Cerpen: Sawali Tuhusetya
Pelupuk mata Badrun mengerjap-ngerjap seperti klilipan. Berat dan pedas. Sudut-sudut matanya masih digerayangi sisa-sisa mimpi. Ia tidak tahu, sudah jam berapa sekarang. Sel tempat ia disekap memang sangat tidak memungkinkan untuk mengetahui dengan pasti pergantian setiap detik, menit, jam, bahkan hari. Ia pun tak ingat lagi, sudah berapa lama menjadi penghuni penjara terkutuk yang sumpek, pengap, dan bau ini.
Yang menjengkelkan, ia harus sering bergaul dengan para penghuni penjara berperangai kasar. Ia sering dijadikan sasaran amarah dan ledakan emosi para pesakitan yang sudah kebelet ingin mencium bau kebebasan di luar tembok penjara. Gertakan, makian, sumpah-serapah, ancaman, pukulan, bahkan ludah bacin tak jarang harus ia terima, tanpa perlawanan. Sangat konyol jika harus melawan mereka. Di penjara ini, hanya okol dan nyali yang berbicara. Makin kuat okol dan nyalinya, mereka malah disegani dan bisa dengan bebas memperlakukan napi lain seenak perutnya.
Yang lebih menjengkelkan, tak jarang Badrun dipaksa melayani nafsu birahi para pendosa yang sudah lama tak pernah mencium ketiak perempuan itu. Perlakuan mereka sungguh kasar bagaikan kuda liar. Melakukan sodomi tanpa kenal waktu. Ia benar-benar merasa jijik dan muak, tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Badrun mengambil napas. Bau kotoran dan air kencing segera menyergap hidungnya. Jlamprang –teman satu selnya yang bertubuh kekar dan penuh tato— masih tidur mendengkur, tengkurap di atas tikar lusuh. Badrun melangkah berat menuju lubang bilik berjeruji besi. Di luar sana, ekor matanya segera hinggap pada lalu-lalang para sipir berseragam yang sibuk mengepulkan asap rokok. Sesekali tampak menggerombol, berbincang-bincang, tertawa-tawa, lantas menyebar ke bilik-bilik, menatap para napi dengan wajah garang dan tak bersahabat.
Huh! Benar-benar menjengkelkan, rutuknya dalam hati. Ulah para sipir penjara pun ternyata tak kalah brengseknya. Dengan mata kepalanya sendiri, ia sering menyaksikan beberapa sipir dengan sikap licik tega “menjual” tugasnya demi uang, tak tahan rayuan napi berkantong tebal yang ingin segera bebas dari sekapan bilik penjara. Dengan berpura-pura mengejar napi yang melarikan diri, sebenarnya mereka sedang berupaya untuk meloloskannya dari kepungan. Berkali-kali peristiwa itu terjadi. Tapi para pejabat teras penjara menganggapnya sebagai risiko sebuah pekerjaan, tanpa ada kemauan untuk mengendalikan dan “memenjarakan” mental bawahannya yang korup. Kalau mental para sipir seperti itu terus dibiarkan, mana mungkin penjara ini mampu menjadi tempat pertobatan bagi para pendosa? Tanya Badrun pada dirinya sendiri.
***
Badrun sebenarnya bukanlah seorang penjahat. Sebelum menjadi penghuni penjara ini, ia bekerja sebagai buruh pabrik tekstil. Ia amat senang dan bahagia dengan pekerjaannya itu. Selain banyak teman sekampungnya yang bekerja di sana, para buruh juga diantarjemput oleh bus pabrik. Penghasilannya kecil memang, tapi itu dianggapnya lebih baik ketimbang harus menjadi “bromocorah” yang suka bikin susah sesamanya. Yang jadi masalah, Sumarni, istrinya, tampaknya sangat tersiksa dengan cara hidup seperti itu. Setiap kali kalender jatuh di angka 20 ke atas, isterinya terus uring-uringan. Berwajah suntrut, sampai-sampai tak berkenan tidur di atas ranjang bersamanya.
