Pengurbanan Ismail dan Nilai Kesalehan Sosial

Kategori Opini Oleh

islamMelacak jejak Ismail dalam sejarah kenabian adalah menatap hikmah sebuah pengurbanan tanpa pamrih. Ketaatan Ismail atas kehendak sang Ayah, Ibrahim, lewat mimpi-mimpinya, telah menumbuhkan semangat berkurban dari zaman ke zaman. Peristiwa besar itu tak hanya menunjukkan bukti betapa Ibrahim dan Ismail nyata-nyata sebagai sosok terpilih dalam konteks komunikasi vertikal kepada Sang Pencipta, tetapi juga mengandung nilai kesalehan sosial secara horizontal. Nabiyullah Ibrahim dan Ismail telah memberikan pelajaran berharga, betapa dalam konteks sosial, kita membutuhkan pengurbanan sebagai manifestasi sikap kolektif dalam membangun sebuah peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat.

Kini, setelah peristiwa bersejarah itu jauh melewat melintasi banyak dimensi ruang dan waktu, akankah menyisakan nilai kesalehan sosial yang akan terus tumbuh sepanjang sejarah peradaban umat manusia?

Dalam konteks kekinian, ketika dunia dinilai sudah masuk dalam perangkap nilai hedonisme dan pragmatisme sempit, disadari atau tidak, semangat berkurban (nyaris) telah terjebak dalam ke dalam pemujaan hal-hal yang bersifat lahiriah. Tak banyak orang yang dengan amat sadar mau berkurban atas dasar nilai ketaatan secara vertikal dan nilai kesalehan sosial secara horizontal. Untuk melihat fenomena ini kita bisa dengan mudah menyaksikan perilaku kaum elite kita. Betapa dengan mudahnya mereka mengabaikan nasib rakyat yang jelas-jelas sedang mempertaruhkan hidup. Penanganan lumpur Lapindo, misalnya, baru kali ini kita melihat presiden kita berkata dengan nada marah. Kalau saja sejak awal penanggung jawab proyek itu ditegur dengan keras, situasinya pasti tak akan samapi berlarut-larut.

Memang harus diakui, secara lahiriah banyak kaum elite kita yang menyembelih hewan kurban. Namun, secara sosial tak akan banyak maknanya jika tak diimbangi dengan perubahan paradigma dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tak hanya kasus lumpur Lapindo saja yang membuat nilai kesalehan sosial bangsa kita mulai memudar. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat dan para wakil rakyat yang terhormat, bisa menjadi indikasi betapa nilai kesalehan sosial itu hanya terapung-apung dalam slogan dan retorika belaka.

Korupsi merupakan penyakit sosial yang mengabaikan entitas kebersamaan dan solidaritas. Mereka mengemplang harta rakyat untuk menuruti nafsu hedonis yang gagal dibendungnya. Mereka tega naik mobil mewah dan pamer kekayaan di mana-mana di tengah jutaan rakyat yang terlunta-lunta mengadu nasib. Mereka berkorban puluhan kambing dan beberapa ekor sapi setiap tahun. Namun, mereka tak pernah menyapa anak-anak miskin, anak-anak jalanan, atau fakir miskin yang terlunta-lunta mengais garis nasib.

Nilai kesalehan sosial di balik peristiwa pengurbanan Ismail, dalam pemahaman awam saya, mestinya bisa dijadikan teladan bagaimana membangun kemaslahatan bersama. Sungguh ironis kalau mereka begitu bersemangat melakukan persembahan kurban, tetapi kepeduliannya terhadap sesama justru mlempem. Kini, sudah saatnya semangat pengurbanan Ismail itu terus digali dan direvitalisasi sehingga mampu mewujudkan pranata kehidupan sosial yang beradab dan berbudaya. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

19 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top