Mewaspadai Komersialisasi Pendidikan

Kategori Pendidikan Oleh

RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), sebagaimana diamanatkan pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sudah memasuki tahap uji publik. Menurut Sisdiknas, penyelenggara pendidikan harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pro dan kontra pun bermunculan.

Pihak yang pro-BHP menyatakan bahwa BHP akan mampu menciptakan atmosfer otonomi bagi perguruan tinggi yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan, sekolah/madrasah akan mampu menerapkan otonomi berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). Menurut mereka, otonomi sangat dibutuhkan oleh sekolah/madrasah, terutama oleh perguruan tinggi, agar kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitas yang merupakan prasyarat agar ilmu, teknologi, dan seni dapat berkembang secara paripurna. Pada gilirannya, perkembangan ilmu, teknologi, dan seni tersebut akan memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.

Yang bereaksi keras, khususnya dari kalangan yayasan penyelenggara pendidikan, mengkhawatirkan, kehadiran BHP menimbulkan keresahan di kalangan pengelola yayasan pendidikan lantaran keberadaan yayasan sebagai pengelola pendidikan secara langsung tidak diakui. Hal itu dinilai akan memberikan imbas yang cukup berat bagi yayasan-yayasan yang selama ini sudah mengelola pendidikan.

bhp2Terlepas dari sikap pro dan kontra yang terus mencuat, agaknya stigma bahwa dunia pendidikan kita selama ini sudah berbau fasis dan komersil semakin menyengat tajam. Dari tahun ke tahun, isu komersialisasi meruyak. Pendaftaran mahasiswa/siswa baru, misalnya, senantiasa memberikan ruang dan celah bagi para pemuja budaya instan untuk melakukan aksi sogok-menyogok. Paling tidak, fenomena semacam itu bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, merebaknya budaya instan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin abai terhadap nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keuletan dinilai mulai mengalami proses pembusukan. Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena semacam itu sebagai sebuah kejadian yang wajar sehingga tak terlalu penting untuk dipersoalkan.

Kedua, kekeliruan dalam menafsirkan makna otonomi yang sejak beberapa tahun terakhir menggejala dalam dunia pendidikan. Dengan dalih untuk menjalin kemitraan dalam menggali dana, sebuah institusi pendidikan seolah-olah dianggap sah apabila melakukan berbagai cara untuk mengembangkan institusi, termasuk dengan melakukan komersialisasi pendidikan. Padahal, sejatinya, otonomi sekolah mesti dimaknai sebagai upaya untuk memberdayakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di sekolah yang bersangkutan, baik dari sisi akademik maupun non-akademiknya. Namun, diakui atau tidak, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya budaya mutu yang dikembangkan di sekolah, melainkan budaya “petak umpet” untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan berkedok otonomi pendidikan.

Jika fenomena komersialisasi pendidikan semacam itu tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin akan memicu munculnya berbagai dampak negatif yang bisa menghambat dunia pendidikan dalam upaya mewujudkan budaya mutu yang gencar digembar-gemborkan itu. Ada-ada saja praktik ketidakjujuran yang mewarnai dinamika dunia pendidikan kita. Dalam pelaksanaan PMB/PSB, misalnya, atas nama otonomi pendidikan, pihak PT/sekolah seolah-olah berhak menggali dana dari berbagai sumber untuk kepentingan pengelolaan pendidikan.

bhp1Ketika dunia pendidikan sudah dicemari oleh berbagai praktik ketidakjujuran, manipulasi, dan berbagai ulah kecurangan lainnya, maka yang terjadi kemudian adalah proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Bagaimana mungkin tidak terkebiri kalau anak-anak dari kalangan keluarga tak mampu yang sebenarnya memiliki otak cemerlang, akhirnya harus tersingkir dari bangku pendidikan yang diincarnya? Bagaimana negeri ini bisa maju kalau generasi-generasi brilian justru harus mengalami proses “cuci otak” lantaran gagal duduk di bangku pendidikan?

Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN). Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan oleh orang tua diharapkan akan mendatangkan kemudahan dalam mencari pekerjaan atau kedudukan. Imbasnya, ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, kelak mereka akan selalu menghubung-hubungkan antara uang yang telah dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji dirasakan belum cukup untuk mengembalikan uang pelicin untuk mendapatkan bangku pendidikan, mereka tak segan-segan untuk mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara.

Idealnya, dunia pendidikan harus mampu menjalankan fungsinya sebagai pusat kebudayaan dan peradaban. Segala macam nilai tertabur di sana. Harapannya, dunia pendidikan benar-benar mampu melahirkan generasi-generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial.

Namun, secara jujur harus diakui, institusi pendidikan kita belum mampu menjalankan fungsi hakikinya di tengah-tengah perubahan dan dinamika budaya yang terus berkembang. Jika sekolah gagal menjadi agen perubahan, bukan tidak mungkin kelak negeri ini hanya akan dihuni oleh manusia-manusia berwatak korup dan cenderung menghalalkan segala macam cara dalam mendapatkan sesuatu.

Oleh karena itu, sebelum telanjur negeri ini menjadi “Republik Korupsi”, ada baiknya dunia pendidikan kita kembali difungsikan perannya sebagai agen perubahan sehingga sanggup melahirkan generasi-generasi yang jujur dan luhur budi. Negeri kita amat membutuhkan generasi-generasi yang mengharamkan KKN dalam menjalankan hidup dan kehidupannya. Dan itu sebenarnya bisa dimulai ketika mereka masih duduk di bangku pendidikan. Gagasan tentang gerakan “sekolah bebas korupsi” hendaknya menjadi agenda penting yang perlu dilaksanakan sejak pendaftaran siswa baru dimulai hingga akhirnya kelak mereka selesai menimba ilmu.

Nah, seiring dengan hendak diluncurkannya BHP, para pengambil kebijakan sudah saatnya turun tangan untuk memberikan “therapi kejut” dengan menindak tegas terhadap institusi pendidikan yang –baik dengan sengaja maupun tidak — menjadikan insitusi pendidikan sebagai “mesin pengeruk” keuntungan dengan dalih otonomi pendidikan. Orang tua pun berhak untuk menolak apabila ada upaya dari institusi tertentu untuk mengambil keuntungan. Jangan sampai terjadi, otonomi pendidikan dijadikan sebagai “tameng” yang dengan sengaja digunakan untuk menyingikirkan anak-anak berotak cemerlang dari keluarga tak mampu dalam upaya mengembangkan potensi dan talentanya secara utuh dan paripurna. Nah, bagaimana? ***

oOo

Keterangan:

Naskah RUU BHP dapat diunduh di sini.
Gambar diambil dari sini.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

29 Comments

  1. Kita tidak pernah membuang keyakinan “pendidikan merupakan proses moderenisasi, segala yang tidak sejalan dengan moderenisasi bukanlah pendidikan”. Itulah soalnya, itulah akar masalahnya. Ini andil sejarah!!! Kemudian pendidikan menjadi “gengsi”, karena menyandang sekaligus menghasilkan atribut-atribut moderenisme. Karenanya, tenaga, uang, dan waktu harus dikerahkan ke sana. Otomatis pendidikan menjadi komoditi.

  2. melihat banyaknya uneg-uneg kontra yang masuk saya jadi heran!!!!!!! segi komersial mana yang dipertanyakan? dalam BHP sdh dijelaskan semua tentang rancangan anggarannya yang insyaAllah tidak asal bikin. saya salut dengan ayahanda-ayahanda yang membuat ruu BHP ini, smoga saja berjalan sesuai rencana ya pak….. tak usah hiraukan kelompok2,orang2, mahasiswa anarkis tentang pnolakanya, jln tyuzzz

  3. Negeri tercinta ini, seharusnya lebih fokus pada pendidikan, semua anak punya hak untuk sekolah. Sekolah harus gratis dari TK sampai SLTA. Gaji guru harus besar. Otonomi sekolah yang berakibat pada komersialisasi adalah pembusukan ilmu dan kompetensi. Anak orang yang tidak mampu dari sisi keuangan, padahal pintar dan baik, makin terjepit dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Akibatnya?! negeri ini suatu saat akan dipimpin oleh….pada dasarnya bodoh. kasihan negeriku.

    Singal Sihombing’s last blog post..Derap Langkah Dan Demokrasi

    ooo
    yaps, sepakat banget pak sihombing. seharusnya dunia pendidikan di negeri ini hsrus memberikan kesempatan dan perluasan akses kepada anak2 bangsa utk menikmati pendidikan. kalau dihantui komersialisasi, wah, kasih juga anak2 cerdas yang tak dapat tempat. dampaknya jelas akan berpengaruh terhadap masa depan negeri ini.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top