Setiap memasuki bulan Mei, memori kita belum juga bisa melupakan peristiwa pahit yang terjadi 11 tahun silam. Nurani kita benar-benar terluka akibat meruyaknya aksi kekerasan yang –disadari atau tidak– telah tumbuh menjadi “bahaya laten”. Kita bisa berbuat demikian biadabnya terhadap bangsa sendiri. Agaknya, bangsa kita telah lama terkurung dalam tempurung –meminjam istilah Nurcholish Madjid– “kebangkrutan sosial” sehingga menjadi gelap mata dan gampang kalap. Sorotan dunia internasional pun makin tajam membidikkan stigma sebagai sebuah bangsa yang paling sering melanggar HAM terhadap sesama warga bangsa. Namun, nyali kita menjadi ciut ketika bangsa ini dihina dan dilecehkan oleh negeri jiran.
Sungguh, Tragedi Mei 1998 telah meluluhlantakkan basis-basis kemanusiawian kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Dari dalam luluh-lantak, dari luar hancur berkeping-keping. Lagi-lagi, saya diingatkan oleh lirik tragis sahabat saya, Budi Maryono:
Seandainya Garuda Pancasila bisa menangis
Kita akan tenggelam ke dalam banjir
air matanya
Ya, tanpa bermaksud bersikap sentimentil dan hiperbolis, agaknya bangsa kita memang telah lama “memberhalakan” kekerasan setiap kali terjadi perubahan. Repotnya, kita gagal mengelola perubahan itu. Bahkan, disadari atau tidak, perubahan telah membawa implikasi bergesernya nilai-nilai luhur baku, sehingga kita (nyaris) gagal menciptakan atmosfer kebangsaan yang lebih visioner dan manusiawi. Terjadilah siklus kekerasan yang terus berulang pada setiap dimensi ruang dan waktu. Haruskah kita kalah dengan keledai yang tidak mau terperosok ke dalam lubang yang sama?
Tapi, sudahlah. Kita memang hanya bisa berharap agar negeri ini bisa menjadi sebuah “Indonesia Baru” tanpa kekerasan dan diskriminasi. Kita juga sudah terlalu capek dan lelah cakar-cakaran dengan sesama bangsa sendiri. Untuk menimbulkan efek jera, kita juga perlu terus melakukan pressure kepada pemerintah untuk mengusut tuntas para pelaku kejahatan kemanusiaan yang jelas-jelas telah meruntuhkan basis-basis kemanusiawian kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. ***
Jelas, negeri tanpa kekerasan tentu merupakan idaman tiap orang. Saya sepakat, bahwa pengusutan tuntas para pelaku kejahatan kemanusiaan ini merupakan pintu strategis untuk menghapus pembenaran kalau setiap perubahan itu akan memakan korban dalam bentuk manusia dan terlebih lagi kemanusiaan.
23 Mei 1997 juga menjadi peristiwa kelam di Banjarmasin Pak. Ratusan korban tewas dan terpanggang disebuah tempat, belum lagi yg hilang sampai saat ini. Terkait dengan perubahan yang bernama Pemilu !!!
🙁
Baca juga tulisan terbaru Pakacil berjudul Geliat Bisnis Belut Kalimantan Selatan
Gusti Allah paringana pangapura…..
Baca juga tulisan terbaru Bawor berjudul Lanjutkan!!!
semoga para korban dapat tempat yg baek….