RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), sebagaimana diamanatkan pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sudah memasuki tahap uji publik. Menurut Sisdiknas, penyelenggara pendidikan harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pro dan kontra pun bermunculan.
Pihak yang pro-BHP menyatakan bahwa BHP akan mampu menciptakan atmosfer otonomi bagi perguruan tinggi yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan, sekolah/madrasah akan mampu menerapkan otonomi berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). Menurut mereka, otonomi sangat dibutuhkan oleh sekolah/madrasah, terutama oleh perguruan tinggi, agar kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitas yang merupakan prasyarat agar ilmu, teknologi, dan seni dapat berkembang secara paripurna. Pada gilirannya, perkembangan ilmu, teknologi, dan seni tersebut akan memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.
Yang bereaksi keras, khususnya dari kalangan yayasan penyelenggara pendidikan, mengkhawatirkan, kehadiran BHP menimbulkan keresahan di kalangan pengelola yayasan pendidikan lantaran keberadaan yayasan sebagai pengelola pendidikan secara langsung tidak diakui. Hal itu dinilai akan memberikan imbas yang cukup berat bagi yayasan-yayasan yang selama ini sudah mengelola pendidikan.
Terlepas dari sikap pro dan kontra yang terus mencuat, agaknya stigma bahwa dunia pendidikan kita selama ini sudah berbau fasis dan komersil semakin menyengat tajam. Dari tahun ke tahun, isu komersialisasi meruyak. Pendaftaran mahasiswa/siswa baru, misalnya, senantiasa memberikan ruang dan celah bagi para pemuja budaya instan untuk melakukan aksi sogok-menyogok. Paling tidak, fenomena semacam itu bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, merebaknya budaya instan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin abai terhadap nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keuletan dinilai mulai mengalami proses pembusukan. Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena semacam itu sebagai sebuah kejadian yang wajar sehingga tak terlalu penting untuk dipersoalkan.
Kedua, kekeliruan dalam menafsirkan makna otonomi yang sejak beberapa tahun terakhir menggejala dalam dunia pendidikan. Dengan dalih untuk menjalin kemitraan dalam menggali dana, sebuah institusi pendidikan seolah-olah dianggap sah apabila melakukan berbagai cara untuk mengembangkan institusi, termasuk dengan melakukan komersialisasi pendidikan. Padahal, sejatinya, otonomi sekolah mesti dimaknai sebagai upaya untuk memberdayakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di sekolah yang bersangkutan, baik dari sisi akademik maupun non-akademiknya. Namun, diakui atau tidak, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya budaya mutu yang dikembangkan di sekolah, melainkan budaya “petak umpet” untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan berkedok otonomi pendidikan.
Jika fenomena komersialisasi pendidikan semacam itu tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin akan memicu munculnya berbagai dampak negatif yang bisa menghambat dunia pendidikan dalam upaya mewujudkan budaya mutu yang gencar digembar-gemborkan itu. Ada-ada saja praktik ketidakjujuran yang mewarnai dinamika dunia pendidikan kita. Dalam pelaksanaan PMB/PSB, misalnya, atas nama otonomi pendidikan, pihak PT/sekolah seolah-olah berhak menggali dana dari berbagai sumber untuk kepentingan pengelolaan pendidikan.
Ketika dunia pendidikan sudah dicemari oleh berbagai praktik ketidakjujuran, manipulasi, dan berbagai ulah kecurangan lainnya, maka yang terjadi kemudian adalah proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Bagaimana mungkin tidak terkebiri kalau anak-anak dari kalangan keluarga tak mampu yang sebenarnya memiliki otak cemerlang, akhirnya harus tersingkir dari bangku pendidikan yang diincarnya? Bagaimana negeri ini bisa maju kalau generasi-generasi brilian justru harus mengalami proses “cuci otak” lantaran gagal duduk di bangku pendidikan?
Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN). Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan oleh orang tua diharapkan akan mendatangkan kemudahan dalam mencari pekerjaan atau kedudukan. Imbasnya, ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, kelak mereka akan selalu menghubung-hubungkan antara uang yang telah dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji dirasakan belum cukup untuk mengembalikan uang pelicin untuk mendapatkan bangku pendidikan, mereka tak segan-segan untuk mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara.
Idealnya, dunia pendidikan harus mampu menjalankan fungsinya sebagai pusat kebudayaan dan peradaban. Segala macam nilai tertabur di sana. Harapannya, dunia pendidikan benar-benar mampu melahirkan generasi-generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial.
Namun, secara jujur harus diakui, institusi pendidikan kita belum mampu menjalankan fungsi hakikinya di tengah-tengah perubahan dan dinamika budaya yang terus berkembang. Jika sekolah gagal menjadi agen perubahan, bukan tidak mungkin kelak negeri ini hanya akan dihuni oleh manusia-manusia berwatak korup dan cenderung menghalalkan segala macam cara dalam mendapatkan sesuatu.
Oleh karena itu, sebelum telanjur negeri ini menjadi “Republik Korupsi”, ada baiknya dunia pendidikan kita kembali difungsikan perannya sebagai agen perubahan sehingga sanggup melahirkan generasi-generasi yang jujur dan luhur budi. Negeri kita amat membutuhkan generasi-generasi yang mengharamkan KKN dalam menjalankan hidup dan kehidupannya. Dan itu sebenarnya bisa dimulai ketika mereka masih duduk di bangku pendidikan. Gagasan tentang gerakan “sekolah bebas korupsi” hendaknya menjadi agenda penting yang perlu dilaksanakan sejak pendaftaran siswa baru dimulai hingga akhirnya kelak mereka selesai menimba ilmu.
Nah, seiring dengan hendak diluncurkannya BHP, para pengambil kebijakan sudah saatnya turun tangan untuk memberikan “therapi kejut” dengan menindak tegas terhadap institusi pendidikan yang –baik dengan sengaja maupun tidak — menjadikan insitusi pendidikan sebagai “mesin pengeruk” keuntungan dengan dalih otonomi pendidikan. Orang tua pun berhak untuk menolak apabila ada upaya dari institusi tertentu untuk mengambil keuntungan. Jangan sampai terjadi, otonomi pendidikan dijadikan sebagai “tameng” yang dengan sengaja digunakan untuk menyingikirkan anak-anak berotak cemerlang dari keluarga tak mampu dalam upaya mengembangkan potensi dan talentanya secara utuh dan paripurna. Nah, bagaimana? ***
oOo
Keterangan:
Naskah RUU BHP dapat diunduh di sini.
Gambar diambil dari sini.
Pertamaxxx kah? baca ntar dulu *hehehe*
Mezza’s last blog post..Trus Karya Tataning Bumi
ooo
silakan mbak hibah, hehehehe 🙂
Semoga peran orang tua juga menjadi lebih aktif dalam menduduki badan sekolah sehingga berperan penting dalam perkembangan anaknya
Koko’s last blog post..What To Do with The Final Solution [Zen]
ooo
yups, nah ini pernyataan menarik, mas koko, mudah2an BHP bisa mewujudkan harapan seperti itu.
Otoda dijadikan ajang korupsi di tingkat daerah, otonomi kampus?
isnuansa’s last blog post..Prediksi AMAN
ooo
analog dg pernyataan mbak is, maka otonomi kampus dijadikan ajang korupsi di kampus. benarkah begitu mbak, hehehehehe 💡
peran seluruh lapisan tentunya sangat diperlukan jika tidak ingin negri ini menjadi republik korupsi.
hanggadamai’s last blog post..Menurut Dirimu Apa??
ooo
sepakat banget mas hangga. idelanya memang seperti itu.
Whalaelah, lha pandjenengan koq malah mberi kami pertanjaan balik sih, Pak? Padhahal saja ingin nanja “bagaimana” setelah mbaca tulisannja, eee, ternjata Bapak pun sama. Gimana dhonk, Pak, baguse?
Pareng…
ariss_’s last blog post..Muslimkah Saya?
ooo
loh, mas aris kan juga berhak untuk menjawab toh, hehehehe :simle: eh, mangga2 mas aris, matur nuwun.
komersialisasi pendidikan yang fair saya rasa tak ada masalah pak..
lahapasi’s last blog post..SLANK Vs DPR..
ooo
wew… ternyata ada juga komersialisasi yang fair ya, mas, hehehehe 💡
Kalau dulu muncul idiom cewek komersil, nanti akan muncul sekolah atau universitas komersil.
Universitas atau sekolah tidak lagi mengedepankan mutu input melainkan besar duit input. Hal seperti itu sudah terjadi dengan SMA TARUNA NUSANTARA yang pihak Lembaga dan sekolah sudah menjadi cempe (anak wedhus) bagi orang tua siswa. SMA TN tidak lagi bisa tegak sebagai sebuah sekolah yang memiliki kurikulum khusus dan aturan tegas. Setelah berbayar, segala macam aturan dikebiri untuk mengakomodasi keinginan orang tua siswa yang memiliki anak manja tetapi disekolahkan di SMA TN.
Sebelum ini ada siswa SMA TN yang memilih keluar dari sekolah itu karena sekolah tidak mampu menegakkan aturan.
Korban komersialisasi pendidikankah?
arif’s last blog post..Pemblokiran Situs Dunia Maya
ooo
wah, padahal selama ini SMA TN selalu dijadikan rujukan, bahkan menjadi barometer kemajuan pendidikan menengah loh mas arif. kalau belakangan ini muncul fenomena seperti itu, wah, sinyal yang tidak bagus juga tuh. kalau memang sudah jelas2 merugikan siswa didik dan orang tua melalui pungutan2 yang tak jelas juntrungnya, agaknya bisa juga dijadikan indikasi munculnya komersialisasi pendidikan, mas.
… Idealnya, dunia pendidikan harus mampu menjalankan fungsinya sebagai pusat kebudayaan dan peradaban …
Waduh Pak, berkomentar susah, tidak berkomentar lebih susah. Pokok muasal akar masalahnya adalah … ketika pendidikan tidak diurus ahlinya, tidak diurus secara benar. Ketika pendidikan diurus dengan basik pikiran ekonomi, oleh ekonom, yang nilai-nilainya bergeser. Begitu juga ketika diurus dengan gaya kungfu, ciat … ciat. Apalagi, kalau dengan balutan politik.
Dalam pada itu, secara filsafati, tidak jelas lagi ‘ruh’ pendidikan. Semua bicara pendidikan yang baik, tetapi apa paham apa itu pendidikan, apalagi yang baik. Sementara ‘orang-orang’ pendidkan tidak paham yang namanya ‘politik pendidikan’. Malah, dipolitiki terus, dan … mau. Hands up deh.
Ah, sudahlah Pak. Nanti sampeyan ikut-ikutin pusing he he. Kita mulai sajalah yang kecil-kecil, dari lingkungan kita. Mana tahu nanti sistemnya ikut berubah. Kalau begini, negara ini semakin dekat menjadi Negara Gagal.
Ersis Warmansyah Abbas’s last blog post..Jujur Diri
ooo
sepakat banget, pak ersis. idealnya dunia pendidikan diurus oleh orang2 yang paham pendidikan. kalau diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, wah, kebijakan2annya sering tidak sinkron dg harapan masyarakat.
Satu hal yg saya amati dari kecendrungan masa sekarang adalah maraknya hal-hal mengarah ke uud (salut dg protes Slank ke DPR), sehingga apapun kalau bisa dikomersilkan. Toh peran komite sekolah kadang tak lebih dari perpanjangan tangan kepsek untuk meraup dolar, eh uud
Zulmasri’s last blog post..Kepergian
oooo
yups, begitulah situasi yang terjadi di negeri ini, pak zul. banyak ironi. senoga makin banyak slank2 lain yang mau memberikan kritik lewat lirik2nya yang tajam dan menyentuh.
*mampir lagi sambil njeroepoet kopi*
…kalau diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, wah, kebijakan2annya sering tidak sinkron dg harapan masyarakat…
saja serahken sadja deh sama baphak, sebape koelo perchoyo baphak sanggem lan termasoek orang2 jang ahlie.
2014 >> Menteri Pendidikan : Sawali Tuhusetya [amiiinnn….] *koor*
pareng…
Salam,.
ariss_’s last blog post..Muslimkah Saya?
0000
wakakakakaka 🙂 jadi ndak bisa berhenti ngakaknya, mas aris. btw, saya tidak pernah bermimpi jadi pejabat, kok, mas. jadi guru bisa lebih enjoy dan merdeka 😈
maslahanya budaya PNS kita masih birokrat banget. dengan memakai BH, sebuah PTN harus mampu mengelola keuangannya sendiri. karena jiwa enterprenernya masih rendah, banyak kampus yang manjadikan mahasiswa sebagai satu-satunya pendapatan, maka semakin melambunglah biaya pendidikan. belum lagi, strategi jitu menggaet dana dari mahasiswa eksekutif yang kebanyakan pejabat. instant? benar!
alangkah indahnya ketika PT mampu hidup dari royalti paten hasil penelitiannya yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan besar, mempunyai UJI (Unit Jasa dan Industri) yang berkembang pesat, mulai dari peternakan hingga hotel. Sehingga pimpinannya berkata :
“Tanpa SPP mahasiswa pun, kami masih bisa hidup”
Kapankah?
Apa nunggu saya jadi rektor?
halahhhh…………. 😀
sluman slumun slamet’s last blog post..Berita duka?.
ooo
wah, info yang luar biasa, pak slamet. idealnya seperti itu, pak, apalagi PT yang notabene jelas2 memiliki tri dharma PT, yang salah satunya adalah penelitian *sok tahu* kalau itu R & D-nya bisa jalan, bisa jadi hasil2 penelitian itu akan memiliki hal paten yang akan terus mengalirkan royalty ke pundi2 PT. pertanyaan saya juga sama dg pak slamet, kapan itu bisa terwujud, yak?
Waduh, jangan sampai terjadi anak anak berotak cerdas kehilangan kesempatan hanya karena tidak “ikut komersil”.
Nanti hanya akan melahirkan generasi generasi super komersil akibat komersialisasi yang dialami pada masa sebelumnya *duh*
sharels’s last blog post..Blogwalking Menyebabkan Kecanduan Internet?
ooo
yups, mudah2an BHP tdak sampai berdampak tragis seperti itu, mas. kalau itu yang terjadi, BHP bener2 mendatangkan “kiamat” buat dunia pendidikan kita.
permasalahannya masih adakah orang-orang yang benar-benar peduli dengan pendidikan dalam negeri ini. peduli dalam arti tidak komersil, berani berjuang, benar-benar mendidik, mengajar, membimbing generasi muda kita. bila seorang guru sudah mampu menunjukkan kejujuran, tidak menerima uang suapan, tegas dalam membela keadilan dan kebenaran, saya kira sikap2 seperti ini pun akan dengan sendirinya diteladani oleh siswa(i) lainya. sayangnya, sejauh yang saya tahu, masih banyak sekolahan yang mempraktikan korupsi. hik…
Hanna Fransisca’s last blog post..Jalinan Kasih2
ooo
yaps, pertanyaan menarik, mbak hanna, tapi tdk mudah untuk dijawab. yang pasti kalau para guru bener2 “mengharamkan” korupsi, anak2 pun akan meneladani sikap mereka, sehingga ke depan generasi negeri ini menjadi lebih hebat dan unggul. kalau semuanya serba dikomersilkan, wah, repot juga, mbak.
ah jangan sampe ada repolusi gara2 hal ini, karena ternyata perselisihan sedikit saja, bangsa ini sudah mengandalkan emosi 🙁
dobelden’s last blog post..Call Me Pak Dhe
ooo
yups, mudah2an ndak sampe sejauh itu, mas dobelden.
Artikel di blog ini sangat menarik & bagus. Untuk lebih mempopulerkan artikel (berita/video/ foto) ini, Anda bisa mempromosikan di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di tanah air. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
ooo
terima kasih, pak infonya. langsung meluncur.
http://infogue.com/
http://infogue.com/pendidikan/mewaspadai_komersialisasi_pendidikan/
hmm..jadi kira2 langkah konkritnya apa..???
*siap2 mendukung*
ooo
yaps, berikan kesempatan kepada anak2 cerdas tapi dari keluarga tak mampu utk bisa ikut menikmati bangku pendidikan, mas pepeng, *halah*
setuju dengan semua point diatas…
Jadi malu saya, setiap berbicara dengan rekan2 dari berbagai bangsa, mereka bilang sd sampe sma gratis bahkan ada pinjaman lunak bagi yang kuliah. Padahal mereka bukan berasal dari negara eropa.
Salah kalo boleh saya bilang, jika pendidikan dikomersialkan! Bisa dibilang orang miskin gak boleh sekolah! Dan hal tersebut nyatanya menyalahi dasar negara dan UUD 45.
Langkah konkrit: bagi yang punya dana bisa menjadi orang tua asuh.
resi bismo’s last blog post..menyebalkan?
ooo
info yang menarik mas ario. ternyata bangsa kita memang belum menjadikan pendidikan sebagai “panglima”. idealnya memang perlu penggalakan subsidi silang, mas. yang mampu membantu yang miskin sehingga terjadi pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan.
Halah..halah….
Ini yang namanya ” MAJU KEPENTHUNG, MUNDUR KEBENTUR ” P. Guru
…heks..heks..
dunia pendidikan akan sama dan SEJAJAR dengan kebiasaan kita mengurus SIMPOL kayaknya. Di satu sisi Konsumen menginginkan mengenyam Pendidikan ( KULIAH ) dengan jalan PINTAS mengikuti program KEMITRAAN yang nota bene harus mengeluarkan dan MENGURAS HABIS isi kantong. Disisi lain klu gak NGEROGOH kantong hanya mengandalkan KELULUSAN MURNI ” biyuh…biyuh…seperti kami-kami yang berada di Luar Jawa SULIT SEKALI loh Pak menerobos BARICAGE yang telah tersusun rapi tersebut.
lah..kepiye iki…??. saya kira para Guru pendidik sudah AHLI dalam AJAR dan MENGAJAR, hanya saja SISTEM telah mengharuskan seperti itu, yang pada gilirannya Guru akan kena IMBAS NEGATIFNYA..Pedahal…?? Gak ikutan merasakan NIKMAT Duitnya kan..??.
Yah..yah…Pendidikan telah merubah WAJAHNYA menjadi BISNIS ORIENTED STRATEGIS….PROFIT…PROFIT…
Itukah yang menjadi TUJUANNYA…..??
OOOAAAAALLLAAAA…AAHHHH…Umar BAKRI…??.
gak melu mangan Nongkone…melu JIBRAT keno PULUTE….
naziiiibb..naziiiiib…!!.
Santri Gundhul’s last blog post..NGRACUT BUSANANING MANUNGSO
ooo
begitulah, mas santri, nasib para guru di negeri ini. mereka sudah banyak melahirkan orang2 top, tapi nasib mereka sering terkebiri dan termarginalkan akibat kebijakan penguasa yang belum berpihak sepenuhnya kepada para guru. *hanya bisa berharap dan bermimpi, mas santri*
Ya, itu kan dalam rangka menaikkan posisi negeri kita di daftar negara terkorup, Pak. Jadi ya mohon bantuannya biar kita bisa juara..
ooo
wew… kok malah mau ikutan kontes korupsi, yak? kekekekeke mas nazieb bisa aja nih.
setuju dengan paragraf terakhir, kalo memang arahnya adalah untuk mencerdaskan, maka perlu dipikirkan juga dengan sanksi yang cukup membuat kapok jika hal tersebut dilanggar!
peyek’s last blog post..Perseteruan
ooo
yaps, setuju banget, mas peyek. agaknya memang bangsa ini perlu belajar bersikap tegas. sekolah yang terindikasi terlibat korupsi ya jangan sungkan2 utk dihentikan kegiatan operasionalnya 💡
Assalaamu ‘alaikum prof…
Saya juga merasakan hal yang sama, was-was dan gelisah dengan “isu” dan “kecenderungan” komersialisasi pendidikan. Saya pernah menyaksikan langsung tidak sedikit wajah-wajah lesu dan nyaris putus asa dari adik-adik yang kebetulan lulus SPMB di salahsatu PTN di kota Bandung.
Kenapa malah murung…? padahal mereka dinyatakan lulus. Ya… mereka murung karena ternyata setelah dinyatakan lulus mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa biaya yang harus disediakan untuk melanjutkan studi di PTN tersebut sangat besar… 😥
Oh iya… ide tentang “sekolah bebas korupsi” sangat menarik. Karena ternyata praktek KKN juga ternyata masih subur di lembaga-lembaga pendidikan ang konon katanya mengemban tugas sebagai agen perubahan… Sepertinya, layak untuk dikampanyekan prof…! 😀
Ram-Ram Muhammad’s last blog post..Catatan Perjalanan 1: Membunuh ?Yang Penting Gue!?
ooo
waalikum salam bung ram-ram. waduh, repot juga kalo dah diterima di PTN lantas bingung lantaran persoalan biaya. Nah, agaknya subsidi silang di PTN pun perlu juga dihidupkan barangkali, bung. Yang mampu memberikan subsidi kepada yang kurang mampu. Tapi bisa terwujud, tidak ya, bung. ttg. sekolah bebas korupsi seharusnya sudah menjadi kultur, bung, karena dari institusi pendidikan inilah anak2 bisa belajar bagaimana mereka meraih sukses dg cara yang jujur.
setelah tak baca sekali lagi…
diriku setuju sekali dengan merebaknya budaya instant di negri ini..
banyak sekali orang2 yg inginnya memotong jalan tanpa susah-susah karena sudah terbiasa dengan yg instant. Padahal yg paling penting adalah proses bukan hasil yang paling penting
ooo
yups, budaya instan dan potong kompas itulah yang sering membikin korupsi jadi marak, mas hangga. *sok tahu* inginnya mereka ingin cepet2 sukses dg cara yang cepet, tanpa melalui proses 😥
Pak Sawali, link blog Anda saya masukkan dalam kumpulan link blog guru, untuk menambah daftar guru guru yang punya blog dan masih update, saya diberitahu oleh Pak Moh. Arif Widarto, kunjungi blog saya jika ingin melihat blog-blog guru yang lain. Tks
istiyanto’s last blog post..Aplikasi Matematika (Persamaan Kuadrat) dan Flash
ooo
yups, makasih banget pak is kalau sdh mau menaut blog saya, hehehehe 🙂
Sayangnya apa yang Pak Sawali cemaskan bukan lagi akan terjadi, tapi sudah terjadi. Secara formal mungkin belum, tapi dari segi paradigma sudah tidak ada masalah, dan sebagian sudah dipraktekkan.Masyarakat luas sudah menyerah, paling-paling menggerutu.
Pendidikan adalah bagian dari keadaan makro di negeri ini. Dan keadaan makro itu adalah menjadikan segala sesuatu menjadi proyek, profit oriented dan sapih perah; termasuk rumah sakit, jawatan kereta api dan taman pemakaman umum.
Pokoknya sejak lahir, sekolah, pacaran, melamar kerja, promosi jabatan, menikah,sampai akhirnya mati : HARUS MEMBAYAR MAHAL + biaya tidak resmi.Diam-diam kita suda menerima itu sebagai keniscayaan. Pertanyannya cuma satu : bagaimana caranya supaya aku kebagian dan ikut foya-foya ?
Maaf Pak Sawali kalau komentar ini malah membuat lebih pesimis. Maunya sih menawarkan optimisme; tapi…
Robert Manurung’s last blog post..3.000 Karyawan Adam Air Belum Gajian
ooo
hahahaha 😆 sikap pesimisme itu memang kadang2 diperlukan, bung robert agar kita bisa mengambil langkah dan solusi terbaik. bung robert bener. masyarakay kita di berbagai lapis dan lini kehidupan sdh demikian jauh terjerat dalam rantai korupsi. utk memutus mata rantai itu *saya juga pesimis nih bung* agaknya masih dibutuhkan beberapa generasi lagi.
Sayangnya apa yang Pak Sawali cemaskan bukan lagi akan terjadi, tapi sudah terjadi. Secara formal mungkin belum, tapi dari segi paradigma sudah tidak ada masalah, dan sebagian sudah dipraktekkan.Masyarakat luas sudah menyerah, paling-paling menggerutu.
Pendidikan adalah bagian dari keadaan makro di negeri ini. Dan keadaan makro itu adalah menjadikan segala sesuatu menjadi proyek, profit oriented dan sapih perah; termasuk rumah sakit, jawatan kereta api dan taman pemakaman umum.
Pokoknya sejak lahir, sekolah, pacaran, melamar kerja, promosi jabatan, menikah,sampai akhirnya mati : HARUS MEMBAYAR MAHAL + biaya tidak resmi.Diam-diam kita suda menerima itu sebagai keniscayaan. Pertanyannya cuma satu : bagaimana caranya supaya aku kebagian dan ikut foya-foya ?
Maaf Pak Sawali kalau komentar ini malah membuat lebih pesimis. Maunya sih menawarkan optimisme; tapi…
Robert Manurung’s last blog post..3.000 Karyawan Adam Air Belum Gajian
ooo
hahahaha 😆 sikap pesimisme itu memang kadang2 diperlukan, bung robert agar kita bisa mengambil langkah dan solusi terbaik. bung robert bener. masyarakay kita di berbagai lapis dan lini kehidupan sdh demikian jauh terjerat dalam rantai korupsi. utk memutus mata rantai itu *saya juga pesimis nih bung* agaknya masih dibutuhkan beberapa generasi lagi.
Yah… agak sulitlah sekolah berperan untuk menjadi “agen perubahan” agar kelak negeri ini tidak dihuni oleh kaum2 yang korup. Wong kesuksesan di negeri ini masih semata2 diukur dengan uang bukan prestasi kok. Yang ada difikirannya adalah “bagaimana caranya agar cepat menjadi kaya” tanpa harus bersusah payah dan tanpa harus berprestasi! Seharusnya yang dibanggakan prestasi dulu, nah kalau sudah baru merembet pada uang! Kalau tidak, ya tidak heran negeri ini hanya dipenuhi makhluk2 yang korup! 🙁
Yari NK’s last blog post..Gunakan Sistem Pengukuran Metrik, Buang Jauh Sistem Pengukuran Inggris!
ooosepakat dengan pendapat bung yari. mestinya mendahulukan prestasi ketimbang uang itu dijadikan sebagai sebuah budaya. tapi *halah pesimis lagi* itulah kenyataan yang terjadi di negeri ini, bung. semuanya diukur dg duit mlulu. pendidikan pun terindikasi mengarah mke situ, bener2 repot bung. 😥
Negeri tercinta ini, seharusnya lebih fokus pada pendidikan, semua anak punya hak untuk sekolah. Sekolah harus gratis dari TK sampai SLTA. Gaji guru harus besar. Otonomi sekolah yang berakibat pada komersialisasi adalah pembusukan ilmu dan kompetensi. Anak orang yang tidak mampu dari sisi keuangan, padahal pintar dan baik, makin terjepit dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Akibatnya?! negeri ini suatu saat akan dipimpin oleh….pada dasarnya bodoh. kasihan negeriku.
Singal Sihombing’s last blog post..Derap Langkah Dan Demokrasi
ooo
yaps, sepakat banget pak sihombing. seharusnya dunia pendidikan di negeri ini hsrus memberikan kesempatan dan perluasan akses kepada anak2 bangsa utk menikmati pendidikan. kalau dihantui komersialisasi, wah, kasih juga anak2 cerdas yang tak dapat tempat. dampaknya jelas akan berpengaruh terhadap masa depan negeri ini.
alangkah sedihnya jika pendidikan dikomersialkan
dan kulihat Ibu Pertiwi kan menangis lagi
achoey sang khilaf’s last blog post..Ketika Kita Butuh Dianggap Baik
ooo
bener, mas. entah sampai kapan ibu pertiwi bisa berhenti menangis 😥
melihat banyaknya uneg-uneg kontra yang masuk saya jadi heran!!!!!!! segi komersial mana yang dipertanyakan? dalam BHP sdh dijelaskan semua tentang rancangan anggarannya yang insyaAllah tidak asal bikin. saya salut dengan ayahanda-ayahanda yang membuat ruu BHP ini, smoga saja berjalan sesuai rencana ya pak….. tak usah hiraukan kelompok2,orang2, mahasiswa anarkis tentang pnolakanya, jln tyuzzz
Kita tidak pernah membuang keyakinan “pendidikan merupakan proses moderenisasi, segala yang tidak sejalan dengan moderenisasi bukanlah pendidikan”. Itulah soalnya, itulah akar masalahnya. Ini andil sejarah!!! Kemudian pendidikan menjadi “gengsi”, karena menyandang sekaligus menghasilkan atribut-atribut moderenisme. Karenanya, tenaga, uang, dan waktu harus dikerahkan ke sana. Otomatis pendidikan menjadi komoditi.