Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian II-Habis)

(Tulisan ini merupakan lanjutan “Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian I)”)

Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Sesungguhnya masih banyak ragam bahasa media (cetak) yang mengalami gejala deviasi. Beberapa contoh sebelumnya hanya sekadar bukti betapa ragam bahasa media selama ini sangat dipengaruhi oleh keterbatasan rubrikasi dan persoalan industri yang berorientasi untung-rugi. Lalu, bagaimana posisi ragam bahasa media dalam perspektif pembelajaran bahasa? Bisakah ragam bahasa media (cetak) yang seringkali bertabrakan dengan kaidah kebahasaan dijadikan sebagai bahan ajar?

Pada era sekarang, guru di sekolah bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa didik. Seiring dengan membanjirnya arus informasi yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu, kapan dan di mana pun seorang siswa bisa mendapatkan informasi dari berbagai media. Melalui surat kabar, misalnya, seorang siswa mampu memperoleh setumpuk informasi hangat dan aktual tanpa harus menguras energi, waktu, dan biaya untuk melacak sumber berita pertama.

Dalam konteks demikian, kehadiran media (cetak) sangat membantu guru bahasa dalam meningkatkan mutu proses pembelajaran di sekolah. Pertama, dapat meningkatkan minat baca siswa. Ragam bahasa media (cetak) sangat berbeda dengan ragam bahsa dalam buku teks yang cenderung kaku dan monoton. Dengan ragam bahasa jurnalistik yang lebih lincah, ringan, dan menghibur, media (cetak) bisa dijadikan sebagai media alternatif bagi siswa dalam mendapatkan informasi-informasi yang hangat dan aktual sekaligus menghibur. Ini artinya, media (cetak) bisa memberikan sumbangsih yang cukup berarti dalam mencerdaskan anak-anak bangsa yang tengah gencar memburu ilmu di bangku sekolah. Dengan kata lain, media (cetak) bisa ikut meringankan beban gur dalam merangsang daya pikat siswa terhadap bahan bacaan.

Kedua, medai (cetak) pada umumnya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan siswa. Salah satu daya tarik media (cetak) bagi publik adalah keterlibatan media yang bersangkutan dalam menayajikan berita-berita yang secara kontekstual memiliki kedekatan kultural dengan dunia pembaca. Pembaca (sisa) jelas akan lebih tertarik untuk menyimak berita-berita lokal yang berkaitan dengan wilayah “teritorial”-nya daripada “menikmati” sajian berita tentang daerah lain yang secara kultural tidak dikenalnya. Oleh karena itu, sangat beralasan jika ada anggapan yang menyatakan bahwa seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), media-media (cetak) lokal akan makin eksis di tengah-tengah dinamika dunia pendidikan karena munculnya pendekatan kontekstual yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran di kelas yang memberikan keleluasaan kepada para guru untuk mendekatkan dunia siswa pada budaya lokal.

Ketiga, informasi-informasi yang disajikan media (cetak) bisa dipilih oleh guru untuk dikemas sebagai media dan materi ajar di kelas yang menarik dan menyenangkan. Sudah lama dunia pendidikan di negeri ini terpasung di atas tungku kekuasaan rezim penguasa lewat kebijakan-kebijakannya yang serba sentralistis dan otoriter dalam bentuk penyeragaman buku teks yang wajib dipelajari sisa, tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang sosial-budaya siswa didik. Akibatnya, kepekaan peserta didik dalam menangkap fenomena-fenomena sosial-budaya yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya menjadi mandul. Guru sebagai profesi yang otonom dan mandiri pun telah kehilangan kemerdekaan untuk mengoptimalkan kreativitasnya dalam mengelola pembelajaran di kelas. Guru harus selalu patuh dan tunduk pad apetunjuk atasan yang acapkali kurang relevan dengan kondisi riil. Dengan menggunakan teks-teks bacaan dari media (cetak) lokal yang secara kontekstual memiliki kedekatan kultural dengan dunia siswa, guru bisa mengasah kepekaan peserta didik dalam memahami denyut kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya sebagai bekal mereka dalam memasuki kehidupan yang sesungguhnya.

Keempat, ragam media (cetak) bisa dijadikan sebagai sarana bagi guru dalam memperkaya kosakata. Setiap hari, media (cetak) hadir mengunjungi pembacanya. Beragam kosakata yang selama ini luput dari perhatian guru pun bermunculan. Dalam kondisi demikian, mau atau tidak, guru bahasa “dipaksa” memahami makna kosakata yang baru dikenalnya melalui kamus atau sumber yang lain. Ini artinya, kehadiran media (cetak) ikut memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi guru dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.

Meskipun demikian, bukan berarti ragam bahasa media (cetak) dalam perspektif pembelajaran bahasa hadir tanpa cacat. Banyaknya gejala deviasi yang muncul dalam judul berita, penggunaan tanda baca, diksi, struktur kalimat, penataan paragraf, pemenggalan suku kata, atau penggunaan konjungsi bisa menimbulkan masalah tersendiri bagi guru bahasa dalam proses pembelajaran di kelas. Guru bahasa jelas tidak bisa menyalahkan siswa ketika mendapatkan contoh-contoh konstruksi bahasa yang secara substansial dianggap bertentangan dengan apa yang telah disajikan guru di kelas.

Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan mustahil seruan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan kearifan dan kepekaan insan pers untuk mengemas informasi melalui penggunaan bahasa yang terpelihara dengan baik, tanpa harus
meninggalkan kadiah-kaidah bahasa. Selain itu, media (cetak) diharapkan juga mampu menjadi media yang mencerahkan dan mencerdaskan publik; lincah memburu berita dan santun mengemas bahasa. Hanya dengan cara demikian, media (cetak) tertentu akan tetap disegani dan dicintai publik di tengah-tengah menjamurnya media yang suka mengumbar sensasi melalui penggunaan ragam bahasa yang seronok, vulgar, dan provokatif. *** (habis)

88 Comments

  1. Ragam bahasa media kadang bisa dijadikan contoh bahasa yg kurang bagus pak

  2. Ada banyak hal mengapa bahasa media salah (dalam arti sebenarnya)
    1. Kemampuan pembuat berita tentang bahasa yang masih rendah. Banyak wartawan yg hebat dalam hunting (mencari berita/reportase) namun kurang pandai menyusun kalimat dengan bahasa yang benar.
    2. Karena itu di media cetak ada editor bahasa yang mengecek keseluruhan tata bahasa sebelum berita naik cetak. Di media-media besar bahkan ada QC (quality control) sebagai palang pintu terakhir biar tak ada kesalahan. Persoalannya, banyak media yang jumlah editor bahasanya tak memadai (karena banyak faktor). dll
    Tapi saya sepakat bahwa kesalahan itu harus dibuang jauh-jauh karena merupakan bentuk pembodohan…he..he..

  3. ya itulah pak, kadang bahasa media kalau ada yang kecil bisa dibesar-besarkan, dan yang besar dibikin lebih besar lagi 🙁

    Baca juga tulisan terbaru arifudin berjudul Nuansa Bening

  4. saya lebih suka jika disebut sebagai seni pak bukan deviasi, mungkin karena saya tidak suka dengan yang namanya regim, terutama regim dalam berbahasa, memang harus ada yang namanya buku putih berbahasa Indonesia yang baik dan yang benar, … serta bagaimanapun juga seni atau deviasi itu bisa sebagai asupan nutrisi bahasa atau selera bahasa yang harus dipermaklumkan juga sebagai sebuah kekayaan olah rasa dan pikir meskipun untuk sebuah kepentingan tertentu, bukankah gaya berbahasa juga membawa nilai yang bisa dikategorikan pula… 🙄

    • @suryaden,
      hehe … mungkin bisa dikategorikan sbg seni kalau ndak sampai mengubah maksud pemberitaan, mas surya. tapi kalau kalau maksud kalimatnya jadi jauh menyimpang, mungkin bisa dibilang sbg gejala deviasi.

  5. Saia sangat setuju bila media cetak dikatakan sangat membantu keragaman bahasa.. Dengan begitu usaha percetakan saia akan tetap senantiasa berproduksi..
    *lho apa hubungannya dengan postingan ini? maaf pak..

  6. Ya, susahnya berbahasa sekarang itu, kata2 sering di belok kan sana dan sini pak, jadi makna sesungguhnya dari kata2 itu sekarang lebih banyak ambigu untuk jaman saat ini

  7. ragam bahasa media memang di sesuaikan dengan bahasa pada perkembangan jaman sekarang.

  8. zee

    Mas Sawali,
    Media yang baik punya editor yang akan mensunting bahasa dari isi berita sebelum dipublish.

    Tapi, beberapa media (koran) justru mendapat oplah tinggi dari penggunaan bahasa yang acak kadut. Semakin berantakan judul berita, semakin laku koran itu.

    Jadi mungkin memang mental pembacanya yang harus dibenahi juga 😀 Wong mereka doyan…. hehee..

    • @zee,
      hehehe … memang benar, mbak zee. media seringkali mengikuti selera pasar. ada bagusnya tuh, mbak, masyarakat pembaca perlu memberdayakan diri.

  9. saya tertarik dengan kalimat ini, Pak….

    Sudah lama dunia pendidikan di negeri ini terpasung di atas tungku kekuasaan rezim penguasa lewat kebijakan-kebijakannya yang serba sentralistis dan otoriter dalam bentuk penyeragaman buku teks yang wajib dipelajari sisa, tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang sosial-budaya siswa didik.

    Dan, sayangnya, sentralisasi dan industrialisasi dalam pendidikan masih terus berlangsung. 🙂

    (habis) <= ending yang dramatis. :mrgreen:

    Baca juga tulisan terbaru denologis berjudul Roll of the Role

  10. adipati kademangan

    media (cetak) bisa saja menampilkan bahasa sesuai dengan tujuannya. ada yang menggunakan bahasa baku sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, ada pula yang menggunakan bahasa gaul atau bahasa kacau untuk menaikkan oplah. Namun di sisi lain media (cetak) juga dilema, mereka harus memberikan panutan mana bahasa yang baik dan mana bahasa yang kurang baik karena bahasa yang baik harus disebarkan melalui media (cetak) juga.

  11. mungkin persoalan mengkomunikaikan sebuah informasi menjadi lebih bisa persuasif mengajak dan menelaah. kebebasan dalam mengulas sebuah informasi seakan menjadi lebih menyatu dengan penentuan gaya bahasa yang orang bilang lugas!

    persoalannya apakah setiap orang bisa setuju dengan gaya bahasa media. mungkin boleh dibilang meng-amini karena ada ketertarikkan yang dimunculkan oleh keragaman itu

    Baca juga tulisan terbaru senoaji berjudul Eman

    • @senoaji,
      konon media memang memiliki tiga tujuan, mas seno: utk menyampaikan informasi, menghibur, dan memengaruhi orang lain. sebagai media publik, bahasa macam apa pun pilihannya mungkin sah2 saja, asalkan ketiga tujuan tersebut dapat tercapai.

  12. bahasa mediamassa, adalah bahasa bisnis, bahasa konsumen (a.k.a menggaet konsumen)

    Jadi kalo pun mau dipaksa masuk sbg bahan ajar, nama pelajarannya mungkin “Pelajaran Bahasa Bisnis” pak…hehehe.

    Baca juga tulisan terbaru xitalho berjudul Boneka Cantik Dari India

    • @xitalho,
      walah, baru denger istilah ini utk yang pertama kalinya, mas, hehe … ada2 saja, memang harus diakui bahasa media tak luput dari upaya utk menggaet pasar. meski demikian, ada juga kok media yang masih tergolong memiliki idealisme sehingga bahasanya tetep terjaga dan terpelihara.

  13. DV

    Intinya berarti gini ya Pak,
    hadirnya media bisa membuat “besar” bahasa dan di sisi lain bisa “meruntuhkan” bahasa juga?

    Kalau saya malah tertarik dengan ide “membiarkan bahasa bermetamorfosa” dengan adanya media-media, gimana Pak? Kira-kira malah hancur atau berkembang Bahasa kita itu?

    haks!

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Koruptor Laknat atau Korupsi Laknat?

    • @DV,
      hehe … pasti bahasa media akan menyesuaikan selera bahasa konsumennya, mas dony, karena merena ndak mau kehilangan pembacanya. saya kira bahasa kok ndak akan pernah hancur, mas, selama masih ada penggunanya. persoalan pengguna mau bertaat asas apa tidak, itu sudah masuk pada ranah yang berbeda.

  14. bahasa media adalah bahasa yang mengejar :
    1. jumlah karakter
    2. bombastis, biar orang yg baca jadi tertarik beli
    jarang yg mengindahkan apakah itu bahasa baku atau tidak.

    Baca juga tulisan terbaru ciwir berjudul Sub Terminal Agribisnis

  15. ragam bahasa sekarang amburadul ya Pak, banyak bahasa-bahasa gaul yang aneh.

    “mbak cutie, kapan mosting busananya ny. obama yang konon pernah bikin heboh dunia saat dikenakan dalam pelantikan obama?”

    ini casual cutie postingkan…

    Baca juga tulisan terbaru casual cutie berjudul The First Lady’s Choice

    • @casual cutie,
      hehe … itulah kenyataan yang terjadi, mbak cutie. oh, ya? makasih psotingannya, mbak. pingin tahu kayak apa sih sesungguhnya, sehingga busana ny obama bisa bikin heboh dunia.

  16. Saya tau kalau pendapat saya banyak yang nyalahkan, karena saya berpendapat bahwa Bahasa Indonesia Baku itu seperti Gerak jalan.
    Kalau eventnya Lomba Gerak jalan, ya jalannya mengikuti aturan Baris berbaris. tapi ketika sedang berjalan biasa, berjalan sehari2 ya ndak perlu seperti orang gerak jalan. Gilalah kita kalau lagi jalan2, atau mau ke belakang, atau mau beli bakso musti langkah tegap seperti pasukan pengibar bendera atau seperti taruna Akmil. Gila pula kalau ikut lomba gerak jalan kok jalan kita seperti orang budalan dari pabrik.
    Maksud saya, Bahasa Indonesia baku juga seperti itu. Kalau sedang di kelas atau forum resmi semisal lomba, ikutilah aturan EYD. Tapi kalau ngobrol sehari2 atau sedang nulis bebas, rasanya aneh dan wagu kalau harus ber EYD.
    Yang ideal memang mix.
    Bahasa Media (Cetak) ya nggak terlalu nerjang kaidah, dan ketika berbahasa resmi ya ndak kaku dan anti pembaharuan.

    Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Kupu Kecilku

  17. Saya bingung dengan istilah deviasi bahasa nih, Pak Sawali! Apakah sebuah bahasa tidak boleh terdeviasi dan berubah seiring perkembangan budaya manusia. Apakah bahasa Indonesia seratus atau seribu tahun yang akan datang bisa dipertahankan seperti saat ini.

    Contoh terjadinya perubahan bahasa: konon bahasa Inggris yang dipakai pada zaman dahulu tidak bisa dimengerti lagi oleh orang Inggris sekarang ini. Dan faktanyalagi hanya satu bahasa yang tidak berubah sampai saat ini, yakni bahasa Arab. Mungkin itulah salah satu alasan diturunkannya kitab suci Al-Quran dalam bahasa arab, agar maknanya dapat difahami oleh generasi ribuan tahun yang akan datang.

    Mohon pencerahannya tentang dinamika bahasa. Jadi tertarik nih walaupun bukan bidang ilmu dasar yang saya ajarkan.

    Baca juga tulisan terbaru Syams Ideris berjudul Antara Blog, Facebook dan Ubuntu

    • @Syams Ideris,
      walah, kenapa mesti mohon pencerahan, pak syam, keke … gejala deviasi bisa jadi akan menyesatkan pembaca, pak. kita lihat saja judul2 provokatif yang sering digunakan media cetak tertentu utk menimbulkan kesan sensasi kepada pembaca, seringkali antara judul dan isinya tidak nyambung, ini sebuah gejala deviasi yang amat parah. kalau gejala deviasi jelas sangat berbeda dng gaya bahasa. dari waktu ke aktu bahasa memang terus mengalami perubahan dan perkembangan. bahasa indonesia pun mengalami gejala serupa, pak. bahasa yang digunakan pada masa kini bisa jadi tak berlaku lagi pada kurun waktu 10 tahun mendatang.

  18. saya paling benci baca sms yang disingkat se-enak udele yang nulis….

    apakah itu juga termasuk bahasa media, pak??

    Baca juga tulisan terbaru ircham berjudul Guru Juga Manusia

    • @ircham,
      duh, kalau gitu sama, mas ircham, apalagi kalau font yang digunakan diselang-seling huruf besar dan huruf kecil, hiks, bisa membuat kepala pusing.

  19. Sebetulnya media cetak juga harus sadar, bahwa kemampuan wartawan dalam menulis berita akan ikut mempengaruhi masyarakat dan anak didik. Sayangnya, sekarang….media cetak kelas ataspun terkadang mengalami kesalahan, yang dulu tak pernah terjadi. Mungkin seperti komentar teman yang bekerja di media cetak, semakin tingginya beban, persaingan, kecepatan mengejar berita, tak bisa diimbangi dengan yang mengedit.

    Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Deg-deg an

    • @edratna,
      iya, bu eny, sepertinya begitu, tuntutan deadline seringkali melupakan aspek penyuntingan. bahkan, kabarnya kini bebarapa surat kabar malah sudah tidak menggunakan jasa penyunting bahasa. duh, rasa2nya penggunaan bahasa makin tak terkontrol, nih, bu.

  20. konon, suaramerdeka adalah media cetak dengan tata bahasa terbaik, pak…saya juga pernah belajar jurnalis sedikit, dan konon memang bahasa jurnalistik dikemas agar menarik si pembaca sehingga akan membaca hingga berita atau tulisan selesai. dan kebanyakan trik ini diterapkan dalam judul dan paragraf awal sebuah berita…
    wah, saya kemarin-kemarin punya ide dengan adanya buletin siswa di sekolah-sekolah yang dibuat oleh siswa dengan guru sebagai pembimbingnya. selain menambah pengetahuan dan informasi, media sekolah dalam bentuk buletin juga sebagai wahana siswa guru untuk memperdalam bahasa (menulis juga membaca)…… 😀

    Baca juga tulisan terbaru pembaca berjudul menimang sekolah gratis

    • @pembaca,
      mungkin ada benarnya, mas abee. suara merdeka tergolong satu di antara sekian media cetak yang masih peduli pada masalah kaidah, ttg. buletin, dah pasti itu akan banyak manfaatnya utk mengembangkan keterampilan berbahasa siswa. bisa dilanjutkan itu, mas.

  21. kayaknya saya sependapat dengan pak marsudiyanto.
    saya pernah bawa anak-anak untuk analisis surat resmi dari berbagai sumber, tragisnya justru surat-surat yang dikeluarkan dari sekolah menduduki peringkat pertama dalam hal jumlah kesalahan.
    padahal saya pernah usul ke sekolah agar setiap surat resmi yang dikeluarkan oleh sekolah dikomunikasikan dengan guru-guru bahasa.

    Baca juga tulisan terbaru budi berjudul GURU itu SPD

    • @budi,
      wah, iya tuh, mas budi, bener banget. repotnya, bagian pembuat dokumen surat juga sering lupa. siingatkan sekali dua kali, eh, masih juga mengulang kesalahan yang sama. makin repot!

    • @mikekono,
      bener banget, mas agus. guru perlu lebih cermat dan teliti ketika hendak menggunakan teks-teks berita dari media cetak sebagai bahan ajar.

    • @waw,
      betul mas dewanto. lebih-lebih bahasa koran “kuning”. duh, mereka jadi lebih akrab dengan kata-akta yang vulgar dan kasar.

  22. kalo menurut sy pak, bahasa itu akan selalu berkembang. definisi “bahasa Indonesia yang baik dan benar” pun bs saja didekonstruksi, dikembangkan. ragam bahasa akan selalu berkembang dan memang tak bs diharapkan selalu sesuai dg kamus atau keinginan para munsyi. he2.

    Baca juga tulisan terbaru haris berjudul Panggil Dia Megawati Saja

    • @haris,
      iya, saya juga sepakat, mas haris. definis bahasa indonesia yang baik dan benar pun masih menimbulkan banyak salah tafsir. mereka mengira bahasa yang baik harus selalu baku, padahal kan ndak begitu, toh? hehe … mestinya ya harus disesuaikan dg konteksnya.

  23. cuma pengen ngomentari fotonya…kok…smua fotonya syahrul yasin limpo ya,,,gubernur sul-sel..hehe

  24. Yang tak kalah jadi soal adalah perbedaan pakem antara satu media dengan media lainnya dalam menggunakan istilah. Banyak media yang merasa memiliki gaya selingkung sendiri-sendiri. Sementara yang sampai ke pembaca/masyarakat tentu bakal berbeda-beda makna serta pengertiannya…

    Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Lyn

  25. terserah sampean sing guru pak de….
    lha diriku ini gaptek je
    mana kalo numis eh nulis kami sosolen terus…
    usul diriku sebagai contoh yang salah aja pak de guru? gimana?

  26. seperti yang sudah disinggung pula dalam bagian pertama, media memang memiliki kontribusi bermakna dalam pelajaran berbahasa. namun bila sudah masuk ranah pendidikan formal, guru hendaknya dapat meningkatkan fungsi sebagai fasilitator dengan membekali siswa secukupnya dengan kaidah-kaidah berbahasa yang benar, sehingga siswa mampu mengenali kekeliruan dalam bahasa media ketika belajar mandiri atau independent learning. menurut hemat saya, mampu mengenali kesalahan juga merupakan proses belajar. *nah, sotoy lagi deh*

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Slow Down A Little

  27. dhika

    makasih pengetahuan dari blog nih.ini penting untuk diketahui oleh mahasiswa jurusan sastra Indonesia

  28. dhika

    makasih pengetahuan banyak yg diambil dari blog nih.ini penting untuk diketahui oleh mahasiswa jurusan sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *