Bisa jadi benar kalau ada yang mengatakan bahwa tahun 2009 adalah tahun politik buat bangsa kita. Pada tahun itulah para politikus ditengarai akan menggenjot dan menguras naluri politiknya untuk melakukan proses tawar-menawar. Apalagi kalau bukan tawar-menawar kepentingan. Siapa menguntungkan siapa agaknya akan menjadi jurus paling jitu bagi politisi dalam mewujudkan ambisi dan mimpi-mimpinya.
Karena yang menjadi mainstream politik adalah kepentingan, dengan sendirinya akan terjadi pertarungan antarkelompok kepentingan jauh sebelum pemilu tiba. Masa-masa kampanye dinilai sebagai masa-masa paling rawan. Mobilisasi massa dalam bentuk pawai atau arak-arakan, meski jelas-jelas dilarang, agaknya masih menjadi pilihan bagi seorang politikus dalam upaya melakukan unjuk kekuatan. Dari sinilah awal pertarungan kepentingan itu dimulai.
Ya, ya, ya! Sesungguhnya bangsa kita sudah sangat kenyang pengalaman dalam menggelar kampanye. Putaran ajang pesta demokrasi lima tahunan itu idealnya bisa memberikan jaminan fatsun dan kearifan politik bagi kaum elite politik kita. Namun, agaknya nilai-nilai semacam itu telah jauh ditinggalkan. Situasi kampanye yang tegang dan sarat intrik seringkali mewarnai atmosfer pra-pemilu. Kaum politisi kita tak segan-segan membuang banyak dhuwit demi memenuhi hasrat politiknya. Tak jarang, para simpatisan sebuah parpol gontok-gontokan dengan simpatisan lain yang dianggap tidak sealiran. Yang lebih repot, persoalan politik sering dikait-kaitkan dengan masalah agama dan keyakinan.
Dalam atmosfer “chaos” semacam itu tak jarang muncul para petualang yang sengaja mengambil keuntungan pribadi dan kelompoknya. Nah, kemunculan para petualang politik semacam inilah yang perlu diwaspadai. Para pelaku politik harus ekstra-hati-hati dalam menempuh siasat dan strategi agar tak sampai terjebak dalam situasi yang tak menentu. Namanya saja petualang politik, mereka akan bermain jika mendapatkan peluang dan kesempatan.
Para politisi kita seharusnya bisa mengambil banyak pelajaran berharga dari sosok Barack Obama. Berkat kejeliannya dalam memanfaatkan jaringan dan komunitas maya, dia sukses memperkenalkan visi dan misi politiknya sehingga dikenal banyak kalangan. Dia tak segan-segan merangkul kalangan dari berbagai lapisan untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan. Tanpa melakukan show of force dan mobilisasi massa, masyarakat Amerika justru memilihnya sebagai sosok pemimpin Paman Sam yang diyakini benar-benar akan menjadi ikon dan simbol perubahan ketika saat-saat krisis global itu berkecamuk.
Dalam konteks Indonesia, memang jurus-jurus Obama tak bisa diaplikasikan sepenuhnya dalam realitas politik di negeri ini. Sebagian besar masyarakat kita tinggal di daerah pedesaan yang mash minim aksesnya terhadap internet. Meski demikian, tak ada salahnya kalau sasaran massa yang dituju adalah kalangan klas menengah ke atas, kaum politisi kita tak segan-segan menggunakan internet sebagai media komunikasi politik. Pemanfaatan media maya dalam konteks politik negeri kita juga diharapkan dapat mengeliminir munculnya para petualang dan broker politik untuk bermain. Nah, mengapa era digital ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh kaum politisi kita? ***
sangat di sayangkan sekali sistem politik di indonesia sangat kacau balau sekali dan kadang kadang gak masu akal.