Gerah Gara-gara Guru
25 November telah ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional, bersamaan dengan HUT PGRI. Menurut rencana, puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2007 akan dipusatkan di Pekanbaru, Riau, yang akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat teras pendidikan lainnya. Untuk ke sekian kalinya, guru dihadirkan di ruang publik. Upacara digelar di seantero negeri, mulai dari pusat ibukota hingga dusun-dusun terpencil. Semua siswa didik mengangkat tangan tanda hormat tingginya marwah guru dalam membimbing mereka meraih masa depan. Lirik Hymne Guru disenandungkan dengan rasa haru yang menyesak di dada. Para guru hanya bisa menunduk mendengarkan senandung pujian dan sanjungan. Tak kalah harunya menyaksikan siswa didiknya yang begitu tulus memberikan kado “Hymne Guru“.
Ya, ya, ya, ibarat serdadu, guru di medan pendidikan mengemban misi memerdekakan generasi bangsa dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berada di garda depan dalam “menciptakan” generasi-generasi muda yang cerdas, terampil, tangguh, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, berwawasan luas, memiliki basis spiritual yang kuat, dan beretos kerja andal, sehingga kelak mampu menghadapi kerasnya tantangan peradaban.
Gerah Gara-gara Guru
Buku, Penulis, dan Penjara
Diilhami oleh tulisan Bangaiptop “Dukung Bersihar Lubis“, Mas Hoek, dan juga banner keren, buah kreasi Kang Anto Bilang, naluri saya sebagai penulis katrok tiba-tiba ikut-ikutan “memberontak”. Betapa kebebasan yang dijamin pasal 28 UUD 1945 di negeri ini masih silang sengkarut. Masih ada persoalan serius yang harus dituntaskan, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.
Jujur saja, saya tidak kenal siapa Bersihar Lubis (BL). Pernah sesekali membaca tulisannya di TEMPO. Tulisan-tulisannya lugas, kritis, dan menusuk. Tulisan-tulisan khas yang biasa meluncur dari tangan para jurnalis. Namun, agaknya sikap lugas dan kritis BL berbuah petaka.
Teriakan “Bocah-bocah” Nakal
Kalau boleh saya ibaratkan sebuah rumah, blog saya ini sering diteriaki oleh orang-orang dari luar sana dengan identitas yang tidak jelas. Namanya saja teriakan; jelas bikin gemes dan nyeri di telinga. Saya sendiri tidak tahu siapa mereka. Untung saja ada Satpam Aki Ismet yang selalu siap berjaga-jaga di teras samping selama 24 jam non-stop setiap harinya. Hebat! Meski sudah “uzur”, Aki Ismet masih sigap dan bisa diandalkan. Si Aki berhasil menangkap “bocah-bocah” nakal itu dan langsung memborgolnya di ruang karantina. Berdasarkan laporan yang saya terima hingga hari Rabu, 21 November 2007 pukul 22.34 WIB, si Aki Ismet berhasil menangkap 852 “bocah” nakal itu lengkap dengan bunyi teriakan-teriakannya.
Revitalisasi Seni Rakyat di Tengah Peradaban Global
Seiring dengan dinamika zaman yang terus bergerak pada arus globalisasi, dunia kesenian diharapkan bisa ikut berkiprah dalam melakukan pencerahan terhadap peradaban yang “sakit”. Seni tidak cukup hanya dipahami sebagai produk estetika, tetapi juga mesti diapresiasi sebagai sebagai produk budaya yang mampu memberikan sesuatu yang bermakna bagi umat manusia. “Dulce et utile”, kata Horace.
Berkaitan dengan keberadaan seni rakyat yang hingga kini masih tumbuh subur di kantong-kantong seni, khususnya di daerah pedesaan, pada era global justru akan semakin dilirik dan diperhatikan sebagai “mutiara yang hilang”. Seni rakyat justru akan semakin penting dan strategis setelah manusia-manusia yang hidup pada masa post-modern sudah mulai jenuh dengan berbagai produk seni modern yang dinilai mulai kehilangan basis dan tuah falsafinya. Oleh karena itu, produk-produk seni rakyat perlu dikemas sedemikian rupa sehingga kehadirannya semakin dicintai dan dirindukan oleh publik.
Mampukah Sertifikasi Guru Mendongkrak Mutu Pendidikan?
“Langit Makin Mendung”: Cerpen Multiwajah yang Kontroversial
Pernah membaca cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin? Bagaimana kesan Sampeyan? Benci, geram, atau justru diam-diam mengaguminya? Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).
39 tahun sudah “heboh sastra” itu berlangsung. Namun, LMM dan Kipandjikusmin tetap saja menjadi sebuah fenomena dalam dinamika sejarah sastra Indonesia.