Bahasa Politik Berbasis Kerakyatan

Saya tertarik membaca artikel “Bahasa dan Politik” yang ditulis oleh P Ari Subagyo di Kompas (Sabtu, 21 Februari 2009). Artikel tersebut tak hanya sekadar mengingatkan tentang momentum Hari Bahasa Ibu Internasional yang telah dicanangkan oleh UNESCO setiap tanggal 21 Februari, tetapi juga memberikan “warning” agar kaum politisi kita mulai menyentuh bahasa lokal dalam melakukan komunikasi politik dengan rakyat yang diwakilinya.

“Saatnya para wakil rakyat piawai menggunakan segenap kecerdasan bahasanya. Tidak melulu untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politiknya, tetapi terlebih juga untuk memahami kehendak rakyat yang diwakili. Wakil rakyat adalah ”binatang politik” yang tinggal dalam sanubari rakyat, bukan ”binatang sungguhan” penghuni kebun binatang,” tegas Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta itu mengakhiri artikelnya.

Ya, ya, ya, bahasa sejatinya piranti komunikasi universal yang sudah ada sejak peradaban umat manusia itu lahir. Sebagai piranti komunikasi, bahasa akan terus berkembang seiring dengan dinamika zaman dan masyarakat penggunanya. Bahasa, dengan demikian, akan terus ada dan eksis hadir di tengah-tengah peradaban umat manusia sebagai media komunikasi dan interaksi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam ranah politik.

Bahasa politik sangat erat kaitannya dengan upaya untuk merebut simpati rakyat. Ia hadir dan dibutuhkan untuk menumbuhkan pencitraan tertentu agar rakyat terpengaruh dan tersugesti oleh propaganda dan ikon-ikon politik yang mereka tawarkan. Dalam konteks demikian, seorang politisi yang cerdas, dengan sendirinya perlu memiliki kecerdasan linguistik dalam upaya membangun komunikasi dan interaksi dengan publik. Ini artinya, tuturan (speech) politik yang mereka lontarkan idealnya mengandung muatan dan misi kerakyatan melalui bahasa yang sederhana, gampang dicerna, dan terhindar dari kesan bombastis.

Namun, sungguh disayangkan, ketika Pemilu sudah menjelang babak-babak akhir, rakyat di negeri ini disuguhi dengan permainan bahasa politik “kekerasan” antarparpol atau antarcaleg. Perang iklan di media yang memanas atau maraknya baliho politik melalui tampilan wajah narsis yang elitis dan tidak pede, merupakan salah satu indikator, betapa politisi kita selama ini abai terhadap bahasa politik yang berbasis kerakyatan. Mesin politik yang mereka gunakan untuk mendulang suara rakyat tidak lagi digerakkan dengan semangat dan nurani kerakyatan, tetapi semata-mata untuk menjegal dan melumpuhkan lawan politik yang hendak menjadi rivalnya. Rakyat yang sudah lama menunggu realisasi janji-janji yang selalu digelontorkan dari mimbar-mimbar kampanye justru dikebiri dan dimarginalkan.

Bahasa politik berbasis kerakyatan, dalam konteks ini, merupakan piranti bahasa, baik verbal maupun nonverbal, yang menjadikan rakyat sebagai subjek yang perlu diangkat harkat dan martabatnya menuju nilai-nilai kemanusiaan sejati. Rakyat tak lagi dimanfaatkan dan dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat, tetapi benar-benar memanusiakan mereka melalui konsistensi antara kata dan tindakan. Rakyat tak lagi butuh janji-janji politik yang mengapung-apung dalam slogan, tetapi butuh realisasi dan bukti konkret. Bukan janji, melainkan bukti. Hiperbolisme dan eufemisme bahasa melalui penggunaan ungkapan yang cenderung manis dan berlebihan justru akan menjadi bumerang bagi politisi kita ketika mereka gagal mewujudkan janji-janji itu.

Pengalaman dari pemilu ke pemilu seharusnya bisa menjadi referensi bagi politisi kita dalam memberikan pengabdian yang terbaik buat rakyat yang diwakilinya. Kalau memang ingin berkomunikasi dengan rakyat, seharusnya mereka bisa menyatu ke tengah-tengah rakyat, mengakrabi mereka dengan santun melalui penggunaan tuturan bahasa politik yang mencerahkan, jelas, gamblang, tidak bersayap, dan apa adanya. Pamor sang politisi juga akan makin bersinar jika kelak bahasa politik yang mereka lontarkan tak sekadar verbalisme belaka, tapi mewujud dalam tindakan dan aksi nyata sehingga membuat rakyat makin bersimpati.

Rakyat juga makin cerdas dalam menjatuhkan pilihan-pilihan politik. Jangan salahkan mereka jika dalam Pemilu nanti nama Sampeyan tidak dicontreng lantaran gagal membangun komunikasi dan interaksi melalui bahasa politik yang benar-benar berbasis kerakyatan. ***

85 Comments

  1. SJ

    itu bahasanya udah dikulik sedimikian rupa kayaknya, pak… wong soalnya latar belakang dan kontribusi sebelum jadi wakil emang gak jelas sih. 😈

    Baca juga tulisan terbaru SJ berjudul Rahsa Versi Kanada

  2. Hiperbolisme dan eufemisme bahasa memang sedang marak-maraknya sekarang. Entah itu dicetak maupun di elektronik. Bedak dan gincu mereka, uh, bukan main elok dan manisnya. Tarohlah waktu 30 hari setelah duduk di kursi dewan, mereka sudah lupa pernah berkata apa.

    Rakyat juga makin cerdas dalam menjatuhkan pilihan-pilihan politik. Jangan salahkan mereka jika dalam Pemilu nanti nama Sampeyan tidak dicontreng lantaran gagal membangun komunikasi dan interaksi melalui bahasa politik yang benar-benar berbasis kerakyatan.

    Yup. Dan jangan salahkah rakyat juga jika nama mereka tidak dicontreng, karena mereka sejatinya tidak betul-betul tahu sedang mewakili siapa, kecuali dirinya, dalam pencalonan diri mereka tersebut.

    Mengibakan!

    Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Persinggahan dan Melacur

    • @Daniel Mahendra,
      wah, pernyataan mas daniel sudah cukup mewakili keresahan publik belakangan ini terhadap kualitas kinerja wakil rakyat yang selama ini abai terhadap nasib konstituennya.

  3. masalahnya, kabar bahwa banyak binatang menjadi politikus sama sekali bukan barang baru 😀

    semoga para politikus lebih memiliki linguistic quotion *halah istilah opo kuwi kok nggawe2 dewe* hehehehe

    Baca juga tulisan terbaru mantan kyai berjudul Pagi: Car Free Day. Siang: Narkotika

    • @mantan kyai,
      kayaknya begitu, mas ardy. sesungguhnya stiga seperti sudah lebih dari cukup utk membikin mereka “bertobat”. eh, rupanya malah kian menjadi-jadi.

  4. Melihat coreng moreng pertopengpolitikan kita saat ini, disertai slogan-slogan “asbun”, jangan salahkan rakyat yang cenderung makin sinis, apatis, pesimistis terhadap suksesnya pemilu kali ini. Sebuah pertanyaan dalam hati: Sebenarnya siapakah yang berhak berperan jadi tuan rumah dalam acara “hajatan” 9 April besok?

    • @Ki Dhalang Sulang,
      ah, itu dia yang jadi masalah, ki dhalang sulang, hiks, makin banyaknya rakyat yang apatis mestinya bisa menjadi bahan refleksi bagi para caleg agar bener2 memperbaiki kinerjanya.

  5. setuju mas DM, contrengan rakyat menentukan masa depan bangsa, jadi para caleg harus mampu membangun pola bahasa yang baik untuk mengkomunikasi ide-ide politik mereka. Kalau rakyat memilih golput alias tidak mencontreng, berarti indikasi kegagalan dalam komunikasi politik para caleg..HIDUP RAKYAT…HIDUP PAK SYAWALI hahahahah

    Baca juga tulisan terbaru imoe berjudul … negara kekerasan…

    • @imoe,
      iya, bener juga tuh, mas imoe. sikap apatis rakyat dg memilih golput mestinya bisa menjadi “warning” bagi para caleg dalam upaya meningkatkan mutu kinerjanya.

  6. “Jangan salahkan mereka jika dalam Pemilu nanti nama Sampeyan tidak dicontreng lantaran gagal membangun komunikasi dan interaksi melalui bahasa politik yang benar-benar berbasis kerakyatan.” setuju pak 🙂

    Baca juga tulisan terbaru arifudin berjudul Solo berseri

  7. saya kok blom menjumpai politikus uang bener2 memperjuangkan suara rakyat ya pak… :mrgreen:

    • @Masenchipz,
      sebenarnya ada, mungkin, mas echips, tapi pamor mereka sepertinya sudah tergeser oleh wakil2 rakyat yang abai terhadap nasib rakyat.

    • @muhamaze,
      walah, bener juga tuh, mas mumamaze. konon kawan bisa lawan, demikian juga sebaliknya. btw, salam kenal juga, mas, terima kasih kunjungan dakn komentarnya.

  8. P. Ari Subagyo

    Yth. Pak Sawali.
    Salam kenal Pak. Saya Ari yang suka iseng nulis di koran, termasuk “Kompas”.

    Terima kasih atas komentar Bapak yang kemudian ditimpali beberapa teman lain. Saya yakin, keprihatinan kita sama, yakni para politikus kita banyak yang karbitan, tidak kompeten, haus kekuasaan dan uang, serta (sebenarnya) kurang punya hati untuk rakyat. Coba tanyakan kepada mereka: “Anda sejujurnya mewakili (kepentingan) siapa?”, pasti mereka “gelagepan” menjawabnya.

    Sebagai “penggulat linguistik”, saya bersyukur lewat ‘pintu masuk’ bahasa, saya bisa mengeluarkan uneg-uneg dan ‘ngrasani’ (bahkan ‘ngunek-unekke’) para politisi kita. Spektrum bahasa begitu luas!

    Beberapa teman berkomentar, tulisan saya ‘alus ning nylekit’. Lalu saya bilang, “Di-clekiti saja mereka mungkin tidak mempan!”.

    Sekali lagi terima kasih kepada Pak Sawali dan teman-teman lain. MAri kita saling belajar dan menyumbangkan pemikiran untuk “kehidupan yang baik” di atas tanah air Indonesia.

    Salam kebangsaan. Merdeka Merdeka Merdeka.

    P. Ari Subagyo

    • @P. Ari Subagyo,
      wah, sungguh sebuah kehormatan, pak ari subagyo berkenan berkunjung dan berkomentar di blog abal2 ini, hehehe … wah syukurlah, pak, saya jadi ikut senang kalau para linguis memiliki kepedulian juga terhadap masalah2 aktual seperti ini. salam kebangsaan juga, pak ari, meredeka!

  9. Selamat siang, Mas, (boleh saya panggil Mas saja?
    Saya juga sangat senang bisa kenal dan bersilaturahmi dengan anda. Akan banyak hal yang bisa saya petik untuk proses pembelajaran saya dari web anda ini. Sekali lagi, salam hormat dari Dusun Senja 🙂

    Baca juga tulisan terbaru nanoq da kansas berjudul Sebuah Pertanyaan untuk Para Calon Presiden RI

    • @nanoq da kansas,
      wah, boleh2 saja, bung, sapaan apa pun, bagi saya, ndak masalah. duh, bener2 sebuah kehormatan buat saya, bung nanoq menyempatkan diri berkunjung ke gubug abal2 ini, hehehe …

  10. Seandainya ada debat capres yah mas ,mungkin kita bisa tau sejauh mana kemampuan nya dalam membangun bangsa ini, yang mungkin bisa dijadikan pegangan masyarakat dalam menentukan mana calon presiden yang akan dipilih nantinya.

    Baca juga tulisan terbaru harianku berjudul Contoh surat lamaran kerja yang baik

    • @harianku,
      wah, iya tuh, mbak. pemilu yang lalu se[ertinya juga marak tuh, mbak, debat antarkandidat capres. api efektif atau tidak, sepertinya butuh pembahasan tersendiri nih!

  11. hmm… sampai saat ini, niat saya masih utuh.
    masuk ke dalam Partai Golongan Putih !
    mungkin nggak akan mencontreng satu namapun.
    entah nanti… siapa tahu…

    *ngobrolnya dengan sedulur ndepok, kemarin seru ndak, Pak ? 😀 *

    Baca juga tulisan terbaru goenoeng berjudul perempatan jalan

    • @goenoeng,
      wah, salut juga nih dg sikap politik mas gunung, hehehe … wah, asyik juga, mas. ngobrol sampai jam 12-an malam, hehehe …

  12. Benar sekali Pak, meskipun saya tidak membaca langsung tulisan Pak Ari, tapi saya (lagi2) teringat rubrik Obrolan (a)Politis yang ada di Kompas setiap Sabtu. pada edisi 2 minggu yang lalu dimuat refleksi tentang Bahasa Politik yang semakin berwarna…. 🙂

    Baca juga tulisan terbaru denologis berjudul Teobarbarian

    • @denologis,
      @denologis,
      hehehe … tulisan yang dimuat di kompas memang memiliki nilai tersendiri, mas deno, khususnya pada rubrik opini!

    • @Danta,
      hehehe … bener, mas danta. saya sepakat. seharusnya mereka berhenti saling hujat dan cakar2an agar nasib rakyat makin membaik.

  13. Memanfaatkan Kemiskinan Rakyat Untuk Memperoleh Kekuasaan…

    Pemilu 9 April 2009 adalah pemilu kedua dalam sejarah pemilu Indonesia yang menyertakan nama calon anggota legislatif dalam kertas suara. Pemilu pertama yang menggunakannya adalah Pemilu 2004. Bedanya, pada pemilu 2004 pemilih boleh mencoblos tanda gam…

  14. bahasa yang saya tangkap saat kempanye ini…yaitu…
    kata sama perbuatan nggak sinkron. kampanyenya banyak nggak elegan-nya pak…padahal kata-kata di kampanyenya wuihhh tinggi…

    Baca juga tulisan terbaru geRrilyawan berjudul SSSTTTTTTT……..!!!

    • @geRrilyawan,
      hehehe … itulah kenyataan yang terjadi, mas gerilya. apa yang mereka gemabar-gemborkan saat kampanye tdk sesuai dengan kenyataan.

    • @harry seenthing,
      loh, emang begitu mas harry. hehehe … warna politik ternyata lebih dominan, sehingga kebusukan yang mereka lakukan gampang terlihat.

  15. iya bos… jangan cuma bagi-bagi duit, mengharap namanya diconteng,meski yang dibagi-bagi hasil dari ‘nggadein peralatan rumah tangga’, sementara dalam hati, toh nanti akan bisa balik kalau saya duduk di legislatif. Nah looo.. apa jadinya nanti.

    Baca juga tulisan terbaru madhysta berjudul Berpikir Positif Meningkatkan Kualitas Hidup

    • @madhysta,
      hehehe … seperti dalam dunia dagang, ya, mas madhy. modal yang dikeluarkan hrs segera mendatangkan keuntungan.

  16. Saya juga ingin berbahasa endonesya yang baek dan benar, sehingga dapat dipertimbangken untuk menjadi caleg dalam pileg mendatang

    • @Pencerah,
      tapi sepertinya berbahasa indonesia yang baik dan benar tidak menjadi syarat dalam pencalegan, kok, mas pencerah, hehehehe …

  17. huhuhu ngomentari tulisan di koran dan di komentari lagi di blog seru juga. mengenai artikel bahasa dan politik di harian kompas itu saya tidak baca pak, karena kebetulan bagi saya artikel yang menarik di koran itu cuma iklan baris dan juga iklan film di bioskop…huhuhu bis saya suka males baca koran yang lebar itu tangan saya suka pegel. huhuhu

    seharusnya bahasa memang adalah alat bantu yang menjadi penghantar dari politikus untuk menyampaikan maksud dan tujuan nya dalam membela kepentingan rakyat, mungkin karena alasan inilah yang kemudian bahasa yang di sampaikan oleh politikus itu tidak nyambung dengan rakyat….karna memang sebebenarnya mereka tidak tau apa yang menjadi keinginan rakyat. sehingga kemudian mereka malah menyampaikan atau menggunakan bahasa kekerasan guna menjegal menjatuhkan lawan karna memang mungkin saja bagi mereka hal-hal tersebut lebih menarik bagi rakyat yang sedang suka marah-marah seperti sekarang ini.
    🙂

    Baca juga tulisan terbaru bedh berjudul Kalimat kata dan huruf

    • @bedh,
      hehehe …. wah rupanya mas bedh suka berbelanja dan cari hiburan, ya, haks, sehingga yang dilirik di koran iklan baris sama iklan bioskup. btw, idealnya bahasa politik yang digunakan oleh politisi mesti menyentuh pada kepentingan konstituen-nya, baik pada saat kampanye maupun stlah duduk di kursi parlemen.

  18. bahasa elite politik kita memang masih belum dekat dengan rakyat. kebanyakan berisi jargon kosong tanpa henti yang membosankan sekaligus memualkan!

    Baca juga tulisan terbaru haris berjudul Kita Berbelanja Maka Kita Ada

    • @haris,
      nah itulah kenyataan yang terjadi, mas haris. kuwalitas parlemen kita baru dalam taraf seperti itu.

    • @ciwir,
      kekeke … bahasa proposal? hmmm … sepertinya gejala itu bener2 sdh mewabah ya, mas santri, hiks.

  19. Dari tingkah polah mereka, kita sebagai rakyat bisa menilai. Mudah2an pilihan kita nantinya membawa bangsa kita kearah yang lebih baik, kelak…

    Baca juga tulisan terbaru TENGKU PUTEH berjudul TIDAK SEDANG MENCARI CINTA

  20. pak guru klo aku nda mau komen ah soal politik wkwkwkwkwkwkwkwkwkwk yang jelas aku ga suka dengan janji-janji manis calon birokrt yang setelah berada di gedung dpr jadi tikus yang cuma bisa mengerati uang rakyat aja

    • @awie,
      duh, kok sedemikian “alergi”-nya mas awie dalam soal politik, hehehe … memang seperti itulah kenyataan yang sering kita lihat, mas awie. jadi wakil rakyat bukan utk mewakili rakyat, melainkan utk mewakili ambisi hedonisnya, kekeke ….

  21. Hari bahasa Ibu….
    Menarik pak, dan jujur saja saya sudah lupa menggunakan bahasa ibu, untuk level yang halus karena jarang digunakan.
    Di satu sisi, agar go International, diperlukan kepandaian anak-anak berbahasa asing….jadi mau tak mau orang Indonesia harus menguasai minimal: bahasa ibu, bahasa nasional dan bahasa asing

    Kalau polotisi bisa menggunakan bahasa ibu atau bahasa lokal, tentu pendukungnya akan makin banyak, karena mereka dapat memahami apa yang diucapkan oleh politisi tsb.

    Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Mencoba makanan di “Omah Sendok”

    • @edratna,
      iya, ttg masalah bahasa, saya sepakat dg ibu. penguasaan bahasa ibu tdk lantas berarti anti bahasa asing. ketiga bahasa yang disampaikan bu enny memang perlu dikuasai anak-anaks ekarang dan generasi masa depan.

  22. Selama ini elit politik masih terbiasa menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh rakyatnta,

    rakyat kecil malah bilang ” wong iku ngomong opo to yo? kok moro-moro gepuk-gepuk an” 😀

    Baca juga tulisan terbaru yusuf berjudul Fee Only Financial Planning

    • @yusuf,
      hehehe … agaknya para caleg kita masih suka menggunakan bahasa kekerasan ketimbang bahasa rakyat yang penuh sentuhan nilai kemanusiaan, mas yusuf.

  23. suara Rakyat dikampung saya, siapa yang ngasih bantuan entah itu paving, seragam jamaah tahlil, pengerasan jalan, dll, ta itu yang rencananya akan di coblos.

    Baca juga tulisan terbaru rochman berjudul Po Nari?

  24. spakat mas…politik bukan hanya simbol..
    yg terpenting adalah terjadinya proses interaksi dan komunikasi yang efektif!

    Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Cinta dan Jablai

    • @Nyante Aza Lae,
      nah, idealnya memang begitu, mas kurnia. para politisi kita mestinya menggunakan bahasa politik yang lebih merakyat.

  25. Jadi ingat dengan pesan Aa Gym; “kalau teko isinya kopi yg keluar insyaAllah kopi, kalau isinya susu yg keluar jg susu”…. jadi kalau yg keluar dari mulut atau tercantum di baliho politisi bahasa dan kata2 nya aneh insyaAllah politisinya aneh…btw, salam kenal Pak!

    Baca juga tulisan terbaru sulfikar berjudul

    • salam kenal juga, mas sulfikar. saya sepakat juga tuh dg pernyataan aa gym. wakil rakyat yang jadi dengan cara yang ndak bener, pasti kelakuannya juga ndak bener, hehehe ….

    • duh, kok sampai setragis itu toh, mas bawor. kenapa ya sekadar utk dapat kursi mesti harus ngobral dhuit? kan blm bisa jadi jaminan kalau bener2 dapat kursi.

  26. Pak, apa masih ada bahasa kerakyatan…. bagi calon politisi kita?
    Wong menyapa saja tidak, cuma nitip baliho di tempat2 yang oleh KPU dan Panwaslu sebenarnya dilarang….
    Yahhh, berharap semoga masih ada yaahh Pak.

    • wah, iya, mas munawar, dari sekian ratus wakil rakyat, saya kok masih percaya, ada wakil rakyat yang bener2 ingin memperjuangkan rakyat yang telah memilihnya, meski persentasenya hanya sedikit.

  27. bahasa mencerminkan bangsa.
    kalau bahasa yang digunakan para elit politik penuh eufimisme dan bersayap, bukankah itu menunjukkan bahwa bangsa kita juga penuh basa-basi dan telunjuk lurus kelingking berkait? semoga tidak demikian, karena sejauh ini, seperti kata mas DM, para politikus tidak mewakili rakyat melainkan dirinya sendiri.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Madu dan Racun Kolegalitas

    • @marshmallow,
      iya, mbak yulfi. bahasa yang digunakan oleh para poltikus bukanlah bahasa rakyat yang gampang dicerna. bahasa bagi mereka agaknya identik dg bedak utk memoles wajah asli mereka, hiks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *