Guru Menulis BTP: Kenapa Tidak?

Kategori Pendidikan Oleh
Pendidikan

Oleh: Sawali Tuhusetya

Kamis, 21 Februari 2008 yang lalu, Pusat Perbukuan, Depdiknas, menggelar sosialisasi Instrumen dan Deskripsi Penilaian Buku Teks Pelajaran (BTP) SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Semarang, Jawa Tengah. Acara tersebut dihadiri kurang lebih 150 peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa, dosen, widyaiswara, wartawan, penerbit, dan guru. Menurut Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons., anggota BSNP, sosialisasi tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam rangka memenuhi ketersediaan buku teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan. Oleh karena itu, tegasnya, BSNP dan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional dalam tahun anggaran 2008 akan menyelenggarakan Penilaian Buku Teks Pelajaran untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK.

Penilaian akan dilaksanakan dalam dua periode. Pada periode I akan dinilai 16 buku teks pelajaran, yakni: Bahasa Indonesia (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK), Matematika (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK), IPA (SD/MI, SMP/MTs), IPS (SD/MI, SMP/MTs), Pendidikan Kewarganegaraan (SD/MI), Bahasa Inggris (SMP/MTs, SMA/MA, SMK). Pada Periode II akan dinilai 5 buku teks pelajaran, yakni: Pendidikan Seni Musik (SD/MI, SMP/MTs), Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (SD/MI, SMP/MTs), Teknologi, Informasi dan Komunikasi (SMP/MTs). Penulis dan/atau penerbit yang berminat mengajukan bukunya untuk dinilai kelayakannya, dapat mendaftarkan buku teks pelajarannya ke Pusat Perbukuan Depdiknas.

Yang menarik, Pusbuk “menantang” para guru untuk menjadi penulisnya. “Tantangan” ini perlu disambut gembira oleh rekan-rekan sejawat guru. Kenapa? Disadari atau tidak, penulisan buku dan distribusinya selama ini dikenal ruwet, rumit, dan kompleks. Apalagi, ketika Balai Pustaka (BP) dengan segala “otoritas kekuasaannya” menjadi “kaisar” dalam dunia perbukuan Indonesia. Praktis, hanya penulis yang mau dan bisa “berselingkuh” dengan penerbit saja yang bisa “menikmati” dua dunia; guru sekaligus penulis BTP.

Kini, “bola” itu sudah dilemparkan kepada para “guru”. Haruskah didiamkan? Atau sebaliknya, sigap menyambut lemparan itu dengan gerakan-gerakan atraktif dan “teatrikal” sehingga mampu memberikan umpan yang jitu kepada “pemain” lain atau memasukkannya sendiri sehingga tercipta sebuah gol yang indah dan menawan. *Halah, seperti main sepak bola saja, hehehehe 😆 * Jika berhasil dan dinyatakan memenuhi syarat kelayakan, naskah BTP tersebut akan dibeli hak ciptanya oleh Pusbuk dengan nilai antara 100 juta-175 juta rupiah perjilid buku.

info.gif

Sayangnya, info penting dan berharga dari Pusbuk itu bisa dibilang terlambat disosialisasikan kepada para guru. Deadline pendaftaran buku periode I tanggal 13-16 Mei 2008. Ini artinya, para guru hanya mempunyai waktu efektif untuk menyusun naskah, ilustrasi, layout, editing, hingga membuat dummy (naskah buku siap cetak) sekitar 2,5 bulan. Waktu yang amat pendek untuk mempersiapkan naskah BTP yang memiliki tingkat kelayakan dan kualitas andal. Selain itu, guru yang hendak menulis BTP juga harus “menggandeng” dosen atau ahli bidang studi terkait. Sebuah kerja kolektif yang gampang-gampang susah.

Meski demikian, terobosan Pusbuk mesti diakui sebagai langkah “cantik” untuk lebih mendekatkan guru kepada BTP yang selama ini hanya didominasi oleh penulis BTP yang sudah lama “berselingkuh” dengan penerbit. Ironis memang. Guru yang sangat paham terhadap apa yang dibutuhkan oleh siswanya, justru harus menggunakan BTP dengan tingkat kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan kegrafikaan, yang jauh dari memadai. Namun, apa boleh buat! Kini, peluang itu terbuka lebar bagi rekan-rekan sejawat untuk ikut memberikan sumbangsih pemikirannya melalui BTP yang “inspiratif” dan kreatif sehingga “enak dibaca dan perlu” *halah seperti iklan koran saja* bagi generasi masa depan negeri ini. Nah, bagaimana? Sampeyan tertarik?

Rekan-rekan sejawat yang membutuhkan informasi lebih lanjut tentang instrumen dan deskripsi penilaian BTP, silakan unduh file.zip-nya (kapasitas file 3,4 MB) di sini. (Terima kasih saya ucapkan kepada Pak Slamet, widyaiswara LPMP Semarang, Jateng, yang telah berkenan berbagi file secara gratis. Semoga bisa bermanfaat bagi rekan-rekan sejawat guru. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

26 Comments

  1. Tenang, mas… sy jg akan ikutan dlm “pesta” ini… Ceritanya siy mo nyoba jd batu bata perubahan dunia perbukuan… Smg berkah.. Anak muda, jgn cuma bs teriak.. bergerak…Yyyuuukkk! SEMANGAAAAT!
    Catt:
    Mas sawali anak muda jg kan? hehehe… ^-^

    ooo
    wah, salut mas reno, semoga “pesta”-nya sukses dan meriah, yah, semangath. btw, dah kepala 4 tuh, dah masuk golongan tua kayaknya, hehehehehe 🙂

  2. Hehehe, bukan untuk saya kok, Pak. Kebetulan kemarin ada teman yang tanya lowongan untuk nulis buku. Untuk saya, biar dari erlangga saja 🙂

    enggar’s last blog post..Menyambung Pertanyaan

    ooo
    ufhh, maaf, bu enggar, hehehehe 😆 kirain bu enggar sendiri. kalok menurut saya memang rugi, bu, kan erlangga dah masuk kategori penerbit mapan, hehehe …

  3. Pak Sawali, ini untuk buku yang sudah pernah terbit atau buat naskah baru ya? Thks

    enggar’s last blog post..Menyambung Pertanyaan

    ooo
    kayaknya ini naskah baru, bu? buku yang sudah terbit bisa juga, tapi biasanya yang mengajukan pihak penerbit, bukan dari penulis. setahuku begitu loh bu enggar, hehehehehe 😆 btw, buku-buku bu enggar yang terbitan erlangga kalau ikut didaftarkan kayaknya malah rugi tuh, hehehe 😆 kan malah lebih bagus royaltinya kalo dijual reguler.

  4. Dulu sewaktu saya jadi siswa, saya sempat berpikir, kenapa sih para penulis buku itu bukan dari kalangan guru? Aneh… ternyata memang tak semua guru mempunyai kemampuan menulis walaupun pengalaman mereka banyak seabreg ngajar.

    Sayang banget… seringnya yang ga pernah ngajar malah yang nulis buku, pantesan aja buku pelajarn itu seringkali susah dibaca, apalagi kalau yang terbitan pemerintah (yang nulisnya terlalu “pintar”, jadinya ga komunikatif…)… 😀

    mathematicse’s last blog post..Cerita Narsisme ?15?

    ooo
    yup, itulah ironi yang berlangsung di negeri ini pak jupri, hehehehe 😆 guru yang biasa pakek buku ajar malah ndak pernah nulis, hiks, repot.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top