Kartini-Kartini Muda: Jangan Terjebak Seremoninya!

R

aden Ajeng (RA) Kartini memang telah tiada. Rohnya telah bersemayam di alam keabadian; menghadap Sang Khalik, 104 tahun yang silam, 17 September 1904). Meski demikian, nama perempuan ningrat Jawa yang lahir di Jepara, 21 April 1879 itu, akan terus dikenang sebagai sosok perempuan pejuang yang tak henti-hentinya berusaha “membuka mata” kaumnya dari ketertindasan dan keterbelakangan. Nilai-nilai kesetaraan menjadi mainstraim dan basis perjuangannya. Kartini tak segan-segan menggugat ketidakadilan di tengah atmosfer kultur Jawa yang demikian feodalistik. Derajat aristokrat dan darah kebangsawanan yang mengalir ke dalam tubuhnya rela ia “gadaikan” demi mengangkat martabat dan kehormatan kaumnya di tengah hegemoni kekuasaan kaum lelaki.

Begitulah sosok Kartini. Namun, hanya sejengkal kisah yang bisa kita peroleh dari sosok perempuan pejuang yang mati muda itu. Begitu dangkal pemahaman kita terhadap semangat, ideologi, dan cita-citanya. Seringkali kita terjebak pada sikap snobis, latah, dan ikut-ikutan. Repotnya, situasi itu terus berlangsung dari tahun ke tahun; dari generasi ke generasi. Sosok Kartini hanya sebatas dipahami sebagai simbol emansipasi dengan lebih menonjolkan kekuatan lahiriahnya sebagai sosok perempuan feminim khas Jawa melalui simbol busana kebaya. Kita merasa sudah menghargai sang pahlawan dengan membesar-besarkan simbol-simbol lahiriah.

Lihatlah “ritual” yang berlangsung menjelang 21 April! Hampir di seantero dan penjuru tanah air, Kartini bagaikan menitis dan menjelma menjadi Kartini-Kartini kecil melalui balutan kebaya khasnya. Salon-salon jadi ramai. Banyak yang antre minta dirias ala Kartini. Tak jarang, mereka harus menyewa dengan harga yang sengaja dilipatgandakan. Namun, ananda tercinta agaknya tak peduli. Mereka malu jika tidak harus berkebaya. Apalagi diperintahkan oleh gurunya. Wah, orang tua pun mesti repot mengantar, menunggui di salon, hingga mengantarkan mereka ke sekolah. Berapa saja waktu yang terbuang untuk bisa melakukan aktivitas produktif. Atas nama Kartini, bangsa ini demikian tega memaksakan “jiwa” Kartini merasuk ke dalam batin anak-anak lewat busana.

Sejatinya, kita memang awam terhadap sosok Kartini secara ideologis. Selain karena pertautan waktu yang sudah melewati bentangan abad, kita juga telanjur mengagungkan nama Kartini secara keliru dari waktu ke waktu. Momentum hari kelahiran hanya sekadar dimanfaatkan untuk lomba-lomba yang bercorak feminitas, pidato berbusa-busa, lomba memasak, hingga acara-acara seremonial semacam upacara-upacara. Upacara seremonial di negeri ini agaknya sudah menjadi budaya akut yang memuja formalitas, termasuk dalam mengenang sosok Kartini.

Saya bukannya tidak setuju momentum Hari Kartini dimeriahkan dengan berbagai acara. Namun, akan lebih bermakna jika acara yang digelar lebih menyentuh ke persoalan bangsa secara makro, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Ketiga ranah inilah yang –menurut hemat saya– sebenarnya menjadi mainstraim dan basis perjuangan Kartini, selain pemberdayaan terhadap kaum hawa.

Dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” (Juli 2003) karya Pramoedya Ananata Toer, Kartini yang putri seorang bupati dan berdarah ningrat, dituturkan pernah menulis sebuah surat: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!” Dia menolak predikat priyayi Jawa dan gelar kehormatan sebagai Raden Ajeng yang sesungguhnya sangat pantas disandangnya. Jelas, pernyataan semacam itu sebagai ekspresi dan wujud kegelisahan Kartini muda yang sangat “alergi” terhadap nuansa feodalistik yang sangat kuat dalam kultur etnis Jawa.

Dari sisi ini, sebenarnya Kartini bukan hanya sebagai sosok pejuang emansipasi perempuan yang telah mengglobal, melainkan juga sosok “oposan” terhadap kultur Jawa yang dinilai belum sepenuhnya menyentuh akar kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Bahkan, bisa jadi nilai-nilai feodalistik berbasis patriarki sebenarnya bukan hanya di Jawa, melainkan juga di daerah-daerah lain. Ini artinya, Kartini pada satu abad yang silam telah mulai menggedor pintu ketidakadilan yang (nyaris) dirasakan oleh sebagian besar kaum perempuan sehingga negeri ini menjadi begitu akrab dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Alangkah bahagianya Kartini di alamnya sana melihat negeri ini mampu menjadi sebuah bangsa yang mampu membebaskan diri dari jeratan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Beliau juga bisa tersenyum dengan ketulusan yang begitu sempurna ketika hari kelahirannya dirayakan dengan berbagai kegiatan sosial; membantu saudara-saudaranya yang kelaparan, mendidik anak-anak jalanan, membebaskan kaum perempuan dari suasana fasis, atau kegiatan-kegiatan sosial lain yang mampu mengangkat derajat kaum marginal dari ketertindasan dan ketidakadilan.

Namun, sungguh ironis. Bisa jadi, Kartini masih akan terus menangis ketika ideologi yang dulu gencar diperjuangkannya belum juga terwujud. Bisa jadi juga, dada Beliau terasa sesak menyaksikan kartini-kartini muda yang latah memujanya secara berlebihan melalui hal-hal yang lebih bersifat fisik dan kebendaan. Apalagi, melakukan indoktrinasi dan pemaksaan kehendak agar anak-anak kecil mengenakan kebaya hanya sekadar untuk mengenang dan mengagungkan namanya. Sungguh! Kartini, dalam dunia imajiner saya, tidak terlalu silau oleh segala macam bentuk penghormatan dan pemujaan secara berlebihan. Yang lebih Beliau hargai adalah semangat untuk mewarisi ideologi dan gerakan Beliau untuk memberdayakan kaum perempuan sekaligus menjadikan kemiskian, kebodohan, dan keterbelakangan sebagai musuh bersama.

“Wahai, Kartini-Kartini muda, jangan terjebak seremoninya!” begitu bisikan lirih, tapi bertenaga dari Ibu Kartini, yang terdengar melalui telinga imajiner saya.

Dirgahayu Perempuan Indonesia!

oOo

Keterangan: Gambar diambil dari sini dan sini.

No Comments

  1. Saya kok dari dulu malah kurang setuju Pak, Kartini dijadikan icon perjuangan emansipasi wanita —apalagi seolah-olah hanya dia. Pada akhirnya, dari sejarah kita megetahui bagaimana akhir perjalanan hidup Kartini. Belum lagi kontroversi mengenai kebenaran surat-surat yang dibuatnya. Saya lebih salut kepada Dewi Sartika yang memperjuangkan pendidikan dan mendirikan sekolah Kautamaan Istri di Bandung.

    Apa tidak lebih baik jika peringatan 21 April diubah saja menjadi hari Emansipasi Wanita tanpa embel-embel Kartini, atau bahkan disatukan saja dengan hari Ibu tanggal 22 Desember.

    Lepas dari itu semua, saya setuju dengan isi posting ini. Perayaan Kartini saat ini lebih kepada seremoni tanpa menyentuh apa yang sebenarnya diperjuangkan wanita. Sungguh disayangkan, tujuan peringatan bias menjadi acara “berdandan”, dan ajang “pamer” kecantikan berbusana. Suatu hal yang sama sekali tidak mencerminkan kegigihan para pejuang emansipasi wanita.

    Riyogartas last blog post..Pilihan Saya: Ubuntu

    ooo
    hehehehe :mrgreen: agaknya sudah menjadi ciri bangsa kita, mas riyo, suka mengukur sesuatu hanya sebatas lahiriahnya saja. demikian juga sosok kartini yang dipuja secara berlebihan secara lahiriah lewat busana kebaya 😈

  2. Wah…
    Wis ngindhemi mulai isuk, tetep gak bisa jadi komentator pertama.
    Pas mbuka baru ada 1 yang komentar, tak tinggal ngetik2, jebul wis mlotrok alias mlorot jadi nomor ke sekian.
    Agak berat ngomentari Ibu Kartini, tapi terlanjur basah, sak biso2ne saya coba komentar juga.
    Ada 3 kesamaan yang dipaksakan dan dipas2kan.
    Pertama:
    Saya & Ibu Kartini lahir di bulan yang sama, beda tanggal thoke. Saya tanggal 16, Ibu Kartini 5 hari berikutnya
    Kedua:
    Saya & Ibu Kartini sama2 lahir di kaki Gunung Muria, sama2 di ex Karesidenan Pati, sama2 leter “K”. Bedanya saya lahir di Kudus, Ibu Kartini di Jepara.
    Ketiga:
    Sama2 punya nama yang nJawani, kalau perempuan diakhiri dengan “I”, kalau laki2 dengan “O”. (pak Sawali juga memenuhi syarat ini lho)

    Tapi kita wajib bersyukur atas 2 hal
    Pertama:
    Beruntung sekali Ibu Kartini lahir di Jawa Tengah. Bayangkan bila Ibu Kartini lahir di Papua. Betapa repotnya kita yang punya anak perempuan. Tiap tiba Hari Kartini, kita berlomba nyarikan pakaian Papua buat anak kita.
    Kedua:
    Beruntung pula tak ada Hari Diponegoro. Andai hari itu ada, maka tiap datang Hari Diponegoro kita musti sewa Kuda & Surban.
    Apa P. Sawali siap….

    marsudiyantos last blog post..

    0000
    walah, ndak harus vertamax kok, pak mar hehehehe 💡 kan bisa mengunjungi blog ini kapan saja pak mar mau. btw, apa mesti kalau mengenang jasa seseorang harus dilakukan melalui busana, pak mar, hiks 😈

  3. *wah Pak,hitung-hitungannya terlalu gampang…Anak saya ntar bisa nyepam disini dong,wekekek*

    Ngga heran momen Kartini lebih menonjol seremoninya. Dulu waktu saya TK& SD aja hampir tiap tahun disuruh-suruh pake kebaya tanpa ngerti jelas mengapa 21 April harus diperingati.

    Setuju sepenuhnya sama Riyogarta 🙄

    Ratnas last blog post..Wanita bekerja di luar rumah?

    ooo
    kalau terlalu rumit malah nanti ndak jadi komentar, mbak ratna hehehehehehe 😆 karena sibuk ngitung. jadi lupa deh komennya.

  4. nah ini dia pak. dari dulu sampe sekarang yang namanya hari kartini ya ritus seremonial gitu. kalopun ada perubahan juga banyak yang kebablasan. kenapa juga harus jadi hari ibu? hari bapak mana? 😮

    benbegos last blog post..10 Motivation Ebook

    ooo
    memamg dari dulu kayaknya nggak ada tuh mas riziq hari bapak, hehehehe 😆

  5. Selamat hari Kartini … sayang ya ngak ada hari Kartono alias Hari Bapak. Kesamaan jender jadi kabur nich. Apa perlu disuarakan kesamaan jender dari para lelak, he he

    ooo
    kan memang dari sononya ndak ada hari Kartono, Pak. konon lantaran para kartono sudah biasa jadi pemimpin upacara. jadi ndak perlu lagi diperingati.

  6. Ealah Pak….
    Lha kok tulisan dan sumber rujukan tulisannya bisa sama ya. Mungkin ini pembuktian mata kuliah sastra perbandingan yg dulu pernah saya ikuti, adanya kesamaan ide pengarangnya. he he… 🙂

    Zulmasris last blog post..Panggil Aku Kartini Saja

    ooo
    bisa jadi bener, pak zul, hiks. 🙄

  7. Memang betul sebaiknya jangan hanya terjebak dengan perayaan seremonialnya saja justru yang paling penting adalah bagaimana memaksimalkan peranan wanita di masa mendatang agar dapat ikut serta memajukan negeri ini. Di sini tentu saja wanita berperan sebagai subyek dalam pembangunan dan bukannya obyek dalam pembangunan.

    Yah…. kita harapkan saja mudah2an tujuan emansipasi wanita bukan hanya menyaingi kaum pria atau hanya sekedar menduduki jabatan2 yang penting saja namun lebih dari itu, kita harapkan wanita Indonesia dapat mengharumkan nama negeri ini di tingkat dunia! 🙂

    ooo
    Yups, sepakat banget, bung yari. memang idealnya begitu.

  8. Tepat sekali Bung Sawali. Tidak ada salahnya kita merayakan Hari Kartini dengan berbagai lomba bersifat kewanitaan, tapi jangan dilupakan dong apresiasi terhadap hal-hal yang substansial yaitu emansipasi perempuan dan pendidikan. Dua hal itu melekat dalam perjuangan Kartini.

    Tapi bisa nggak sekolah-sekolah menawarkan kepada siswa bentuk-bentuk perayaan yang leboh variatif dan kreatif ?

    Horas

    Raja Hutas last blog post..Kisah Orang Batak Lolos dari Kamp Konsentrasi NAZI

    ooo
    apa yang disampaikan bung huta tepat sekali. sdh saatnya kita tinggalkan budaya yang sebenarnya kurang memberikan nilai manfaat. ttg perayaan kartini di sekolah yang lebih kreatif, mestinya bisa tuh, bung, apalagi sekarang sdh ada otonomi sekolah.

  9. Waktu saya SMA setiap hari Kartini ada bazar, lomba2, dan yang paling saya tunggu2 adalah Liga Kartini! Gara2 main bola di Liga Kartini sampai sekarang addicted to it. Hihi,,

    -kiMi-s last blog post..dikiranya saya gay…

    ooo
    wew… lah ternyata malah liga kartini. salut juga nih. mbak kimi di posisi apa? :oke

  10. Saya juga menulis tentang Kartini….bagaimana kaum perempuan menyikapi ide ibu Kartini.
    Menurut saya, adalah bagaimana kaum perempuan menjadi perempuan yang cerdas, menarik, dan berwawasan luas. Dan bagaimana kiprah kaum perempuan untuk menolong kaum perempuan yang masih terpinggirkan, agar menjadi manusia yang mandiri, berani berpendapat…..serta dapat menyokong perekonomian keluarga.

    edratnas last blog post..Kartini masa kini: Bagaimana kaum perempuan menyikapinya?

    ooo
    saya sepakat 100% apa yang disampaikan bu enny, hehehehe :oke

  11. Di Indonesia seremoni merupakan hal paling penting. Jangankan dalam perayaan hari-hari penting. Dalam pemberian sumbangan pada kelaparan dan bencana alam saja seremoni pasti dilakukan. Akibatnya bantuan lambat disalurkan.

    Mengenai Kartini. Saya setuju dengan Riyogarta agar kita mengoreksi pemilihan Kartini sebagai tokoh emansipasi. Memang Kartini merupakan pendobrak kultur larangan bersekolah bagi wanita. Akan tetapi, apa peran Kartini setelah dewasa? Bukankah dia hanya menjadi istri biasa saja? Bandingkan dengan Dewi Sartika yang mendirikan sekolah. Apa karena Kartini itu Jawa dan Dewi Sartika itu Sunda?

    Untuk memutus kultus individu, sebaiknya nama Hari Kartini diganti saja seperti usul Riyogarta.

    arifs last blog post..Blackberry Error

    ooo
    hehehehe :mrgreen: itulah budaya yang salah kaprah di negeri ini, mas arif. ttg pengkultusan kartini, agaknya masih banyak menimbulkan penafsiran, mas.

  12. eh, hari ini hari kartini ya? :mrgreen:

    lupa! keinget karena baca blog yang ngebahas kartini… :292

    ooo
    wew… lha kok malah lupa, mbak chika. ketahuan kalau di jakarta sdh jarang yg memeringati hari kartini nih, hehehehehe 😆

  13. cocok mbah sawali… emang yang penting kiprahnya wanita 🙂 katanya lebih baik satu teladan dari pada seribu nasihat, karena ada persamaan derajat dan martabat wanita dengan pria sama, namun secara pribadi sebagai seorang gadis jawa kalaupun saya bisa maksimal saya harus satu level dibawah pria, tul ga mbah….
    wani karo wong lanang jare bisa cilik tumpenge 🙂
    hormat dan sungkem dari wayah
    wassalam

    ooo
    yups, matur nuwun cucuku, kekekekeke :mrgreen: yups, pandangan mbak eka luar biasa ttg kaum perempuan. eyang juga sepakat nih. sungkem dan hormat cucunda aku terioma dg senang hati, wakakakaka :oke

  14. dulu di kampus saya tuh kalo uda bulan april [asti banyak mahasiswi bolos. kenapa? karena smua mahasiswi wajib pake rok selama seminggu! hehehe, ntah skarang masi ada ga tradisi itu

    fenfens last blog post..Install PSP Custom Firmware 3.52 M33

    oooo
    wakakaka :oke ternyata di kampus pernah ada juga tradisi wajib pakai rok utk memeringati ra kartini, yak, hehehehe 😆

  15. Hmm..saya ada setuju dan kurang setuju-nya ni dengan tulisan Bapak ini. tp in general, saya suka sekaleee :mrgreen:

    Saya SETUJU bahwasanya perayaan hari Kartini lately lebih melulu ‘fisik’ saja. Dandan cantik pake kebaya, sambil berucap selamat Hari Kartini. tapi makna emansipasi perempuan yg semestinya menjadi misi setiap perayaan hari Kartini justru tidak dikedepankan, so not to say tidak ada sama sekali. Acara2 dalam perayaan hari Kartini sejauh pengamatan saya lebih merupakan “a reproduction of the existing hegemony”. Bahkan di hari emansipasi seperti hari Kartini itu, perempuan masih saja ‘didefinisikan’ sebagai seorang yg melakukan segala aktivitas domestik i.e. masak, berbusana feminin, merias diri, memelihara anak. It is not that I am against all of those activities, hanya saja semua aktivitas itu perlu digarisbawahi dengan memahami bahwa emansipasi semestinya berarti ‘empowerment’. Perempuan2 yg melakukan aktivitas2 domestik tersebut sebaiknya melakukannya karena memang mereka ‘menghendakinya’, bukan lantaran memenuhi definisi umum di masyarakat tentang kata ‘perempuan’.
    Dan jika seorang perempuan berfikir kegiatan memasak bukan sebuah perwujudan emansipasi, ya jangan dipaksa atopun terpaksa melakukannya. Pilih kegiatan lain yg menurutnya lebih menunjukkan bahwa dirinya ‘mampu’ (empowered).

    Saya juga setuju lg dengan saran Bapak to focus more on essential problems like poverty and illiteracy. Menurut saya, feminist movement di Indonesia belum cukup addressing this problem. Selama ini their efforts masih to serve the goal of equal opportunity, belum ke akar permasalahannya. Well, we’re in the process of improvement hopefully.

    Nah, sekarang kurang setujunya ni Pak..
    menurut saya, ga papa tu agak2 dipaksa dikit dandan pake kebaya. sekalian melestarikan budaya Pak, setahun sekali ini..
    Saya terutama agak concern dengan semangat cinta budaya sebagian anak muda (kekekekk..saya ngomongnya kayak2 saya udah tua aja), seperti yg saya temui di Columbus, OHIO ini (saya sedang kuliah Master disini). Sebagian besar ga tau je Pak..busana tradisional Indonesia..sedih kan?

    Sekian komentar saya. Maaf kalo kepanjangan.
    Oya, sekedar catatan kecil..saya rajin baca tulisan bapak lo..kekekekekk..buat bahan refleksi untuk nulis paper Pak 😀 so, thank you very much indeed.

    ooo
    wadu, makasih banget mbak aree, telah berkenan berkunjung. hanya blog sederhana aja kok, mbak. btw, ttg busana kebaya, saya sih juga setuju, mbak aree, sekaligus untuk menunjukkan jatidiri bangsa kita sebagai bangsayang berperadaban dan berbudaya tinggi. cuma yang kurang sreg, agaknya selama ini cenderung dipaksakan. makna busanya telah berubah hanya sekdar bersifat seremony belaka. substansinya jadi hilang deh. alangkah membanggakannya jika anak2 sekolah memiliki kesadaran baru utk memeringati hari kartini karena dorongan rasa cinta terhadap budaya mereka. ok, mekasih banget masukannya, mbak aree. semoga kuliahnya masternya cepat klar, lalu ilmunya digunakan utk membangun bangsa. yups, salam dari tanah air. 💡

  16. saya sangat setuju dengan komentar aree, betul kita sebagai bangsa Indonesia harus melestarikan budaya ya salah satunya dengan perpakaian daerah. saya sebagai seorang ibu tidak merasa direpotkan dengan mengantar anak untuk ceremony ini, malah saya sangat bangga mereka bersedia memakai busana adat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *