Teks Sastra Tak Pernah Tercipta dalam Situasi yang Kosong

Ketika didaulat menjadi juri lomba penulisan cerpen dalam rangkaian acara Gelar Budaya Teater Semut Kendal, Jawa Tengah, 23 November 2008, saya selalu bertanya kepada peserta: “Apakah cerpen yang Anda kisahkan ini diilhami dari kisah-kisah nyata atau murni dari imajinasi belaka?” Hampir semua peserta menjawab bahwa teks cerpen yang mereka ikutsertakan dalam lomba merupakan perpaduan antara fakta dan imajinasi.

Meski hanya sebatas lomba penulisan cerpen dalam level kabupaten, setidaknya mereka bisa menyuarakan bagaimana mereka berproses kreatif. Hal ini juga semakin menguatkan adanya sebuah opini bahwa (hampir) tak ada cerpen yang dibuat semata-mata hanya menggunakan imajinasi sebagai sumber pengembangan ide. Sekecil apa pun, ada fenomena sosial-budaya yang menggelisahkan batin sang penulis sehingga tergoda untuk menyajikannya ke dalam sebuah cerpen.

bsYa, ya, ya, tiba-tiba saja saya jadi ingat A. Teeuw yang pernah menyatakan bahwa teks sastra (termasuk cerpen) tak akan pernah tercipta dalam situasi yang kosong. Artinya, ada kode bahasa, sastra, dan budaya yang senantiasa dilibatkan, baik disadari maupun tidak, oleh pengarang dalam teks-teks sastra yang diluncurkannya. Meski hanya sebatas peserta lomba penulisan cerpen dalam lingkup kabupaten, tetapi kreativitas mereka bisa memberikan gambaran umum bagaimana seorang pengarang berproses kreatif.

Karya-karya Pramudya Ananta Toer, Umar Kayam, Rama Mangun Wijaya, atau Ahmad Tohari –sekadar untuk menyebut beberapa nama—adalah beberapa contoh teks sastra yang memanfaatkan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai sebagai sumber pengembangan ide. Karya-karya mereka tidak semata-mata “memberhalakan” imajinasi, tetapi juga memasukkan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai kearifan lokal hingga menjadi sebuah teks sastra yang indah dan eksotis.

Bumi Manusia, yang merupakan salah satu dari tetralogi Buru karya Pram, misalnya, tak lepas dari konteks sosial-budaya yang terjadi ketika Pram mengalami masa-masa represif. Melalui kekayaan imajinasi dan intuisinya, Pram berhasil mengangkat persoalan sosial-budaya yang terjadi antara tahun 1898 hingga tahun 1918, ketika muncul pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa-masa yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran nasionalisme di Indonesia pada awal pergerakan nasional.

Karya-karya Umar Kayam, agaknya juga banyak membidik persoalan sosial budaya sebagai bagian esensial dari teks sastra yang diciptakannya. Dalam cerpen “Sri Sumarah” dan “Bawuk”, atau dalam novel Para Priyayi, misalnya, Umar Kayam tampak sangat dipengaruhi oleh latar sosio-kultural etnik Jawa. Tokoh-tokoh semacam Tun, Bawuk, maupun Hari agaknya dijadikan sebagai figur yang “mewakili” orang-orang Jawa dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan.

Burung-Burung Manyar karya YB Mangunwijaya pun setali tiga uang. Dengan mengangkat kisah seputar dunia revolusi Indonesia antara tahun 1934 hingga 1950, Rama Mangun berupaya mengetengahkan peristiwa yang sarat konflik antara orang Indonesia sendiri dan para meneer Belanda atau antar-orang Indonesia yang anti Republik. Novel yang dinilai HB Jassin bernada humoristis, kadang-kadang tajam mengiris, penuh pengalaman dahsyat, keras dan kasar, tapi juga romantik penuh kelembutan dan kemesraan ini juga tak lepas dari persoalan sosial-budaya yang berusaha menggambarkan sisi-sisi kemanusiaan dari pribadi-pribadi yang memiliki idealisme berbeda, terutama dalam hubungannya dengan pengertian nasionalisme pada konteks Indonesia saat itu.

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang disebut-sebut banyak pengamat sebagai puncak pencapaian sastra pengarang asal Banyumas, Jawa Tengah ini, memotret sebuah masa ketika Indonesia memasuki zaman gelap politik 1965. Novel terasa amat kuat jalinan konflik sosial-budayanya yang beragam, huru-hara politik, hilangnya sebuah tradisi, atau terdesaknya kehidupan desa.

Dalam konteks demikian, tak berlebihan kalau Ayu Utami pernah menyatakan bahwa sebuah karya sastra tak dapat dilepaskan dari konteks sosial di mana ia dilahirkan. Lebih lanjut, pengarang novel Saman itu menyatakan bahwa sastra hadir sebagai bentuk penyikapan terhadap kehidupan sehari-hari, dan tak jarang sastra muncul sebagai perlawanan terhadap keadaan. ***

26 Comments

  1. :mrgreen: aq kurang suka n males mikir kalo mbaca novel yg berat2…

    dulu suka agatha christy…
    trus lebih suka novel2 mira.w
    trus cicklit..
    suka juga sastra2 sedih buya Hamka…

    sekarang lagi nyobain mbaca novel basa inggris yang tebel..
    asli puyeng n banyakan ngecek kamus dr pada baca…

    pijimana bang?

    Baca juga tulisan terbaru elly.s berjudul mulai nyebeliiiiinnn..

  2. saya tadi pagi baca SM, Ahmad Tohari hijrah ke sumatra barat, banyumas tempat saya bermukim saat ini bakal kehilangan sastrawan nih.

    Baca juga tulisan terbaru endar berjudul Harga blog

  3. ternyata banyak juga yah sastrawan indonesia yang memiliki bakat, saya belum ada bakat nih untuk jadi sastrawan 🙂

  4. Wah, aku mungkin seorang yang paling katrok di dunia sastra. Masak dari sekian banyak karya sastra, yang aku ingat hanyalah karya Pramudya Ananta Toer aja.

    Baca juga tulisan terbaru Edi Psw berjudul Form Komentar Yang Menjengkelkan

  5. Ikut komen di sini aja deh, mumpung masih sedikit. Soale, hampir semua postingan Pak Sawali ini laris dibaca dan dikomentari. Tapi, emang produktif dan bagus-bagus tulisannya. Makanya, menurutku, ngasih komen di blognya Pak Sawali ini mending borongan aja. Maksudnya, komen di satu tempat postingan sekaligus untuk postingan yang lain-lain. Atau juga komen untuk posting lalu-lalu pada posting terbaru. Bisa juga komen silang untuk postingan di blog Pak Sawali yang lain. Gimana Pak, boleh ya?
    Misalnya gini Pak, aku setuju banget tuh soal murid hamil pranikah yang gak dikeluarin dari sekolah, tapi diberi cuti hamil lalu diperbolehkan kembali bersekolah. Bisa juga ditambahi kebijakan bahwa murid sekolah menengah pun dah bisa nikah sehingga bisa mengurangi hamil kecelakaan itu. Gimana Pak, setuju?
    Salam kenal dari orang awam.

    Baca juga tulisan terbaru Awamologi (bahtiar baihaqi) berjudul Teror Mumbai dan Mimpi Awamologi

  6. :mrgreen:
    Semua yg disebutkan di atas, tak pernah saya baca, Pak..
    Jujur saya bukan orang yg senang membaca (hanya yg benar-benar membuat saya tertarik saja baru saya baca), tapi saya sering menyebut diri saya suka menulis (terutama cerpen).

    Iya, Pak, saya setuju, bahwa sering kali karya-karya satra tersebut tercipta dari perpaduan fakta dan imajinasi. Saya sendiri mengalaminya. Semua cerpen saya sebenarnya hanya berintikan itu-itu saja.. 😀

    Baca juga tulisan terbaru HeLL-dA berjudul Lumrahkan Seks Pranikah?

  7. benar sekali, pak sawali. hal-hal nyata yang terjadi di sekitar penulis kerap menjadi lahan ide yang tak ada habisnya buat ditulis sebagai fiksi. jadi biar suatu cerita itu bersifat imajinatif, tetap ada hal-hal realistis yang melatarbelakanginya.

    dan ini semakin saya rasakan saat sedang belajar menulis fiksi seperti sekarang. paling tidak beberapa fakta diperlukan untuk mendukung akurasi tulisan kita.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Gold Coast Day1: The Three Backpackers

  8. tadinya saya ingin menanyakan mengenai cerita yang sangat imiajinatif seperti harry potter atau the lord of the ring.
    tapi saya jadi sadar lagi, bahkan cerita-cerita seperti itu pun tak lepas dari konflik yang menarik bagi sang penulis, seperti kisah persaingan di sekolah dalam harry potter, dan hubungan antar ras yang bisa damai demi membasmi kejahatan yang bisa jadi merupakan mimpi jrr tolkien saat merawi kisah sang hobbit.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Gold Coast Day1: The Three Backpackers

  9. “tak jarang sastra muncul sebagai perlawanan terhadap keadaan”

    Ya benar tulisan juga bisa dijadikan senjata paling ampuh untuk mencoba berontak dari segala kebohongan 🙂

    Baca juga tulisan terbaru arifudin berjudul Akhirnya IlmuKomputer Sembuh

  10. Maaf pak wali, jujur saya paling kantrok dengan dunia sastra, mungkin bapak bisa lebih banyak mengartikelkan masalah2 seperti ini ..

    Baca juga tulisan terbaru Dikma berjudul saya-disini.blogspot.com

  11. mmmm bicara soal cerpen budaya yah pade 😀 *semangat liat budaya

    wahh ingin rasanya semua cerpen itu di memasukkan kearifan lokal budaya kita. semoga kegiatan2 seperti ini bisa terus dilestarikan Pade

    Sukses buat Pade

  12. wah, saya ndak tau masalah sastra begini…. waktu pelajaran bahasa indonesia lebih sering ngisengin guru daripada merhatiin pelajaran….

    tapi setahu saya, sastra zaman sekarang jauh beda dengan yang agak lama… banyak novel yang bertebaran yang bernuansa hedonistik, sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang yang sukanya serba gemerlap….. sukses buat sastra indonesia dan buat pak sawali juga….

    Baca juga tulisan terbaru aziz berjudul HARGA BBM TURUN : SEBUAH TRIK POLITIK

  13. Tapi kan tidak semua karya sastra itu muncul sebagai bentuk perlawanan dengan keadaan kan, Pak. Banyak juga karya sastra yang muncul sebagai bentuk dari gambaran keadaan suatu zaman.

    Baca juga tulisan terbaru Edi Psw berjudul Lima Hari Menjadi Kuli

  14. memang kebanyakan isi dari cerpen ataupun bentuk karya sastra banyaknya di ilhami oleh peristiwa yang terlintas dan sebagian adalah ilusi dalam benak sang pengarangya ya pak tapi dari beberapa novel saya pernah begitu tercekat karya putu yang berjudul LHO mungkin pak sawali pernah membacanya juga
    pak karya pak sawali yang lain kita juga tunggu lho pak

    Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul Memimpin Bukan Menguasai

  15. wa.. kalo begitu sastra itu benar2 didasari oleh perenungan/kontemplasi akan hal2 nyata di sekitar kita yang diolah dgn indah, disajikan untuk dapat diresapi dgn indah pula oleh pembacanya, ya pak?
    maaf kalo koment saya terlalu lugu, soalnya memang masih belajar.. 😳

  16. Barangkali di situ pulalah tugas penulis, Pak Sawal. Ada Sesuatu yang disuarakan, diperjuangkan, tanpa harus menunggangi karysa sastra dengan kepentingan lain.

    Aku masih setuju pada apa yang disampaikan ketimbang sekadar mengotak-atik bahasanya, serta keberpihakannya kepada kemanusiaan.

    Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Sudah Adakah Perpustakaan di Rumah Kalian?

  17. kira2 mnrt mas, apa “background” sastra ini bisa dianalogikan dengan seorang blogger?

    Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Ban Bocor !

  18. Waduh, kalo smua guru bahasa sekaligus sastra, mk oke bgt ya pembelajaran sastra. Sayank, sy sukanya dong2an he3. Msh ingat sy Pak? Tlg Pak, sy diajarin n ditularin ilmu nulis cerpen yg oke. Kan, Pak Sawali sering jd yuri cerpen he3. Mks n slm dr kelg kami

    Baca juga tulisan terbaru isminatun berjudul

  19. terus semangat pak untuk berrkarya
    saya dukung bapak
    sukses selalu pak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *