Usai sudah Gelar Budaya 2008 (GB08) itu. Teater Semut (TS) menggelar event itu dengan torehan “tinta budaya” yang manis menjelang berakhirnya tahun 2008 ini. Diawali dengan lomba penulisan cerpen tingkat Kabupaten Kendal dan baca puisi tingkat Jawa Tengah, 23 November, acara berlanjut pementasan teater dengan mengangkat repertoar “Labirin Sukma” yang ditulis dan disutradari sendiri oleh Aslam Kussatyo, sang komandan TS. Bisa jadi, pentas itulah yang paling banyak menguras kreativitas para awak TS dalam GB08 ini. Maklum, TS sudah menjadi “brand image” dalam dunia panggung di kota beribadat ini, bahkan juga di level Jawa Tengah. Sangat tidak berlebihan kalau para pemain suntuk berlatih hampir sebulan lamanya untuk mementaskan lakon berdurasi 45 menit itu.
Walhasil, tidak sia-sia para kru TS menguras kreativitas. Tata panggung, tata lampu, tata rias, dan tata musiknya mampu menyatu bersama karakter pemain sehingga berhasil menyuguhkan sebuah pentas yang cerdas, “liar”, dan menghanyutkan. Tak heran kalau pentas yang berlangsung Sabtu, 29 November 2008 (pukul 20.00-20.45), di aula kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Kendal itu mampu memukau sekaligus mengundang aplaus sekitar 80-an orang yang hadir.
Dalam suasana temaram lampu, dua orang tokoh (A dan B) bertemu dalam sebuah perjumpaan nasib tak terduga yang sama-sama sedang menunggu sebuah kereta. Namun, agaknya mereka sudah saling mengenal. Tokoh A yang bertubuh tambun dan berperut buncit bisa dibilang mewakili sosok kaum elite dengan segenap simbol-simbol kekuasaan yang berada dalam genggaman tangannya. Sedangkan, tokoh B yang bertubuh kerempeng dan kurus identik dengan sosok kaum marginal, tetapi punya pandangan-pandangan kritis, bernyali, dan sekaligus juga cerdas.
Begitulah, dialog antara tokoh A (Nashori) dan B (Sofyan Hadi) terus berlangsung selama pertunjukan. Sesekali ditingkah adegan-adegan kekerasan akibat sentilan-sentilan nakal yang tak henti-hentinya digelontorkan oleh tokoh B.
“Anda memang banyak berkiprah memberikan sumbangan ke panti-panti sosial, membantu anak yatim, menyumbang masjid, atau kegiatan-kegiatan sosial yang lain. Tapi, ufh, semua itu bukan karena ketulusan dan keikhlasan nurani, tapi lebih karena arogansi kekuasaan semata,” teriak si kerempeng. Dituduh semacam itu, si Tambun jelas tak bisa menerima. Dengan argumen-argumen yang kuyup dengan bahasa khas kaum elite, si Tambun menampik bahwa semua tuduhan itu tidak benar.
Si Kerempeng tak mau kalah. Namun, ketika konflik mulai memuncak, tiba-tiba saja terdengar deru kereta di kejauhan. Irama musik perkusi yang rancak membuat suasana jadi ingar-bingar. Si Tambun dan si Kerempeng merasa bahwa kehadiran kereta itu untuk menjemput dirinya. Mereka saling berebut untuk bisa naik ketika kereta itu sudah dekat. Namun, ternyata kereta itu tak pernah berhenti. Kembali mereka harus menelan kekecewaan untuk yang ke sekian kalinya. Setiap kali datang, kereta itu tak pernah mau berhenti. Tak ayal, mereka saling menyalahkan dan kembali terlibat dalam perdebatan seru.
“Anda tak lebih dari seorang antisosial yang bertopeng pada kekuasaan!” teriak si Kerempeng dengan keringat yang berleleran. Si Tambun jelas murka. Dikejarnya si Kerempeng hingga akhirnya mereka berdua terjebak ke dalam sebuah labirin (lorong goa). Mereka tampak kelelahan dan susah-payah untuk bisa keluar dari jebakan labirin itu hingga akhirnya mereka tak memiliki nafsu lagi untuk berdebat.
Namun, agaknya kisah belum selesai. Dalam suasana tensi emosi yang tinggi, mereka gampang sekali tersinggung hanya melalui sentilan kata-kata sepele. Kembali mereka berdua terlibat dalam perbedatan sengit tentang masalah-masalah moral, kemanusiaan, dan sosial. Sesekali ditingkah dengan adegan kekerasan, bahkan sudah menjurus kepada nafsu untuk saling membunuh.
Begitulah, ketika mereka bernafsu untuk saling membunuh, tiba-tiba muncul musibah tak terduga. Prahara –digambarkan dengan layar yang digerakkan dengan kekuatan penuh—memorak-porandakan dan membanting tubuh mereka ke sana kemari. Suasana benar-benar chaos hingga akhirnya mereka berdua benar-benar tak bisa berkutik lagi. Selesai!
Sungguh, lakon ini benar-benar mencerahkan batin penonton. Dalam pemahaman awam saya, tokoh-tokoh yang dihadirkan merupakan tipikal orang yang sedang mengalami kepribadian terbelah (split personality). Baik si Tambun maupun si Kerempeng sama-sama konyolnya. Mereka gampang sekali melakukan justifikasi terhadap kata-kata dan tindakannya sendiri. Padahal, mereka mempunyai tujuan yang sama. Mereka sama-sama menunggu sebuah kereta. Namun, agaknya mereka terlena dan terjebak ke dalam persoalan egoisme hingga meruncing menjadi konflik dan kekerasan. Dalam kondisi semacam itu, mereka jadi lupa esensi dan tujuan yang hendak mereka capai.
Bisa jadi, repertoar ini dimaksudkan sebagai sebuah kritik terhadap kondisi riil masyarakat kita yang gampang sekali terkompori dan rentan terhadap konflik dan kekerasan. Masyarakat kita yang cenderung mengalami kepribadian terbelah atau –meminjam istilah Emile Durkheim—sedang mengalami kondisi anomie pun agaknya tak sanggup menghindar dari jeratan “labirin” semacam itu. Sudah berapa kali konflik dan kekerasan horisontal berbasis sentimen priomordialisme sempit terjadi di negeri ini. Sangat beralasan kalau kita selalu ketinggalan kereta akibat sibuk bertengkar dan cakar-cakaran sendiri. Orang lain sudah melaju mulus di tengah jalan tol peradaban dunia, kita masih berkutat di semak-semak.
Yaps, selamat kepada semua awak TS yang telah sukses menggelar acara Gelar Budaya tahun ini. Semoga makin eksis untuk terus berkiprah dalam merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal melalui event-event budaya. Selamat juga kepada para pemenang lomba tulis cerpen dan baca puisi, semoga menjadi awal yang bagus untuk terus menggali dan mengeksplorasi potensi diri dalam jagad kesastraan Indonesia mutakhir. ***
wah kayanya acaranya menarik, meriah dan seru tuh
jadi pengnen liat langsung nih,,,,