Selama dua hari (Selasa-Rabu, 21-22 Oktober), saya kembali didaulat Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah di Semarang untuk mendampingi rekan-rekan sejawat yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata pelajaran (MGMP) Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) tingkat Jawa Tengah untuk membuat blog. Ada 21 sekolah yang tergabung dalam kegiatan tersebut. Jumlah seluruh peserta yang ingin mengakrabi media informasi dan komunikasi secara maya ini sebanyak 84 peserta yang terbagi ke dalam 4 kelas.
Melihat semangat rekan-rekan sejawat ketika membuat blog, memunculkan sikap optimisme bahwa kompleks blogosphere akan semakin ramai dengan hadirnya kaum pendidik yang ingin membangun semangat berbagi dan bersilaturahmi lewat dunia maya. Kehadiran bloger guru, dalam pemahaman awam saya, jelas akan memberikan nilai tambah terhadap kemajuan dunia pendidikan. Pertama, dunia pendidikan akan makin berkembang secara dinamis karena banyak pemikiran dan ide kreatif dari para guru yang terabadikan melalui internet. Hal ini tentu saja akan semakin memudahkan para pemerhati dan pengamat dunia pendidikan untuk menemukan semangat kaum pendidik di negeri ini dalam menekuni dunianya. Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan, dengan demikian, akan semakin mudah ditemukan di search engine.
Kedua, secara internal, bloger guru akan terpacu semangatnya untuk bertindak secara kreatif dan inovatif dalam mengemas proses pembelajaran yang menarik dan memikat. Semangat pembelajaran berbasis Paikem (pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) akan semakin membumi dan membudaya di ruang-ruang kelas sehingga dunia pendidikan tak lagi menjadi “penjara” yang memasung kebebasan berpikir siswa didik.
Ketiga, terjalinnya persaudaraan dan silaturahmi dengan sesama bloger, baik dari kalangan guru maupun non-guru, sehingga akan terbangun suasana keakraban di antara sesama anak bangsa yang sanggup membunuh benih-benih primordialisme sempit berbasiskan kesukuan alias kedaerahan, kelompok, suku, atau agama. Pengalaman ngeblog saya selama ini menunjukkan betapa kuyupnya persahabatan dan silaturahmi di antara sesama bloger, meskipun secara lahiriah (hampir) tak pernah bertemu secara langsung di darat. Blog bisa memperpendek jarak ruang dan waktu sehingga intensitas komunikasi bisa terjalin lebih akrab dan familiar. Bukankah ini sebuah kontribusi nyata dari para bloger dalam menciptakan nilai-nilai kerukunan di antara sesama warga bangsa? Jika atmosfer semacam itu bisa terus berlangsung, jelas akan mampu memperkuat fungsi dan peran dunia pendidikan sebagai agen kebudayaan yang akan mempertautkan dan menyatukan perbedaan etnik menjadi sebuah kebersamaan yang mengagumkan.
Keempat, bloger guru akan terus terpacu semangatnya untuk terus meningkatkan kinerjanya sehingga empat kompetensi guru, yakni pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial, sebagaimana tercantum dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28), dapat terwujud. Terlalu berlebihankah? Menurut hemat saya, tidak! Kebiasaan dan budaya mengekspresikan pemikiran-pemikiran kreatif ke dalam sebuah tulisan, setidaknya akan sangat memengaruhi pola dan gaya berpikir seorang guru. Ini artinya, blog bisa menjadi wahana yang tepat dan strategis untuk mengembangkan nilai-nilai kependidikan, kepribadian, profesional, dan sosial seorang guru dalam menjalankan aktivitasnya, baik di dalam mauoun di luar dunia pendidikan.
Kelima, blog bisa menjadi media interaktif untuk mewujudkan pembelajaran elektronik yang dialogis dan demokratis sehingga kompetensi siswa bisa berkembang dengan baik. Dalam memberikan tugas, baik terstruktur maupun tidak terstruktur, misalnya, seorang guru bisa memostingnya di sebuah blog, kemudian siswa diberikan kebebasan dan kemerdekaan kreatif untuk menjawab, menyampaikan pendapat, sanggahan, atau usulan melalui kolom komentar. Hal ini akan sangat berbeda susasananya jika siswa bertatap muka secara langsung dengan sang guru yang seringkali dihadapkan pada kendala-kendala psikis, seperti rasa sungkan, takut, atau malu. Dari sisi ini, blog bisa menumbuhkan keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat yang selama ini menjadi hambatan klasik dalam proses pembelajaran.
Tentu saja, masih ada nilai tambah yang lain ketika guru mampu memanfaatkan blog sebagai media pembelajaran. Meskipun demikian, harus diakui, bukan persoalan yang mudah untuk menjadikan blog sebagai “magnet” yang mampu memikat para guru. Selain kendala jaringan infrastruktur internet yang belum merata di berbagai daerah, juga masih muncul adanya kesenjangan kompetensi guru. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan komitmen dan kebijakan para pengambil keputusan untuk tak henti-hentinya mengakrabkan guru pada dunia blog secara simultan dan berkelanjutan dengan memfasilitasi para guru untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam melakukan aktivitas ngeblog.
Semoga rekan-rekan sejawat guru yang telah “menahbiskan” dirinya sebagai bloger bisa tetap eksis dan “istiqamah” dalam mendinamisir kemajuan dunia pendidikan melalui sebuah blog; tidak semata-mata sekadar membangun semangat “obor blarak” yang sekali berarti, sesudah itu mati! Nah, bagaimana? ***