Tak Ada Lagi Alasan untuk Mengebiri Sastra!

Secara jujur harus diakui, selama ini sastra belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam dunia pendidikan kita. Selalu saja ada dalih untuk mengebirinya. Entah lantaran kurikulumnya, ketidaksiapan gurunya, sulitnya menentukan bahan ajar, atau minimnya minat siswa. Beberapa alasan klasik untuk menutupi nihilnya “kemauan baik” untuk memosisikan sastra pada aras yang berwibawa dan bermartabat. Yang lebih memprihatinkan, masih ada opini “menyesatkan” bahwa sastra hanya sekadar produk dunia khayalan dan lamunan yang tak akan memberikan manfaat dalam kehidupan nyata.

Sastra pada hakikatnya merupakan “prasasti” kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk batin manusia. Sastra bisa menjadi bukti sejarah yang otentik tentang peradaban manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks sastra tak pernah diciptakan lepas konteks dari masyarakat, tempat sang pengarang hidup dan dibesarkan. Dengan kata lain, teks sastra akan mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks sastra tak hanya merekam kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis. Kepekaan intuitif sang pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan menjadi modal yang cukup potensial untuk melahirkan teks-teks sastra yang mampu mengharubiru emosi pembaca.

Karena diciptakan dengan mempertimbangkan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra, sebuah teks sastra memiliki kandungan nilai yang sarat dengan sentuhan kemanusiawian. Dengan membaca teks sastra, nurani pembaca menjadi lebih peka terhadap persoalan hidup dan kehidupan. Teks sastra juga mampu memberikan “gizi batin” yang akan mempersubur khazanah rohani pembaca sehingga terhindar dari kekeringan dan “kemiskinan” nurani. Tek sastra juga mampu merangsang peminat dan pembacanya untuk menghindari perilaku-perilaku anomali yang secara sosial sangat tidak menguntungkan. Agaknya masuk akal kalau Danarto pernah bilang bahwa kaum remaja-pelajar yang suka tawuran dan selalu menggunakan bahasa kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan potret kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Mereka tak pernah membaca teks sastra sehingga tidak memiliki kepekaan dan kearifan dalam menghadapi masalah kehidupan yang mencuat ke permukaan.

Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban benar-benar sedang “sakit”? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan “sihir” yang sekali “abrakadabra” langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.

Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan religius. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun kini sudah amat akomodatif dan bersahabat dengan sastra. Jika kurikulum sebelumnya membidik sastra hanya sekadar tempelan seperti dalam sebuah mozaik, kini sastra sudah menjadi bagian esensial dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Lihat saja Standar Kompetensi (SK) dan KD mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP di sini! Keterampilan mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis, tak hanya dioptimalkan dalam pembelajaran aspek kebahasaan, tetapi juga dalam pembelajaran aspek kesastraan. Jadi, dalam pembelajaran sastra di SMP, kini sudah ada keterampilan mendengarkan sastra, berbicara sastra, membaca sastra, dan menulis sastra. Jelas ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya tidak ada alasan lagi untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan yang memberikan ruang gerak secara leluasa kepada para guru bahasa dalam mengelola proses pembelajaran, jelas akan memberikan prospek yang cerah dalam gerak dan dinamika apresiasi sastra di kalangan siswa.

Nah, kalau kurikulum sudah memberikan atmosfer yang cukup kondusif, ternyata siswa masih “rabun sastra”, bagaimana? Bisa jadi ada kesalahan pada aras implementasinya. Guru, jelas, menjadi faktor utama. Menyajikan materi kesastraan jelas sangat berbeda dengan menyajikan materi kebahasaan. Untuk memberikan sugesti kepada siswa, guru sastra diharapkan memiliki wawasan sastra yang “canggih” sekaligus mampu memberikan keteladanan tentang kecintaannya terhadap sastra. Sarana pendukung, seperti perpustakaan dan fasilitas pembelajaran lainnya, juga menjadi penentu. Bagaimana siswa bisa belajar apresiasi sastra dengan baik kalau rak perpustakaan sekolah hanya dihuni buku-buku usang?

Yang tidak kalah penting adalah memperbanyak agenda kegiatan sastra, semacam pentas baca puisi atau cerpen, lomba dan festival, atau menyediakan media publikasi (cetak) untuk menerbitkan karya-karya siswa. Dengan cara demikian, sastra tak akan terjebak menjadi pengetahuan kognitif dalam ranah memori siswa, tetapi menyatu dalam sikap dan emosi, yang akan terus melekat dan mengakar dalam khazanah batin siswa hingga kelak mereka menjadi insan yang memiliki sikap responsif terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Nah, bagaimana? ***

Comments

  1. Ingat waktu SMA dulu, masak pelajaras mengenai SPOK (Subjek Predikat Objek dan Keterangan) sampai diajarkan lebih dari sebulan. SAya kan bosen. Lagian materi seperti itu kan udah di ajar dari SD sampai SMP. Ya ngeliatnya cukuplah 2 kali pertemuan di SMU. Pas protes saya dimarahin, trus d musuhin pada keseharian. Jadilah saya kesel sama yang namanya Bahasa Indonesia..
    Untunglah pas mahasiswa mendapatkan pencerahan.. Jadi mulai senang dengan cerpen dan novel..dahsyatnya lagi mulai belajar menulis..

    Jadi terkadang guru juga menjadi titik tolak siswanya akan suka dengan sastra ato enggak. Klo gurunya ngajar monotan, gimana siswanya mau ekspresif??

    salam

    made ekas last blog post..Bandung Tempo Doeloe di Museum Sri Baduga

    >>>
    wah, pengalaman yang menarik, mas made. tapi sebenarnya model pembelajaran teoretis dan hafalan semacam itu sdh tdk berlaku lagi, hehehe 😆 idealnya siswa harus diajak utk menikmati teks sastra yang sesungguhnya 💡

  2. yang saya lihat di negara ini tidak hanya sastra yang dikebiri, tapi keseluruhan dunia pendidikan… belum sadarkah pentingnya pendidikan di masa depan?

    >>>
    betul juga, mas kis. ndak tahu juga kenapa bisa begitu yak? :181

  3. Saya kadang berpikir sederhana dulu sebelum memikirkan sastra. Adakah pelajaran di sekolah yang membuat seorang siswa bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga memiliki skill yang baik untuk berbicara dan mengemukakan pendapat?

    Sayang, kita bisa melihat bahwa cukup banyak manusia Indonesia yang tidak bisa berbicara dengan baik dan benar, dan ini terlihat jelas ketika manusia tersebut berbicara di depan khayalak ramai 🙁

    Riyogartas last blog post..Hancock vs Henkuk

    >>>
    bisa jadi pembelajaran bahasa dan sastra selama ini memang gagal, mas riyo, sehingga banyak siswa yang tdk memiliki kompetensi yang bagus dalam praktik berbahasa :oke

  4. Wah nek wis tekan Sastra bingung ngomentarine…
    Mengebiri Sastra memang tak beralasan, tapi kalau mengebiri Pak Sastro jelas ada alasannya, yaitu buat sukseskan Program Keluarga Berencana.

    marsudiyantos last blog post..Pernyataan Resmi

    >>>
    wakakakaka 😀 komentar pak mar selalu bikin saya tertawa ngakak sampai guling2, haks :291

  5. Maksudnya pak Sawali sastra belum mendapatkan tempat di dalam pendidikan kita itu gimana ya pak?? Kalau menurut saya kok hampir semua subyek belum mendapatkan tempat di dalam pendidikan kita hehehe…..

    Lihat aja…. matematikawan, insinyur, dokter kita dan lain2nya sama bagusnya dan sama bobroknya dengan sastrawan kita kok hehehe… Hanya saja mungkin pendidikan sastra di sekolah2 kita yang memang salah arah…. mungkin loh… hehehe…. :411

    Yari NKs last blog post..Punya Domain Sendiri atau Tetap Gratisan di WP[dot]com ya?

    >>>
    hehehehe 😆 bisa jadi pendidikan di negeri ini belum menjadi “panglima”, bung yari, sehingga banyak persoalan pendidikan yang terabaikan :oke

  6. Mas Sawali, emang sastra tuh jenis binatang apa, koq sampai dikebiri??? hehehe…
    Tapi saya setuju, kalo sastra emang lom diberi ‘hak’nya di dunia pendidikan. Terus terang, aku saja mengenal dunia sastra, termasuk buku-buku sastra di luar sekolah…
    waktu saya masih ➡ ‘dikutuk’ mengajar komputer di SMP, saya inget ketika guru bahasa indonesia di sekolah tersebut tak tahu apa itu sanggar sastra… hahaha

    Qizinks last blog post..[Kelas Menulis #1] Membuat Nama Samaran

    >>>
    itulah yang terjadi mas qizink, sastra justru mendapatkan tempat di luar sekolah. barangkali memang perlu pendekatan baru dalam kegiatan pembelajaran, haks :oke

  7. Wah tulisan Anda sangat kokoh karena bicara tentang bidang yang Anda kuasai dan perjuangkan, Pak Sawali.

    Saya cuma bisa berkomentar, saya setuju dengan penggalakan pengenalan dan pendalaman karya sastra pada anak didik.
    Selain dapat mengagumi dan memahami keindahan karyanya, sastra juga menurut saya mampu untuk melatih orang memiliki pola pikir yang beda dan lebih membawa sisi kemanusiaan nan spiritual dalam setiap masalah yang dihadapi.

    Hal ini tentu sangat dibutuhkan bagi masa depan bangsa ini.

    Donny Verdians last blog post..Tomorrow

    >>>
    sepakat banget, mas donny. memang seperti itulah hakikat sastra yang sesungguhnya :oke

  8. Sebenarnya batas sastra dan bukan itu bagaimana sih pak?

    danalinggas last blog post..Lucunya Tentang Listrik

    >>>
    sepanjang yang saya tahu bisa dibedakan berdasarkan isi dan bahasanya, mas dana. isi teks sastra lebih banyak mengangkat persoalan2 kemanusiaan yang dikemas dengan bahasa yang bener2 terpilih :oke

  9. Karya sastra dapat dijadikan tolak ukur tinggi rendahnya peradaban. Selain kuantitas redaksional juga kualitas substansional jangan dikebiri. Tidak baik kalau ada sensor menyensor seperti yg telah lalu. Semoga kehidupan dunia sastra di Indonesia semakin marak untuk waktu-waktu yang akan datang 😯 😯 😯

    laporans last blog post..Waria Juga Manusia

    >>>
    yaps, betul banget, pak aryo. sudah bukan zamannya lagi sastra dikekang sehingga kreativitas pengarang tdk bs berkembang 💡

  10. wagh..cuma sppnya sastra kita akan semakin tenggelam mas sawali….. 8)

    >>>
    spp? apaan tuh, mas okta? 💡

  11. Yang sabar aja, Pak. Saya yakin kurikulum pendidikan sekarang ini masih perlu dikembangkan, dan memang harus selalu dikembangkan. Semoga saja pada di masa mendatang, sastra mendapat tempat yang layak di kurikulum pendidikan.

    Edi Psws last blog post..Mendapat Hadiah dari Ale-Ale

    >>>
    kurikulumnya sdh akomodatif terhadap sastra kok, pak edi.justru yang masih sering dipertanyakan itu kemampuan gurunya, hiks 🙂

  12. SJ

    padahal bahasa itu kan sarana untuk menjelaskan segala sesuatu. lha kalo dikebiri trus menjelaskan pake apa? bahasa inggris kali… :114

    SJs last blog post..Tiga Dimensi Ilmu Kejawen

    >>>
    dikebiri karena sebelumnya terjesan ada upaya utk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan, mas jenang, hehehehe 😆

  13. Sastra yang saya ingat waktu sekolah beajr puisi,bahas indonesia (SPO)atau belajar bahasa indonesia yang baik dan benar.Dan sempat terpikir skarang kalau dulu saya belajr bahasa indonesia nggak baik.jadi skarang blognya juga bahasa ya nggak bagus …jadi malu sama p.sawali ..kalau dibaca …:D

    Diahs last blog post..Antara Seo Alexa PageRank dan trafik

    >>>
    wew…. kok malu, mbak diah, hiks 😆 justru blog bisa menjadi media yang bagys utk melatih masalah kebahasaan dan kesastraan, mbak 💡

  14. Pengajaran Sastra terlalu “kering”, yang diberikan guru kepada siswa. Padahal esensi materi sastra sangat baik untuk daya imajinasi siswa.

    >>>
    betul banget, pak amin. memang seperti itulah kondisi yang terjadi, haks 💡

  15. pak saya orang yang gak mudhwng sastra…
    pas dulu smp kan dapat pelajaran bahasa dan sastra indonesia, tapi kok ya gak beda sama pelajaran bahasa indonesia biasa, lalu dimana sastranya?
    😀

    >>>
    bisa jadi sastranya diumpetke, pak slamet. hehehehe 😆 karena banyak guru yang repot utk menyampaikannya kepada siswa didik 🙂

  16. seharusnya blog bisa juga jadi media publikasi karya-karya sastra siswa. jadi, kenapa tidak para siswa-siswa itu di ajari tentang ngeblog? 😀

    >>>
    betul banget, mas epat, sayangnya masih banyak sekolah yang belum memiliki konek net yang bagus 💡

  17. Menurut saya, kita lakukan saja apa pun tindak nyata agar tak terkebiri, yang mengebiri kan kita juga he he. Konon, kalau sesuatu ‘terkekang’ potensi akan berlipat mendobraknya. Tapi, kalau inti pemicu potensinya yang loyo … alasanlah yang ke depan. Makanya, kita perlu orang seperti Pak sawali, berbuat. Salut.

    Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Deklarasi Perang

    >>>
    sepakat banget, pak ersis, hehehe 😆 alasan seringkali dipakai utk menutupi kelemahan karena mengalami kesulitan menyampaikan materi sastra 🙂

  18. antownholicontest#3 sudah dibuka. Gratis…tis…tis, semuanya bisa ngikut. Please visit my blog.

    >>>
    info baru, ya mas anto, hehehe 😆 makasih infonya! lantas hubungannya dg sastra apaa? 🙂

  19. Yang jelas saya lihat, batasan sastra dan bukan semakin tipis di dunia nyata…entah karena saya tak terlalu paham…tapi kalau melihat di rak toko buku besar di Indonesia ini, batasan buku yang sastra dan novel lainnya tercampur jadi satu…..padahal mestinya tetap ada beda yang jelas.

    Karya sastra tetap berbeda, saar membaca karya sastra, kita terasa dibawa pada masa dimana tokoh cerita itu berada, dan kemudian ada tujuan dan nilai yang diinginkan penulis nya…makanya sebetulnya kritik sastra, membaca sastra yang dikemas dalam suatu acara yang menarik, akan meningkatkan minat baca. Dulu, guru saya mengajak murid-muridnya membuat resensi, sambil duduk-duduk di bawah pohon cemara di depan sekolah….cara yang sangat menarik…kadang juga bergantian membaca puisi….menariknya, puisi yang sama, bisa sangat berbeda oleh cara membaca yang berbeda, sesuai pengertian masing-masing.

    edratnas last blog post..Penawaran kredit melalui sms: benar atau penipuan model baru?

    >>>
    wah, pengalaman yang menarik, bu enny. kalau sastra disampaikan dengan model seperti itu akan lebih mudah menanamkan kecintaan siswa terhadap sastra. kalau hanya teoretis dan hafalan, pembelajaran sastra akan tetap saja gagal. 💡

  20. Salam
    Dan untuk anak sekarang menyebut kata sastra selalu identik dengan puisi, soneta atau semacamnya padahal engga akan Pak Dhe?
    Setuju kalau sastra mesti lebih disosialisasikan, nurutku sie membaca sastra berefek pada kepekaan rasa or sensitivitas terhadap masalah and dalam menyikapi hidup..Oh ya saya suka sekali karya2 Iwan Simatupang..duh pak Dhe saya di kota kecil ingin sekali beli bukunya Pak Dhe *siap2 gugling di online shop* padahal maunya gratisan… *ngarep* *digeplak pak Dhe* :411

    nenyoks last blog post..ThE Meaning Of Yahoo

    >>>
    yaps, memang seperti itulah, mbak nenyok, hakikat sastra yang sesungguhnya. btw, utk kumcer, saya udah lama nunggu kiriman. hingga sekarang belum sampai juga, hiks 🙂

  21. Saya setuju pas…
    even2 sastra buat anak sekolah emang harus diperbanyak…
    itu akan sangat membantu perkembangan dunia sastra

    abdees last blog post..Ahli Therapi Jiwa Asli Jogja

    >>>
    betul banget, mas abdee, saya sepakat itu. idealnya memang begitu 💡

  22. bahkan di alma mater gue aja even sastra udah makin hari makin menipis. padahal judulnya fakultas sastra (sekrang jadi fakultas ilmu budaya sih, tapi tetep aja)

    >>>
    wew… kok bisa begitu, ya. mas, mestinya harus lebih diperbanyak tuh agenda2 sastranya, hehehehe 😆 🙄

  23. saya akan mengubah paradigma kalau anak belasan tahun hanya bisa menulis tentang cinta saja… anak belasan tahun biasanya membuat sebuah buku – teenlit – tentang cinta yang tidak jelas…
    saya akan mencoba membuat sebuah sastra…
    biar dunia tahu ada anak belasan tahun yang tidak asal menulis ceritera.. :mrgreen:

    sir arthur moerzs last blog post..INSOMNIA

    >>>
    alut buat mas moerz 🙄 ayo, buktikan kalau mas moerz bisa, oke? :oke

  24. om om… aku pinjem buku nya donk..
    *salah fokus 😯 *

    ulans last blog post..Munyem..

    >>>
    pinjam buku apaan, mbak ulan? hehehehe 🙂

  25. Sastrawan kayaknya nanti cuma hanya tinggal nama, karya sastra identik dengan membaca, anak-anak sekarang kebanyakan males membaca, ga ada lagi dongeng-dongeng yang membuat masa kecil terbuai.Kumahanya Pak ?

    ubadbmarkos last blog post..Shooting selesai…, ABB (Asa Bucat Bisul)

    >>>
    sebenarnya sastrawan nggak pernah mati, pak, hehehe 😆 kini, justru bermunculan sastrawan muda potensial yang karya2nya sudah menembus batas2 geografi. hanya saja banyak karay2 mereka yang tak diminati kawula muda. makanya *sok tahu* perlu disajikan sejak dini lewat bangku sekolah :oke

  26. Sebenarnya di Pustaka Sekolah banyak buku-buku sastra, pak Sawali. Dulu waktu saya masih SMP dan SMU entah kenapa buku sastra zaman dahulu itu sama sekali tidak menarik minat saya dan juga teman2 lainnya. Entah karena sudah jadul ato mungkin kami hanyalah sekelompok anak-anak muda yang ingin ‘terbang’ ke dunia yang juga sama dengan dunia imaji kami sendiri. :acc

    Meskipun harus diakui bahwa buku2 karya (misalnya)Nh.Dini, Sutan Takdir Ali Sjahbana, dll adalah buku-buku yang bagus…mungkin untuk permulaan kami perlu membaca buku sastra yang ‘meremaja’.

    Saya setuju bahwa setiap pelajar harus diperkenalkan dengan bhs sastra agar mereka tidak lagi memakai bhs kekerasan. Pastinya seru jika mereka mengekspresikan ke’tidaksukaan’ mereka terhadap suatu hal dengan perang kata-kata…misalnya melalui koran ato mAding sekolah… :112 :114

    putris last blog post..Seberapa TerkenalKah ?? (Part 2)

    >>>
    karya2 sastra tak melulu dimuali dari angkatan abdulla hingga angkatan ’66, kok, mbak. sekarang malah sudah muncul karya2 sastra kontemporer yang bagus. memang utk bisa mencintai sastra perlu diawali dg membaca teks sastra yang ringan2 dulu, hehehe 😆

  27. salot saya sama penulis yang satu ini ber bobot tapi bukan karena badan gemuk, mantaaf lah menguasai bidang nya

    Ronggos last blog post..Panduan cara Bikin Blog dan Daftar Google AdSense 🙁

    >>>
    walah, mas ronggo terlalu berlebihan, haks 😆 tulisan biasa saja kok. setiap orang pun bisa melakukannya. 🙂

    <

  28. Saya senang sekali menyuruh anak-anak membaca buku-buku cerita atau novel yang ada di lemari sekolah (kami belum punya perpustakaan), sayang jumlah judulnya gak sampai 50judul. Mereka jadinya ya bosan, masa bukunya itu-itu terus.

    Sebagian guru yang mengajar Bahasa Indonesia di sekolah juga karena keterpaksaan dalam kaitan tak ada guru lain yang benar-benar punya latar belakang pendidikan bahasa dan satra. Sekolah saya tak punya guru bahasa indonesia, jadi terpaksa deh saya yang guru IPA mengajar bahasa juga.

    O ya, tapi saya lihat kok ya, guru-guru bahasa yang asli dari jurusan bahasa juga tak memperlihatkan minat yang serius terhadap sastra, (ini sih sepenglihatan saya saja, dari beberapa guru bahasa yang saya kenal baik).

    >>>
    salut juga nih buat pak suhadi. guru ipa tapi punya perhatian jug aterhadap sastra. itulah kenyataan yang terjadi, pak, guru bahasa belum bisa jadi jaminan utk mampu mengajarkan sastra dg baik 💡

  29. tidak sedikit orang yang memandang sastra tidak penting dan lebih mementingkan matematika atau ilmu pasti yang lain padahal dalam kenyataan di lapangan seperti saya sebagai pekerja ataupun orang teknis yang berhubungan dengan ilmu pasti namun justru sastra ,dan tutur bahasa yang banyak pegang peranan dalam memperoleh pekerjaan ,pelaksanaan pekerjaan,penyelesaian pekerjaan ,dalam sastra itu mementahkan rumus 1+1 = 2itulah betapa pentingnya satra dan tata bahasa ( Kalo tender BQ kalah gak papa tapi sastra merayu nya di pake hahahaha menang Tender )
    dalam kesusastraan terkadung peradapan ,tatakrama yang adi luhung,tersimpan kedamaian ,kasih sayang ,kelembutan penuturan ,pemahaman gambarn kehidupan,
    hehe gara gara suka menghalus kata berbahasa dan coretan puisi dapet istri cantik hehehehe
    KOPISISA ( Kelompok Peminat Seni Sastra ) Purworejo yang tinggal SISA …..Terima Kasih Para Guru Sastraku

    kambingkelirs last blog post..Ogan Komering Ulu Timur

    >>>
    wah …. salut juga dengan mas totok. orang teknik tapi sangat mengapresiasi sastra. 🙄

  30. Saya setuju agar sastra tidak dikebiri. Bahkan, disunat pun jangan.

    Lebih jauh, saya melihat sastra harus jadi mata pelajaran sendiri, jangan numpang dengan Bahasa Indonesia. Lihat saja di Perguruan Tinggi, yang ada Fakultas Sastra kan, bukan Fakultas Bahasa.

    Saya pernah diceritai bahwa zaman Belanda dulu, sastra yang dibaca bukan hanya yang berbahasa Belanda. Ada yang Bahasa Inggris, Bahasa Jerman dll. Makanya, orang-orang hasil pendidikan Belanda banyak yang multilingual.

    Zaman kemerdekaan kok makin parah. Bahasa Indonesia nggak pandai, Bahasa Asing apa lagi?

    >>>
    hehehehe 😆 betul banget, mas arif. penelitian taufiq ismail juga menunjukkan fakta spt itu. negeri kita pascakemerdekaan justru 0 buku dalam aktivitas membaca. ironis :181

  31. Hm,, saya rasa sistem pendidikan di negara ini harus segera di benahi…

    ndak hanya sastra saja.. namun yang lainnya juga.. 🙄

    galihyonks last blog post..PON XVII dan gengsi antar daerah

    >>>
    sepakat, mas galih. memang harus secepatnya dibenahi secara menyeluruh :oke

  32. hmmmm, memang tak ada alasan lagi pak.Sudah saatnya, kita lebih menghargai sastra sebagai seni yg hrs dipelajri…

    iis sugiantis last blog post..Mimpi Buruk Umar Bakri!

    >>>
    betul dan sepakat banget, mbak is 💡

  33. Katanya dulu di sekolah zaman Belanda, setiap siswa SMA (Mulo?) diwajibkan membaca buku sastra 10 per tahun. Jadi setelah tamat, dia sudah menyelesaikan sekitar 30 buku (jumlahnya mungkin kurang persis). Apakah pembelajaran saat ini sudah meniru hal positif dari pendidikan Belanda dulu?

    Hery Azwans last blog post..Akhir Pekan Kemana?

    >>>
    penelitian taufiq ismail juga menunjukkan fakta spt itu, mas azwan. tapi kenapa juga pascakemeredekaan justru minat baca sastranya jadi ancur, yak?

  34. meski saya bukan jebolan sastra
    saya mencintai sastra
    saya kelak berharap ingin menjadi penulis
    yang bebeas menuangkan kreatifitas tanpa pengkebirian 🙄

    achoey sang khilafs last blog post..NATIONAL AWAKENING

    >>>
    menikmati sastra nggak harus lewat fakultas sastra kok mas achoey. banyak juga sastrawan yang lahir justru bukan dari fakultas sastra, hehehe 😆 salut buat mas achoey 🙄

  35. Kalau kurikulum tidak “mendukung”, memang tidak bisa menggantungkan begitu saja dari sana. Hanya orang-orang yang keras kepala saja yang punya niat kuat untuk tetap menyajikan sastra dalam lorong-lorong kehidupan manusia (apalagi anak didiknya). Upaya-upaya dalam bentuk acara adalah salah sebuah solusinya.

    >>>
    betul banget, mas daniel. sayangnya rata2 para guru masih sangat bergantung pada kurikulum. nah, sekarang KTSP sdh akomodatif terhadap sastra, masih punya alasankah mereka? :181

  36. Dulu, sempat mau kuliah sastra tapi orang tua saya bilang “jangan De, gak bisa dijadiin duit” sekarang saya mengerti, tapi tidak setuju 🙂

    Rindus last blog post..Seikat bunga asa

    >>>
    tapi kalau ditekuni kayaknya sekarang sastra bisa dijadikan lahan utk hidup, kok, mbak, hehehehe 😆 :oke

  37. Pak Sawali,
    Pendidikan sastra harusnya berganti kemasan menjadi lebih menarik, lebih tajam, dan lebih membangkitkan pikiran.
    Namun, yang ada justru sebaliknya…tidak heran anak-anak sekarang semakin tidak tertarik pada sastra.

    Apakah yang bisa didefinisikan sebagai karya sastra dan bukan sekedar literatur populer biasa?

    Kokos last blog post..Why are you moving your blog(s)?

    >>>
    betul banget, mas koko, pelajaran sastra memang mesti dikemas secara menarik. btw, sastra agaknya memang beda dg sastra pop, mas. hal itu bisa dilihat dari isi dan bahasanya 🙄

  38. Makna “sastra” sendiri perlu diredefinisikan Pak Sawali. Sementara ini makna sastra kan beda2 satu dengan yang lain. Gampangannya begini, andai kepada komentator pendahulu saya ini diberi secarik kertas, lalu diminta mendeskrepsikan apa itu “sastra”, saya berani taruhan, pasti akan terdapat 42 jawaban yang berbeda. Tidak semua salah, tapi juga tidak semua benar, karena kebenaran bahasa memang tidak tunggal. Kalau yang sastra-sastraan memang layak dikebiri, atau malah kalau perlu diamputasi sekalian. Tapi kalau yang sastra beneran dan sastra setengah bener yang masih layak dilakukan remedial, ya wajib dijaga, diobati, kalau perlu diperban.
    Yang jadi pertanyaan saya, siapkah Pak Sawali menyediakan kertas 42 lembar?. Yang pasti, komentar saya ini tidak masuk karya sastra. :112

    marsudiyantos last blog post..Kenapa Blõg Èm ?

    >>>
    betul banget, pak mar, seperti komentar pak mar ini. bisa benar bisa juga tdk benar, tergantung dari sudut pandang mana orang melihatnya. 42 lembar? wew… kwnapa nggak sanggup, pak? berlembar2 pun ok. buktinya? nah, pak mar kan bisa menggunakan lembar2 di blog ini scr unlimited, wakakaka 😀 :oke

  39. DM

    Aku bermimpi buku sastra dijadikan bacaan wajib di setiap semester dari mulai pelajar SD, SMP, SMA, hingga universitas. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi pula kuota wajib menghabiskan judul buku sastra dalam setiap semesternya.

    >>>
    alangkah bagusnya kalau mimpi mas daniel itu bisa terwujud. mimpi yang selalu diharapkan oleh orang2 yang cinta nilai kemanusiaan. 💡

  40. Padahal kalau dipikir lebih lanjut, sastra kan bisa dipakai di semua bidang sebagai nilai-nilai kehidupan. Jadi kenapa dianaktirikan kalau sekedar gak bisa menghasilkan uang?

    >>>
    disingkirkan bisa jadi karena sastra masih dicurigai menyebarkan muatan nilai yang dianggap “menyesatkan”, mas kok :181

  41. lagi pelatihan kemana nih? koq lama nggak muncul… hehehe

    Qizinks last blog post..dari BISMILLAH hingga SURGA

    >>>
    wah, maaf banget, mas qizink. 3 hari ini lagi capek dan ndak enak badan, hehehehe 🙂

  42. walah saya sendiri .. juga kurang mengerti sastra .. makanya nulis blognya amburadul 😀

    >>>
    wew… kenapa mbak tintin suka merendah, yak? 💡

  43. sastra mulai hilang dari dunia pendidikan, apalagi masyarakata secra luas, mreka lebih memilih TV daripada mmbaca buku yang katanya aneh dan membosankan itu. Sastra sudah saatnya menginteernalisasi dengan pendidikan bahasa di sekolah2. Krn sastra memang bisa mengetuk nurani. Sastra yang murni untuk sebuah pesan kritis pada masyarakt dn pemerintah.
    jadi saya pikir blog dan sastra pun sebuah proses internalisasi antara teknologi dan intuisi ilmiah.
    seandainya para sastrawan dan pecinta sastra sudah mulai ngeblog smua Om..
    dan pesan aja sih, jangan hianati sastra dengan tulisan2 negatif.. yaaa… :112 :205

    fauzansigmas last blog post..Keringanan SPP/BPI Mahasiswa Baru UNS

    >>>
    mas sigma benar. budaya literate telah dikalahkan oleh anak buah teknologi, tapi sesungguhnya hal itu bukan menjadi satu2nya penghambat minat terhdp sastra. buktinya, blog sbg anak buah teknologi kan bisa digunakan utk menjembatani kepentingan sastra dg publik spt yang diungkap mas sigma itu? 🙄

  44. Karena sastra merupakan senjata yang tidak dapat dilumpuhkan dengan apapun pak! Oleh karena itulah… pengebirian dan pengkerdilannya merupakan cara praktis untuk menyortir-nya…

    maaf beberapa minggu ini saya hiatus, n g pernah OL pak :oke :oke

    azaxss last blog post..Pengakuan Dosa

    >>>
    sepertinya begitu, mas azaxs. repot juga yak? 🙄

  45. sastra bagi panglima ideologi adalah peluru berbalut madu, manis & titis 🙄
    dengan niatan yang baik mari Pak bangkitkan bangsa ini pulih dari peradaban yang sakit dengan karya sastra yang mencerahkan :112
    & semoga coretan iseng saya di blog ikut jadi sastra yg mencera 😐 hkan
    tomys last blog post..MEMBATU

    >>>
    sepakat dg ajakan pak tomy yang simpatik. matur nuwun, pak. 🙄

  46. Sesuatu yang bernilai tinggi atau sastra tidak usah kawatir akan hilang,
    mungkin sekarang surut tapi jangan kawatir, semua kitap suci berisi sastra yang tinggi dan tidak membosankan.

    Selamat deh bapak bisa lebih keras menyuarakan sastra,
    saya hanya bisa mensuport semoga usaha bapak tidak sia sia. Dan say a yakin memang tidak akan pernah sia sia.

    Salam sukses

    >>>
    terima kasih support dan dukungannya, pak sumintar 💡

  47. jadi inget waktu SMU,
    dulu ada majalah horizon yang ga pernah ada yang minjem.
    sering banget saya mampir ke perpus, iseng2 baca buku itu.
    Menurut saya sih, isinya bagus2. bahasanya ada aja yang baru (**maksudnya yang saya belum tau kosakatanya)
    Tapi keren abis.
    Dulu saya pikir saya yang aneh, tapi ternyata banyak banget manfaatnya bwt sayah, untuk baca lebih banyak buku lagi, jadi saya ga perlu nanya ke temen di sebelah dengan muka bego kayk gini “eh eh, maksudnya kata “….” apa sih. huhuhu!!! ga banget kan…

    aheads last blog post..Keep Happy kayak gw???

    >>>
    pengalaman yang menarik mas ahead. memang seperti itulah sastra. makin banyak dibaca, makin banyak kekayaan batin yang kita serap. 💡

  48. Menurut bapakku : membaca buku roman hanya membuang-buang waktu. Lagipula harganya sangat mahal. Lebih baik uangnya utk beli buku mengenai managemen.

    Padahal di Bali banyak orang-orang bule (tua-tua lagi) membaca buku roman sambil tiduran di bawah pohon kelapa. Bayangin saja berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk menikmati buku romannya.

    Aku sering membeli buku roman dengan harga $1.

    Juliachs last blog post..Shopping Days

    >>>
    wah, repot juga. btw, 1$ kalau kurnya 10 rb perak kan ndak mahal, toh, mbak? :181

  49. gimana kalo mata pelajaran bahasa indonesia itu dipisah dengan sastra Indonesia.
    kalo sastra indonesia nanti diajarin oleh seniman yang benar2 tau tentang sastra gitu 😀

    >>>
    idealnya memang begitu, mas arul. itu juga pernah saya tulis dan dimuat di kompas. sayang, sepertinya ndak begitu direspon. pemerintah agaknya menghadap kendal sdm kalau ide itu diwujudkan. 🙄

  50. atau disyaratkan bagi guru bahasa yang seniman aja 😀

    >>>
    bisa juga, mas arul. tapiu berapa banyak sih guru bahasa yang seniman? hehehehe 😆

  51. Jangannankan pada orang awam, komunitas sastra di antara mahasiswa jurusan sastra aja tidak bagus. iklimnya iklim orang yg mau cari kerja dan bukannya orang yg mencari poetika. namun bagaimana lagi inilah kenyataan dimanamana. Pernah denger mulai banyak orang yg mempertanyakan perlukah masih ada hadiah nobel untuk sastra bila sastra tidak menunjukkan perannya bagi kemanusiaan ?

    uwiuws last blog post..Google Domination

    >>>
    itulah kenyataan yang terjadi, mbak. ironis juga yak? :181

  52. sayangnya otak saya lebih bekerja bila bertemu hitung – menghitung daripada merangkai kata – kata hehehe

    L 34 Hs last blog post..Waduk Sermo

    >>>
    wew…. itu juga asebuah anugerah yang layak disyukuri, mbak leah. beda dg saya yang malah puyeng jika harus berhadapan dg itung2an, hiks 😆

  53. Aku baru tahu kalau sastra bisa ‘dikeberi’ :411 yang mengibir sadis banget yak. gimana pelajar ga mau mandul sastra wong sastranya sudah dikeberi. :291

    Maaf ya, komeng iseng. prihatin sama dunia sastra di negeri ini. rak buku karya sastra pun sangat kecil tempatnya di toko-toko buku dibanding rak buku-buku motivasi atau cara paling cepat untuk menjadi kaya. :293

    >>>
    betul banget, mbak hanna, tega bener tuh yang suka mengebiri, haks :181 itulah yang terjadi, mbak, mudah2an segera ada perubahan 💡

  54. Jadi inget dead poets society..saya yakin bahwa semua karya sastra harus dibaca dengan pikiran terbuka supaya tidak menyesatkan

    >>>
    betul banget, mas koko. bahkan, bisa juga sastra membuka pikiran, hehehe 💡

  55. Ngga populer Pak. Kalo mau populer, jangan bikin lomba puisi atau bikin novel. Buatlah Akademi Puisi dan Novel Indonesia, macam Indonesian Idol. Baru deh sastra jadi populer.

  56. Benar, Pak. Tak ada lagi alasan untuk mengamputasi geliat sastra tanah air kontemporer. Tinggal kita cari metode yang pas dan sesuai dengan kapabilitas anak didik kita khususnya, untuk mengembangkan apresiasi dan minat baca berikut laku hidup yang se-ruh dengan jiwa sastra. Sehingga diharapkan akan melahirkan sastrawan2 yang tak hanya jago beretorika atau mengumbar metafor di setiap karyanya, dan lebih mengutamakan tujuan estetik sastra itu sendiri.

    Sayangnya saya pun cuma baru bisa sampai pada level “kulit luar” kalau bersinggungan dengan yg namanya sastra.

    Salam,

    ariss_s last blog post..Seputar Kesalahan dalam Berdo’a ~ Refleksi Kenapa Do’a Jarang Terkabul

    >>>
    hehehehe 😆 memiliki minat terhadap sastra sdh bisa menjadi modal yang cukup utk menyelami sastra lebih jauh, kok, mas aris 🙄

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *