Elegi Pasca-Perang

Dalang: Ki Sawali Tuhusetya

Sisa perang dahsyat masih menyengat. Bau bangkai busuk dan anyir menebar ke segala penjuru; diterbangkan angin dan mengabarkan berita maut lewat jaringan internet, televisi, koran, dan majalah. Dunia gempar. Para penonton dan pembaca di seluruh lapis dunia terharu. Para pengamat hanya bisa mengangkat bahu sambil bilang, “Dunia telah memasuki era bar-bar. Nyawa manusia tak lebih berharga daripada nyawa binatang.”

Peperangan, dalam fase zaman yang paling purba sekalipun, telah menafikan dan mengebiri nilai kemanusiaan. Ambisi, nafsu, dan keserakahan telah membungkus manusia bertemperamen iblis. Kebiadaban menjadi alternatif jitu dalam memuaskan kebuasan hati. Batas antara kebenaran dan kemunafikan menjadi kabur.

Lihatlah padang Kurusetra! Betapa kegersangan di sana menjadi saksi sejarah kebiadaban perang. Gedung-gedung hangus, pepohonan tumbang, rumah-rumah penduduk porak-poranda, dinding-dinding tempat ibadah bolong-bolong tertembus peluru. Bumi pekat oleh darah. langit gelap berkabut asap mesiu. Anak-anak menjerit. Ibu-ibu limbung meratapi kepergian sang suami. Air mata dan darah larut dalam gelombang duka.

Di tepi sebuah kolam renang –salah satu kawasan kantong zona bebas perang– seorang lelaki kekar mendesah. Pikirannya kusut. Ulu hatinya bagai dipukul-pukul godam. Matanya nanap. Berulang-ulang, mulutnya mendesis.

Betapa kini lelaki itu merasakan kesepian yang menyontak-nyontak. Tiada kawan dan sanak-saudara. Dunia bagaikan gugusan jelaga yang gelap-pekat. Dan ia seolah mengarunginya sendirian. Lagu yang sanggup ia senandungkan hanyalah sebuah elegi yang menusuk-nusuk nurani, “Betapa malang nasibku …”

“Ah, ternyata benar kata Paman Widura. Perang akan memakan korban dan darah Bharata sendiri,” desah lelaki kekar itu di bawah siraman terik matahari yang menyengat ubun-ubun.

Dialah Duryudana, rezim diktator Hastina yang serakah dengan impian-impiannya mengangkangi bumi Amarta sebagai imperiumnya. Bayangan kekuasaan yang pernah digenggamnya menggoyang-goyang benaknya. Betapa ia telah bertindak bodoh, permisif, dengan membiarkan para pendukungnya menjilat-jilat pantatnya.

Mereka memang tak pernah konfrontatif, selalu “yes” terhadap segala kebijakannya. Tak ada kritik. Tak ada umpan balik, termasuk ketika ia memutuskan untuk perang. Ah, ternyata justru menjebaknya dalam kubangan penderitaan yang tak berujung.

Tak kuat menahan terik matahari, Duryudana dengan cepat amblas ke kolam renang. Sejuk, dapat melupakan sementara beban yang menindih pikiran kusutnya. Ia tak menyadari kalau sedari tadi ada beberapa pasang mata yang mengintai gerak-geriknya. Mereka adalah para eksponen Pendawa dengan penasihat perangnya, Kresna.

Duryudana tersentak ketika kepalanya mendongak. Di semua tepi dan sudut kolam telah berdiri sosok yang amat dikenalnya.

“Oh, Sang Raja! Mengapa Sampeyan mesti ngumpet di sini?” tanya Yudistira sinis. Duryudana gelagapan. Wajahnya pucat. “Oh, kasihan, kasihan! Maksud hati mau ngumpet, apa daya tempat sudah terkepung!”

“Yudistira keparat! Saya bukannya mau ngumpet, tapi refreshing, tahu?” jawab Duryudana sembari mengucak-ucak bola matanya.

“Ayo Duryudana, tunjukkan arogansimu seperti ketika dengan pongahnya Sampeyan membuat onar di Balai Sigala-gala, melecehkan seorang perempuan dengan menelanjangi Mbak Drupadi, atau pada saat membuang kami di rimba Afrika!” cocor Bima dengan logat berat.

Sindiran-sindiran pedas meluncur. Duryudana terpojok. Penyesalan terpancar dari sorot matanya yang nanar.

“Diktator macam Sampeyan ndak perelu dikasih hidup!” sergah Nakula yang berwajah hispanic seperti Oscar De La Hoya itu.

“Baik, silakan kalian maju bersama, termasuk penasihat kalian yang licik itu!”

“Oh, bukan watak Pendawa main kroyok seperti Kurawa membantai beramai-ramai terhadap Abimanyu!” seloroh Kresna. “Sekarang pilih saja di antara mereka berlima. Satu saja!”

Duryudana diam sejurus. Tiba-tiba bola matanya menatap Bima yang tegar dan perkasa. Bima tanggap. Dengan cekatan, digelandangnya tangan Duryudana. Dalam sekejap, mereka telah terlinat duel sengit. Ronde demi ronde berlangsung. Adu pukulan beri,bang. Di bawah terik matahari, kedua wayang yang mirip petinju itu semakin bernafsu meng-KO lawan. Peluh membanjiri tubuh mereka.

Mendadak, terdengar deru lembut sebuah mobil. Kresna, Yudistira, Harjuna, Nakula, dan Sadewa menoleh serentak. Seorang lelaki separo baya berparas kharismatik turun dari mobil. Ternyata adalah Baladewa, kakak Kresna yang selama perang panas Bharatayudha berlangsung direkayasa Kresna agar tak terlihat dalam peperangan dengan memberikan kesempatan berlibur ke luar negeri.

Baladewa tersenyum. Ia begitu terpesona melihat kelincahan foot work dan body weaving yang (nyaris) sempurna. Maklum, kedua sosok yang terlibat dalam duel itu adalah bekas asuhan almarhum Durna yang bertangan dingin. Duel terus berlangsung seru. Namun, posisi mereka masih fifty-fifty. Melihat posisi demikian, Kresna membisiki Harjuna agar membewri isyarat kepada Bima untuk memukul telak paha kiri lawannya. Bima merespon cepat. Dengan gerakan indah sembari merunduk, tangan kanan Bima yang kokoh segera menghantam kuat paha kiri Duryudana. Duryudana terhuyung. Dengan gerakan kilat, Bima segera mencocor tubuh dan kepala Duryudana. Tak ayal lagi, tubuh Duryudana terkapar mencium tepi kolam renang. KO.

Melihat kejadian itu, Baladewa murka.

“Hai, Bima! Tinju macam apa itu memukul bagian bawah perut! Tidak fairplay! Kamu bisa di-skors Badan Tinju Perwayangan, tahu?” sungut wayang kharismatik itu. Matanya tajam menatap Bima.

Bima gusar ketika dengan cepat Baladewa mengeluarkan senapan dari dalam mobilnya. Untung saja Kresna berhasil menyerobotnya.

“Sudahlah, Mas! Selama ini para Pendawa tak berkutik akibat sikap diktator Duryudana! Biarlah Bima melenyapkan kediktatoran itu bersama mampusnya Duryudana!” rajuk Kresna. Baladewa manggut-manggut, mencoba meredamkan amarah.

Sementara itu, di bibir kolam, tubuh Duryudana terkapar loyo. Pandangan matanya kabur. Ia pun tak sanggup lagi bersenandung elegi kehancuran ketika sepasang matanya terkatup rapat selama-lamanya. Mampus! Tubuh sang diktator itu bagaikan onggokan gedebog psang yang nglumpruk. ***

oOo

Keterangan: gambar dicomot dari sini.

Comments

  1. kelakuan duryudana emang keterlaluan
    contoh ya seperti di atas, saat ia menelanjangi sis drupadi
    tapi saya pikir baladewa lebih suka naked-bike seperti ducati monster
    ternyata dia lagi naik mobil sportnya 😀

    caplang[dot]net’s last blog post..Yang Tertinggal

    ooo
    wew…. sesekali kresna juga perlu pakek tiger kayak yang sering dipakek oleh para biker itu, bung caplang, hehehehe 😆 biar lebih macho!

  2. Ah,, menarik sekali. Membaca kisah ini versi Pak Sawali semakin membuat saya ingin membaca kisahnya secara lengkap. Ada tuh bukunya di Gramedia Margonda,, 😀

    ooo
    makasih mbak miki atas apresiasinya. btw, mbak miki seneng wayang jugakah?

  3. Sebetulnya wayang menggambarkan sifat manusia, dengan berbagai tingkah polahnya. Dan selalu ada sisi baik dan buruknya. Kurawa selalu digambarkan dengan sifat jahat, namun di satu sisi Duryudana juga mempunyai sisi baik.

    Bagaimana pak Sawali? Bahkan Kresna, yang merupakan titisan Batara Wisnu (penjaga perdamaian dunia), juga mempunyai sisi yang kurang adil….sebagai ahli strategi, Kresna memihak pada Pendawa, serta mengatur siapa yang sebaiknya maju walaupun kalah dari tim Pendawa.

    edratna’s last blog post..Perusahaan Asuransi Kerugian, untung apa rugi?

    ooo
    nah, idealnya penggamabaran karakter wayang pun lebih manusiawi, bu, hehehehe 😆 jangan sampai stereotype kalau pendawa mesti bagus, sedangkan kurawa ndak ada sisi baiknya sama sekali.

  4. Walah, ternyata bima menang dengan cara curang ya pak?

    danalingga’s last blog post..Sikap Dalam Diskusi Agama

    ooo
    hehehehe 😆 itu juga atas “kecerdikan” bahkan kelicikan? Kresna, mas dana, hehehehe 😈

  5. elegi pasca perang…
    Dari 3 kata dalam judul, cuma satu yang aku sangat faham, yaitu “perang”.
    Pelajaran Sejarah yang aku terima sejak SD rupanya berhasil menanamkan kata itu di urat nadiku. Mulai Perang Diponegoro yang tahunnyapun aku hafal di luar kepala, Perang Padri, Perang Paregrek dan Perang yg lain.
    elegi…?
    apa sejenis e-mail, e-learn, e-class dan e yg lain?
    Kalau iya, berarti elegi = elektronik legi alias pemanis buatan alias sakarin…
    Pasca…?
    Lha ini, susah di “condro”.
    Mungkin singkatan ya… Pasca = Pasukan Cabul
    Atau masih ada hubungan dengan Pak Pascal, ahli yang menemukan teorema binomial…
    Embuh ah !. (Aku kan cuma Pasca D3 … he… he…)

    ooo
    wakakakaka 🙂 analisis yang akurat versi plesetan, pak mar, hehehehe 😆

  6. Baladewa pada lakon itu didaulat menjadi wasit dalam duel Brotoseno melawan Duryudana. Baladewa dipilih menjadi wasit karena dia terkenal sebagai sosok yang tegas dan adil. Sikapnya hitam-putih. Baladewa pun tidak pernah mau menerima suap baik yang hanya Rp4juta maupun Rp600juta. Sungguh ironis dengan wasit-wasit sepakbola kita yang masih bisa disuap.

    Bagian paha kiri Duryudana memang titik lemahnya. Seluruh tubuh Duryudana kebal terhadap semua senjata karena disinari oleh pancaran mata ibunya yang selalu menutup matanya yang telah bersumpah untuk itu. Karena Duryudana malu maka bagian kemaluannya ditutup dengan daun sehingga tidak ikut kebal. Itulah yang kemudian menjadi penyebab kekalahannya pada duel maut terakhir dengan Bima.

    Kematian Duryudana melengkapi kematian Kurawa. 100 orang Kurawa tumpes bles sementara Pandawa tetap utuh 5 orang: Puntadewa, Wrekudara, Janaka, Nakula dan Sadewa. Namun, pihak Pandawa bukannya tanpa korban. Abimanyu putra Arjuna tewas dikeroyok Kurawa. Gatotkaca tewas terkena rudal stringer yang dilepaskan Karna.

    Perang, di manapun, akan meninggalkan korban dipihak yang menang maupun yang kalah.

    arif’s last blog post..Gambar Bugil Artis

    ooo
    analisis yang mengagumkan. mas arif pasti sangat paham dunia pewayangan deh. hampir semua lakon kayaknya bener2 dikuasai mas arif. salut! begitulah mas arif gambaran realitas dalam jagad pakeliran yang bisa jadi juga kontekstual dg kenyataan objektif yang ada di tengah2 kehidupan masyarakat kita saat ini.

  7. Mas…ane nggak komentar, cuma senyum-senyum sambil baca cerita sampeyan. Cerita ini mengungkap politik praktis ya, pokoke pukul aja. Btw, judulnya mengingatkan pada lagunya Mas Katon (elegi luka hati). Makasih Mas

    ooo
    elegi luka hati? wah, saya kurang begitu firendly dg lagu2nya katon, mas adi, hehehe 🙂 btw, setiap kali mau masuk ke blog mas adi kok selalu harus lewat open dns, yak? apa karena ini berkaitan dg broadband langganan saya?

  8. ..dan akhirnya kebaikan mengalahkan kebatilan cuman kok caranya pake nglanggar aturan ya Pak…?? mukul di bawah pinggang dalam tinju kan dilarang… Baladewa-nya sendiri yg jadi wasit jga gak konsisten dgn peraturan… dan bahkan si Kresna malah mendukung “pelanggaran” yg dilakukan Bima… Apa untuk menumpas kejahatan… segala macam cara (itu) di-halal-kan ya Pak..??

    ooo
    wah, itulah kenyataan yang terjadi dalam jagad pakeliran, bung serdadu. bisa jadi itu juga menggambarkan realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. utk mencapai tujuan seringkali orang orang harus berperilaku ala machiavelli yang menghalalkan segala cara. wah, repot juga!

  9. Plekencog waru dhoyong (ini mah punya Narada), beruntung idola ulun mboya melu brontoyudo joyobinangun. Antasena lan Wisanggeni mokswa sakdurunge perang saka palilahe sang hyang wenang. Jadilah kejujuran dan ketegasan sikap mereka tak terkotori oleh darah yang mengalir oleh perang itu

    Ki Bodronoyo’s last blog post..Pasetran Gandamayit

    ooo
    wew… mas nudee mengidolakan antaseno dan wisanggeni? wah! keturunan pendawa ini memang dikenal sakti, hehehehe 😆 mereka juga sangat fair, meski dinilai sering berlaku tidak santun terhadap orang tua karena bahasanya selalu ngoko, hehehehe 😆

  10. akhirnya baca kisah wayang lagi, neh. baladewa keren habis dengan mobilnya, hehe.

    saya sekarang malah tertarik dengan gambar-gambar wayangnya, pak. kalau tidak keberatan kapan-kapan gambar-gambar wayang itu diberi nama. misalnya gambar Bima yang hidungnya agak panjang dan lancip dengan rambutnya yang gimana gitu… hehe. di atas ada tiga gambar tokoh wayang. sayangnya, saya yang awam dalam dunia perwayangan tidak mengenal gambar siapa gerangan. tiba-tiba saya menjadi tertarik dengan gambar-gambar itu.

    manusia memang serakah ya, pak. contohnya saya ini, hehe. setelah membaca ceritanya malah ingin mengenal wajah tokoh2nya. pada hari jum’at kemarin saya sempat singgah di desa Wonosari. Nah, di sana ada kesenian wayang. sayangnya, saya tidak mengerti apa yang diceritakan karena dialog2nya menggunakan bahasa jawa semua dan saya tidak mengenali wajah-wajah tokoh2 wayang itu. yang saya nikmati ya suara gamelan dan musiknya saja. hik… padahal menarik banget kalau bisa mengenali tokoh2 itu dari hidungnya, rambutnya, bla… bla…

    _salam_

    Hanna Fransisca’s last blog post..Jalinan Kasih2

    ooo
    ke wonosari gunung kidulkah, mbak hanna? hehehehe 😆 ttg gambar wayang, lain kali insyaallah saya beri nama di bawahnya, mbak. itu bukan serakah kok, hehehehe 💡 utk gambar di post ini yang paling atas adalah duryudana, berikutya keluarga pendawa, dan yang terakhir baladewa, hehehe 😆

  11. Ki, yen saumpomo ulun melu-melu ndongeng soal wayang, nopo panjenengan nayogyani? ampun dipun anggep dados saingan lho 🙂

    Ki Bodronoyo’s last blog post..Pasetran Gandamayit

    ooo
    kenapa nggak, mas nudee. aku malah dadi seneng entuk panglipur saka sedulur ana manca negara naging tasih nduweni kawigaten marang budayane dhewe, hehehehe 😆 aku malah wis kangen kepingin ndang maca postingane, hehehehe 😆

  12. Wah pak sawali ini hebat.. bisa disandingkan dengan ki manteb sudarsono..
    Luar biasa pak, sebuah kritikan yang sangat mengena tentunya bagi duryudono-duryudono yang hari ini masih berusaha mengahalalkan segala cara untuk menjaga ke-eksistensian ke-duryudonoan-nya 🙂

    azaxs’s last blog post..Jangan Main Instan!

    ooo
    wakakakakaka 🙂 mas azaxs ini ada2 saja. walah, lakon ini kan hanya sekadar wayangan komtempore, mas. siapa pun bisa melakukannya. beda dg pak mantep, selain konon harus memiliki bakat juga mesti ditunjang dg latihan serius dan tak kenal lelah. sedangkan, “wayang mbeling” di sini sekadar media utk melontarkan kritik sambil guyon, mas, hehehehe 💡

  13. Selama perbedaan masih ada, selama benih2 angkara murka manusia masih tertanam dalam diri manusia, selama ego manusia ada, selama itu pula perang akan selalu ada. Bukan hanya peperangan fisik yang menghancurkan struktur fisik saja, tapi juga perang propaganda, perang politik, perang diplomatik bahkan perang pena (atau perang keyboard kalau lewat blog kali yaaa… :mrgreen: ) seperti sudah ditakdirkan untuk selalu ada.

    Bagaimana akhirnya kalau perang besar telanjur terjadi?? Membangun kembali prasarana yang hancur??, itu pasti!! Bersedih dan melantunkan elegi??, itu wajar!! Ambil hikmah dari peristiwa perang tersebut?? Kata2 klise walaupun ada benarnya!! Yang jelas mudah2an sesudah perang akan membawa perbaikan sehingga tidak sia2 jiwa korban yang melayang akibat peperangan tersebut…..

    **ragu2 mau pakai ‘halaah’ apa nggak ya??** :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Mike Si Ayam, Biar Kepalanya Dipotong Tapi Tetap Hidup!

    ooo
    mau pakai *halah* saja kok mesti ragu2, hehehehe 😆 pakai berkali2 juga gpp, kok, bung yari. btw, mestinya perang apa pun bisa dihindari *halah, akhirnya pakek juga* kalau masing pihak mau melakukannya dg cara2 diplomatis sehingga muncul sikap saling menghirmati dan menghargai. namun, begitulah, bung, kalo cara2 diplomatis sdh tdk mempan, perang pun akhirnya pecah juga. perang bharatayudha yang melibatkan keluarga bharata konon memang harus terjadi, bung, utk membuktikan nilai2 kebenaran seperti tersirat dalam idiom: “suradira jayaningrat lebur dening pangastusti”. *halah*

  14. Ki Dalang kapan nih Astina benar2 kembali ketangan Pandawa
    Indonesia sungguh2 menjadi milik segenap bangsa Indonesia 😀
    tidak hanya dikangkangi oleh Duryudana terus
    saya tunggu beritannya dari Ki Dalang

    tomy’s last blog post..PEMBACAAN DALAM SEONGGOK TAI

    ooo
    wakakakaka 😆 pertanyaan pak tomy jujur saja sulit utk dijawab nih. persoalan kembalinya tahta hastina ke pendawa indonesia, menurut hemat saya, mesti menyingkirkan sengkuni2nya dulu, hehehehe 😆

  15. Ki Dalang, aku sudah baca dua cerpen sampeyan berlatar tokoh-tokoh dunia pewayangan. Jujur, aku kagum kemampuan sampeyan bikin cerita dengan latar tersebut. Aku tak menguasai betul cerita pewayangan. Ibuku yang sangat hapal bagaimana seluk beluk bahwa silsilah tokoh-tokoh wayang. Salut buat Mas! Kapan waktu beri aku buku-buku tentang pewayangan biar aku bisa belajar. Terutama filsafatnya.

    Tabik!

    Zul …’s last blog post..Ketika Abang Anang Berdendang (Surat Terbuka buat Lilis M.S.)

    ooo
    walah, terima kasih, apresiasinya, pak zul. hanya kebetulan saja saya berasal dari latar belakang kultur etnik jawa yang sangat kental dg dunia pewayangan, pak. btw, ttg buku2 wayang sebenarnya sekarang banyak versi di toko buku yang bisa dipakai, pak. salut dan hormat juga pada ibu pak zul yg demikian fasih mengisahkan silsilah dunia pewayangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *