Menjelang Pemilu 2009, wacana peran perempuan dalam ranah politik kembali mencuat ke permukaan. Hal ini bisa dipahami, sebab selama ini stigma perempuan sebagai “makhluk kelas dua”, diakui atau tidak, masih demikian kencang gaungnya. Kesan peran politik perempuan sebagai “penggembira” dalam setiap pesta demokrasi belum juga bisa terkikis. Sangat masuk akal jika perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dalam dunia politik itu masih terus gencar dilakukan.
Dalam konteks ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memberikan isyarat adanya kebijakan afirmatif perempuan itu sesuai dengan pasal 213 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam rapat plenonya, KPU menyepakati untuk mnetapkan salah satu calon anggota DPR atau DPRD terpilih dari tiga calon terpilih untuk setiap partai politik per daerah pemilihan kepada calon anggota legislatif perempuan.
Kebijakan afirmatif perempuan ini agaknya belum bisa berlangsung mulus. Ada resistensi tinggi dari sebagian besar politisi, khususnya kaum lelaki. Ferry Mursyidan Baldan, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), misalnya, menilai aturan semacam itu tidak adil. Menurutnya, jika ingin mengakomodasi perempuan alam lembaga legislatif, seharusnya dilakukan dari awal dengan menentukan porsi perempuan di legilslatif. Sementara itu, Saut M. Hasibuan dari Fraksi Damai Sejahtera (F-PDS), menegaskan bahwa KPU tidak berhak menentukan calon terpilih karena akan mencederai kedaulatan rakyat. Proses afirmasi bagi perempuan, katanya, hanya berlaku pada pencalonan. Selanjutnya, rakyat yang menentukan sendiri wakilnya di lembaga legislatif (Kompas, 3/2/2009).
Sudah dapat ditebak, persoalan kebijakan afirmatif ini pasti akan menimbulkan sikap tarik-ulur antara politisi perempuan vis a vis politisi lelaki. Ada dua hal mendasar yang mewarnai proses tarik-ulur itu. Pertama, nilai-nilai demokrasi yang berbasis kesetaraan. Jika ditarik ke dalam ranah demokrasi, kebijakan afirmatif ini memang bisa dinilai tak selaras dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Pengalaman selama rezim Orde Baru menunjukkan bahwa kursi di lembaga legislatif ditentukan berdasarkan nomor urut dan dominasi elite partai tertentu, sehingga ada nomor peci hingga nomor sepatu. Artinya, partailah yang berhak untuk menentukan siapa saja caleg yang layak untuk menduduki kursi. Dengan kata lain, penentuan anggota parlemen akan sangat ditentukan oleh kebijakan elite partai yang bersangkutan. Dalam konteks demikian, suara pemilih atau rakyat jadi tak banyak artinya lantaran hanya dijadikan sebagai alat untuk mendulang nama partai, bukan caleg itu sendiri. Oleh karena itu, perbaikan sistem Pemilu dengan mempertimbangkan suara rakyat sebagai penentu kursi legislatif merupakan langkah politik yang layak dihargai. Nah, kalau ternyata ada jatah kursi khusus untuk seseorang, baik untuk laki-laki maupun perempuan, itu artinya suara rakyat kembali tercederai.
Kedua, nilai-nilai kesetaraan gender dalam ranah politik. Dalam perspektif sejarah sosial dan budaya negeri ini, posisi kaum perempuan memang belum sepenuhnya berada dalam situasi setara. Kuatnya budaya patriarkhi, telah membuat posisi kaum perempuan senantiasa tersubordinasi. Berbagai posisi kunci dalam ranah politik masih dominan dipegang kaum lelaki. Dalam konteks demikian, sungguh beralasan kalau para pejuang kaum perempuan berupaya serius untuk memosisikan secara lebih terhormat wakil-wakilnya di legislatif.
Persoalannya sekarang, bisakah jalan demokrasi dijadikan sebagai jalur untuk memosisikan kaum perempuan secara lebih terhormat dan bermartabat ke dalam parlemen tanpa menodai nilai-nilai demokrasi itu sendiri? Tentu saja, ini sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Butuh sikap elegan dan lapang dada dari segenap komponen bangsa untuk menjadikan Pemilu sebagai sarana demokrasi dalam menentukan wakil-wakil rakyat yang benar-benar berkualitas.
“Suara rakyat adalah suara tuhan”, demikian idiom yang sering kita dengar. Memang, akan menjadi bumerang bagi dinamika demokrasi jika suara rakyat yang terepresentasikan dalam Pemilu dikebiri dan dicederai. Meki demikian caleg-caleg perempuan yang selama ini hanya menjadi “penggembira” perlu juga diakmodasi perannya di parlemen agar nilai-nilai kesetaraan gender dalam ranah demokrasi bisa terwujud. Nah, ternyata persoalan politik dan perempuan bukan hal yang mudah untuk diselesaikan seperti orang membalikkan telapak tangan. ***
Pertamax dulu
Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul ISLAM SESAT
wah kali ini masih berhubungan dengan politik dan membahas mengenai afirmasi terhadap kaum perempuan dalam partisipasinya di dunia politik negeri ini ,kalo saya mengamati memang benar pendapat pak Sawali jika beberapa hal yang Dominan tetep saja di kuasai laki laki .
Penggambaran bahwa wanita adalah mahluk kedua itu kadang masih mengental sekali ,kebanyakan orang belum bisa mengakui kesetaraan yang sesungguhnya.
wah aku masih mengambang pak …..
Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul ISLAM SESAT
wah belum ada yang menyela ya pak
Salam dari keluarga Gunungkelir neh pak
Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul ISLAM SESAT
😛 Sebuah terobosan yang sangat menunjang emansipasi dan kesempatan sangat berharga untuk perempuan dengan telah disediakan tempat khusus dari 3 calon legislatif daerah yang terpilih
Baca juga tulisan terbaru Baka Kelana berjudul Thanks you For Comment In Aceh Blogging ( 125 )
😛 Sebuah terobosan yang sangat menunjang emansipasi dan kesempatan sangat berharga untuk perempuan dengan telah disediakan tempat khusus dari 3 calon legislatif daerah yang terpilih
Semoga perempuan kedepannya lenih kreatif dan imajinatif dalam dunia politik atau kabinet sehingga tidak ada anggapan lagi bahwa perempuan selalu no 2 dalam segala hal
Baca juga tulisan terbaru Baka Kelana berjudul History of Valentine’s Day
Mudah-mudahan semakin banyak perempuan yang duduk di kabinet semakin baik negeri ini, sudah selayaknya perempuan sebagai seorang Ibu lebih banyak mendapat kesempatan di jajaran pemerintahan, bukankah negeri ini selalu disebut ibu pertiwi
Baca juga tulisan terbaru Baka Kelana berjudul Friendster Beta Template gabungan layout 2 blog papan atas
Benar sekali, Pak..
Bagaimanapun sulit utk membuat kesetaraan itu.
Bukankah setiap manusia memiliki ego masing-masing.
😕
Baca juga tulisan terbaru HeLL-dA berjudul Pengendalian Diri oleh Remaja
kira-kira siapa pilihan yang baik untuk kita pilih dalam pemilu 2009 ini mas? sampe sekarang saya belum bisa membayangkan sosok seorang pemimpin yang mampu mengatasi masalah di negara kita, sebab banyak yang hanya mengumbar janji hanya untuk mendapatkan simpatik dari rakyat
Kesetaraan … kalo betul2 dibuat setara, ya … tidak bisa.
Baca juga tulisan terbaru wahyubmw berjudul 32 “Rahasia” Israel Yang Tidak Dipublikasikan.!!
Kesetaraan gender memang harus di perjuangkan pak, asal tidak menyalahi kodratnya karena pada dasarnya memiliki kemampuan yang sama antara laki dan perempuan
Baca juga tulisan terbaru achmad sholeh berjudul Awal Pebruari Yang Menyenangkan
smg gak bernasib sama dengan rapat di “senayan”…
asal memenuhi “quorum”..!
Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Sistem Barter di Negara Kita