Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya, telah memberikan anugerah akal-budi yang tak ternilai harganya kepada umat manusia. Melalui akal-budi, manusia dapat menyimpan peristiwa masa silam ke dalam kantong memorinya, memikirkan peristiwa pada masa kini, sekaligus mampu membayangkan peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Yang luar biasa adalah kemampuan manusia untuk me-retrieve alias memanggil ulang peristiwa-peristiwa masa silam ke dalam layar kehidupan masa kini.
Bisa jadi, itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam hal berbahasa, misalnya, manusia adalah makhluk yang paling dinamis. Melalui akal budinya, manusia mampu mempelajari berbagai bahasa di dunia, apalagi jika bersentuhan langsung dengan kultur masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Lain dengan binatang. Ayam dan kucing, misalnya, tak akan pernah sanggup belajar berbahasa. Meski dikerangkeng dalam sebuah kurungan seumur hidup, ayam tak akan pernah sanggup mengeong seperti kucing. Kucing pun tak akan sanggup berkokok seperti ayam. Konon, binatang hanya sanggup mempertahankan hidup berdasarkan nalurinya secara statis dan stagnan.
Hem, kok jadi ngelantur nih, haks. Begini. Pernah dengar stigma bangsa yang “rabun” membaca? Yaps, stigma ini muncul akibat lumpuhnya bangsa kita dalam soal budaya membaca. Ada yang mengatakan bahwa bangsa kita mengalami lompatan budaya membaca yang tidak wajar; dari budaya praliterasi langsung melompat ke budaya posliterasi. Sedangkan, budaya literasinya (nyaris) tak lagi tersentuh. Budaya praliterasi muncul ketika bangsa kita belum sanggup baca-tulis. Mereka hanya mampu menggunakan media bahasa lisan dalam berkomunikasi dengan berbagai komunitas. Dengan berkembangnya peradaban manusia, bangsa kita masuk pada budaya literasi yang ditandai dengan sentuhan-seuntuhan nilai pendidikan yang mampu membuka kesadaran baru tentang pentingnya keaksaraan dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran kreatif.
Belum matang benar budaya literasi mengilusumsum dan bernaung turba dalam kehidupan masyarakat, muncul peradaban baru yang memiliki daya pukau dahsyat yang ditandai dengan temuan-temuan baru di bidang teknologi dan informasi. Anak buah teknologi, semacam TV-kabel, multimedia, atau sarana telekomunikasi bergerak lainnya mulai merambah ke tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan segala kelebihan dan keunggulannya. Masyarakat pun mulai berubah pola dan gaya hidupnya. Mereka mulai dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan bermacam-macam piranti teknologi canggih sehingga melupakan budaya literasi yang seharusnya mereka lalui. Masyarakat demikian terpukau oleh kehadiran sarana dan fasilitas teknologi itu sehingga jadi malas dan lupa membaca. Ketika antena dan parabola menjamur di atap-atap rumah, masyarakat pun rela menghabiskan waktunya di depan “kotak ajaib” itu. Tumpukan buku dibiarkan melapuk dan tak tersentuh.
Sejatinya, membaca sangat erat kaitannya dengan aktivitas akal-budi. Membaca merupakan aksi intelektual yang mencerahkan dan mencerdaskan yang akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif sehingga menimbulkan rangsangan manusiawi untuk bertindak penuh kearifan dan kebajikan. Dalam diskursus yang lebih luas, membaca bisa dimaknai sebagai kemampuan menafsirkan “ayat-ayat” Tuhan yang tergelar di ruang semesta. Membaca sanggup “membunuh” benih-benih keangkuhan dan berbagai macam naluri purba yang serba naif dan menjijikkan. Orang yang memiliki kemampuan membaca, dengan sendirinya, tidak mudah terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan korup dan biadab, karena tahu akan risiko dan imbasnya terhadap keseimbangan semesta.
Nah, bisa jadi, orang yang tega berbuat korup dan biadab, lantaran tak pernah melakukan aktivitas akal-budi, tak pernah membaca “ayat-ayat” Tuhan. Jika benar demikian, mereka hanya menggunakan naluri sekadar untuk memuaskan kebuasan hati, bukan menggunakan nurani untuk menjaga keseimbangan semesta. Lantas, apa bedanya dengan kucing dan ayam yang selalu statis dan stagnan sehingga tak pernah punya kesanggupan untuk membaca tanda-tanda zaman? Atau, bisa jadi, lantaran kesalahan kolektif bangsa kita yang mengalami lompatan tak wajar dalam budaya membaca? ***
benar sekali,, itulah mengapa Allah menyebut kata “Iqra” sebagai kata pertama dalam kitab suci panduan umat manusia,, 😎
btw, terima kasih pak atas hadiah Kumcer-nya, udah nyampe, tapi mohon ma’af saya belum sempat baca Kumcer-nya, karena sekarang saya tidak ada dirumah,, hatur nuwun sanget!!! 😆
Minat baca bangsa kita memang masih rendah. Melakukan lompatan tahap literasi? Sungguh selama ini tak pernah terpikir oleh saya Pak Sawali. Jadi ingat cerpen di blognya esensi.
Ketika manusia menyia-nyiakan kelebihannya dibandingkan mahluk yang lain maka manusia itu akan kembali ke tingkat yang lebih rendah, Ayat pertama yang turun adalah Iqra’ yang artinya membaca dalam hal ini bukan hanya membaca secara tersirat saja tapi lebih jauh lagi membaca fenomena yang sedang terjadi di sekitar kita
Wahh…ternyata tidak hanya “virus menulis” yang perlu ditularkan (seperti gerakan Pak Ewa dengan EWT-nya) tapi kayaknya juga perlu ditularkan “virus membaca” nih. Mudah-mudahan Pak Ersis atau Pak Sawali atau Pak Suhadi atau para pakar yang lain bisa “menelurkan” teori baru misalnya “Ersis Reading Theory” (ERT)…Hayoo para pakar “membaca” sekalian apa ada teori dari kalian semua agar bangsa Indonesia gemar membaca secara cepat, tepat dan efisien.
Akan ada sebuah kebun bernama Kebun Orang Aneh sebagai saingan dari Kebun Binatang. huehehe
😀 nggak bisa ngomong apa-apa saking setujunya sama Pak Sawali 😀
Baca yuuuukk….. bacaaaaaaaaaaa XD
Mungkin karena aktivitas membaca kita saat ini sudah diambil alih oleh televisi melalui program beritanya Pak. Akibatnya kita pasrah menangkap makna dari hasil bacaan orang lain tersebut. Padahal ketika membaca langsung bisa menimbulkan makna dan sensasi yang berbeda menurut saya ketimbang mendengar hasil bacaan dari orang lain.
Betul pak, mkin Aktivitas “memaca sudah diambil alih benar juga”
lebih suka mendengarkan
lebih suka melihat “saja”
lebis suka merasakan langsung
Membaca memang nikmat, tp memang perlu waktu.
hihihih
Salam kenal
pragmatisme…kata yang lebih disukai saat ini…
padahal masih ada kata lain yang lebih membawa kebaikan: iqra….
selamat beraktivitas dan terus membaca, Pak!
tapi untuk membaca postingan – postingan pak sawali saya masih sempat koq hahaha
Saya setuju dengan pendapat Pak Rafki, jangan-jangan energi untuk membaca kita telah terserap habis untuk menonton sinetron, infotaintment serta tayangan-tayangan debat tak berujung di televisi.
Perlulah bila siaran televisi dibatasi atau setidaknya diganti programnya supaya menjadi lebih menarik dan mendidik, tapi apa ya bisa lha wong sebuah televisi yang awal dekade lalu terlihat getol menyiarkan siaran pendidikan saja sekarang jadi televisi paling dangdut se-Indonesia?
Halah… hopeless!
mungkinkah sistem pengajaran di sekolah yang membuat siswa-siswa jadi tidak terlalu suka membaca. selama sistem pengajaran di sekolah masih saja mengandalkan budaya hafalan, sepertinya agak sulit membuat orang mau membaca.
itulah tugas kita yang berat sebagai ortu maupun guru,pak. beruntung saya tidak perlu susah-susah membangkitkan minat baca anak-anak saya di ruamah, meski akhirnya saya kuwalahen n gak bisa memenuhi kebutuhan beli buku mereka yang kalau saya turuti bisa menyedot lebih dari separoh gaji saya sebagai guru. kalau sudah begini apa kita larang mereka nonton TV? repot juga ya pak?
Oooo saya baru tahu kalo kehilangan akal-budi dapat disebabkan karena melompat langsung dari praliterasi menuju posliterasi. Tapi masih bagus ya… daripada tidak pernah melompat sama sekali….. huehehe…..
Sebenarnya budaya ‘posliterasi’pun dapat menyuguhkan sesuatu yang dapat memperbaiki akal budi. Hanya saja masyarakat kita memang berselera ‘rendah’ dan industri hiburan juga bersemangat untuk memenuhi selera masyarakat.
Ya, sudah, semuanya berasal dari rumah/keluarga kok. Kita didik anak kita sebaik mungkin untuk menjadi orang yang berbudi dan berakal unggul. Doronglah agar kekayaan yang mereka kumpulkan kelak berasal dari prestasi yang membanggakan bukan berasal dari jalan pintas yang memalukan! Mudah2an dengan cara ini, bangsa kita dapat menjadi manusia yang unggul akal sekaligus budinya…….
Idem dengan komentar pak Yari diatas.. 😀
soalnya menonton lebih asyik kali ya 😀
saya kemaren membaca slogan pak begini kata2nya :
STOP MEMBACA!!!!
budaya baca ini harus ditumbuhkan sedari dini..
namun perlu ada pembenahan dalam hal ‘cara mengajak’ membaca
karena tidak dipungkiri media televisi jauh lebih menyenangkan karena menyajikan visual gerakan yang tidak ada dalam membaca.
saya sendiri sering membayangkan sebagai seorang ayah yang sedang membacakan kisah para Nabi sesaat sebelum anak saya tidur..
akh.. sungguh indah jika menjadi kenyataan kelak..
haha… kita lebih dulu ketemu TV sebelum memiliki budaya baca yang baik.
TV tidak pernah menyediakan kedalaman… kecepatannya berganti membuat kita hanya berada dalam surface velue…
suatu saat disedihkan, detik kemudia tertawa melihat pelawak dan bergoyang ikut irama iklan minuman ringan. padahal beberapa detik sebelumnya lihat berita tragedi…
bahkan ilmupun tidak bisa ditransfer melalui TV… dia hanya bisa menjadi Triger saja.. stimulan tidak lebih… parahnya, kita merasa dibebaskan untuk melahap semua hiruk-pikuk hiperealitas, dan dibius olehnya untuk menjadi konsumtif justru melalui TV…
Baca sudah lupa kita, literatur… simpan saja di lemari…
kita ada dijagad simbol dan warna, teks telah mati… Parah! padahal kedalaman hanya ada dalam literatur…
Pak Sawali kok koyo ngerti basa kewan, nyaingi Angling Darmo. Justru Bahasa Binatang itu malah universal dan mendunia Pak. Yang repot dan merepotkan diri itu manusia. pindah propinsi bahasane wis rak ngerti, opo maneh beda negara.
Jangan dikira kucing Kendal rak biso ngobrol dengan kucing Korea lho…
Bahasane wae podo….
Para koruptor sepertinya tidak ingat mati.. haks..
Argumen yang disodorkan Pak Sawali bisa jadi masuk akal, Tuan. Namun aku pribadi kurang setuju jika (sekali lagi jika) saat ini dikatakan minat baca kita rendah. (Ini murni berangkat dari membaca komentar-komentar di atas).
Aku tidak percaya minta baca kita rendah. Justru aku percaya minat baca kita tinggi. Tinggi. Yang rendah adalah daya belinya. Secara kolektif orang masih berpikir kalau harus membeli buku seharga, katakanlah Rp50 ribu, dalam kurun waktu sebulan. Kenapa? Ya bisa macam-macam alasannya. Bisa jadi orang masih lagi berpikir: “Kenapa saya mesti membeli buku, untuk kehidupan sehari-hari saja mesti diperhitungkan secara matang kok.” Bisa jadi.
Tapi pada dasarnya minat bacanya cukup tinggi, meski Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta, masih kalah jauh dengan negara-negara Asia yang jumlah penduduknya jauh lebih kecil dibanding Indoneisa, namun total judul buku yang diterbitkan dalam setahun cukup tinggi melampaui Indonesia.
Asyik sekali artikel ini. Membedah mentalitet manusia Indonesia dari berbagai hal sudut pandang.
Perlu revolusi pemikiran, Tuan Sawali.
lha ini parhnya saya adalah bagian orang yang susah dalam membaca saya memahami sesuatu ketika di lihat heheheh ( sori mbah )
Oke membaca dalam artian luas kan nggak harus di depan buku kalo ayat ayat Tuhan tertera dalam kitab di baca saja tanpa di cerna dan di bacakan dalam ayat Tuhan di keseharian mungkin akan menjadi sebuah teks Literatur yang menjebak dalam lingkaran ke dunguan banyak orang mengaku pakar mengaku seleb dalam membaca atau menulis tapi akhirnya tidak menghasilkan prestasi di lingkungan maupun sesamanya ya munkin memaknai membaca sekedar mengeja ……..satu contoh seorang Qori (qoriah ) hafid dll yang tiap hari membaca dan melafal Ayat ayat Tuhan namun tak banyak dari mereka yang memberi arti kepada sesama dan alam nya ( weeeeh nglantur )
mending mbaca kumcer tapi belum datang ya
Pingback: Perempuan Bergaun Putih
lompatan saya kira bagus aja asal dasar pijakannya kuat. kalo gak kan kejeblos lagi, apes lagi, bermasalah lagi. senang sebentar, susah lagi. 😀
hadir Pak, saya ikut baca aja yak….
gimana pak ceritanya kerenkan
wh ah lagi di oprek ya pak kok sempat hilang pas mau baca yang laen hehehehe
tampilanya ganti lagi nih standar web heheheh salut aku kopi paste duluah
membaca itu WAJIB, dan bukannya harus , dan membaca adalah sebuah perwujudan dari menghargai kehidupan, menghargai anugerah tuhan ….. lantas kalo para koruptor gimana ya ? tentunya mereka tak mengahargai itu semua …
membaca adalah perbuatan (bukan kampanye ya) 😀
ya saya suka membaca, walaupun kebanyakan e-book daripada buku fisik
Kelihatannya memang harus melompat Pak Sawali, sebagai satu alternatif untuk mengejar ketertinggalan syukur-syukur bisa lebih cepat. Namun apakah begitu ya.
Berarti bolong ya pak? 😀 barangkali karena budaya malasnya sudah masuk taraf tingkat tinggi ya pak? :))
Hm,, membaca membuat otak kita kreatif Pak Sawali…
Itulah beda manusia dg makhluk tuhan yang lainnya…
pak, saya heran ketika temen saya bilang kalau ada orang yang tidak bisa membaca tapi malah bisa SMSan ria…..aneh banget
Saya sedih jika mendengar komentar teman, yang anaknya lebih suka melihat tayangan TV daripada membaca. Tapi setelah saya tanya, apakah dia juga rajin membaca di rumah, kemudian mengajak diskusi, apa isi bacaan tsb?
Saya bersyukur, anak-anak saya lebih suka membaca sejak kecil, dibanding menonton TV, tapi memang orangtua juga harus ikutan suka membaca, mengajak diskusi buku yang telah dibaca tadi, sehingga anak-anak makin tertarik, dan berkata…”Kalau ke toko buku lagi, kita beli ya bu…?”
Ulang tahun sama dengan mendapatkan buku bacaan baru…..sampai sekarang masih bertukar buku bacaan…dan mendiskusikan di meja makan.
(udah bisa dibuka komentarnya pak…kenapa ya sebelumnya????)
Semua ternyata teregantung kita, tergantung orang tua, tergantung para pemimpin untuk memberi contoh.
Kalau contohnya gak jelas, dan tidak punya akal budi, maka dengan sangat mudah untuk dicontoh. Contoh itulah yang akan merubah semua, contoh yang baik dengan akal budi yang baik akan menularkan “virus” yang baik juga.
Pak sawali mohon maaf atas kesalahan saya.
aku setuju dengan pak sawali di komentarnya daniel. tapi aku juga setuju dengan mas daniel. tapi ngomong-ngomong, pak sawali punya gak resep atau tip bagaimana meningkatkan minat baca siswa kita? 😮 segala cara yang saya terapkan pada anak-anak saya di rumah dengan hasil yang memuaskan, kok di sekolah murid-murid saya masih tetap rendah minat bacanya ya…? 🙁 tahun ini saya lagi mencoba trik baru lagi. kalau gak mempan lagi ya berarti tantangan kita sebagai guru makin berat nih pak… 😉 tak tunggu posting terbarunya lagi lho…gak bosen kan kalo aku sering dolan ke ke rumah panjenengan? habisnya enak sih, sama-sama guru jadi nyambung , gitu loch…
Alhamdulilah… saia juga suka membaca pak…, baik itu online ato offline (buku), karena membaca membuat kita jadi semakin berbudaya…
Sekedar mengingatkan anda, Pak Sawali. Dunia perbukuan saat ini juga mulai banyak dilengkapi dengan CD/DVD yang berisi video atau rekaman suara. Lebih2 buku2 komputer. Untuk memudahkan tutorial kadang ada kaset/cd filmnya. Apakah ini cara mensiasati “kelemahan” suatu bacaan. Atau memang kemampuan membaca manusia secara umum lebih lemah ketimbang kemampuan mencerna dari media audio visual.
SALAM Pak Sawali.
wah semua sarana sekarang sudah tersedia.. tapi apakah yang berbentuk fisik hingga metafisik [baca: digital hehehehe] disertai kemudahan-kemudahan lantas serta merta menjadikan bangsa ini hobi membaca..???
Saya masih meragukannya, pak? Meski demikian, saya masih optimis dan penuh semangat untuk mengobarkan budaya membaca dan menulis.
Mari ngeblog, membudayakan menulis sekaligus membaca.
membaca sering berhenti sebatas baca
belum mengejawantah pd penghayatan dan aplikasi
akhirnya sprti mas sawali bilang
banyak yg pintar
tapi minus budi pekerti 😕
Ramadhan semestinya menjadi semacam momentum untuk melakukan gerakan membaca. Karena pada Ramadhan, Allah SWT saja sudah melakuan sebuah kampanye akbar untuk budaya baca ini dengan menurunkan titah IQRA (bacalah)… masak sih sekelas presiden, gubernur, hingga camat nggak mau melakukan kampanye ini!
Semua elemen bangsa harus berkaca
Dan kembali lagi mengulang baca
Betul gak Pak?
bener banget pak sawali. Hal ini sudah sering disinggung oleh dosen saya. katanya, budaya membaca orang barat itu sangat membumi, soalnya orang-orang barat telah menghabiskan waktunya selama kurang lebih 400 tahun untuk membaca koran sebelum TV ditemukan tahun 1920-an. Beda dengan indonesia, baru 20 tahun baca koran, eh TV udah masuk. jadinya budaya membaca tidak terlalu membumi
klo menurut gw sih… inti membaca kan biar bertambah ilmunya… klo dengan nonton berita ditelevisi lebih cepet menambahnya napa gak? emang bener buku itu gudangnya ilmu… tpi gak terkadang buku itu kalah refensinya dengan siaran berita lho… he..he….
***kaburrrrrrrrr
Pandangan saya idem pak Li, juga dg komentar2 lainnya. Yang jelas, jika membaca dikaitkan dg kondisi (keterbelakangan, keterpurukan, ketidakwajaran, dll) bangsa kita saat ini, itu karena sebagaian besar masyarakat kita ‘belum siap’ dalam segala hal = (contoh saja; berbagai perubahan yg terjadi dalam sistem pendidikan). Wahh… saya ngeri pak Li, ternyata banyak warga pengelola/pelaksana pendidikan yang ‘ga siap’. Akhirnya… cari jalan pintas lagi!!!
Terima kasih pak Li, kumcer-nya sdh saya terima.
Pelajaran membaca pada anak SD pun sekarang juga sudah mengalami lompatan yang terlalu jauh. Anak saya yang di SD, setahu saya jarang (sedikit sekali diajari membaca), tetapi LKSnya,… wowwww, bacaan semua. Belajar membaca belum, tapi sudah disuruh membaca dengan tulisan yang banyak, font kecil, miskin gambar ilustrasi, pokoknya anak kelihatannya malah jadi malas untuk membaca. Yang saya takutkan anak menjadi trauma untuk membaca, lebih suka lihat dengan dan pandang.
IQRO …. dan bacalah ayat ayat ALLAH sebagai surat cinta ALLAH yang maha indah. yo kang kita tadarusan bareng 🙂 sini duduk disamping saya.
mungkin orang2 yang lebih seneng “melompat” itu belum mengerti kalau membaca adalah pekerjaan yang sangat mengasyikkan, belum merasakan bagaimana histerisnya setiap kali menemukan buku baru yang luar biasa bagusnya, juga belum menikmati sensasi keinginan untuk mempunyai seluruh isi toko buku, huehe.. fi selalu ga tahan pak kalo ke toko buku, susah ngerem keinginan untuk membeli (yang seharusnya dibarengi dengan kapasitas dompet, he..)
humm..sebenarnya tidak cukup salah sih kalau budaya menyatakan bahwa menonton televisi lebih digemari daripada aktivitas membaca, tapi masalahnya ya itu tadi, seperti kata Pak Yari, kualitas tontonannya itu lho. Lagipun acara2 tv skarang ini banyak juga kan yang mengarah pada unsur subjektif yang secara tidak langsung diselipkan demi memenangkan pihak tertentu atau menanamkan pemahaman2 sempit terhadap suatu masalah. (halah, ngomong apa si fifi ini, he..mohon dipermaaf pak..) 😀
lompatan literasi?
wah, menarik sekali artikelnya.
satu lagi artikel inspiratif dan edukatif di blog pak sawali.
thanks to technology, saya bisa belajar dari orang yang jaraknya tak terbayangkan hanya dengan MEMBACA pemikirannya melalui jendela kaca ini.
terima kasih, pak.
marshmallows last blog post..For my dearest old pal
“Membaca sanggup “membunuh” benih-benih keangkuhan dan berbagai macam naluri purba yang serba naif dan menjijikkan. Orang yang memiliki kemampuan membaca, dengan sendirinya, tidak mudah terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan korup dan biadab, karena tahu akan risiko dan imbasnya terhadap keseimbangan semesta.”
=========================================================
Saya ada sedikit catatan untuk Pak Sawali. Apa bapak bisa menyodorkan fakta empiris, bahwa orang yang selalu/pernah/sanggup membaca, maka ia adalah orang yang, katakanlah mendekati derajat insan mulia? (yang dalam statemen bapak, ia sanggup membunuh benih2 keangkuhan…). Bukankah realitas berkata lain, ketika semua elite dan birokrat yang pandai membaca berbagai disiplin ilmu, namun malah memutarbalikkan, mendramatisir, mendistorsi, dan menggunakan hasil dari apa yang ia baca untuk menjatuhkan lawan politiknya, untuk kongkalikong bersama para koruptor, atau untuk retorika di hadapan publik sehingga publik terkecoh, dan lain sebagainya?!
.
Tolong, Bapak jangan menutup mata akan hal ini. Pun, dengan mengatakan demikian, bahwa orang yang membaca maka ia adalah begini begini, menurut saya itu adalah suatu keangkuhan intelektual. Orang membaca kan punya derajat minat sendiri, ya tidak bisa dipaksakan apalagi digeneralisasikan, dong.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
“Nah, bisa jadi, orang yang tega berbuat korup dan biadab, lantaran tak pernah melakukan aktivitas akal-budi, tak pernah membaca “ayat-ayat” Tuhan…”
=========================================================
Di sini Bapak malah menyuguhkan probabilitas yang tak ada kejelasannya. “Bisa jadi” mengindikasikan bahwa bapak hanya berprasangka. Lain lagi, apakah orang yang membaca ayat2 Tuhan, ada yang tidak bejat moralnya?
.
Mohon maaf jika dirasa kalimat2 saya terlampau kasar
Salam,
di Jawa ada yang namanya “ilmu titen”… orang yang mempelajari itu biasanya lebih peka terhadap gejala-gejala alam, apa itu sama dengan membaca ayat-ayat Tuhan juga, pak Sawali?… saya masih jauh dari itu.
Andy MSEs last blog post..saya deg-degan
Pak (maaf) justru ‘lompatan’ budaya itu yang wajar mengingat setiap manusia ‘dihadiah’ Allah SWT setrilun neuron (sel syaraf) yang mampu dikoneksikan antar syaraf 20.00, yang kalau dijumlahkan, susah mencari kalkulator menghtungnya. Namun, kita (manusia) tidam memanfaatkan apalagi mengembangkan. Yang tidak wajar, tidak memmanfaatkan secara benar (Aneh ya cara berpikir saya he he). Maaf.
Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Novel dan Imajinasi
Kita semua sedang berlomba. Yang jahat dan yang baik. Yang pintar dan yang bodoh. Yang suka ngeblog dengan antiblogger. Semuanya membaca, baik yang tulisan maupun “tulisan”. Tapi memang sudah nasib setiap orang mendapatkan “ilmu” yang berbeda dari tulisan/”tulisan” yang dibacanya, meskipun bacaannya sama.
Penjahat yang pinter, yang suka baca, jauh lebih dahsyat lho Pak. Kalo penjahat ngga make akal, paling yang rugi 10 orang yang kena copet. Penjahat pinter, satu negara yang kena copet Pak. Dia pintar membaca ayat-ayat, dan melakukan perannya sebagai teman syetan dengan sangat baik.
Iwan Awaludins last blog post..Hombreng and Lesbong
itu lah kuasa tuhan mas sawali
kita umat islam sebenarnya di wajibkan pintar karena disuruh membaca tapi ada sambungannya kayaknya tuh ayat mas. klo dismbungin kita di ajak untuk pandai dan sering mengingat kepada tuhan bukan cuman pintar aja ngebodoh2hin masyarakat miskin yang sengaja di bodohkan untuk dijadikan sumber kebodohan 😀
Syukur pak, tetangga kami hobi baca dan mengajak tetangga disekitarnya, akhirnya dia bisa menghadirkan sebuah taman baca untuk desanya, dan hasilkerjanya ada di publish di sini http://tbm.guahira.or.id/2008/09/18/taman-baca-guahira-masuk-koran/
Oya pak. Terima kasih atas info plug in nya, ‘postview’. Tapi kenapa setlah diinstal dan dipasang, semua postinganya dimaulai dari nol lagi. tapi ngak apa juga. Pokonya saya puas banget. Sekali Terima kasih. Dan SALAM RAMADAN.
Ozanks last blog post..Asah Sebelum Berperang
Salam
Mungkin mereka -mereka pelanggar itu membacanya ndak pake hati Pakde 🙂
nenyoks last blog post..Beritahu Aku
hehehe …. bisa jadi begitu, mbak ney.
membaca-membaca, dan membaca.:d
hendras last blog post..Photoshop Efek Retro
hehehehe … kok diulang sampai 3 kali, mas hendra, haks.
sukakah anda saya ajak menulis Nya dengan NYA ?
NYA, tak ada lagi yang lebih besar dariNYA.
semoga terasa…
Salam.
sjahrirs last blog post..Penderita HIV-AIDs di RS untuk apa peduli ?
hehehehe …, makasih perhatiannya mas syahrir.
selain membaca perlu pakai hati,
membaca juga perlu pengetahuan lain yang menunjang.
Kalau saya melihat semua fenomena ini sebagai prduk karbitan
orang Indonesia banyak yang matang karbit, dipaksa oleh lingkungan dan teknologi
sehingga bukan matang secara alami…
dalam segala hal….
itu uneg-uneg saya pak.
EM
wah, makasih banget infonya, bu ikkyu, agaknya bener juga tuh bu sukses orang indonesia yang diraih secara instan. membacanya belum bener kali ya, bu, hehehehe ….
Salam kenal Bapak,
Menurut mengalaman saya, supaya orang mau membaca perlu dipaksa menulis dulu. Makanya saya sarankan siswa saya belajar ngeblog secara otomatis mereka belajar menulis dan membaca.
Berbahagialah guru di era global ini, mampu melakukan pelayanan jarak jauh. Punya kesempatan mengembangkan karya siswa dalam bentuk tulisan manual maupun online.
salam kenal juga, bu pita. wah, terima kasih banget masukannya, bu. ini sebuah langkah visioner yang layak dicontoh.
menurut saya biar mereka membaca itu harus di suruh merangkum
materinya…