Kehidupan “Wong Cilik” dalam Teks Cerpen

Cerpen, bagi saya, adalah upaya penulis untuk mengabadikan berbagai peristiwa kemanusiaan, untuk selanjutnya diwartakan kepada publik dengan menggunakan media bahasa. Dalam konteks demikian, terasa naif apabila cerpen hanya memuja keindahan. Percuma saja apabila cerpen diekspresikan melalui idiom-idiom bahasa yang terlalu njlimet, bahkan bombastis. Sebab, cerpen-cerpen semacam itu tidak akan pernah masuk dalam khazanah pemikiran publik. Ini tidak lantas berarti bahwa cerpen jadi “alergi” dan anti-keindahan. Sebagai teks sastra, dengan sendirinya cerpen jelas mustahil terlahirkan dari rahim sang penulis tanpa medium bahasa.

Meski demikian, ada persoalan yang lebih urgen ketimbang itu. Banyak fenomena kemanusiaan yang menarik untuk direnungkan, diolah, dan digodog. Rakyat kecil yang tertindas, baik oleh rezim di dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya, penguasa yang pongah, atau interaksi sosial keseharian yang sarat dengan mitos-mitos, bagi saya, sangat menarik untuk ditafsirkan.

Setidaknya, itulah yang tergambar dalam cerpen-cerpen saya yang terpublikasikan, baik di blog ini maupun di blog Jalur Lurus. “Sepotong Kepala”, misalnya, mengisahkan tentang nasib Sukardal yang gila lantaran tak kuasa memanggul beban nasib yang menelikungnya. Dia harus mati dengan cara yang tragis setelah Manirah, istrinya mengadu nasib di negeri orang. Jasadnya hanya tinggal gembungnya saja. Sepotong kepalanya entah di mana? Yang lebih tragis, kematian Sukardal tetap menjadi misteri. Entah siapa yang telah tega berbuat biadab semacam itu.

Jagal Abilawa” bertutur tentang Sumi yang tengah hamil. Repotnya, dia nyidham tokoh dalam jagad pewayangan, Jagal Abilawa, salah satu kerabat Pendawa yang dikenal perkasa, tetapi baik hati. Anehnya, tokoh Jagal Abilawa yang diminta yang sudah berusia ratusan tahun. Tentu saja, permintaan itu dianggap hal yang mustahil bagi tokoh “aku”, sang suami. Sebagai suami yang baik, tokoh “aku” terus berupaya untuk mendapatkan permintaan istrinya, hingga akhirnya bertemulah dengan Ki Jantur Branjangan, seorang mantan dalang yang sudah tua. Setelah dipersembahkan kepada istrinya, bukan main senangnya. Hidup Sumi berubah. Dia tidak lagi memedulikan suaminya. Setiap hari hanya bercengkerama dengan Jagal Abilawa kesayangannya. Hingga akhirnya saat melahirkan, anak yang dilahirkan ternyata benar-benar seperti Jagal Abilawa yang sangat rakus menyedot air susunya. Sumi meninggal menjadi korban anak kandungnya sendiri.

Kepala di Bilik Sarkawi” bertutur tentang Sarkawi yang malang. Tubuhnya yang cacat menjadi bahan olok-olok orang. Atas petunjuk Ki Maruto, akhirnya dia nekad mencuri septong kepala mayat tetangganya yang sudah dikubur untuk mendapatkan kekayaan. Tragisnya, dia juga tak sanggup melawan sebuah kekuatan dari luar dirinya. Dia mati dengan cara yang tragis di kamar pemujaannya.

Kang Panut” mengisahkan seorang Kang Panut yang miskin. Hidupnya hanya mengandalkan penghasilannya sebagai tukang masak air di rumah tetangganya yang kebetulan punya hajat. Suatu ketika dia mati dengan sebab yang tidak jelas. Anehnya, dia hidup lagi. Itulah yang menggegerkan kampung. Setelah hidup lagi, Kang Panut seperti menyebarkan hawa maut. Tubuhnya berbau busuk hingga akhirnya ia diancam oleh para penduduk kampung untuk dimusnahkan.

Tumbal” bertutur tentang keluarga Lik Karimun yang kehilangan anaknya yang baru berumur 7 bulan. Menurut kabar, anaknya raib karena menjadi tumbal pembangunan sebuah jembatan desa. Intrik dan kasak-kusuk pun menyebar. Konon, isu tumbal itu hanya digunakan untuk menutup-nutupi kasus ditilapnya uang bandha desa oleh Pak Lurah. Persoalan pun menjadi semakin rumit. Tragisnya, ada tiga perempuan yang telah kehilangan bayi, tiba-tiba saja merasa menyusui seorang bayi. Mula-mula nikmat, namun lama-lama mulut bayi itu mencengkeram dengan kuat payudara mereka.

Warni Ingin Pulang” bertutur tentang persoalan patriarkhi. Warni yang nekad melaksanakan tugas sebagai guru di pulau seberang terpaksa harus tercerabut dari akar keluarganya. Dia tidak lagi diakui sebagai anak oleh orang tuanya. Menurut ayahnya, sebagai perempuan, Warni tidak perlu berkarier. Namun, hal itu ditolaknya. Di tempat tugasnya, Warni menikah dengan Laode yang amat dicintainya. Seiring dengan itu, tiba-tiba muncul kecemburuan sosial. Para penduduk asli merasa risih dan terancam oleh kehadiran kaum pendatang. Kekerasan pun pecah. Para penduduk asli memusuhi kaum pendatang. Tiba-tiba saja, Warni merasa rindu dengan kampung halamannya. Namun, ia sangsi, apakah ia masih bisa diterima di tengah-tengah keluarganya, terutama ayahnya.

Penjara, ternyata tak selamanya bisa menjadi tempat yang tepat untuk melakukan pertobatan. Itulah yang dialami Badrun. Dalam cerpen “Penjara”, Badrun dengan mata kepala sendiri mencium berbagai kebusukan, mulai dari para sipir yang nakal dengan meminta upeti para keluarga napi atau sengaja membebaskan para napi dari sekapan penjara. Selain itu, dia harus menjadi “korban” sodomi para napi yang sudah rindu hawa kebebasan di luar penjara.

Apa yang akan dilakukan oleh penduduk kampung ketika ada seorang warga yang gila dan suka mengamuk dengan parang terhunus? Jawaban itu bisa disimak dalam “Marto Klawung”. Ya, dalam cerpen ini, Marto Klawung yang gila sering membuat keonaran. Para penduduk sepakat untuk membelok atau memasungnya. Pemasungan berhasil. Namun, anehnya Marto Klawung berhasil melepaskan diri dan menemui tokoh “aku”. Dengan pura-pura jinak, Marto Klawung secara tak terduga membabat kaki si “aku” dengan parangnya.

Sang Pembunuh” bertutur tentang tokoh “aku” yang menjadi korban Juragan Karta beserta antek-aneknya. Masalah ganti rugi tanah yang dinilai tidak sepadan menjadi fokus kisah ini. Tokoh “aku” yang tidak mau menerima ganti rugi dari Juragan Karta –yang selalu berkoar-koar ingin memajukan kampung– justru kena fitnah. Dia dinyatakan bersalah karena membunuh temannya sendiri, Karjo. Akhirnya dia harus mendekam di penjara. Setelah terbebas, dia pun kembali ke kampung halaman. Namun, ternyata, Narti istrinya, telah menjadi istri muda Juragan Karta. Tokoh “aku” pun tak sanggup memendam amarah. Dengan darah mendidih, dia melabrak Juragan Karta dan membunuhnya.

Apa yang akan dilakukan oleh seorang ibu muda yang melihat anaknya sedang sakit, padahal sang suami tidak ada di rumah? Itulah masalah yang dihadapi tokoh “aku”. Panas si Ratih, anaknya, tak kunjung turun. Mau ke rumah sakit, dhuwit tak punya. Untunglah ada Marno, pemuda yang dulu menaksir tokoh “aku”, tapi ditolaknya. Si “aku” lebih memilih Kang Kadir yang miskin. Berkat bantuan Marno, si Ratih sembuh. Namun, hal itu justru memicu persoalan baru. Kang Kadir yang baru saja pulang dari kota merasa cemburu. Maka, perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Marno dihajar Kang Kadir hingga babak belur. Kondisi semacam itulah yang tergambar dalam cerpen “Pulang“.

Gapit” bertutur tentang suasana tegang dan panas pada saat menjelang dan berlangsungnya pemilihan pilkades (pemilihan kepala desa). Masing-masing kubu berusaha untuk meraih massa. Bahkan, seringkali menghalalkan segala cara. Itulah yang dilakukan Gopal dalam upaya memenangkan jagonya, Pak Bandiyo. Para penduduk pun merasa risih dengan ulahnya yang suka bikin onar. Anehnya, Pak Bandiyo berhasil juga jadi kepala desa. Namun, tak lama setelah pelantikan, muncul masalah baru dan rumit. Pak Bandiyo bernasib tragis. Tubuhnya ditemukan sudah tak bernyawa dengan luka-luka menganga. Muncul pertanyaan, siapakah pembunuh yang sudah demikian sadis menganiaya sang kepala desa itu?

Topeng”, ya, memang hanya sebuah topeng. Bentuknya pun sudah tidak menarik. Permukaannya kasar. Dahinya lebar. Hidung pesek dengan kedua pipi menonjol. Namun, banyak keanehan yang dialami Barman. Dia selalu merasakan seolah-olah ada kekuatan gaib yang memancar dari balik topeng itu. Suatu secara tiba-tiba pula topeng itu terlepas dari dinding. Lantas, secepat kilat menancap dan menyatu dengan wajah Barman. Wajah Barman pun benar-benar berubah dan berganti rupa menjadi wajah topeng peninggalan almarhum mertuanya. Kampung pun jadi gempar.

Sementara itu, dengan nada getir dan sedikit surealis, cerpen “Perempuan Bergaun Putih” mendedahkan nasib wong cilik yang kehilangan seorang anak gadis yang diharapkan menjadi tumpuan keluarga kelak sebelum disunting seorang lelaki. Namun, Tuhan berkehendak lain. Sang gadis meninggal dengan sebab yang tidak jelas. Semenjak kematian si gadis, di bukit hutan jati selalu muncul perempuan bergaun putih yang selalu menyenandungkan elegi pemujaan terhadap rembulan yang perih.

Melalui cerpen-cerpen yang tersaji di blog ini, saya hanya ingin mewartakan bahwa selama ini ada sisi-sisi kemanusiaan yang nyaris terlupakan. Kepedulian terhadap nasib sesama (nyaris) terkikis oleh gerusan nilai-nilai modern dan global yang demikian dahsyat. Semoga cerpen-cerpen tersebut bisa sekadar menjadi pengisi waktu luang, syukur-syukur bisa menjadi bahan refleksi agar kita terangsang untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan itu dalam nurani kita yang selama ini terbang entah ke mana. *halah*.

oOo

Catatan:

(Postingan ini tidak saya maksudkan untuk menilai cerpen-cerpen saya sendiri karena menilai itu menjadi wewenang sepenuhnya dari pembaca. Ini sekadar untuk memenuhi permohonan Pak Ersis Warmansyah Abbas, seorang dosen Unlam sekaligus “seleb blog” yang tampil eksentrik; hiks, dengan ciri khas kalungan sorban saktinya, hehehehe 😆 yang meminta saya sesekali menuturkan seputar *halah* proses kreativitas saya dalam menulis cerpen. Mohon maaf kalau postingan ini belum juga bisa memuaskan kehendak dan “libido” Pak Ersis, hehehehe 😆 )

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *