Ketika sekat-sekat primordialisme diangkat orang ke permukaan hingga meruncing menjadi konflik antarsesama secara horizontal, sejatinya kita telah kembali ke budaya masyarakat purba yang menabukan perbedaan. Realitas yang muncul bukanlah “kemauan politik” untuk melihat perbedaan sebagai sebuah kekayaan budaya, melainkan lebih pada upaya untuk membangun sentimen-sentimen etnisitas berbasis chauvinisme dan egoisme sempit. Realitas semacam itu diperparah dengan sikap fanatisme dan taklid membabi buta. Akibatnya, struktur sosial-budaya masyarakat kita yang demikian beragam menjadi sangat rentan terhadap konflik berbau SARA.
Sejarah kita telah mencatat banyaknya kasus kekerasan yang dipicu oleh perbedaan. Tak hanya perbedaan yang kasat mata, tetapi juga perbedaan dalam ranah ideologi dan pemikiran. Ibarat kerikil dalam sepatu, mereka yang tidak sepaham dan sependapat dianggap sebagai penghambat yang mesti disingkirkan.
Kalau kita mau jujur, sesungguhnya perbedaan itu mustahil bisa diseragamkan. Secara fisik, setiap orang dilahirkan dalam kondisi yang berbeda. Demikian juga dalam ranah ideologi dan pemikiran. Dengan kekhasan cara pandang dan alur berpikir yang ada dalam dirinya, setiap orang akan tampil secara utuh sesuai dengan kekhasan dirinya. Kalau mereka diseragamkan, yang terjadi kemudian adalah sebuah proses anomali; tidak nyaman dan tidak kondusif dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kita sungguh prihatin menyaksikan meruyaknya kasus kekerasan yang secara beruntun membuat wajah kebhinekaan Indonesia ternodai. Aksi-aksi anarkhi yang berlangsung pada masa-masa menjelang dan pascareformasi, misalnya, sungguh memberikan ilustrasi betapa struktur sosial-budaya masyarakat kita yang beragam gampang sekali terinfeksi virus kekerasan. Tawuran antarkampung, pembakaran tempat-tempat ibadah, unjuk rasa berbau anarkhi, atau aksi-aksi vandalistis lainnya, setidaknya sudah bisa menjadi bukti betapa keberagaman menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Selalu saja ada upaya penekanan dan pemaksaan kehendak dari pihak-pihak tertentu untuk mengingkari makna keberagaman dan kebhinekaan.
Dalam konteks demikian, sudah saatnya dunia pendidikan kita mengambil peran sebagai institusi yang dengan amat sadar menjadikan pendidikan multikultural sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dinamika dunia pendidikan. Implementasinya bisa diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran lintasmata pelajaran, sehingga tidak perlu dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Para guru yang berdiri di garda depan dalam proses pembelajaran diharapkan dapat melakukan aksi-aksi inovatif dengan mendesain pola pembelajaran yang menarik dan menyenangkan sehingga secara tidak langsung siswa didik bisa belajar untuk menerima perbedaan sekaligus menjadikannya sebagai kekayaan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang wajib dilaksanakan oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan mulai tahun 2009/2010 –berdasarkan Permendiknas No. 24/2006—perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih jauh hingga menyentuh ranah pendidikan multikultural. Guru yang menjadi “aktor” pembelajaran perlu melakukan pemetaan ulang terhadap standar isi kurikulum sehingga bisa diketahui dengan jelas Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) masa saja yang bisa disisipi pesan-pesan pendidikan multikultural. Berdasarkan SK dan KD yang telah terpetakan, guru bisa menambahkan beberapa indikator untuk mengukur tingkat kognitif, psikomotor, dan afeksi siswa didik terhadap nilai-nilai multikultural.
Ibarat sebuah mozaik, Indonesia justru akan kehilangan keindahannya jika elemen-elemen pembangun bangsa ini diseragamkan dalam satu warna. Setiap entitas pembangun bangsa dengan karakternya masing-masing perlu dimaknai sebagai kekayaan budaya yang akan membuat “mozaik Indonesia” menjadi lebih indah dan elegan. Idiom “Bhineka Tunggal Ika” yang sudah lama bergaung di negeri ini perlu digali dan terus dikaji sehingga tak terjebak menjadi motto dan slogan semata. ***
Perbedaan adalah rahmat dan begitu indah……..mana mungkin sebuah bangunan berdiri jika tidak dari perbedaan itu. Maka perbedaan adalah sebuah kekuatan yang dahsyat yang saling bersinergi untuk membangun sebuah peradaban.
betul banget, bung abdillah. jika perbedaan itu ditiadakan, justru malah menimbulkan ketidakharmonisan bangunan sebuah bangsa.
wah komentator pertama neh pak..hehe
Baca juga tulisan terbaru Alexhappy berjudul RIAK-RIAK JIWA
hehehe … nggak sulit komentar pertama di blog ini kok bung abdillah, hehehe …
Lumayan, nomer 3.
Saya jadi teringat sebuah cerita di sebuah radio entah namanya, tentang pendidikan di negeri binatang. Di sebuah sekolah, gajah, kambing, ikan, burung dan hewan lain2 dimasukkan dalam sebuah sekolah dengan kurikulum yang seragam. Alhasil, tentu yang paling sedih adalah gajah, ikan ketika harus diberi pelajaran terbang, sementara si burung tentu mendapat nilai amat sangat memuaskan sekali. Sebaliknya ketika pelajaran berenang, si burung akan menangis, karena tentu tidak akan bisa menyelam dan berenang, sementara si ikan akan bangga dengan kemampuannya berenang. Dan seterusnya dan seterusnya silahkan dilanjutkan sendiri.
Kesimpulan: menyatukan sesuatu yang tidak satu itu bukan hal yang mudah, bahkan bisa menjadikan susah, lalu menjadi payah. Jangan abaikan pendidikan multikultural, justru jadikan perbedaan itu sebagai sebuah himpunan untuk menyusun kekuatan bangsa ini.
(bener atau salah ya….:-? )
Baca juga tulisan terbaru Rochman berjudul Dana Block Grant Pemberdayaan MGMP
wah, sbeuah tamsil yang bagus, pak jaitoe, hehehe …. begitulah, perbedaan mestinya dimaknai sebagai kekayaan budaya, kalau diseragamkan malah bikin repot. ufh!
dulu aja zaman nenek moyang mereka berbeda² tapi bisa bersatu melawan penjajah,, sekarang perbedaan itu yg jadi sumber perpecahan bagi sebagian masyarakat kita… terkadang pemikiran kita terlalu sempit dalam menyikapi perbedaan
yap, betul banget, mas zoel. warisan nenek moyang itulah yang perlu terus digali dan direvitalisasi agar sesuai dg konteks zamannya. kalau perbedaan diseragamkan, justru malah menghancurkan hakikat berbangsa dan bernegara. bisa ndak klop dg platform para pendiri negara.
saya berharap tidak ada lagi kekerasan yang terjadi di negara kita yang hanya diakibatkan karna adanya perbedaan terlebih menggunakan agama sebagai landasan sebuah pemicu perpecahan tersebut, marilah kita semua bergandeng tangan untuk membangun negara kita.
amiin, mudah2an demikian, mbak. semua komponen bangsa perlu bersinergi utk mencegah terjadinya aksi2 kekerasan, apa pun motifnya, apalagi yang berbasiskan SARA.
jadi folosofi: “bhinneka tunggal ika” itu sudah difikirkan secara matang ya pak oleh para pendahulu bangsa 😉
hehehe … sepertinya begitu, mas det. itu kan jelas tersurat dalam motto “bhineka tunggal ika” itu. hiks, kok jadi sok tahu saya, hehe ….
Wah, kali ini kena dech saya di sentil Pak Sawali!!
Soalnya saya mengajar biasanya dominan menggunakan satu bahasa daerah, yakni bahasa Banjar. Sebabnya karena 100% siswa saya mengerti dan menggunakan bahasa daerah Kalsel tersebut.
Tapi saya baru terpikir, bagaimana nanti jika siswa-siswa saya pergi ke daerah lain tentu akan kesulitan karena saya kondisikan terbiasa berbahasa Banjar. Harusnya saya menggunakna Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mulai saat ini saya akan mencoba menggunakan bahasa nasional kita ini dalam mengajar.
Baca juga tulisan terbaru Syamsuddin Ideris berjudul Standarisasi Wireless yang Membingungkan.
walah, saya ndak bermaksud menyentil siapa2 kok, termasuk pak syam, hehehe …. ttg penggunaan bahasa dalam pemelajaran, agaknya juga sangat tergantung konteksnya, pak. namun, kalau situasinya benar2 formal, memang dianjurkan utk menggunakan bahasa Indonesia baku sesuai dg kaidah yang berlaku.
hiduuuup… :d/
hehehehe ….=d>
maunya seragam sekolah aja
kalo otak harus sragam… robot dong jadinya :((
iya, juga. mas suwung, kalau seragam dalam soal pakaian sih memang dianjurkan utk menghilangkan kesenjangan antara anak si kaya dan si miskin. tapi kalau pikiran juga hendak diseragamkan, duh, betul2 jadi robot betulan tuh, hehehe ….
wadoh, gmn cara menerapkannya dlm pelajaran ya, bung sawali?
apa kudu ada mata pelajaran tersendiri utk menyikapi perbedaan? 🙂
hehehe … kan dah saya singgung juga di postingan, mas toim. ndak harus jadi mapel tersendiri, tapi diintegrasikan pada setiap mapel sesuai dg kompetensi dasar yang hendak disajikan kepada siswa.
bersatu kita teguh bercerai kita runtuh…:d/
setuju bangte, mbak. seharusnya begitu, saling bergandengan tangan dan menghindarkan permusuhan.
Bangkitlah Negeriku, harapan itu masih ada… hihi gak nyambung
amiiin, mudah2an dg mengakui perbedaan sebagai bagian dari budaya, bangsa kita akan bangkit menuju “Indonesia Baru” yang lebih baik, gus.
kalaupun itu akan dilaksanakan, maka susah bagi aparatnya untuk berjalan lurus menjalankannya mas..
sepertinya budaya serong kanan dan kiri sudah susah dihancurkan dari diri kita…
Baca juga tulisan terbaru okta sihotang berjudul Asik dan Sedihnya Akhir Tahun
walah, kok malah melibatkan aparat. ini diterapkan dalam proses pembelajaran, mas okta, hehehe … penerapannya akan sangat ditentukan oleh kreativitas gurunya.
Waduh bahasanya tingkat tinggi (celingak celinguk ,:-\”)
Semoga Indonesia bangkit dan terus maju..
Kalo tidak ada perbedaan tidak ada kata persatuan..
Baca juga tulisan terbaru Danta berjudul Akhirnya WordPress 2.7 telah Dirilis
walah, biasa saja, kok, mas danta, hehehe … amiin, mudah2an harapan seperti itu bisa terwujud, mas.
Saya se7 bgt pak, biarlah Indonesia ttp Bhinneka shg Garuda tetap gagah mempersatukan. Skrg ini banyak yg coba memaksakan kehendak agar seragam shg membuat Indonesia spt tercabik-cabik bukan malah bersatu.
nah itu dia, mas dewanto, kalau sdh ada upaya pemaksaan kehendak, bisa repot. esensi kebhinekaan jadi hanya ada dalam slogan belaka, haks.
menurutku pembelajaran materi itu sudah ada di sekolah meski tidak terlalu dalam. tapi bukankah pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah. ortu n masyarakat harusnya jg turut berperan.
coba kita pikirkan ktk seorang anak diberi pelajaran tentang toleransi antar suku, tp di rumahnya orang tuanya sering mengatakan “dasar orang jawa, lembek” atau “dasar cina” atau di sekitar rumahnya sering orang sering bilang “orang islam kl sembahyang triak triak” atau “orang kristen kalau berdoa pakai patung” dr mana anak itu akan belajar lebih banyak?
mungkin tanggung jawab pendidikan bukan hanya di pundak sekolah tp jg lingkungan keluarga dan masyarakatny.
memang benar, mbak sesy, tapi hanya ada dalam mata pelajaran PKn (Pendidikan Kewaragnegaraan). dalam hal ini, saya setuju banget, pendidikan multikultural ini tak cukup hanya diserahkan tanggung jawabnya kepada sekolah. orang tua tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah perlu menciptakan situasi yang kondusif shg anak2 masa depan negeri ini bisa memahami, mengapresiasi, dan menerapkan nilai2 multilkultural itu dalam kehidupan sehari-hari.
Hidup golput! Merdeka! Merdeka! Merdeka! :d gak nyambung yach?? Boleh cerita gak bozz?? kebetulan saya punya beberapa teman dari berbagai daerah dan kita sudah kayak sodara sendiri bahkan sering ejek2an masalah SARA tapi kita gak pernah tawur tuch kita anggap jokes ajah, hehehhee.:d/
hehehe … kalau sama2 sudah saling memahami dan daling pengertian, lebih2 dg sesama teman yang sudah akrab, sepanjang tdk sampai meruncing menjadi konflik kok masih bisa dimaklumi, mas bawor, tapi kalau sudah terlalu jauh meluas hingga muncul konflik, nah, inilah yang perlu diwaspadai, hehehe ….
spakat mas, guru harus kreatif..
slain berfungsi sebagai pendidik, guru juga hrs dapat berfungsi sebagai motivator dalam menanamkan pesan-pesan moral nasionalisme dan kebangsaan..
Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Ban Bocor !
begitulah idealnya, mas kurnia. kalau guru hanya text book, siswa ndak akan pernah terinspirasi utk menghargai perbedaan yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari.
sebagai calon guru saya merasa prihatin klo masih ada kekerasan dalam Sekolah. Mending pelakunya kirim ajah ke kejuaraan Tinju Dunia 😀
Baca juga tulisan terbaru badoer berjudul Persiapan Blog Baru
hehehe … bener juga tuh, mas badoer. kalau sdh ada ring tinju, kenapa mereka masih suka pamer jab dan stright di jalan2, ya? kekeke ….
pak, saya baca hasil survey terhadap Guru, 70% diantaranya tidak mau memiliki Kepala Sekolah Non Muslim, gimana mau Bhineka Tunggal Ika 💡
Baca juga tulisan terbaru isnuansa berjudul Megawati Soekarno Putri di Kick Andy
duh, survey aja kok mesti dikaitkan dg masalah agama toh, mbak, hehehe … siapa yang mengadakan survey itu, mbak? sepanjang mereka memiliki kompetensi yang bagus sebagai kepala sekolah, apa pun agamanya, saya kira kok ndak ada masalah. lagian responden dalam survey itu siapa saja, mbak? apakah mereka sudah bisa dianggap representatif?
Perbedaan adalah merupakan Hukum alam dan manusia sampai kapanpun tidak akan pernah mampu merubahnya hanya saja perlu pemimpin/ seorang yang bijaksana yang mampu menjadikan perbedaan menjadi sesuatu yang saling melengkapi satu sama lainnya niscaya perbedaan akan menjadi sebuah rahmat bagi kita semua
Baca juga tulisan terbaru achmad sholeh berjudul Nasib Penerbit Buku Pelajaran Pasca Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2008
sepakat, pak sholeh, karena sudah jadi hukum alam, sia2 kalau perbedaan itu diseragamkan. idealnya memang perlu dipadukan hingga membentuk sebuah harmoni, pak.
Acuan pendidikan indonesia sebetulnya tidak jelas, apalgai kurikulum yang cendrung berubah, mulai dari Kurikulum 1994, 1994 yang disempurnakan, KBK, KTSP
Apakah salah bila bangasa ini anak mudanya jadi penyebar kekarasan sementara pendidikan dijadikan ajang proyek dan pendulang uang ?
siapa yangharus bertanggungjawab ?
Baca juga tulisan terbaru myrazano berjudul Mendidik Dengan dan Cinta Kasih Sayang
persoalan yang dihadapi dunia pendidikan kita memang semakin rumit dan kompleks, mas myzarano. banyak birokrat pendidikan yang ndak punya basis pendidikan yang bagus, tapi mereka “dipaksakan” utk mengurus pendidikan yang notabenemenjadi penentu kualitas hidup bangsa. bisa jadi itu salah satu penyebab dinamika pendidikan kita mengalami set-back. namun, idealnya, pendidikan anak juag mesti menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah. mereka perlu bersinergi secara serius. sungguh merepotkan kalau anak2 sekarang malah akrab dg dunia kekerasan ketimbang dunia keilmuan.
Orang hidup tidk bisa lepas dari yang namanya kepentingan. kita memang terbiasa berbicara, berfikir, dan bertindak sesuai dengan kepentingan kita, entah itu kepentingan politik, agama, ras, ekonomi dll. Siapapun itu tokoh pemimpin kita, dia pasti melakukan itu.
Baca juga tulisan terbaru alifahru berjudul Sekilas Jawaban Subdomain
bener juga, mas fahru. meski demikian, kepentingan jangan sampai menghalalkan cara2 kekerasan utk mencapai tujuan.
perbedaan memang susah diseragamkan pak.
tapi bisa dikolaborasi
Baca juga tulisan terbaru budi tarihoran berjudul PayuDara siapa ini!!!
hehehe …. memang ndak perlu diseragamkan kok, mas budi, tapi dikembangkan dan dikolaborasi hingga menjadi bagian dari budaya yang sehat dan mencerahkan.
Semua gara-gara orde baru yang kita semua di paksa untuk memakai SERAGAM sekalipun kita tidak senang dengan paksaan itu. Oleh karena itu butuh intuisi para pendidik untuk mampu menaggalkan seragam itu dan memperkenalkan ada seragam lain di sekitar kita yang harus di hormati sebagai bagian dari anugerah tuhan.
Baca juga tulisan terbaru imoe berjudul …angka 3 dan 0 untuk kebetulan maryamah karpov…
betul juga, mas imoe. yang lebih repot, orba tak hanya sebatas menyeragamkan hal2 yang bersifat lahiriah, tapi pikiran dan ideologi pun hendak diseragamkan. jadi makin repot.
sangat disayangkan kalo ada yang masih hidup dengan pikiran terkotak kotak..karena orang jaman sekarang orang2 bule malah udah banyak yang terbebas dari maslah budaya dan agama.
Baca juga tulisan terbaru boyin berjudul Jangkrik goreng ini, bukan kecoak
nah itu dia yang jadi masalah, mas boyin. kenapa juga bangsa kita malah memperuncing perbedaan, bukannya menjadikan perbedaan sebagai bagian dari budaya yang mencerahkan.
Saat ini, para guru lebih suka “mengkhianati” kurikulum untuk mengejar target UN
eh, pak santo, lagi ol juga rupanya, hehehe … MGMP sdh punya web, pak, kalau tdk keberatan, biar pak santo yang memgang adminnya, hehehe … silakan kunjungi http://mgmpbismp.co.cc/ pakai domain gratis dari co.cc dan hosting gratis dari webhost. selama ini belum ada masalah. mudah2an saja stabil. btw, un selama ini memang telah jadi beban teman2 kita, pak. kalau nilai un hancur, biasanya kita2 juga yang dijadikan kambing hitamnya, haks.
Sing komentar sesuai rel wis akeh, ngomongke bab kurikulum saya juga sudah meniren. Ijinkan saya numpang lewat saja, sekedar menjaga posisi di 5 besar top komentator…
Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Twain
hehehe … ndilalah bar saka LPMP kon nggelar kegiatan pengembangan KTSP maneh, hiks, apa ora tambah meniren, horo toh, hehehe … dos pundi niki pak mar, hiks.
bhineka tunggal ika
berbeda yang satu juga.
betul Pak Sawali.
Perbedaan yang memberi arti untuk negeri ini
Baca juga tulisan terbaru ILYAS ASIA berjudul hujan selalu mesra
iya, begitulah, mas ilyas, semoga saja bangsa kita bisa hidup damai dan nyaman di tengah2 perbedaan.
Wah nggak tahu nih komentar yang ke berapa …
– sedulur satu kandung saja banyak perbedaannya, emangnya mesin fotocopy.
– saya baca di atas kok seperti tidak mudeng, maklum pak sawali, sambil baca saya melamun, caranya gimana ya nulis terus seperti lewat jalan tol tak ada hambatan, gembrojog kaya air PDAM di malam hari. Lha saya kok angel temen nulis, punya pikiran tapi mengekspresikan ke tulisan kok kayak air PAM di RSS yang untuk mandi jam 6 pagi, iwir – iwir…, piye jal (emangnya Suara Merdeka)
– Alhamdulillah sudah baikan, … takdir menghendaki saya tinggal di rumah tidak ke LPMP …sekarang saya lagi termakan iklan hp smart 1200P, sekalian tak coba di rumah…lancar…. dia ngasih gratisan 2Gb tiap bulan selama 6 bulan jadi total 12 Gb padahal harga Hpnya Rp 289.000,- …. lumayan pak agak ngirit kocek daripada pakai punya telkom, tadinya saya tak percaya, tapi saat ini saya lagi nyoba …. sukses.
walah, nulis saja kok dibandingkan dg air pam, hiks, pak wahyu ada2 saja nih. wah, sykurlah kalau sudah sehat, pak. btw, saya dan pak mar sudah kadung langganan 99net. hanya 175 rb per bulan, unlimitted. ngeblog sampai subuh, mbayarnya juga segitu. mudah2an saja hp smartnya lancar dan stabil, pak.
saatnya untuk mencari persamaan dalam perbedaan bukannya malah memperuncing jurang perbedaan.. 🙂
Baca juga tulisan terbaru emfajar berjudul Media Cetak di Era Digital
betul banget, mas fajar. semoga saja hal itu bisa secepatnya terwujud, tak ada lagi kekerasan karena munculnya perbedaan.
tulisan yang mencerahkan, pak sawali. walaupun menyadari arti pentingnya, tidak banyak pendidik yang sadar untuk memasukkan kultur secara eksplisit dalam kurikulum.
namun walaupun bukan dalam bentuk eksplisit, mestinya guru dapat bertindak sebagai role model atau teladan dalam kebinekaan kepada siswa-siswanya (tantangannya nanti adalah dalam hal penilaian, pak. bagaimana menilai kemampuan generik dan psikomotor seperti saling pengertian dan kerjasama dalam kondisi multikultural? indikatornya pasti tak gampang).
keberagaman memang hendaknya membentuk mozaik yang indah, bukan mencetuskan pertentangan dan perasaan superioritas satu sama lain.
Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Bukan Cinderella
memang bukan hal yang mudah utk mengimplementasikan pendidikan multikultural ini, mbak yulfi, tapi bukan berarti tdk bisa, hehehe … kalau menurut saya instrumen yang bisa digunakan utk mengukur bukan instrumen penilaian yang bersifat kognitif, tapi sikap dan perilaku dg menggunakan lembar pengamatan, baik di dalam maupun di luar kelas. saya sendiri sedang mencoba mencari bentuk penilaian yang mendekati sahih, mbak.
wah, memang sebuah perbedaan bisa menjadi sebuah keindahan tersendiri…. dan kalau memang perbedaan ini diseragamkan, apa gunanya ‘bhineka tunggal ika’? apakah hanya menjadi pijakan si garuda saja tanpa dimengerti maknanya? namun kadang ada perbedaan yang memang perlu diseragamkan… kembali lagi, tergantung konteksnya….
Baca juga tulisan terbaru aziz berjudul SEBUAH CURAHAN OTAK
hehehe … kalau hal2 yang bersifat lahiriah, masih bisa dimaklumi, mas azis, misalnya ttg pakaian anak2 sekolah, tapi kalau sudah menyeragamkan ide dan pemikiran, duh, repot!
kalo ndak ada perbedaan, jadi garing indonesia. semua serba sama. kemana-mana sama. ga ada variasi, ga ada lagi pembelajaran dan sosialisasi seindah dulu (apa sekarang masih?). tapi apa cara kita bermasyarakat masih sama seperti jaman dulu? ada yang sudah berubah…
Baca juga tulisan terbaru Fenny berjudul Tamu tak diundang [Part II]
iya, bener banget, mbak fenny. makanya upaya utk menyeragamkan perbedaan itu hanya akan sia2 belaka, heheheheh …. ttg sosialisasi saya kira memang usdah berbeda, mbak, tapi nlai dan etika saya kira ndak harus berubah, kok.
perbedaan adalah keindahan.
kenapa ya perbedaan selalu yang dipermasalahkan ?:(
Baca juga tulisan terbaru marsini berjudul Ingin kuabadikan
betul banget, mbak marsini. sepertinya kurang kerjaan aj tuh, mbak, kalau perbedaan jadi sumber konflik dan masalah, hiks.
Semoga Imbauan mas Sawali didengar oleh rekan rekan seprofessi dan Pemerintah Indonesia….
Baca juga tulisan terbaru Michael Siregar berjudul I’m Travelling Man…?!
amiiin, mudah2an demikian, bung michael. dunia pendidikan kita agaknya memang perlu mulai menyentuh pendidikan multukultural itu. bangsa kita juga sudah capek terlibat konflik dg sesama hanya lantaran tdk mau menghargai perbedaan.
Kenapa Indonesia selalu tertinggal?? kalau gak tertinggal hilang…:((:((
Baca juga tulisan terbaru indra1082 berjudul Tembus 100.000 hits?
walah, itu malah lebih tragis, mas indra. ketika bangsa lain sudah melaju mulus di atas jalan tol peradaban dunia, bangsa kita malah masih asyik bertengar di balik semak2, hiks.
Gimana dengan mapel pkn pak? Setiap guru harusnya juga menyelipkan tujuan afektif terkait kebhinekaan bangsa kita. Menghadirkan contoh-contoh yang mengarah ke sana. Kalau tak secara eksplisit dapat dilakukan secara implisit.
mapel PKn tetap diperlukan, pak suhadi, tapi pendidikan multikultural tdk harus menjadi mapel tersendiri. ranah pendidikan ini bisa diintegrasikan ke dalam setiap mapel melalui komepetensi dasar yang relevan, sehingga secara tdk langsung siswa didik kita bisa memahami, menagpresiasi, sekaligus menerapkan nilai2 multikultural itu dalam kehidupan sehari-hari.
“Bhineka Tunggal Ika”, sesungguhnya saat ini hanyalah slogan pengayem-ayem saja mas sawali, paling tidak itu menurut saya pribadi. mugkin diperlukan momentum-momentum seperti masa perjuangan, untuk menjadikannya bukan slogan semata. sehingga rasa kesatuan lebih dominan daripada sekedar sekat primordialisme. pada saat itu, perbedaan akan terasa lebih indah karena kebersamaan perjuangan. kaitannya dengan pendidikan, bisa jadi penanaman sejak dini nilai2 nasionalisme bisa membangkitkan rasa itu (salah satu tugas panjenengan ya mas :). sebenarnya bukan cuma tugas guru, ini adalah tanggung jawab bersama, masyarakat, pemerintah, sekolah.
yuk mulai sekarang,kita bareng2 kita bhineka bukan sekedar pajangan….
Baca juga tulisan terbaru goenoeng berjudul sajak, yang terpinggir
iya, sepakat banget, mas gunung. selama ini semboyan luhur itu hanya terapung-aoung sebatas dalam slogan belaka. implementasinya dalam kehidupan masih belum bisa terwujud secara optimal. saya juga sepakat kalau nilai2 multikutural ini perlu ditanamkan sejak dini kepada anak2. makanya, perlu sinergi antara orang tua, tokoh2 masyarakat, sekolah, dan pemerintah utk bersama2 menciptakan situasi yang kondusif sehingga secara tidak langsung anak2 masa depan negeri ini bisa belajar bagaimana menerapkan nilai2 multikultural itu dalam kehidupan sehari-hari.
Selamat pagi Pak Sawali, *saya awali dgn penggunaan huruf besar dengan baik dan benar*
Di kota saya Samarinda yang sesungguhnya merupakan kota multi etnis, aksi-aksi kriminal, anarkhi, dan kekerasan seperti tawuran antarkampung, pembakaran tempat-tempat ibadah, pembakaran rumah dukun santet, unjuk rasa berbau anarkhi, perkelahian antar etnis atau aksi-aksi vandalistis lainnya justru JARANG bahkan TIDAK ADA KASUS. 😀 *Alhamdulillah*
Apakah ini justru disebabkan oleh multi etnis atau kondisi yang berbanding terbalik dengan terbukanya lapangan pekerjaan di kota ini, atau perpaduan antar dua sebab ini? *mohon dibaca benar-benar, ini kalimat tanya, bukan pernyataan*
Sebagai catatan, coba kita review kondisi demografis daerah – daerah rawan konflik yang biasanya bukan merupakan daerah multi etnis.
*kabuurrr*
Baca juga tulisan terbaru deden berjudul MAKLUM
hehehe …. kok malah kabur toh, mas deden, hiks. syukurlah kalau nilai2 multikultur di samarinda berlangsung kondusif, mas deden. walah, dalam pemahaman awam saya sih sebenarnya multikultur ini sudah termasuk bagian dari sebuah konstruksi sosial yang mustahil diingkari. ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab perbedaan menjadi sumber konflik. angka pengangguran yang membengkak, kesenjangan yang begitu lebar antara si kaya dan si miskin, atau munculnya petualang2 politik yang ingin memanfaatkan situasi, bisa menjadi penyebab perbedaan menjadi demikian gampang dijadikan pemicu konflik. yang terbagus adalah tindakan preventif dg menanamkan nilai2 multikultural ini sejak dini kepada anak2 sejak dalam lingkungan keluarga. sekolah menguatkan, sedangkan masyarakat perlu menciptakan situasi yang kondusif.
Perbedaan adalah aset dan kekuatan kita sebagai
bangsa yang majemuk. Perbedaan hrs selalu dijadikan
sbg faktor pemersatu, bukan sbg benih konflik
justru itu pendidikan multikultural
mutlak diperlukan sejak dini :)>-
Baca juga tulisan terbaru mikekono berjudul Ketika Aturan pun Asal Bikin
yaps, idealnya begitu, mas agus. perbedaan idealnya menjadi modal efektif bangsa utk membangun konstruksi sosial yang kuat, bukannya menjadi biang konflik. agaknya memang diperlukan revitalisasi terhadap nilai2 multikultur itu agar anak2 masa depan negeri ini tak gampang diseret ke dalam konflik hanya lantaran perbedaan itu.
Membaca tulisan ini sekaligus saya memohon ijin untuk mengkopi tulisan bapak dan tulisan tulisan yang lain dan meref kan blogg bapak kepada beberapa teman dan sahabat para guru yang sedang memmbangun profesionalitasnya di daerah Sumatra selatan tepatnya di Batumarta Oku Timur Sumsel.
Sebelumnya terima kasih
dan mudah mudahan tulisan tulisan bapak semakin memberikan ispirasi bagi sahabat yang lain
salam hormat saya
Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul Virus Menulis Berbunga Bunga
duh, jadi tersanjung banget nih, mas totok, hiks, silakan mas totok, maskaih banget kalau mas totok berkenan utk merekomendasikannya kepada saudara2 kita yang ada sumatra selatan. semoga upaya mulai mas totok mendapatkan sambutan yang positif.
kembali membicarakan hal ini saya jadi ingat kepada beberapa kawan yang berfikir tentang bagaimana mencari solusi untuk mengembangkan dunia pendidikan sebagai salah satu peranan penting untuk membangun dan mengenalkan multi kultur dan mestinya dari sisi ini profesionalitas di ukur hingga sejauh mana keberhasilan dalam menyampaikan pesan kepada anak didik mengenai hal ini
dalam kehidupan di tanah transmigarasi semua ini menjadi hal yang sangat penting karena di sana tidak saling mendominasi potret indonesia dan kebinekaannya memang tercermin disana
salut untuk yang kembali mendongkrak multikultural
Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul Selamat Datang 2009 di Gunung Kelir
mungkin perlu dijadikan mata pelajaran tersendiri tentang bhineka tunggal ika itu pak dikurikulum.
walah, sepertinya tdk harus jadi mapel tersendiri, mas epat, sebab selama ini anak2 sudah terbebani dg banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai. malah makin repot kalau mereka ditambahi beban mapel lagi, hehehe ….
jaman dulu ada semacam RPU atau rangkuman Pengetahuan Umum yang membahas dan mengenalkan keragaman budaya dan sukunya entah kayaknya sekarang tidak ada
saya masih ingat betul waktu itu bisa mengetahui jumlah propinsi lengkap dengan ibukotanya serta hasil tambang dan adat istiadatnya
Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul Selamat Datang 2009 di Gunung Kelir
wah curang
masak ak ditaruh no 77 seh????
trus ntar ada yang berkunjung ke blogku gak ya….
Baca juga tulisan terbaru roy berjudul Kemarahan Badan Eksekutif Mahasiswa
hehehe …. apa bedanya no 77 dan no yang lain, mas roy, hehehe … ntar deh saya yang akan berkunjung ke blog mas roy. jangan khawatir. langsung meluncur ke TKP!
Pak… salut deh… postingannya keren2…. pasti pak Sawali guru yang teladan dan disayang sama murid2nya…
walah, makasih banget apresiasinya, mbak lyla, tapi sungguh, saya hanya guru biasa saja, kok, mbak, kebetulan saja suka nulis dan ngeblog, haks.
Dari hal yang paling kecil, dan mungkin tanpa kita sadari adalah ketika pertama melihat sesuatu seringkali yang dilihat adalah perbedaanya, ….
Itu keliatannya sifat dasar manusia, karena dengan melihat perbedaan dia akan bisa membedakan hal-hal yang dia lihat dan rasakan, sehingga kehidupan berjalan dengan “normal” ..
Tetapi kadang-kadang karena itu sudah menjadi reflek kebiasaan, kita juga selalu melihat perbedaan terlebih dahulu dengan saudara-saudara kita, .. dan kita memperparah dengan melihat perbedaan itu dari sudut negatif ..
Wallahu’alam
Baca juga tulisan terbaru adhi berjudul Mobile Site : http://www.ubik.com
iya, memang bener banget, mas adhi. ketika ada sesuatu, pasti yang kita lihat dan yang paling mencolok adalah perbedaannya, nah, itu dia, idealnya perbedaan justru perlu dimaknai sebagai sebuah elemen yang saling melengkapi, bukan utk diseragamkan, hehehe .. *duh kok jadi sok tahu saya, haks.
Selamat malam Pak Sawali, inilah yang terjadi. Banyak orang yang memiliki pendangan bahwa dirinya yang terbaik, paling unggul, paling berhak hidup, dan pandangan yang lain harus dibasmi. Mereka menyebut pandangan lain itu buruk, padahal jika mau jujur malah dirinya sendiri yang infantil. Setuju pak, keberagaman tidak mungkin dihapus di muka Bumi. Jadi solusi terbaik adalah jadikan keragaman sebagai manfaat positif.
Baca juga tulisan terbaru laporan berjudul Membangun self host media di situs web YouTube
selamat siang, pak aryo, hehehe … njawabnya siang sih soalnya, hiks. nah itu dia persoalannya, pak aryo, masih ada juga beberapa pihak yang suka mengklaim dirinya sebagai orang yang paling benar, lantas mengklaim pihak lain salah. situasi spt ini yang seringkali menjadi pemicu konflik. solusinya tepat sekali seperti apa yang disampaikan pak aryo, perlu menjadikan keberagaman sebagai bagian dari kebudayaan yang positif.
saya bingung pak sebenarnya apa yang salah dengan bangsa kita? mengapa tidak bisa menerima perbedaan? begitu isu SARA dihembuskan langsung terjadi keributan.
Baca juga tulisan terbaru endar berjudul Qurban
bisa jadi karena selama ini kita belum menyadari bahwa perbedaan itu bisa memberikan makna yang positif, mas endar. bahkan, masih banyak yang berpandangan sempit bahwa dirinya dan kelompoknya yang terbaik. bisa juga lantaran indoktrinasi selama rezim orba yang menabukan perbedaan.
naluri manusia melihat kelompok lain yang berbeda selalu sebagai sebuah ancaman. tinggal kita bisa nggak berhenti menganggap manusia sebagai objek klasifikasi. atau saya sedang mengigau ??? ah selalu.. plakkkk 😀
Baca juga tulisan terbaru mantan kyai berjudul Kembali ke Peradaban 😀
hehehe … bisa jadi seperti itulah yang terjadi selama ini, mas ardy. masih banyak pihak yang belum bisa menerima perbedaan sebagai sebuah kekayaan budaya. akibatnya, bangsa kita gampang sekali masuk pada pusaran konflik ketika isu SARA dihembuskan, haks.
Guru di tingkat SD sangat berperan dalam mengembangkan pola didik, selain pendidikan di rumah. Banyak sekali yang saya peroleh dari guru-guru SD, yang merupakan dasar pijakan untuk melangkah selanjutnya. Jika pondasi kuat, maka kita akan bisa melihat perbedaan dengan hati terbuka, bahkan bisa menikmati indahnya perbedaan itu.
Saat anak-anak SD (SD Inpres dekat rumah), saya masih melihat suasana seperti saat saya masih kecil.
Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Kondisi “tertentu” yang memaksa untuk berani
ya, betul sekali bu enny, pengaruh penanaman nilai multikultural sangat dipengaruhi oleh penanaman nilai2 tsb sejak si anak duduk bangku SD, selain penanaman nilai multikultural dalam lingkungan keluarga. semoga saja kondisi itu didukung oleh situasi masyarakat sekitar yang kondusif.
seandainya semua serba diseragamkan, betapa monoton dan membosankan hidup ini :)>-
Baca juga tulisan terbaru inos berjudul Lega 🙂
iya, bener banget, mas inos. hidup jadi tak memiliki dinamika, hehehe ….
Ini memang soal bagaimana membangun karakter sebuah bangsa, Pak Sawal. Mentalitet kan terbangun dari budaya yang berkembang secara kolektif. Dan salah satu faktor terpenting dari pembangunan kultur itu, selain rumah, tentu saja pendidikan di sekolah. Perlu juga dipikirkan bagaimana agar siswa sekolah mengembangkan pola pikir. Tidak melulu tersekat dengan kurikulum yang membentuk cara berpikir siswa menjadi homogen.
Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Seandainya Jakarta Bukan Ibukota Negara
sepakat banget, mas daniel. untuk menanamkan dan mengembangkan nilai2 multikultural dibutuhkan sinergi antara orang tua, sekolah, dan tokoh2 masyarakat. di sekolah, khususnya, pengembangan nilai2 semacam itu idealnya diintegrasikan ke dalam materi pelajaran melalui metode dan pendekatan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
Kenapa ya, kalau membaca tulisan Kang Sawali itu terasa enak, renyah dan ngalir gitu…
Apa karena beliau Guru Bahasa Indonesia ya..
Please berikan tips-tipsnya, biar nulis lebih efektif, mudah dan gampang dipahami dan dibaca.
:x:-?[-([-x>:/:-c~o)~o)~o)~o)
Baca juga tulisan terbaru Deni Kurniawan As’ari berjudul PEMKAB BANYUMAS MEMBENAHI ALUN-ALUN. KAPAN KESEJAHTERAAN RAKYAT DIBENAHI
walah, jadi malu saya nih, pak deni, hehehe … biasa saja, kok. tips2 menulis? wah, kalau ini pak ersis warmansyah abbas yang sudah berkali-kali mengulasnya di blog, hehe ….
menyinggung sikap fanatisme dan taqlid membabi buta, kiranya bagaimana kita menyikapi dan membenahinya pak guru ?
Baca juga tulisan terbaru mascayo berjudul seratus persen posting curhat
wah, bukan hal yang mudah juga, mascayo. menurut saya sih sebenranya ini juga sangat dipengaruhi oleh pendidikan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. kalau anak2 sdh terbiasa hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat yang fanatik, umumnya si anak juga akan bersikap demikian. yang terbagus memang perlu diawali dari lingkungan keluarga dan masyarakat, kemudian dunia pendidikan menguatkannya.
perbedaan memang itu mustahil bisa diseragamkan, tapi memahami bahwa masing-masing berbeda itu yang susahnya minta ampun…
hehehe … tidak salah, mas andy. memang bukan hal yang mudah utk menghargai perbedaan. makanya *duh kok jadi sok tahu saya* perlu ada upaya serius utk menanamkan nilai2 kultural ini mulai dari lingkungan keluarga.
“minna chigatte minna ii”
adalah sebuah paribahasa dalam bahasa jepang, yang artinya kurang lebih: berbeda-beda tapi semua bagus/indah, karena perbedaan itu sendiri disadari dan menambah kekayaan dan persahabatan.
yang paling penting sehingga hal tersebut bisa terlaksana adalah : saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada pada orang lain
nice post..
salam
Baca juga tulisan terbaru Agustian berjudul PHK dan wiraswasta
wah, terma kasih baget, mas agustian, dapat tambahan idiom baru nih. memang sudah saatnya sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan itu menjadi budaya sehingga orang ndak gampang terhasut dan terlibat konflik hanya karena sebuah perbedaan.
Setuju Pak.. betapa indahnya perbedaan, ga bisa dibayangkan kalau semuanya sama dan monoton karena ga mau menerima sesuatu yang berbeda, pasti ga akan ada kemajuan dalam segala hal.
wah, bener banget, mbak lala. kalau perbedaan dinihilkan, dinamika hidup jadi ndak sehat; monton dan membosankan.
saya mendukung 100% pak upaya pembelajaran multikultural ini. Jika perlu, ajak para siswa melihat sendiri tentang perbedaan di ruang kelas mereka. agar mereka tahu bahwa dunia ini beragam tapi bukan untuk dipertentangkan. seperti kemampuan mereka saja, pasti beragam. ada yang jago olah raga, jago matematika tapi bukan berarti yang satu lebih baik dari yang lain. untuk mencapai tujuan yang lebih baik, bersatu padu itu penting.
NKRI…dibangun bukan hanya soal kesatuan wilayah saya, tapi juga kesatuan ide….
Baca juga tulisan terbaru icha berjudul Fun with Growing Fun
iya, bener banget. mbak icha, anak2 memang sudah saatnya diberikan pendidikan multikultural yang tepat supaya mereka tdk mudah terpancing pada isu2 SARA yang sebenarnya kurang menguntungkan itu.
Aku suka melihat eyang putriku pakai kebaya. Bagiku beliau terlihat cantik, anggun dan seksi walaupun beliau sudah tua.
Selain nenekku, aku demen juga melihat ngantenan Jawa dan Bali apalagi bagi penganten pria yang telanjang dada dan yg putri memakai kemben. Ada daya tarik tertentu, mereka itu sangat berkarisma dan seksi.
Sehingga jauh-jauh di negeri orang, sewaktu menikah pun aku menggunakan kebaya juga. Tentu saja dengan bersusah payah karena harus memakainya sendiri. Hasilnya: aku menjadi pusat perhatian semua orang di sekitar walikota. Hehehehe…kayak Ratu Sejagad saja…Wakakakak….
Baca juga tulisan terbaru Juliach berjudul Pronociation/Pengucapan dalam Bahasa Perancis 2: [e] dan [ǝ]
wah, mbak julia menikahnya di perancis, yak? sangat layak kalau pakai kebaya jadi pusat perhatian, mbak, hehehe … mungkin bukan semata2 lantaran jadi pengantin, tapi juga busananya yang dianggap khas dan unik, hehehe ….
Satu kekawatiran saya adalah kalau suatu waktu Indonesia berubah menjadi tidak negara yang ber-bhinneka lagi 😉
Menjadi negara agama, seperti yang akhir-akhir ini sering di desas-desus kan sekelompok orang adalah ketakutan saya, maklum saya adalah minoritas yang meski sering dibilang “tak akan mencampuri urusan minoritas” tapi ya saya yakin dan percaya tetap akan terkena imbasnya.
Dan, membaca tulisan Pak Sawali pagi ini membuat saya agak sedikit lega dan bersyukur karena masih ada orang yang memiliki wawasan seperti Pak Sawali ini!
Sukses selalu, Pak Guru!
hehehe … komentar mas donny telah dijawab dg tepat dan jitu nih oleh mas daniel, hehehe …
@Donny Verdian:
Jangan khawatir, Don. Wacana negara agama sudah sejak dulu “didengung-dengungkan”, namun rasanya tak perlu diberi prioritas dalam sikap bernegara.
Indonesia multikultur. Rasanya tak cocok kalau digunakan hukum agama untuk semua aspek kehidupan. Ratusan tahun lalu Hindu adalah agama mayoritas. Kerajaan-kerajaan Hindu bertebaran, tapi toh tidak lantas aturan agama Hindu yang dipakai untuk mengatur kehidupan rakyatnya.
Negara tidak membutuhkan agama. Yang membutuhkan agama adalah manusianya. Yang perlu dikembangkan adalah cara berpikir multikultur. Dan betul kata Pak Sawali, pendidikan adalah salah satu sarananya.
Begitu, Don?
Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Seandainya Jakarta Bukan Ibukota Negara
makasih, mas daniel, saya sepakat dg mas daniel atas komentar mas donny. matur nuwun.
kalau saya sih mas tanpa adanya pendidikan Inklusi pendidikan di indonesia kurang lengkap mas 😀
Hidup pendidikan Inklusi
@Gelandangan,
sepakat mas maulana. anak2 yang masuk ke dalam pendidikan inklusi merupakan hal yang inheren dan include dalam dunia pendidikan kita.
Kalau menurut Anda apa KTSP nantinya benar2 bisa menjadi kendaraannya pendidikan Multikultural?
sebenarnya konsep dasar dari Pendidikan Multikultural itu yang seperti apa sich? Pembelajaran yang menghargai keberagaman Budaya di Indonesia? Pembelajaran yang saya alami sejak tahun ’91 sudah dari sononya dimana pun juga macam gitu. Guru mengajar murid mendengar dengan panduan buku paket (mungkin tidak semua tapi yang saya temui kebanyakan seperti itu). Mengubah menjadi tidak sama berarti harus juga melawan keadaan yang selama ini menjadi kiblatnya pembelajaran yang ada. Butuh perjuangan yang bener2 nich. Semoga saja dengan adanya pengembangan guur”pengajar” yang ada sekarang ini (melalui sertifikasi atau S1 untuk PGSD, dll), dapat mendobrak kebutuhan Keadaan yang kurang layak menjadi layak. Amin ya Allah!
@Nuray Anggraini Nurchayat,
sesungguhnya KTSP yang sekarang ini diberlakukan sangat akomodatif terhadap penerapan pendidikan multikultural karena nilai2 kearifan lokal bisa dimasukkan ke dalam proses pembelajaran. namun, agaknya juga bukan hal yang mudah, bu nur, karena tradisi dan budaya pembelajaran yang berlangsung selama ini belum menyentuh pada konteks pengalaman siswa. pembelajaran jadi lebih teoretis dan hafalan.
multikultural jangan sampai memecahkan Indonesia
Baca juga tulisan terbaru attayaya berjudul Bambu Tangguh
:-?:d/sebenarnya kita harus bangga jd negara yang kultur..kita lihat negara lain apa ada yang kayak kita .sekarang ini sebenarnya bukan masalah ras suku atau agama tp masalah kesadaran berbangsa dan tanggung jawab kita sebagai anak bangsa..coba survey kedaerah dan kota apa anak anak sekarang ngerti makna bhineka tunggal ika , ,kayaknya cuma kulitnya ja mereka ngerti,,freedom indonesia dari penjajahan moral:”>
setuju banget, mas gun. terima masih tambahan infonya.
perbedaan adalah keindahan.
kenapa ya perbedaan selalu yang dipermasalahkan ?