“Mbok ya cari sampingan apa gitu toh, Kang! Masak Sampeyan tega membiarkan nasib kita terus-terusan seperti ini! Coba, Kang, Sampeyan pikir! Utang kita di warung Bu Karni makin menumpuk, sementara uang sekolah si Darpono sudah nunggak lima bulan! Ini kemarin dapat surat dari sekolah!” Berondong istrinya dengan mata melotot. Badrun tergeragap.
Diambilnya surat yang tergeletak di atas meja berdebu. Tangan Badrun gemetar. Dahinya berkerut. Bola matanya berkaca-kaca ketika membaca isi surat itu. Sepengetahuannya, uang sekolah anak sulungnya itu selalu ia beresi setiap awal bulan sebelum seluruh penghasilannya jatuh ke tangan isterinya. Ia curiga, jangan-jangan Darpono telah menyalahgunakannya. Tiba-tiba saja darahnya berdesir. Giginya gemeletuk, menahan amarah. Dadanya naik-turun. Ia segera berjingkat menuju bilik anaknya dengan perasaan tak menentu. Di atas kasur tua lusuh, ia melihat Darpono, anak sulungnya, masih meringkuk di balik sarungnya. Dengan amarah yang memuncak, dibangunkan anaknya dengan paksa. Darpono geragapan. Sembari mengucak-ngucak pelupuk mata, bocah yang baru beranjak remaja itu melihat ayahnya seperti monster yang menakutkan.
“Ayo, jawab dengan jujur! Kamu gunakan untuk apa uang sekolah yang ayah berikan, hem?” Bentak Badrun sambil mengguncang-guncang bahu Darpono yang duduk termangu.
“Ayo, jawab!” Tak ada jawaban. Darpono mematung. Di luar sana, sesekali melintas deru kendaraan, samar-samar, lantas lenyap ditelan kabut pagi. Sepi. Hanya terdengar rengekan anak bungsunya dan suara isterinya yang ngedumel dari arah dapur.
Dada Badrun bergemuruh. Wajahnya memerah. Ia merasa telah dipermainkan. Plak! Plak! Plak! Tanpa disadari, telapak tangannya telah menari-nari di wajah anaknya. Darpono merasa kesakitan, terjerembab mencium lantai tanah. Hidungnya mengucurkan darah. Dari arah belakang, istrinya buru-buru menerobos bilik yang sumpek itu sambil menggendong si bungsu yang masih terus merengek-rengek.
“Sampeyan jangan gila, Kang! Kalau sampai terjadi apa-apa, apa tidak Sampeyan sendiri yang rugi?” sergahnya sambil meredam amarah suaminya. Dengan kelembutan naluri seorang ibu yang masih tersisa, perempuan kurus bermata cekung itu bergegas membelai wajah Darpono yang terguguk di lantai.
“Biar saja! Itulah upah seorang anak yang mulai belajar jadi penipu!” sahut Badrun ketus.
“Wong diminta Emak, kkk… katanya untuk mbayar utang Bu Karni, kok!” jawab Darpono gagap. Badrun tersentak. Kepalanya segera berpaling menatap wajah isterinya yang tiba-tiba memucat. Salah tingkah.
“Itu juga salah Sampeyan, jadi lelaki nggak becus ngurus kebutuhan keluarga!” sergah Sumarni merasa tidak bersalah.
“Eee… eee! Sudah jelas salah masih bisa cari-cari alasan! Aku sudah banting tulang setiap hari, semuanya untuk keluarga! Tak pernah sepeser pun aku mengantongi uang! Kalau sampai nggak cukup, mestinya kamu yang ngaca, becus nggak ngurus uang belanja?” sahut Badrun sewot, tidak seperti biasanya yang selalu mengalah. Ia merasa, kesabarannya telah habis.
Pertengkaran Badrun dan isterinya makin memuncak. Rumah reot itu seperti diselubungi kabut. Beberapa orang tetangga tampak ikut menguping sambil mengobral gunjingan miring. Badrun merasa risih. Tanpa pamit, ia bergegas menerobos pintu, menyahut pakaian seragam pabrik, lantas menembus jalan raya dengan perasaan amat masygul.
Setiba di pabrik, benak Badrun makin kacau, memikirkan nasib hidup keluarganya yang belum juga bergeser dari lumpur kemiskinan. Tiba-tiba saja gendang telinganya menangkap gemuruh demonstrasi ratusan buruh yang menuntut kenaikan upah. Dengan spanduk seadanya, mereka mengecam bos pabrik yang dianggap tidak pernah memperhatikan kesejahteraan para buruh. Mereka merasa, selama ini hanya dijadikan sebagai “sapi perah”. Badrun mengambil serangkum napas, lantas bergabung bersama para pengunjuk rasa. Di bawah siraman terik matahari, para buruh terus meneriakkan yel-yel. Dengan penuh semangat, Badrun ikut-ikutan menuntut kenaikan upah. Mulutnya terus berteriak-teriak. Kedua tangannya mengepal ke udara seperti hendak meninju langit. Siapa tahu, dengan cara seperti ini nasibnya akan berubah, pikirnya.
Para pengunjuk rasa makin bertambah dan terus bertambah. Di bawah terik matahari, mereka terus bersemangat meneriakkan yel-yel, menuntut agar upah dinaikkan 200%. Jika tidak dituruti, mereka mengancam akan melakukan mogok kerja total. Aksi mereka didukung oleh beberapa kelompok LSM.
Namun, unjuk rasa itu gagal membuahkan hasil. Tuntutan kenaikan upah itu dinilai pihak pabrik tidak masuk akal dan bersikukuh untuk menaikkan upah hanya sebesar 10%. Merasa tak digubris, para buruh mewujudkan ancamannya. Mereka melakukan mogok kerja total. Tapi, kejadian itu tak mengubah keputusan pihak pabrik. Malah berakibat fatal bagi para buruh pabrik. Sebagian pengunjuk rasa yang gencar menyuarakan tuntutan –termasuk Badrun—dipecat tanpa diberi pesangon.
Badrun benar-benar sial. Ia harus pontang-panting ke sana kemari memburu nasib. Sudah hampir sebulan ia mengacak-acak seantero kota, nasib baik belum juga berpihak kepadanya. Pekerjaan belum juga ia dapatkan, hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang lelaki separuh baya berperut buncit dan berpipi gembul di bawah reruntuhan gedung yang habis dibakar para pengunjuk rasa yang kalap. Dengan santun, lelaki separuh baya itu menawari sebuah pekerjaan mudah dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Satu juta rupiah sekali kerja. Wajah Badrun berbinar. Setumpuk dhuwit melayang-layang di layar benaknya. Tanpa banyak alasan, Badrun menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan lelaki yang tidak dikenalnya itu. Ia benar-benar merasa beruntung. Tanpa harus mengeluarkan banyak keringat, beberapa lembar ratusan ribu sudah jatuh ke tangannya. Badrun pun dengan jitu berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.
Namun, alangkah terkejutnya ketika Badrun baru berjalan dalam langkah seratus meter, gendang telinganya tiba-tiba mendengar ledakan dahsyat, diikuti suara berderak-derak dan jeritan histeris bersambung-sambungan. Ketika menoleh ke belakang, bola matanya membelalak. Mulutnya menganga. Ia tidak percaya terhadap pemandangan di hadapannya. Sebuah gedung plaza yang megah, yang barusan ia tinggalkan itu dalam sekejap telah porak-poranda. Beberapa sosok tubuh bergelimpangan meregang nyawa. Para pengunjung berlarian lintang-pukang ditingkah jerit dan pekik histeris. Terdengar pula raungan sirine mobil patroli aparat kepolisian mebelah kepanikan orang-orang. Suasana kacau.
Badrun tidak tahu, apa yang menjadi penyebab meledaknya pusat perbelanjaan masyarakat kota itu. Mungkinkah benda dalam plastik kresek yang tadi ia taruh di sebuah sudut etalase? Belum sempat ia memperoleh jawaban, tiga orang anggota polisi bertubuh tegap telah memborgolnya. Badrun tergeragap bagaikan rusa masuk kampung.
“Heh, ayo pijit!” Jangan bengong di situ!” seru sebuah suara yang besar dan berat. Badrun menoleh, tersentak. Rupanya, Jlamprang telah bangun. Itu artinya, ia harus siap melayani semua keinginan penjahat bertubuh kekar penuh tato yang konon sudah pernah membunuh belasan orang tak berdosa. Badrun tak menduga kalau harus menjalani hidup di penjara, bergaul dengan para pendosa yang tangannya sudah terbiasa berlumuran darah. Entah! Sampai kapan ia harus menjadi penghuni bilik berbau busuk itu! ***
Badrun yang malang. Sebuah peledakkan sudah meledakkan harapannya. Satu juta rupiah sudah membuat Badrun celaka. Ah! Meski hanya sebuah cerita aku seperti terseret di dalamnya.
Ku lupakan Badrun sesaat setelah aku tinggalkan jejeak di sana. Karena sisa-sisa waktuku kian menyempit. Sebelum mentari terbit, sebelum embun-embun pagi meluap karenanya, aku ingin membuka pintu rumah. Menghirup udara yang segar, melihat embun pagi yang masih terbaring di atas dedauan. Merasakan nikmatnya alam menjelang subuh. Sungguh nikmat udara negeriku.
Sebuah gambaran tragis yang seperti-nya mewakili apa yang terjadi pada kita saat ini Pak Guru. Dan tidak ada satu-pun yang tahu apa yang akan kita hadapi di hari esok 🙄
mungkin masih banyak Badrun-Badrun yang lain di bumi ini, mempunyai sisi gelap kehidupan yang tak dapat kubayangkan.
Gak nyangka lho ternyata pak Sawali punya imajinasi yang luar biasa, masih suka dan sempat mengekspresikan idenya.
Makasih yan Pak ilmunya yang disampaikan di LPMP buat peserta Workshop TIK Banyumas. Aku bisa berkat Bapak, hanya masih punya trouble gimana mendesain muka web dengan variasi gambar seperti yang telah aku kunjungi. dan mengatur tampilannya. Salam …jangan ditertawakan bogku yang pertama.
Wah, benar-benar menyentuh 😥
Nasib buruh memang memprihatinkan dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa, salah-salah malah kena sial.
setuju…
sangadh menyentuh,..
Salam kenal Pak Guru,
Awalnya saya penasaran karena nama Pak Guru sering “beredar”, akhirnya saya mampir.
Cukup tersentak juga dengan Cerpen Penjara. *tidak dapat berkata-kata*
Lain waktu silakan mampir ke blog saya ya?
Ini dia ciri khas pak Sawali… bahasa nya bisa enak gini…
Indah sekaligus mudah dicerna … 😀
Gak muji lho pak, cuma nghomong apa adanya aja …
——————–
Saya agak berhenti tadi mbaca yg ini :
Trus ada lanjutan lagi :
Saya kira tadi maksud istrinya sampingan yang di atas ranjang …
Wah… ngaco aku ya pak … 😆
——————-
Tak semua orang yg pernah masuki penjara atau residivis itu jahat …
Bisa jadi mereka ada korban “kesalahan prosedur” dari petugas kita …
Kisahnya sangat menumbuhkan empati pak …
Masih banyak rakyat kita yang untuk makan sesuap pun tak bisa … 🙁
@ Hanna:
Saya suka banget dengan kalimat2 yang meluncur dari komen Mbak Hanna. Ternyata, masih ada sisa2 embun kedamaian dan ketenteraman menjelang subuh di negeri ini, ya, Mbak. Semoga suasana semacam itu terus memancar menghangati negeri ini menjelang terbitnya matahari dari ufuk timur. *Halah*
@ extremusmilitis :
Betul Beung Militis. Kehidupan manusia seringkali tak terduga. Rencana pun seringkali meleset dari skenario kita. Meski demikian, tidak lantas berarti kita terjebak pada predestinasi. Menyerah *halah sok tahu nih* pada nasib.
@ Retna Karistiyanti:
Aduh, jadi ge-er nih dapat pujian dari Bu Retna. Bu Retna mah dah layak jadi bloger, hehehehe 😆 Apa yang Bu Retna dapatkan dari Diklat di LPMP jangan disia-siakan ya, Bu. Pasti akan banyak manfaatnya.
@ sigid :
Walah, nasib orang kecil biasanya seperti itu, ya, Pak Sigid. gampang terombang-ambingkan oleh nasib yang tidak menentu.
@ rereadriani:
Salam kenal juga Bu Rere. Walah, beredar kayak koran aja, hehehehe 😆 OK, makasih kunjungannya. Ntar saya tak meluncur ke blog Bu Rere, yak!
@ Herianto:
Walah, Pak Heri berlebihan nih mujinya. Jadi sesek kausku, nih.
Cari sampingan di atas ranjang? Jangan bercanda, Pak Heri, hehehehe 😆 Mana kuat orang semacam Badrun cari sampingan yang itu? Buat makan aja susah, hehehehe 😀
Betul sekali. Pak, seringkali ada kesalahan prosedur sehingga orang yang mestinya tidak bersalah malah kena seperti yang dialamu Badrun.
Pingback: Sekali-Sekali Narsis… « cK stuff
ikut terharu, hiks hiks, kasian pa badrun ya pak!
tapi, memang cerpen pak guru ini selalu menggugah rasa kemanusiaan.. salut buat pak guru, saya nuwun sewu ambil ilmunya.!
Wah… cerpen pak Sawali kali ini sedikit lain dari yang sebelum2nya ya?
Yang ini terkesan jauh lebih ‘manusiawi’ dan jauh dari kesan ‘
dedemitwi‘ Tapi tetap sama menggigitnya.Dan sekali lagi penggambaran Pak Sawali atas dunia kriminalitas yang direpresentasikan lewat cerpen ini sungguh hidup dan mendetail seolah2 seperti memperkuat gambaran
potret pak Sawali yang terlihat garang!wakakakakak…. 😆Jangan marah ya pak Sawali, cuma becanda kok!
@ gempur:
OK, makasih, Pak Gempur, tapi jangan terlalu berlebihan mujinya, Pak, bisa jatuh saya nanti, 😆
@ Yari NK :
Wuih, terasa bedanya ya, Bung Yari, hehehehe 😀 Emang nggak ada dhemitnya, Bung! Walah, masak seramah itu dibilang garang, hehehe 😆 Nggak, malah seneng dibilang garang, Bung Yari 😀
hmm.. ternyata badrun masuk penjara cuma karena diperalat ya, paman.
karena meletakkan bom di pusat perbelanjaan.
…
hm.. karena itu saya berniat berkeluarga setelah hidup saya mapan..
🙂
Walah, ternyata mimpi ya Pak. Saya kira menceritakan asal-muasal kenapa Badrun dipenjara… 😀
maksud saya Badrun ngelamun ya Pak? Kok saya nulisnya mimpi ya? Wah ketahuan nih bacanya sambil ngimpi… 😀
@ morishige_pulang_fieldtrip :
Bener Mas Moris, hehehehehe 😀 Turut berdoa semoga cepet dapat jodoh. Duwit memang bukan *halah sok tahu nih* satu2nya penentu kebahagiaan rumah tangga. Tapi duwit bisa juga menjadi sumber masalah seperti yang dialami Badrun itu, hehehehe 😆
@ mathematicse :
Dalam cerpen ini Badrun nggak mimpi, Pak, hehehehe 😆 Dia dipenjara karena tergiur tawaran duwit sejuta yang tak disangkanya dia harus meletakkan sebuah bom. Pak Jupri bacanya sambil mimpi kali, yea? Hehehehehe 😆 *Bercanda, Pak*
hmmm…walofun ndak ada dedemid dalam artian sebenerna, tafi “dedemid” yang dibawakan sama cerfen ini lebih “ndedemid” dibandingkan yang sebelomna…
Ugh! keren sangadh! emosi saia mesti kebawa terus!!!
*menjura ke pak sawali*
salute pak!!!!
Pertama saya setuju dengan Pak Yari NK kalau nuansa cerpen Pak Sawali kali ini agak beda.
Kedua mengenai Badrun …
Kadang saya bingung juga dengan kriminalitas. Benarkah hanya kemiskinan semata yang melandasi dan mendorong terjadinya beberapa kriminalitas? (sepertinya ini pertanyaan retoris).
Kenapa kemiskinan sepertinya sering dijadikan kambing hitam atas terjadinya kriminalitas?
Dalam kasus Badrun, saya tidak tahu apakah aksi Badrun itu semata2 karena kemiskinan atau terpengaruh juga oleh kebodohan (maaf terkesan agak kasar)?
“Kebutaan” Badrun tanpa mengkaji upah yang tidak rasional tsb itu merupakan salah satu bentuk “kebodohan” atau apa?
BTW terlibat aksi peledakan bom kira2 bisa dikategorikan kriminalitas atau tidak ya?
……Hanya seorang guru yang ingin membuat catatan-catatan…
Ternyata pak Sawali ini penulis cerpen yang piawai juga. Kalau begini kata pengantar yang terlalu rendah hati itu perlu diedit hehehe…
Selamat menjelah dunia cerpen, pak. Mudah-mudahan meningkat ke cerber dan novel.
Horas.
Menikmati saja, ngak mampu dan ngak berani komen he he. Asyik juga Pak ai, sering-sering psotingan cerpen. Apalagi pilahan novel, misalnya. Di diri kita apa sudah terinstal ya ‘darah sastra (seni)’ kog terkadang nangkapnya lebih cepat dan nikmat?
@ Hoek Soegirang:
Walah, emosi Mas Hoek kebawa-bawa? Pakai menjura lagi, hehehehe 😆 Jadi geer habis, hehehehe 😀
@ deking:
Kemiskinan bisa saja jadi pemicu tindakan kriminal kalau tidak dibentengi moral yang bagus. Tapi pada kasus Badrun sebenarnya hanya karena faktor manusiawi yang gampang percaya pada seseorang yang belum dikenal dan kepingin punya duwit. Tapi sejatinya kriminal pun sering juga dilakukan oleh orang2 yang tidfak terkategori miskin.
@ tobadreams:
Baru belajar nulis cerpen Bung Huta, hehehehe 😀
@ Ersis WA:
OK, makasih support dan dukungannya, Pak. Benar saja kali Pak Ersis, hehehe 😆
badrun, … wah no coment saja wong ndak bidangnya. yang jelas : ok banget, penggambarannya hidup
Badrun … Badrun saya hanya ngurut dada…
sebegitu bodohnya dia menjalankan tugas itu… *kata pembaca cerpen ini*
sebegitu heroiknya dia menalankan tugas itu … *kata penyuruh*
sebegitu hebatnya badrun dapat duit banyak …*kata keluarganya*
sebegitu tololnya aku .. *katanya stelah dikasih tahu polisi*
kalau dari cerpen saja banyak liku2 hidup ditulis… kapan ya saya bisa menulis cerpen… ajarin pak, tapi bukan buat nyaingin pak Sawali. heheh 🙂
*serakah on*
asik ada mangsa baru… *kata penghuni penjara lainnya*
dst… maaf nambah habis doyan sih 🙂
@ mas ut:
OK, makasih, Pak Ut atas kunjungan san apresiasinya!
@ kurtubi :
Walah, Mas Kurt pasti malah lebih OK kalau mau nulis cerpen. Saya juga baru belajar kok, Mas. Kalau Mas Kurt mau nulis cerpen, walah, saya ikutan seneng banget! Saingan? Halah, Kayak konglomerat saja setiap kali mau buka usaha dianggap saingan, hehehehehe 😆 !
Sukanya tanduk nih Mas Kurt.
gambaran nyata masyarakat kita pak
kadang saya berpikir sendiri, siapa yang mesti bertanggung jawab dengan hal seperti ini, kembali ke masing-masing kah? atau suatu kondisi yang telah diciptakan oleh manusia yang dipercaya itu, lantaran mereka cenderung mendahulukan kepentingan sendiri melalaikan amanah.
dan kejadian seperti ini dalam bentuk lain akan selalu mewarnai kehidupan saudara-saudara kita, kalo boleh saya tahu, menurut Pak Sawali, dengan memberikan subjek jelas, siapa yang mesti bertanggung jawab?
@ peyek :
Hehehehehe 😀 Kata orang sih, Pak, cerpen memang merupakan gambaran realitas yang terjadi di tengah2 masyarakat kita. Yang jadi persoalan, ketika kasus semacam Badrun yang menjadi korban dari seseorang yang tidak bertanggung jawab, siapakah yang mesti bertanggung jawab? Waduh, persoalannya kompleks banget, Mas. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum mesti bersikap tegas dan jujur. Usut setiap kasus hingga tuntas. Jangan sampai Badrun yang hanya menjadi korban yang harus menjadi napi. Dalang di balik semua kejadian itu harus diusut hingga tuntas. *Walah, sok tahu, ya, Mas!*
Anda sangat pintar dalam menulis. Trims. 🙂 IS
sanagt nikmat karena skripsiku dulu sastra juga di ikip surabaya
Semoga ini hanya ada di cerpen Mas Sawali saja bukan kenyataan.
kalo ndak salah pak sawali personilnya D’loyd itu orang penjara semua yah…
hehehe…
*soktahu*
pak saya juga lgi disuruh membuat cerpen nih…hehe
nih lagi seneng baca-baca cerpen buat memunculkan ide .
@ iwansulistyo:
Walah, jadi ge-er nih Mas. OK, makasih.
@ Imam Mawardi:
Oh, Oak Mawardi orang sastra juga rupanya, selain fasih dalam hal kegamaan. Salut3x.
@ Simbahe Sales:
Iya, ya, hanya sekadar imajinasi, Mas. Tapi bisa saja terjadi seperti yang dialami Badrun itu, hehehehe 😆
@ Moerz:
Walah, penyanyi? Selalu sedih setiap dengar lagu itu,
@ bacteria :
Oh, bagus itu, Mas Bach pasti bisa. Sering2 aja nulisnyam, yak! hehehehehe 😆
Nggak hanya kekayaan yang membuat kita lupa diri, kadang kemiskinan pun bisa membuat akal jernih kita buyar demi niatan menghidupi anak istri. 🙁
kasihan…….
Pingback: Ceramah Perkawinan yang OOT « SANTRI BUNTET
@ rozenesia:
Bener banget Mas Roze. Kemiskinan kadang malah menumbuhkan kesesatan baru.
@ ladokutu :
Walah!
Bagus…
multi dilema…
penjara, kemiskinan, buruh, seperti lingkaran saja saling bertaut 😀
@ goop:
walah, multidimensi? aduh, makasih mas goop apresiasinya.