultural

baronganKontes SEO bertema Mengembalikan Jati Diri Bangsa yang digelar BeritaJitu.com sungguh menarik diikuti. Bukan lantaran SEO-nya, melainkan temanya yang memang menantang untuk dikaji dan didiskusikan. Secara jujur, kita mesti mengakui, bahwa jati diri bangsa kita belakangan ini memang menampakkan potret buram. Nilai-nilai kesejatian diri bangsa yang dulu terekspresikan melalui sikap ramah, santun, setia kawan, gotong royong, dan sikap-sikap fatsun kehidupan yang lain, makin memudar di tengah meruyaknya sikap pragmatis, materialistis, konsumtif, dan hedonis. Sikap ke-kita-an telah berubah menjadi sikap ke-kami-an, bahkan dinilai telah terdegradasi ke dalam sikap ke-“aku”-an. Dalam konteks demikian, tidak berlebihan apabila perlu ada upaya serius untuk mengembalikan jati diri bangsa yang dinilai telah hilang itu.

Pada saat awal-awal kebangkitan nasional, persoalan ke-aku-an, etnisitas dan kesukuan melebur menjadi sebuah kekuatan dahsyat hingga mampu memercikkan semangat pembebasan dari nilai-nilai kolonialisme yang dengan amat sadar dilakukan oleh kaum penjajah. Tonggak kebangkitan nasionalisme itu juga telah merangsang tumbuhnya keinsyafan kolektif sebagai bangsa yang bermartabat, terhormat, dan berdaulat. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”; begitulah adagium yang mampu memompakan semangat juang untuk menyatu dalam sebuah wadah kebersamaan menuju “Indonesia Baru”; Indonesia yang merdeka; bebas menentukan nasib sendiri; tanpa intervensi.

Nilai-nilai Kesejatian Diri yang Tererosi
Seiring dengan perubahan yang terus terjadi, sejak masa prakemerdekaan hingga pascakemerdekaan, nilai-nilai kesejatian diri itu dinilai juga mengalami pasang-surut. Dengan nada sedih, kita harus jujur mengakui bahwa nilai-nilai jati diri di negeri ini terus mengalami erosi. Tanpa bermaksud menjadikan nilai-nilai modernisme dan globalisme sebagai kambing hitam, disadari atau tidak, kita juga telah terperangkap, bahkan terjebak ke dalam nilai-nilai pragmatisme. Pergeseran nilai terus terjadi di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Semangat dan roh para pendiri negeri ini (nyaris) hanya memfosil dalam buku-buku sejarah dan museum. Selebihnya, kita telah “menuhankan” hal-hal yang pragmatis; politis dan ekonomis. Keinsyafan kolektif sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat, disadari atau tidak, telah menjelma menjadi kelatahan sikap yang memuja kebendaan dan kenikmatan semu. Bendera materialisme dan hedonisme terus berkibar di ranah-ranah publik. Secara kolektif, kita telah masuk perangkap pemujaan dan perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes materiil dan praktis.

Yang menyedihkan, upaya pewarisan semangat jati diri selama ini dinilai telah tereduksi oleh kekuasaan. Pemberangusan buku-buku sejarah, misalnya, adalah sebuah contoh konkret betapa fakta-fakta sejarah menjadi demikian rentan terhadap penafsiran penguasa. Buku-buku sejarah yang dinilai tidak berpihak kepada penguasa dibrangus tanpa ampun. Bisa ditebak, yang terjadi kemudian adalah pembonsaian generasi dan anak-anak bangsa. Mereka sengaja dikerdilkan dan dihambat pertumbuhannya agar tak bisa bebas mengerti persoalan masa lalu yang pernah dialami oleh masyarakat dan bangsanya. Dalam kondisi demikian, tidak berlebihan apabila banyak anak-anak negeri ini yang tidak tahu sejarah yang benar mengenai jati diri bangsa dan negerinya sendiri.

Mengembalikan Jati Diri Bangsa
Kini, kita sudah merasakan atmosfer reformasi lebih dari satu dekade. Pertanyaan yang muncul adalah sudah adakah perubahan yang cukup bermakna dalam upaya mengembalikan jati diri bangsa yang dinilai telah tererosi itu? Lantas, bagaimana dengan bidang kebudayaan? Dengan nada sedih harus dikatakan bahwa budaya merupakan ranah yang tak tersentuh oleh reformasi, bahkan semenjak negeri ini berada di atas tungku kekuasaan Orde Baru. Kebudayaan benar-benar menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal.

Lihatlah, betapa –meminjam istilah Slamet Sutrisno (1997) — semakin tidak intensnya seseorang dalam memburu jati diri yang lebih bermartabat. Perburuan gengsi yang berkembang dalam kelatahan membuat orang mengejar keberhasilan secara instan, entah melakukan korupsi atau usaha magis melalui cara mistis dalam memperoleh kekayaan. Pada hakikatnya mereka gemar menempuh terobosan dan “jalan kelinci” dengan sukses gaya “Abu Nawas”. Kursi empuk kepejabatan, titel, dan kedudukan keilmuan pun tak jarang disergap melalui kelancungan dalam ilmu permalingan”.

Agaknya, bangsa kita memang telah “ditakdirkan” untuk menjadi bangsa pelupa. Kita (nyaris) tak pernah belajar pada pengalaman-pengalaman masa silam. Yang sering kita ingat, bukan esensinya, melainkan asesorisnya. Kita lupa bahwa pada awal-awal pergerakan nasional, para pendiri negeri ini dengan amat sadar menyentuh persoalan kebudayaan sebagai basis perubahan dalam upaya menggapai jati diri. Kebudayaanlah yang telah menyatukan berbagai kelompok etnis dan suku ke dalam sebuah wadah, sehingga mampu menorehkan tinta sejarah melalui Gerakan Budi Utomo (1908) yang dikokohkan kembali melalui Sumpah Pemuda (1928). Berkat sentuhan kebudayaan, mimpi “Indonesia Baru” yang merdeka dan berdaulat akhirnya menjadi sebuah kenyataan.

Upaya mengembalikan jati diri bangsa itu agaknya hanya akan menjadi sebuah mimpi apabila ranah kebudayaan tak disentuh. Satu dekade lebih perjalanan reformasi seharusnya sudah mampu memberikan kemaslahatan publik dalam upaya mengembalikan jati diri yang dinilai telah hilang itu. Telinga kita sudah demikian jenuh mendengar bahasa politik dan ekonomi yang tak henti-hentinya mengedepankan “siapa yang menang” dan “apa untungnya”. Sudah saatnya kita memperluas makna perubahan dengan menyentuh akar-akar kebudayaan dengan mengedepankan pertanyaan “apa yang benar”.

Itulah yang selama ini kita lupakan sehingga lebih dari satu dekade reformasi belum juga menumbuhkan optimisme hidup dalam mengembalikan jati diri bangsa yang hilang. Kita merindukan “keinsyafan kolektif” untuk menyentuh kebudayaan sebagai salah satu dimensi kehidupan dalam menggapai kesejatian diri bangsa yang terhormat dan bermartabat. ***

Tulisan ini sekaligus juga sebagai bentuk dukungan terhadap tulisan “Mengembalikan Jati Diri Bangsa: Haruskah Menjadi Sebuah Utopia?” yang diikutsertakan dalam kontes SEO yang digelar oleh beritaJitu.com untuk yang pertama kalinya.

15 Comments

  1. Mengembalikan Jati Diri Bangsa melalui Reformasi Kultural…

    Kini, kita sudah merasakan atmosfer reformasi lebih dari satu dekade. Pertanyaan yang muncul adalah sudah adakah perubahan yang cukup bermakna dalam upaya mengembalikan jati diri bangsa yang dinilai telah tererosi itu? Lantas, bagaimana dengan bidang k…

  2. sepertinya bukan hanya lupa, namun terkesan lebih melupakan. karena apa yang ingin dicapai penguasa saat ini jauh dari apa yang diharapkan pejuang/pemikir jaman dulu (doh)

    dalam jaman globalisasi seperti ini
    mengembalikkan apa yang harusnya dikembalikan
    sepertinya hanyalah angan-angan saja, dan
    kalau pun memang ada, itu hanyalah secuil saja

    (gym)
    .-= katakataku´s last blog ..Bayangan Perubahan =-.

  3. Kerinduan yang sangat terhadap kembalinya jati diri bangsa, kerinduan itu tidak sendirian, banyak kerinduan-kerinduan yang terbenam atau sengaja dibenamkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *