Pendidikan Kemanusiaan, Apa Kabar?

semutCP Snow, seorang fisikawan yang juga novelis dan esais kondang dari Cambridge University, sebagaimana pernah diuengkapkan oleh Muchtar Buchori, pernah melontarkan kritik terhadap sistem pendidikan Inggris yang dianggapnya sangat elitis, yang pada akhirnya telah melahirkan dua kubu cendekiawan, yakni di bidang humaniora (kemanusiaan) dan IPA murni yang saling terpisah dalam dua budaya yang tidak saling mengenal, bahkan tampak saling bermusuhan.

Orang yang mengerti hukum-hukum alam, tapi tidak peka, dalam pandangan Snow, bukanlah manusia yang utuh dan paripurna. Agar dapat hidup secara utuh dan kreatif, tegasnya, tanpa terkoyak-koyak oleh perubahan yang terjadi di sekelilingnya, setiap insan mesti hidup bersama dalam sebuah “common culture”; sebuah kebudayaan yang mampu memadukan ilmu kemanusiaan dan Iptek sekaligus. Hanya kebudayaan yang berimbang yang sanggup memberikan pedoman bagi manusia modern dalam mengembil keputusan-keputusan yang berwawasan, penuh kearifan, dan kedewasaan dalam mengjhadapi persoalan dan dilema dalam kehidupan sehari-hari.

Kritik Snow, agaknya juga layak dijadikan sebagai bahan refleksi bagi dunia pendidikan kita yang dianggap cuek dan abai terhadap pendidikan kemanusiaan. Dengan dalih demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa –setidaknya pada masa rezim Orde Baru—pendidikan kemanusiaan perlahan-lahan digusur, untuk selanjutnya dikubur tanpa nisan dalam ranah pendidikan kita. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiaan manusia secara utuh, lahir dab batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistis, ekonomis, dan teknokratis; kering dari sentuhan nilai moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati nurani, emosi, dan spiritual. Imbasnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran dan kemuliaan budi jadi nihil. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, cenderung bar-bar anarkhis, besar kepala, dan mau menang sendiri.

Iklim pendidikan kita yang kering dari sentuhan nilai kemanusiaan semacam itu, disadari atau tidak, telah melahirkan manusia-manusia berkarakter hedonis, penjilat, hipokrit, arogan, dan miskin kearifan. Tak berlebihan kalau (alm.) Rama Mangunwijaya dengan nada sinis pernah menyatakan baha angkatan sekarang mengalami kemunduran yang sangat parah dalam pendidikan berpikir nalar eksploratif dan kreatif, sehingga menumbuhkan kultur pikir dan cita rasa yang sempit dan dangkal yang memperlambat pendewasaan diri. Padahal, idealnya, rasionalitas harus dikemudikan ke tingkat yang lebih komprehensif, yakni kearifan. Kearifan pun harus memiliki dimensi rasionalitas yang tinggi. Emosi, perasaan, atau pandangan subjektif dalam diri manusia, tegas Rama Mangun, dapat diibaratkan seperti energi yang memberi daya gerak kepada karya manusia. Sedangkan rasio atau nalar ibarat kemudia atau setir, sedangkan kearifan adalah nahkodanya.

Makna pendidikan yang hakiki adalah upaya memberikan ruang kesadaran kepada siswa didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Namun, secara jujur mesti diakui, dunia pendidikan kita belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jatidirinya. Mereka memang cerdas, tetapi telah kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka memang terampil, tetapi nihil apresiasinya terhadap sikap tenggang rasa, santun, dan kesalehan hidup.

Kini setelah negeri ini digoyang krisis multiwajah dan kian terpuruk dalam ”lumpur” kebangkrutan nilai kemanusiaan, perlu ada upaya serius untuk mengokohkan kembali pendidikan kemanusiaan yang telah ”dikarantina” oleh rezim masa lalu. Ini artinya, institusi pendidikan kita mesti menjadi ladang yang subur bagi upaya penumbuhkembangan nilai-nilai kemanusiaan sehingga mampu melahirkan ”generasi baru” yang cerdas, bermoral, beradab, dan berbudaya.

Dalam upaya mewujudkan atmosfer yang kondusif bagi penumbuhkembangan pendidikan kemanusiaan, institusi pendidikan harus berani melakukan perubahan mendasar melalui proses transformasi diri. Pola dan gaya pendidikan yang cenderung instruksional, doktriner, dan otoriter, perlu diubah dengan menggunakan pendekatan yang lebih demokratis, egaliter, dan manusiawi. Misi pendidikan tak semata-mata ”memintarkan anak”, ”membimbing anak menguasai bahan ajar”, atau ”membimbing anak menguasai ilmu pengetahuan”, tetapi benar-benar memosisikan siswa sebagai subjek didik secara utuh sesuai dengan hakikatnya sebagai agen perubahan dan pembaharu peradaban.

Nah, sudah saatnya dunia pendidikan kita dikembalikan kepada ”khittah”-nya sebagai basis dan pusat pendidikan nilai yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi masa depan yang cerdas dan terampil, tanpa kehilangan ”roh” dan spirit kemanusiaan sehingga mampu menghadapi tantangan hidup secara arif, matang, dan dewasa. ***

99 Comments

  1. AL

    Ya, ya.. Itu memang indah untuk ditulis dan diucapkan pak.. Cuma masalahnya, dari dulu juga, jika kita mendidik, kapan ngurusin UNnya. Kalau kita mikirin pelajaran, kapan mendidiknya. Orang kan maunya sepaket, musti menguasai teknologi, juga pengennya berakhlak mulia, masuk sorga deh…

    • @AL,
      hehehe …. memang benar, fenomena yang muncul seperti itu, bu alfia. meski demikian, sesungguhnya antara pendidikan nilai kemanusiaan dan iptek bisa diintegrasikan secara menarik ke dalam proses pembelajaran sehingga ada keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan.

  2. setuju sekali saya, pendidikan jaman sekarang peserta ajar hanyalah belajar demi prestasi akademik dan itupun sangat berat sekali bebannya, sampai tidak ada waktu untuk belajar life skill yang menjadikannya sebagai manusia utuh…

    • @suryaden,
      begitulah kenyataan yang terjadi, mas surya. negeri ini sudah lama memberhalakan angka2. ujian nasional pun selalu dikaitkan dg angka2. ini yang menyebabkan mandulnya pendidikan kemanusiaan itu di negeri ini, hehe …

  3. Yup sepakat pak….
    Dari pengalaman saya bekerja, staf yang karirnya naik, adalah yang bisa memperhatikan sekelilingnya, bisa team work…dan hal-hal lain dibidang kemanusiaan….multi talenta deh.

    Walau diadakan pendidikan, tapi pendidikan dasar sejak kecil sangat perlu, karena kekurangan saat masa kecil s/d remaja ini tak mudah diisi lagi jika terlanjur dewasa, karena udah kadung menjadi satu dalam sikap perilaku.

    Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Sekilas mengenal apa yang dimaksud dengan Sekuritisasi

    • @edratna,
      saya juga sepakat, bu. pendidikan kemanusiaan perlu ditanamkan sejak dini di bangku sekolah, utk selenjutnya dikembangkan dan dikokohkan melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

  4. Setuju banget Pak… Tugas terberat guru memang mendidik,kalo cm sekedar mengajar sih enteng.. 🙄

    • @eNKa,
      hehehe … iya bu narni. mendidik membutuhkan kelembutan dan kesabaran. sungguh beda kalau hanya sekadar mentransfer ilmu.

  5. Iya bener itu, saya sebagai mahasiswa juga merasakan atmosfir yang beda (secara saya tidak atau jarang terpengaruh pergaulan yang aneh2). maka untuk itu harus adanya kesadaran dalam diri sendiri di setiap individu masing. 🙂

    • @Gilank,
      wah, repot juga ya, mas gilank. kalau sudah berada dalam situasi seperti itu, tesis mas gilank sungguh tepat. perlu ada kesadaran individual, hingga alhirnya bisa menjadi kesadaran kolektif.

  6. stuju mas, dq yakin klo sistem ini diterapkan …
    anak didik bakal memiliki kemampuan yg “paripurna”
    terdapat “keseimbangan”!

    Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Harapan dan Kenyataan

    • @Nyante Aza Lae,
      iya, mas kurnia. idealnya perlu ada perangkat suprastruktur yang jelas sehingga insitusi pendidikan kita punya pijakan yang jelas dalam mengimplementasikan pendidikan kemanusiaan ini.

  7. kadang salah kaprah…. mendidik dan mengajar kan beda ya pak guru? eh bedanya apa ya pak guru?

    • @suwung,
      hehe … memang beda, mas suwung, tapi ndak harus dibeda-bedakan, kok, hehe … karena keduanya bisa diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran.

  8. Mendidik itu memang lebih susah ketimbang mengajar, karena mendidik tidak hanya mencakup kecerdasan saja tetapi mencakup kepribadian dan pola hidup yang benar. 😀

    Baca juga tulisan terbaru tuyi berjudul Jangan Mencontreng

    • @tuyi,
      sepakat banget, mas tuyi. mendidik membutuhkan keteladanan. ini yang menjadi persoalan klasik di negeri ini dari generasi ke generasi.

  9. bagus sekali pak…
    pendidikan adalah dalam rangka memanusiakan manusia. pengetahuan yg diberikan kepada peserta didik hendaklah bertujuan memberikan “penyadaran” bagi mereka. pendidikan yg tidak menghasilkan penyadaran, berarti adalah pendidikan yg telah gagal memanusiakan manusia… 🙂

    Baca juga tulisan terbaru vizon berjudul mendadak trainer

    • @vizon,
      iya, mas vizon. kalau pendidikan tak menyentuh ranah nilai kemanusiaan, generasi yang lahir dari rahim dunia pendidikan kita dikhawatirkan akan kehilangan kepekaan dan empati.

  10. Pak, jangan-jangan kehidupan itu tergantung nasib. Pendidikan baik belum tentu nasibnya juga baik. Sodara saya yang S1 dari perguruan tinggi ternama ternyata pendapatannya lebih kecil dari kawannya yang cuma lulus SD. Sudah gitu dia belum nikah juga padahal kawannya sudah punya anak.

    Baca juga tulisan terbaru Iwan Awaludin berjudul Pulau Penang

    • @Iwan Awaludin,
      widih, nasib? bukannya itu sikap yang mengarah pada predistinasi, pak iwan, hingga akhirnya orang jadi males berikhtiar karena hidupnya selalu bergantung pada nasib semata?

      • @Sawali Tuhusetya, ada rahasianya Pak, kalo berdoa itu bisa merubah nasib. Tapi berdoa saja ternyata ngga cukup, harus berusaha juga. Begitu dapatkan hasilnya, itulah nasib yang harus diterima dengan lapang dada

        Baca juga tulisan terbaru Iwan Awaludin berjudul Pulau Penang

  11. gmn cara memberikan pendidikan kemanusiaan, bung sawali?
    apa mungkin kudu memperbanyak ekskul gitu? 🙂

    • @toim,
      lewat ekskul juga boleh, kok, mas toim. tapi dalam praktik dan implementasinya bisa disajikan secara integral ke dalam proses pembelajaran sehari-hari dan ndak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri.

  12. Dunia pendidikan adalah sarana yang tepat untuk menanamkan pendidikan kemanusiaan pak, kalau dunia pendidikan telah melupakannnya saya yakin akan cukup sulit bagi dunia yang lain menanamkannya

    • @Achmad Sholeh,
      saya sepakat dg pak sholeh. meski demikian, pendidikan nilai yang ditanamkan di sekolah perlu dikembangkan dan dikokohkan dalam pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat.

  13. iya pak, kadang orang sekarang banyak yang hanya pergi belajar hanya untuk mencari titel, bukannya untuk memperdalam keilmuannya. jadi banyak juga para sarjana bertitel A-Z, tapi dalam hal teknis hanya nol.

    Baca juga tulisan terbaru arifudin berjudul Cerita hot perselingkuhan ibu dan anak

    • @arifudin,
      wah, kalau fenomena ini yang terjadi, jelas makin memperparah iklim dalam dunia pendidikan kita, mas arif, seperti yang tergambar dalam “sajak palsu” karya agus r sarjono itu, haks.

  14. Saya bingung dikotomi IPA, IPS dan Bahasa itu asal muasalnya gimana. Kalau sekedar pembeda ya memang beda tetapi kesannya kan ada kubu2 an yang ajaib gicu. 🙄 Misalnya anak IPS dianggap nggak pinter2, terus ada juga dosen yang bilang kalo anak eksakta nggak punya empati sosial. Lha mikirnya itu caranya gimana ??? Garuk-garuk kepala. 😀 :mrgreen:

    Baca juga tulisan terbaru lovepassword berjudul Help me daku kebanjiran !

    • @lovepassword,
      program penjurusan dan spesialisasi yang dimulai dari pendidikan menengah, saya kira kok bukan problem serius, mas love. yang jadi persoalan adalah, apakah ada upaya utk melakukan sinkronisasi ranah pendidikan yang didikotomikan itu.

  15. tulisan ini menginspirasi saya untuk menjalankan dan menekuni kedua bidang yang sedang bergelut dalam hati dan pikiran saya. Terima kasih, pak sawali. saya tunggu refleksi dan inspirasi dari anda.

    Baca juga tulisan terbaru muji berjudul Langkah Awal

  16. tragis ya mas…memang untuk balancing dua sisi itu tampaknya sulit sekali, idealnya pendidikan dan pembelajaran menjadi dua sisi mata uang yang saling melengkapi..

    Baca juga tulisan terbaru mama hilda berjudul Masakan Keluarga

  17. Aku suka sekali kalimat ini, Pak Sawali:

    Orang yang mengerti hukum-hukum alam, tapi tidak peka, dalam pandangan Snow, bukanlah manusia yang utuh dan paripurna.

    Yang paling mudah adalah, banyak sekali kuperhatikan seorang arsitek yang miskin cita rasa seni, sehingga karyanya terlampau kaku dan kurang membumi serta monoton.

    Aku selalu senang memperkenalkan adikku yang arsitek pada dunia-dunia yang berkaitan dengan seni budaya. Karena itu akan mengasah jiwanya, menyentuh hatinya, serta mengolah rasa.

    Dengan begitu, ia tetap ajeg pada disiplin ilmunya tanpa mesti mengindahkan ranah-ranah yang lebih membumi.

    Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Sayapku Patah-patah di Gunung Kelir

    • @Daniel Mahendra,
      wah, salut banget dg mas daniel, nih. beraksi secara nyata dengan memperkenalkan sentuhan nilai seni dan budaya sebagai bagian pendidikan kemanusiaan kepada orang2 terdekat yang menggeluti iptek.

  18. DV

    Pak Sawali,
    entah kenapa saya langsung mengaitkan hal ini dengan tetraloginya PAT.
    Bagi saya, alangkah bagusnya kalau tetralogi itu jadi bacaan wajib bukan hanya dalam pelajaran sastra tapi juga kemanusiaan.

    Barangkali akan sedikit membantu untuk mencerahkan pandangan tentang hakikat manusia dan kemanusiaannya sendiri…

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Banjir DVD U2

    • @DV,
      wah, ini sebuah masukan yang bagus, mas donny. teks2 sastra alm. pram memang sarat dg sentuhan nilai kemanusiaan sehingga secara tdk langsung menumbuhkan nilai2 kepekaan terhadap fenomena hidup dan kehidupan itu sendiri.

  19. Setiap masa punya tantangannya sendiri, Pak.
    Obama juga beberapa hari lalu mengeluhkan pendidikan USA yang dirasa telah tertinggal dari negara maju lain. Kurang jelas benar, di sini apa yang tertinggal. Secara akademik kah? atau secara holistik, termasuk mengajarkan pendidikan kemanusiaan di sekolah?
    Buktinya, semua tren kemajuan kebudayaan bermula dari USA, betapapun orang tidak mengakuinya. Memang krisis global juga bermula dari USA, tapi bukanlah invosi dalam teknologi komunikasi juga berasal dari sana? Facebook, Mirosoft, Google, Yahoo, WordPress, Apple, semuanya ditemukan oleh orang Amerika. Apakah ini hasil pendidikan mereka? Atau malah ini hasil sampingan dari sistem pendidikan mereka?
    Perlu penelitian lebih lanjut. Wah, ngomong opo aku iki?
    Tabik Pak Sawali…

    Baca juga tulisan terbaru Hery Azwan berjudul Perut Buncit

    • @Hery Azwan,
      iya, mas azwan, mrik memang telah menjadi ikon dunia dalam soal iptek. nah, persoalannya adalah, bagaimana agar dunia pendidikan di negeri ini mampu melahirkan generasi masa depan yang hebat penguasaan ipteknya tapi sekaligus juga memiliki bekal pendidikan kemanusiaan yang cukup sehingga iptek yang mereka kuasai bisa digunakan utk kemaslahatan bagi sesama.

  20. sekarang didunia pendidikan itu sendiri sudah dijadikan ladang politik, bisnis dan anak2 sekolah sekarang sudah terlena dengan kemajuan jaman yg ga bisa dikontrol oleh individu masing2…

    miris benar keadaan moral pendidikan kita 🙁

  21. Setuju Pak Sawali, semoga kasus David (pelajar Indonesia yang bunuh diri di Singapura) tidak terulang lagi. Secara kemampuan akademis dia hebat dan pernah juara olimpiade, tetapi pendekatan kemanusiaannya kurang dan peka terhadap sesuau yang ada disekelilingnya.

    Baca juga tulisan terbaru istiyanto berjudul Temuan Baru: 1 + 1 = 0 !!!

    • @istiyanto,
      wah, tragis juga, pak kasus yang menimpa si david. agaknya memang sudah sangat urgen dan mendesak utk merevitalisasi pendidikan kemanusiaan dalam ranah pendidikan kita.

  22. Bagus dan setuju banget pak

    Bagaimanapun pendidikan sangat perlu sekali dan pendidikan tidak harus di sekolah (formal) ..pendidikan di dalam keluarga memegang peranan penting ,pendidikan lingkungan jadi nanti besar anak bisa mengetahui dalam hal ini baik dan buruknya jika mendapat pendidikan yg tidak semestinya ..halah kok malah ngelantur ..maap pak

    coz..Hitung dulu: berapa jumlah 10 + 4 ? =14 ( kata si kecil lho pak )..hihihi .

    Baca juga tulisan terbaru Diah berjudul Akhirnya Bagi Bagi Pekerjaan

    • @Diah,
      betul, mbak diah, antara pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat memang perlu bersinergi agar mampu menghasilkan generasi masa depan yang andal kemampuan ipteknya sekaligus juga bermoral.

    • @aRai,
      hehehe … menurut mas arai sendiri gimana? agaknya hingga sekarang ndak ada tuh, mas, haks, sungguh beralasan kalau para wakil rakyat kita gampang melakukan tindakan konyol dan merugikan rakyat. *walah!*

  23. tulisan pak sawali selalu memberikan refleksi baru bagi pembaca.

    saya pikir pendidikan kemanusiaan untuk mengasah akhlak dan perilaku tak mesti eksplisit dalam kurikulum, walaupun akan jauh lebih baik bila juga demikian. cara yang tak kurang efektif adalah dengan memberikan teladan yang baik oleh guru sebagai role model, sehingga anak-anak dapat melihat bentuk konkrit dari konten yang ingin ditularkan. bukankah perilaku itu mustinya dipraktekkan, bukan semata didiktekan? *sotoy banget deh saya*

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Dosen Arogan

    • @marshmallow,
      walah, mbak yulfi bisa saja nih. jadi besa kepala saya, haks. saya sepakat dg mbak yulfi nih, pendidikan kemanusiaan tak harus dicantumkan secara eksplisit dalam kurikulum, tapi diitegrasikan ke dalam materi pembelajaran yang relevan. memang benar juga, mbak, pendidikan kemanusiaan ini akan bisa berlangsung bagus jika diimbangi dg keteladanan, tak hanya dari pihak guru, tapi juga ortu, tokoh2 masyarakat, pejabat, juga tokoh2 agama.

  24. bagi saya di antara jawaban untuk menghidupkan pendidikan kemanusiaan adalah dengan pendidikan karakter (character education). bukan kebetulan, character education adalah research interest saya. saya percaya, melalui pendidikan karakter lah, semua bobrok dan borok itu bisa ditambal, ditutup dan diganti. Saya ingin sharing dengan Anda tentang hal itu. Just come to my blog ok. O, ya selamat untuk blog dan tulisannya. Insya Allah manfaat.

    • @abii,
      saya sepakat dg pak abii. pendidikan karakter kan termasuk juga bagian dari pendidikan kemanusiaan. sudah lama negeri ini gagal mengimplementasikan pendidikan karakter secara benar kepada sisa didik, sehingga mereka gampang terjebak melakukan tindakan konyol yang amat tdk menguntungkan, baik utk dirinya sendiri maupun orang lain.

  25. sepertinya metode pendidikan seperti Taman Siswa-nya Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan pada budi pekerti, saatnya diangkat lagi ya, pak. kasihan, anak2 sekarang yg terengah2 berlari mengejar sekedar ilmu ‘pasti’, tapi tak sempat banyak mengecap ilmu ‘hati’.

    • @goenoeng,
      wah, bener juga tuh, mas goen. model pendidikan taman siswa agaknya perlu juga diadopsi dalam institusi pendidikan formal kita agar kelak otuput pendidikan kita mahir di bidang iptek sekaligus peka terhadap nilai2 moral dan kemanusiaan.

  26. Mendambakan “dunia pendidikan sebagai basis dan pusat pendidikan nilai” adalah pekerjaan yang tidak akan terjadi jika tidak dilakukan dari hulu ke hilir. Semua stakeholder terlibat. Kenyataannya? Kalau semua guru seperti Pak Sawali, saya yakin dambaan itu akan mudah terwujud. Tapi apa lacur? Di tempat saya, ada oknum guru yang jadi gembong curanmor, tukang korupsi dana BOS. Untung sekarang sudah masuk bui. Banyak pula, guru yang dulunya kuliah di PTS asal-asalan, lantas jadi sarjana abal-abal. 2 tahun kuliah S1 kelar. Tidak ada misi visi untuk menjadi pendidik yang baik, selain sekedar cari makan. Njuk piye, Pak Guru?

    Baca juga tulisan terbaru racheedus berjudul Menjadi Duda Sementara

    • @racheedus,
      duh, repot juga tuh, mas rache, guru yang seharusnya bisa memberikan keteladanan buat peserta didik, justru malah terjebak ke dalam perilaku anomali sosial yang seharusnya pantang dilakukan. kalau memang guru sudah menjadikan profesinya sebagai panggilan hidup, agaknya mereka juga ndak akan gampang terpengaruh utk melakukan tindakan konyol, apalagi kriminal semacam itu, mas rache.

    • @Ratno38,
      iya, saya sepakat dg mas ratno. memang perlu dimulai dari diri sendiri dan mulai sekarang juga agar bisa menjadi kesadaran kolektif bangsa kita.

  27. Ria

    buat saya ya pak, orang pintah itu tidak hanya pintar dari segi ilmu pengetahuan, tetapi pintar juga dalam bergaul, ramah, baik hati dan pastinya pandai menempatkan diri dalam sebuah lingkungan.

    Baca juga tulisan terbaru Ria berjudul Paris Pandora

  28. siswa jaman sekarang mungkin hanya sekedar banyak di cekokin masalah nilai akademis tanpa menyetuh moralitas dan pengembangan materi kehidupan yang nyata hingga tak jarang akhirnya sangat tidak mapan ketika menjumpai banyak masalah yang terjadi setelah sekolah
    sopo sing salah yah pak

    Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul Management Gengsi

    • itulah kenyataan yang terjadi, mas totok. duh, kalau dicari siapa yang salah, pasti muter2 seperti lingkaran setan, mas, hehe ….

  29. kecerdasan logika dan intelgensi memang di bangun tapi kalo ketimpang dengan kecerdasan emosional yah repot akhirnya yah
    salam kenal pak tapi kalo udah kenal yah nggak popo hahahaha

    Baca juga tulisan terbaru kenthus berjudul Beberapa Penyakit Kambing Etawa

    • hehehe … mas totok bisa saja nih, hehehe … kenalan kok bola-bali, kekeke … apa karena blognya beda itu, haks. pakai nama kenthus lagi, hiks.

  30. Atau nggak usah pada sekolah saja ya?
    Toh…cuma jadi ajang pembodohan saja, otaknya nggan kreatif hatinya pun beku

  31. Assalammualaikum warraahnatullaahi wabarakaatuh.. Untukku Akhlaq ada dalam urutan-urutan penting pendidikan.. bisa jadi merupakan imbas dari pemahaman akan aqidah..atau bisa juga menjadi.. wujud nyata praktek langsung dari pemahaman yang total aqidah..
    Ya Apapun alasannya…. Islam mencapai keberhasil dakwah pada jaman Nabi, salah satu pemicunya adalah sikap nabi yang sangat maantap.. dalam berahlaq… jadi sebaiknya memang pendidikan berakhlqa mulia harus dalam koridor… penting di catatan para pendidik

    Baca juga tulisan terbaru yanti berjudul Sahabat-sahabat yang di Rahmati Allah

    • @yanti,
      saya sepakat dng mbak yanti, memang ahlak harus menjadi fundamen dalam penanaman nilai kepada anak-anak. terima kasih tambahan infonya, mbak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *